- 10 -
Sudah seminggu Trista menjadi penghuni Redville City, mendekam di salah satu rumah yang sederhana namun hangat, mendadak menjadi anak kedua dalam keluarga Frauss, dan menyandang nama baru.
Butuh waktu bagi Trista untuk menyesuaikan diri terhadap nama barunya. Seperti hal memalukan yang terjadi di kelas Bahasa Inggris kemarin, ketika gurunya menyebut nama 'Daniela' untuk membacakan bait kedua puisi Lady of Shalott, Trista otomatis meraih bukunya dan membacakan keras-keras. Setelah habis ditertawai seisi kelas, Trista masih bersyukur karena dia hanya dihadiahi tatapan bingung oleh Daniela Mercer betulan yang notabene duduk dua kursi di sebelahnya, dan kalimat 'Cuci mukamu, aku tahu kelas ini membuatmu nyaris gila' oleh Mrs. McMillan, bukannya candaan ironis seperti 'Memangnya kau pernah bernama Daniela?' atau semacamnya. Trista juga masih kesulitan menghilangkan kebiasaannya menulis 'Da' di lembar kuis ketika hendak menuliskan namanya, atau menoleh ketika seseorang menyebut nama 'Dan!' di koridor di sela-sela pergantian jam.
Jangankan di sekolah, Tim dan Sarah saja masih perlu memanggil Trista dua kali jika ingin anak perempuan mereka menyahut saat dipanggil.
Anehnya, Lucas tidak perlu berusaha sekeras itu. Karena Trista selalu menoleh pada kesempatan pertama saat Lucas memanggil namanya. Bukannya Trista tergila-gila pada cowok nyentrik itu, atau karena dia satu-satunya cowok yang memanggilnya 'Trissy', atau apa. Hanya saja telinganya seolah sudah sangat terbiasa mendengar suara riang Lucas.
Seperti hari ini, ketika Trista hendak menuju lokernya. Walaupun tindakan mencolek bahunya tiba-tiba di koridor dan menggumamkan 'Trissy' di telinganya itu masih cukup bikin jantungan, Trista dapat langsung tahu Lucas-lah yang sedang berada di belakangnya.
"Hei, Luke." sapa Trista, heran sendiri pada suaranya yang terdengar tenang dan kalem-kalem saja. Dan karena mulutnya yang otomatis mengucap 'Luke' tanpa pikir panjang.
"Sore ini bebas?" dia mengucapkan tiga kata itu sambil nyengir, ekspresinya persis seperti anak anjing yang minta diajak jalan-jalan. Ini perumpamaan, bukannya Lucas betulan mirip anjing.
Hari ini cowok itu memakai cardigan longgar merah-nyaris-jingga, dengan dalaman kemeja kuning cerah, dan bawahan celana hijau lumut yang bagian lututnya ditambal kain perca motif kotak-kotak, dan sepatu sandal. Rambut pirangnya entah kenapa terlihat semakin mencolok. Mungkin pengaruh dari warna cardigannya.
"Aku akan mencoba membiasakan mataku setiap kali kau ada di hadapanku." Trista menghela napas, "Sepertinya belum ada rencana, kenapa?"
"Aku ingin mengajakmu makan malam di garasiku."
"Sori?" Trista takut salah dengar.
"Aku. Ingin. Mengajakmu. Makan. Malam. Di. Garasiku." Lucas mengeja kata demi kata, "Aku. Ingin. Tahu. Apa. Kau. Bisa. Datang. Ke. Rumahku. Sore. Ini. Untuk..."
"Mengerti. Kok. Aku. Bukan. Idiot." potong Trista, mengikuti permainan Lucas, "Aku. Hanya. Heran. Kenapa. Harus. Di. Garasimu."
"Karena. Itu. Kau. Sebaiknya. Datang. Ibuku. Masak. Enak. Hari. Ini." balas Lucas.
"Oke. Ketemu. Di. Lapangan. Parkir. Sore. Nanti. Aku. Nggak. Bakal. Keliru. Mengenali. Kombimu."
"Apa. Cowokmu. Nggak. Akan. Marah. Kali. Ini?"
Trista tertawa. Pasalnya, Lucas hanya meninggikan nada suaranya pada kata terakhir yang diucapkannya, sementara kata-kata sebelumnya dibiarkan bernada datar sehingga pertanyaannya terdengar aneh.
"Lupakan. Cowokku." kata Trista.
Maka, sore itu, Trista kembali berada dalam kombi nyentrik milik Lucas Freewell yang tersohor, dan kembali mendapat SMS bernada khawatir dari Cliff.
Aku akan memperingatkan Mom untuk menyiapkan tim SAR.
Trista memutar bola matanya, dan mengetik pesan balasan.
Jangan lupa tenda dan berpuluh-puluh cokelat Mars. Kalau-kalau aku ditemukan sekarat dan kelaparan di tengah hutan.
Selama berada di dalam mobil, Trista sibuk mengagumi kembali lukisan di langit-langit mobil, seraya memikirkan tampang dan komentar Claire tadi begitu diberitahu bahwa sore ini Trista akan ke rumah Lucas.
"Beri aku semenit. Aku butuh memahami kenapa cewek baru se-cool kau rela ditaksir Lucas. Nggak tega? Kasihan? Cari pengalaman? Beri aku alasan yang masuk akal!"
Dan komentar itu berujung pada Trista yang hanya mengangkat bahu.
"Trissy. Kita. Sudah. Sampai." kata Lucas tiba-tiba, masih menggunakan cara bicara konyolnya.
"Apa? Cepat sekali!" Trista sampai lupa balas menggunakan cara bicara konyol yang sama saking terkejutnya. Lucas memang sudah bilang sebelum mereka berangkat bahwa rumahnya tidak terlalu jauh dari Redville High, tapi tetap saja Trista tidak menyangka sedekat ini.
Rumah Lucas memang teknisnya berada tak jauh di luar gerbang selamat-datang Redville City, tapi jaraknya kira-kira hanya dua kilometer dari Redville High, lumayan dekat untuk ditempuh menggunakan mobil.
"Jelaskan padaku kenapa kau nggak pakai bus saja." kata Trista yang masih terheran-heran, sambil turun dari kombi Lucas.
"Aku. Terbiasa. Bepergian. Di. Bawah. Siang. Dan. Malam. Hari. Sekaligus." jawab Lucas sok puitis sambil melambai pada seorang wanita tua kenalannya di seberang jalan, "Bus. Umum. Tidak. Punya. Hal. Itu."
Lagi-lagi Trista harus membiasakan diri hal-hal ajaib yang dikatakan Lucas. Cowok ini terlalu mencintai kombinya, tempatnya menuangkan kreatifitasnya. Kanvas istimewanya.
Sementara itu mereka sudah tiba di teras rumah keluarga Freewell, seorang wanita paruh baya bertubuh gempal dengan rambut sewarna dengan rambut Lucas, tengah berdiri di ambang pintu. Lengannya yang gemuk terbuka, seolah menyiapkan diri untuk sebuah pelukan.
"Oh, ini dia Trissy-Missy-Daisy...!" katanya seraya memeluk Trista erat-erat, "Oh, aku kangen sekali pada anak ini!"
Trista mau tak mau balas memeluk wanita itu, walaupun belum yakin apakah dia pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya.
"Mom. Trissy. Kehabisan. Napas." Lucas menyela adegan penuh haru-biru itu. Mrs. Freewell buru-buru menarik dirinya sambil menutul-nutul matanya yang basah dengan serbet dapur yang dia keluarkan dari kantung dasternya.
"Oh, maaf." dia tersenyum sambil masih memandangi Trista dengan sorot penuh kasih sayang, "Apa kabarmu, Nak? Ya Tuhan, kau sudah besar sekali!"
"Baik, terima kasih Mrs. Freewell." Trista menyahut sopan. Mendengar itu, Mrs. Freewell terbelalak.
"Oh, astaga. Dulu kau selalu memanggilku Vivi. Aku harus mulai membiasakan diri karena kita sudah tidak saling bertemu lama sekali... oh, tapi kau tetap boleh memanggilku Vivi, tentu saja! Bagaimana orangtuamu?"
Sambil masih memendam rasa bingung, Trista kembali menyahut. "Mereka baik-baik saja. Kami tinggal di Redville City, kalau-kalau Anda ingin mampir..."
"Baik sekali! Aku janji kapan-kapan akan mampir."
"Aku. Sudah. Tahu. Rumahnya. Kita. Bisa. Mampir. Kapan. Kapan." Lucas kembali menyela.
"Kenapa bicaramu aneh begitu, Luke? Oh, apa yang telah kulakukan! Ayolah, Trissy. Masuk-masuk! Aku sudah memasak ayam saus lemon untukmu!"
Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan segala kehebohan yang ditimbulkan oleh Mrs. Freewell-atau Vivi, jika dia memilih untuk disebut begitu-Trista baru dapat mengamati rumah keluarga Freewell dengan lebih baik.
Bagian depan dan ruang tamu rumah ini, untunglah, normal dan bersih, tidak ada tanda-tanda bahwa orang 'sekreatif' Lucas tinggal di dalam sini. Perabotannya memang lumayan ramai, namun masih dalam batas wajar. Pada dinding ruang keluarga-Vivi sudah menggiring Trista melewati ruang tamu dan Lucas menyuruhnya menunggu di situ sementara dia berganti baju-terpajang berpuluh-puluh foto keluarga. Trista mengamati foto itu satu-persatu dan kagum akan pengaturannya yang pintar, sehingga setiap tamu yang berhenti untuk mengamati foto-foto tersebut dapat dengan mudah 'membaca' reka ulang peristiwa hidup yang terjadi dalam keluarga Freewell.
Lucas, sejauh pengamatan Trista, rupanya anak tunggal. Kebanyakan foto berisi dirinya, Vivi, dan Mr. Freewell dalam berbagai kesempatan. Mr. Freewell-atau Richard, seperti yang diketahui Trista dari Tim-rupanya juga punya lesung pipit dan wajah yang cukup imut untuk pria seusianya, yang diwariskannya ke Lucas, dan senyumnya terlihat sama cerianya seperti Lucas. Dalam hampir semua foto, pria itu tampak ekspresif dan menyenangkan. Tak heran Vivi bisa jatuh hati padanya.
Keluarga Freewell rupanya juga pernah ke Jepang, dilihat dari ketiganya yang tengah berpose norak di depan menara merah-putih Tokyo Tower, dan berkunjung ke salah satu pasar yang menurut dugaannya, berada di negara kawasan Asia.
Persis di sebelah foto itu, terpajang sebuah foto kecil yang tidak terlalu mencolok dibanding yang lain, menunjukkan seorang bocah laki-laki berambut pirang ikal sedang memakai topi ulang tahun. Bocah itu sedang berdiri di tengah pekarangan berumput, balon-balon dan sisa-sisa kertas kado berserakan di sekitarnya. Tapi bukan itu yang paling menarik perhatian Trista. Bocah itu tidak sendirian. Foto itu diambil dari samping, dengan si bocah lelaki berdiri menghadap seorang bocah perempuan berambut hitam yang sepertinya seumur dengannya.
Dan si bocah perempuan sedang berjinjit untuk mengecup bibir si bocah laki-laki.
"Itu. Ketika. Kami. Sedang. Di. Thailand."mendadak Lucas sudah berdiri di sebelah Trista, yang terlonjak kaget, dan menunjuk pigura di sebelah foto si bocah-berciuman itu. Rupanya Lucas keliru menebak Trista sedang mengamati foto yang mana. "Dad. Senang. Sekali. Beli. Jangkrik. Bakar. Waktu. Itu."
"Oh." Trista mengatur napasnya. Jantungnya masih tak keruanan akibat kemunculan Lucas yang mendadak. Trista menatap Lucas yang sudah mengganti pakaiannya menjadi kemeja santai warna gading dan celana pendek gombrong, pakaian ternormalnya sejauh ini. "Kayaknya kalian sering bepergian."
"Itu dulu, waktu Richard masih bekerja di perusahaan otomotif. Dia sering ditugaskan ke luar untuk studi banding, dan dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk membawa serta keluarganya." Vivi gentian muncul di sebelah kanan Trista, sambil membawa mangkuk berisi salad. "Ayo ke garasi. Nanti ayamnya keburu dingin."
Seolah masih belum diizinkan 'puas' hanya dengan melihat foto misterius dua bocah di ruang keluarga, Trista dihadapkan kembali dengan pemandangan menakjubkan di garasi rumah keluarga Freewell. Garasi itu dulu sepertinya tidak dirancang untuk mobil yang besar, dan mengingat kombi milik Lucas ukurannya sudah lebih panjang dari ukuran semula dengan berbagai dekorasi tambahan pada bempernya, kombi itu sudah tidak muat lagi diparkir di dalam garasi. Belum lagi garasi itu sepertinya sudah beralih fungsi menjadi ruang keluarga kedua di rumah itu, dengan berbagai macam perabot diletakkan di dalamnya. Mungkin itu semua masih cukup normal, namun tidak bila menyertakan beberapa fakta berikut.
Garasi itu dicat SELURUHNYA dengan pola mosaik menakjubkan dalam beberapa warna; biru tua, biru, hijau, cokelat, dan putih. Dan terlihat warna hitam pekat menutupi beberapa sudut. Awalnya, saking terlalu terpana dengan semua itu, ditambah ada beberapa bagian dinding yang tertutupi perabot, Trista masih belum menyadari apa sesungguhnya arti dari warna-warna itu. Namun, setelah berhasil menerka, cengang Trista semakin menjadi-jadi.
"Betulkan jika aku salah, tapi apakah ini lukisan bumi?" Trista membelalak kagum ke seluruh ruangan.
"Yeah! Dan yang hitam itu angkasa. Bentuknya bulat persis, jadi bagian-bagian yang bukan-bumi kucat warna hitam." jelas Lucas, nampaknya lupa bahwa dirinya sedang berpura-pura idiot.
"Dan ini kerjaanmu?"
"Yup." Lucas menyahut bangga. "Semuanya sendirian."
"Simpan dulu kesombonganmu untuk nanti, kita makan dulu sekarang." Vivi membawa mangkuk salad ke tengah ruangan, tempat di mana satu lagi keajaiban ruangan ini berada.
Itu adalah sebuah meja ter-ajaib yang pernah ada. Meja itu dibuat dari bekas parabola mini. Warnanya putih, cekungannya menghadap ke atas, dan agar bisa difungsikan sebagai meja, bagian cekungannya ditutupi kaca bening, dengan lubang pada empat titik di tiap tepi agar pusat parabola-yang sudah sedikit dimodifikasi-tetap dapat menyembul keluar.
"Satelitnya." Lucas mendului Trista duduk di salah satu kursi-yang juga dicat warna putih, "Walaupun bukan satelit sungguhan."
"Wow." Trista terkagum-kagum.
"Jadi." Lucas memandang Trista dengan sorot menantang, "Apa kau siap menerima suguhan ekstra lezat buatan ibuku?"
Trista nyengir menatap cowok itu.
"Aku siap kapan saja!"
0
Yes. Perutku selalu siap menerima makanan enak.
Jangan lupa tinggalkan vote & comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro