Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 11 -

Selama satu jam di rumah keluarga Freewell, Trista disuguhi beraneka macam menu makanan oleh Vivi. Mulai dari makanan pembuka, ikan digulung dengan daun yang sangat garing, hingga makanan penutup yang berupa puding caramel dengan irisan peach yang rasanya super duper enak. Sejujurnya, Trista sudah nyaris tidak sanggup menelan saat Vivi kembali menghidangkan makanan penutup kedua, lemon sherbet, namun demi kesopanan-dan juga karena luar biasa enak-dia toh menghabiskannya juga.

Dan selama kegiatan makan-makan itu, Vivi membicarakan apa saja, mulai dari kisah awalnya di dunia masak-memasak (Vivi bekerja sebagai koki senior di salah satu restoran Meksiko yang lumayan terkenal tidak jauh dari Redville City, pantas saja) hingga kehidupannya dan Lucas setelah Mr. Freewell meninggal.

Ini fakta mengejutkan. Trista nyaris saja menanyai Vivi tentang pekerjaan Mr. Freewell. Namun, tidak seperti yang kebanyakan Trista lihat, saat topik beralih menyinggung masalah kematian dari suami dan ayah keluarga Freewell ini, suasana tidak mendadak muram atau bagaimana. Lucas dan Vivi tetap makan dengan normal, tidak ada sedikitpun perubahan ekspresi di wajah keduanya. Seolah mereka sedang membicarakan cuaca saja.

"Aku turut berduka cita. Maaf..."

"Tidak perlu!" mendadak Lucas dan Vivi berseru. Lalu Lucas melanjutkan, "Nggak perlu minta maaf. Kami suka kok, membicarakan Richard."

"'Dad', Luke. Waktu itu umurmu masih sebelas tahun, ya?" Vivi menoleh pada Lucas, "Ketika itu aku juga baru akan melamar kerja ke restoran tempatku bekerja saat ini, ketika orang rumah sakit menelepon dan mengabari bahwa Richard sudah tiada."

"Oh." kata Trista. Rasanya sedikit ganjil sekaligus melegakan, karena baru kali ini dia tidak mesti berpura-pura merasakan duka amat mendalam saat membicarakan orang yang sudah meninggal dengan keluarga mereka. "Seperti apakah Richard?"

Vivi tidak langsung menyahut. Tampaknya dia agak kaget ditanyai begitu oleh Trista.

"Oh, dia pria yang sangat manis!" Vivi menjelaskan, "Dia senang sekali tertawa. Aku sangat suka mendengar dan melihatnya tertawa. Richard adalah pria dengan tawa paling indah di muka bumi. Makanya aku tak ragu ketika dia melamarku di trotoar jalan sepulangnya kami dari acara prom."

Trista tersenyum, tidak heran Lucas mewarisi begitu banyak energi dan keceriaan dalam dirinya. "Kalau begitu, kalian menikah di usia yang cukup muda?"

"Tidak juga sih, ayahku berkata bahwa Richard baru bisa menikahiku setelah dia mendapat pekerjaan tetap. Dan demi membuktikan bahwa dia sama seriusnya dengan ayahku, dua tahun kemudian dia mendapat pekerjaan di perusahaan otomotif. Beberapa bulan kemudian, kami langsung menikah."

Setelah itu Vivi langsung nyerocos kembali mengenai kehidupan pernikahannya. Trista sih senang-senang saja mendengarkan Vivi. Kemampuan bernarasi Vivi yang bagus membuat ceritanya seperti dongeng, dia menaik-turunkan nada suaranya di bagian-bagian yang tepat, dan menjadi luar biasa dramatis pada bagian-bagian penting seperti pada saat pernikahannya dan bagaimana perjuangannya melahirkan Lucas.

Namun, Lucas yang mungkin sudah ribuan kali mendengarkan kisah hidup ibunya, terlihat bosan. Dan baru menegakkan kembali punggungnya saat dia mendadak mengendus-endus udara.

"Mom, apa kau memanggang sesuatu? Ada bau gosong." katanya.

"OH! Pai dagingku!" Vivi melompat dan melesat menuju dapur. Trista memandangi Lucas ngeri.

"Masih ada lagi?"tanyanya tak percaya. Lucas terbahak.

"MOM! AKU DAN TRISSY AKAN KE TAMAN!" Lucas berseru untuk menyelamatkan keadaan.

"APA? TAPI TRISSY BELUM MENCICIPI PAI DAGINGKU!"Vivi balas berteriak.

"JANGAN KHAWATIR, VIVI! AKU SUDAH SANGAT KENYANG DAN SANGAT SENANG!" Trista ikut berseru ke dapur.

"KALAU BEGITU, KAU BISA MEMBAWA PULANG PAI-NYA, NAK!" Trista dan Lucas masih bisa mendengar teriakan Vivi bahkan setelah mereka keluar dari garasi.

"Herannya, kau masih bisa bertahan tetap kurus walaupun tinggal bersama wanita seperti ibumu yang seolah nggak pernah kehabisan stok makanan." komentar Trista ketika mereka sudah berjalan di trotoar depan rumah.

"Aku memakan semua yang ibuku masak untukku, kok." Lucas berkata ceria, "Hanya saja, aku cuma mengambil paling banyak tiga sendok untuk tiap menu, sehingga ibuku berpikir sia-sia saja membuatkanku makanan berlimpah-ruah. Trikku berhasil hingga kini."

Sepanjang jalan, Lucas terus melambai pada orang-orang. Cowok itu tampaknya kenal pada tiap orang di tiap rumah di tiap blok yang mereka lewati, dan seraya melambai-lambai, Lucas menceritakan profil singkat setiap orang yang balas melambai padanya.

"Itu Nyonya Gregor. Beliau punya banyak sekali kucing di rumahnya. Janda tanpa anak. Yang itu—hai Mr. Jensen!—adalah Jensen Si Galak. Dia galak pada siapapun, tapi nggak padaku..."

Lucas terus melakukan hal serupa hingga akhirnya mereka berbelok untuk keluar dari area perumahan. Ketika mereka melewati rumah terakhir di blok itu, pria yang sedang duduk-duduk di terasnya berseru pada Lucas.

"Hei, Lucas! Hendak ke taman?" katanya sambil melipat korannya.

"Yeah, Mr. Hills!" sahut Lucas.

"Siapa itu? Cewekmu?" tanya Mr. Hills tanpa tedeng aling-aling saat pandangannya beralih pada Trista. Lucas nyengir.

"Bagaimana menurutmu?"Lucas balas bertanya sambil terus berjalan.

"Belum..." Mr. Hills menyahut, "...tapi akan!"

Keduanya tertawa santai, seolah itu topik yang umum dibicarakan antar tetangga dari teras rumah ke trotoar dengan volume suara yang tidak perlu dikecilkan. Sepertinya hanya Trista yang detik itu merasa ingin sekali mengubur diri ke dalam tanah.

Ketika mereka tiba di taman, langit sudah berubah gelap. Jarak dari rumah Lucas ke sini sebetulnya lumayan jauh, namun dengan Lucas yang tak berhenti melawak sepanjang jalan, perjalanan seolah tidak membutuhkan partisipasi keringat.

Trista bahkan tidak merasa perlu bertanya untuk apa mereka menyeberangi halaman berumput yang berkilau akibat sorot lampu menuju lapangan basket. Kakinya melangkah begitu saja mengikuti Lucas, seolah berjalan bersamanya ke tengah lapangan basket di Senin malam sama wajarnya dengan menuang segelas susu ke dalam gelas di pagi hari ketika keadaanmu masih mengantuk.

Mereka terus berjalan, hingga akhirnya Lucas berhenti di satu titik persis di depan ring, titik di mana pemain basket biasanya berdiri untuk melakukan overhead shoot.

Lalu Lucas mulai menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, membuatnya terlihat seperti sedang men-dribble udara kosong.

"Nggak butuh bola?" Trista menghampirinya.

Lucas menggeleng-geleng, "Tuh, ada di bawah sana."

Trista mengikuti arah pandangan Lucas dan menemukan satu lagi hal menakjubkan.

Alih-alih garis-garis dan lengkungan-lengkungan berwarna putih membosankan yang biasanya terdapat pada lantai lapangan basket umumnya, sebuah lukisan besar menggantikannya. Lukisan unik yang nyaris seperti trik mata.

Awalnya Trista mengira sedang melihat lukisan langit siang hari yang ekstra besar. Ternyata, itu adalah refleksi dari langit sesungguhnya di atas mereka, langit milik lukisan tersebut. Di bawah tangan Lucas yang sibuk men-dribble, terdapat sebuah bola basket, dan bola basket itu sebetulnya bukan milik Lucas, melainkan milik seorang bocah tanggung yang berdiri persis di bawah kaki Lucas. Mereka sama-sama tengah berdiri menghadap ring basket, telapak kaki Lucas dan telapak kaki si bocah bertemu, membuat Lucas seolah sedang berdiri di atas cermin. Ring dan pagar kawat yang mengelilingi lapangan itu juga dibuat refleksinya, sehingga semakin lama memperhatikan lukisan itu, semakin Trista merasa dirinya akan jatuh ke langit di bawah sana.

"Ini kerjaanmu?" ucap Trista, masih agak terpesona.

"Nah, aku kreatif kan?" senyum Lucas mengembang bangga. Alisnya naik sebelah, seakan meminta Trista untuk mengakui kemampuannya.

"Ya. Kau memang sangat kreatif." Trista menekankan.

"Lalu?" Lucas berbalik membelakangi ring dan kini berdiri berhadapan dengan Trista, kedua tangannya berada di balik punggung.

"Eh, lalu... apa?" Trista balik bertanya.

"Gentleman kreatif?" pancing Lucas.

Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada reaksi yang muncul dari Trista, Lucas akhirnya menyerah mencoba berteka-teki.

"Kau nggak ingat." katanya sambil menghembuskan napas panjang, "Satu hal pun."

"Apa maksudmu?" protes Trista. Dia toh belum jadi nenek-nenek pikun.

"Kau lupa soal gentleman kreatif. Kau memanggil ibuku 'Mrs. Freewell' alih-alih 'Vivi'. Kau bertanya seperti apa ayahku. Kau nggak tahu apa itu The Lodge sebelumnya. Dan kau bahkan lupa padaku."

Ekspresi Lucas saat ini benar-benar serius. Kali ini tidak ada sorot jenaka yang biasa Trista temukan setiap kali menatapnya. Kemudian cowok itu melanjutkan.

"Kau menghilang begitu saja selama sembilan tahun. Aku nggak bisa menghubungimu. Rumahmu kosong. Sekarang kau mendadak kembali dan bersikap seperti orang asing." lanjutnya.

Trista tidak mampu berkata-kata.

Aku memang orang asing. Trista membatin, Lucas nggak mengerti, Trista Frauss memang orang asing.

Lucas melangkah mendekati Trista yang masih membisu, tangannya yang sedari tadi berada di balik punggung kini terulur untuk meraih kedua tangan gadis itu.

"Kau seperti habis diculik alien, lalu dikembalikan setelah otakmu dicuci. Kau mengingatkanku pada kapsul yang isinya dibuang." Lucas berujar pelan.

Tidak ada yang saling memandang saat ini. Tatapan mereka berdua sama-sama tertumbuk pada tangan-tangan mereka yang saling terpaut. Benar-benar aneh. Tidak ada rasa risih. Seakan berpegangan tangan dengan Lucas adalah tindakan yang sangat wajar dan sudah sangat amat sering Trista lakukan sebelumnya. Kemudian Trista menyaksikan jari-jari Lucas mengendur di genggamannya, dan tangan yang besar dan hangat itu kini berpindah ke pipinya.

"Trista." bisik Lucas, untuk pertama kali memanggilnya dengan nama penuh. "Apa yang terjadi padamu?"

0


Kombi Lucas tiba di depan rumah keluarga Frauss setengah jam kemudian. Sepanjang jalan, mereka tidak saling bicara, mungkin dipicu pembicaraan di lapangan basket tadi. Tapi Lucas masih bersikap baik sekali dengan membukakan pintu penumpang untuk Trista—walaupun memang pintunya yang agak macet sehingga sulit dibuka dari dalam—dan menyodorkan bungkusan berisi pai daging yang warnanya terlalu cokelat akibat kelamaan di dalam oven—namun Vivi bersikeras bahwa rasanya masih sama—ketika gadis itu sudah turun. Trista menggumamkan 'trims'nya pelan. Cowok itu sudah hendak naik kembali ke kombinya ketika Trista akhirnya memutuskan untuk sedikit nekat.

"Luke." panggil Trista.

Lucas berhenti dan menoleh. Trista bukan tipe cewek yang jago berkata-kata, karena itu dia sempat ragu-ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya kepada Lucas. Tanpa ba-bi-bu.

"Maaf kalau dulu aku mengecewakanmu karena pindah tanpa kabar. Dan maaf kalau kehadiranku kembali di Redville membuatmu bingung. Aku sendiri butuh... menyesuaikan diri setelah berbagai hal yang terjadi. Mungkin suatu saat aku akan menceritakan semuanya padamu, tapi untuk kali ini... aku masih perlu waktu."

Lucas hanya berdiri diam di sana selama beberapa saat. Dia memandangi Trista dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Well." katanya akhirnya, "Aku akan tetap di sini kok."

Trista mengangguk canggung sementara Lucas masuk ke dalam mobilnya.

"Yakin nggak mau mampir?" tanya Trista.

"Lain kali saja." sahut Lucas dari jendela pengemudi, "Ini sudah terlalu malam. Sampai besok Trissy."

Trista tersenyum dan melambai seiring dengan semakin menjauhnya kombi Lucas.

Memang benar, ini sudah terlalu malam karena Trista mendapati pintu depan rumahnya dikunci, pertanda Tim dan Sarah sudah tidur. Trista harus merogoh-rogoh ke bawah jok kursi dulu untuk menemukan kunci duplikat.

Ketika sudah tiba di dalam, Trista tidak repot-repot menyalakan lampu, atau sekadar meletakkan ransel dan bungkusan pai daging ke atas meja. Kakinya membawanya terus berjalan melewati ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur. Hanya Tuhan yang tahu mengapa saat ini Trista membawa dirinya dengan sangat mantap menyeberangi halaman belakang menuju ke rumah pohon. Suara gitar kedengaran sayup-sayup ketika dia memasuki area pepohonan dan memanjat tangga rumah pohon, yang berarti Cliff belum tidur.

Benar saja. Ketika tiba di atas, cahaya lampu menerobos gorden jendelanya. Tindakan Trista berikutnya dapat dibilang mencengangkan untuk ukuran cewek baik-baik seperti dirinya yang selama ini selalu mengumumkan keberadaannya terlebih dahulu sebelum memasuki rumah pohon atau memasuki 'area pribadi' Cliff. Namun tidak kali ini.

Cowok itu kaget setengah mati ketika mendapati pintu rumah pohon dibuka tiba-tiba dan menampakkan adik perempuannya sedang berdiri di baliknya sambil masih mengenakan ransel dan menenteng-nenteng bungkusan. Cliff mengumpat, "Apa kau mau membunuhku?! Setidaknya ketuk dulu kalau—"

Cercaan Cliff seketika terhenti di udara ketika dia menyadari ekspresi diam Trista yang aneh. Dia meletakkan gitarnya perlahan dan bangkit menghampiri gadis itu.

"Sesuatu terjadi?" tanyanya curiga, dia menunduk untuk menyejajarkan matanya dengan mata Trista, "Hei... bicaralah."

Setelah terdiam cukup lama, Trista akhirnya sanggup mendongak untuk memandang wajah kakak laki-lakinya. Cliff sedang mengernyitkan dahi.

"Jangan membuatku takut..."

Namun sepertinya keputusan untuk memandang Cliff di saat seperti ini bukanlah hal yang tepat, karena detik berikutnya Trista merasakan tenggorokannya sakit dan air mata membanjir keluar begitu derasnya seperti tanggul jebol.

Melihat itu, Cliff terkaget-kaget. Selama beberapa detik, dia hanya berdiri tercengang menonton adiknya menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Tampangnya campuran panik, bingung, kikuk, dan cemas. Namun setelah berhasil sedikit menguasai diri, Cliff rupanya memutuskan bahwa tindakan terbaik yang bisa dilakukannya adalah memeluk Trista.

Sebetulnya, Trista juga syok saat Cliff merangkulnya. Tapi dia masih terlalu sibuk menangis untuk peduli.

"Apa ini ulah si Freewell?" tanya Cliff di telinga Trista dengan suara dingin yang mirip sekali seorang polisi ketika sedang menginterogasi saksi.

Sulit untuk menggeleng kuat-kuat dalam posisi sedang didekap, tapi entah bagaimana Trista berhasil melakukannya.

"Apa dia menyakitimu?"

"Lucas amat sangat baik...!" kata Trista nyaris histeris, pelukan Cliff entah bagaimana membuat keinginannya untuk menangis lebih keras semakin menjadi-jadi. "...aku—dia benar, Cliff! Aku seperti kapsul yang isinya dibuang. Aku alien..."

Trista sudah tidak peduli lagi berapa lama dia berada di sana dan menangis, atau pada air matanya yang membuat baju Cliff kebasahan, atau jika suara tangisan histerisnya dapat membangunkan seisi kompleks.

Atau pada fakta bahwa sepanjang ingatan-setelah-amnesianya, untuk pertama kali dalam hidupnya, Trista menangis di dalam pelukan seorang cowok.

0

*sobs*
Jangan lupa tinggalkan vote & comment!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro