part 4
Bagaimana kamu bisa membahagiakan orang lain jika kamu saja tidak bahagia..
Dewa tetap memasang wajah dingin ketika dia sudah kembali kerumahnya. Padahal biasanya dia tidak pernah berada dirumah pada siang hari seperti ini. Mood nya sudah tidak bagus karena pertemuan dengan perempuan itu tadi. Ditambah lagi dia harus melihat kehadiran dua orang yang sudah mulai mengacaukan hidupnya yang selalu tertata rapi.
"Dewa, kamu udah pulang?" Tanya nenek yang menatap aneh pada diri anaknya siang ini.
Tidak ada jawaban sedikitpun dari Dewa, dia malas berdebat saat kondisi panas seperti ini.
Langkahnya semakin cepat menuju tempat favoritenya dirumah, yaitu ruang kerjanya.
Ketika dia sudah masuk kedalam ruangan itu, dihempaskannya dengan kuat pintu kayu yang membatasi ruangan itu.
Ingin sekali dia mengumpat, mengeluarkan sumpah serapah. Tapi buat apa dia lakukan itu? Semua juga tidak akan ada yang tahu bagaimana rasanya diposisi dia saat ini.
Tubuh tegapnya berjalan menuju sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan halaman rumah besarnya. Namun saat kedua mata hitamnya melihat kearah garasi, tidak ada mobil itu disana.
Amarah yang tadi dia tahan semakin memuncak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Memaki semua orang sama saja menunjukkan tabiat buruknya.
Tok.. tok..
"Mas, kamu kenapa?"
Dewa memijit keningnya yang terasa sangat berat. Hidupnya sejak pertama mengenal perempuan itu hingga saat ini memang benar-benar selalu banyak cobaan.
"Mas, ibu boleh masuk kan?"
"Masuk aja bu.."
Perempuan tua itu tersenyum menatap punggung besar anaknya yang tengah menatap kearah luar jendela. Sebenarnya tanpa Dewa jelaskan, nenek sudah tau anaknya itu sedang ada masalah. Tapi lagi-lagi ego yang dimiliki Dewa terlalu tinggi, hingga dia tidak pernah mau untuk menceritakannya kepada siapapun.
"Kamu kenapa toh?"
"Dewa nggak papa bu, cuma lelah. Banyak kerjaan kantor" keluhnya.
"Yakin kamu? Tadi ibu denger dari Zaza dia lihat kamu di restaurant. Lagi ngapain kamu?"
Zaza sudah pulang? Batin Dewa.
Bukannya mobil Gill belum terparkir di garasi. Lantas mengapa gadis itu sudah kembali kerumah?
"Tadi Kasa anterin dia pulang dulu sebelum pamit pergi" jelas ibunya itu menjawab pemikirian Dewa.
"Mau kemana dia?" Tanya Dewa berbalik memandang ibunya itu.
"Dia bilang kangen sama mama nya"
Dewa menghembuskan napasnya lelah. Dia yakin pasti Gill tadi melihatnya bersama perempuan lain dan berpikir yang tidak-tidak dengannya. Padahal sudah jelas-jelas dia tidak ada hubungan apa-apa dengan perempuan lain diluar sana. Namun Gill seperti tidak percaya.
"Dia sudah besar mas, cobalah berdamai dengan dia. Seburuk apapun dia, Kasa tetap putera mu. Biar bagaimana pun ibunya, dia tetap anak yang terlahir dari rahim istri mu"
"Iya bu, Dewa tahu"
"Ya sudah, ibu tinggal dulu. Jangan pakai emosi dalam menyelesaikan masalah" Sekali lagi Dewa hanya mengangguk dan membiarkan ibunya keluar dari ruangan itu.
Ketika keadaan hening yang menemaninya, Dewa menarik sebuah kertas lalu menuliskan sebuah kalimat diatasnya.
Kau mampu membuat ku tersenyum lalu diimbangi dengan sebuah ketakutan..
Dalam sekejab banyangan itu kembali hadir. Dia takut akan terjatuh sekali lagi. Tapi apakah boleh dia berharap?
****
Zaza masih terus menggerutu tidak jelas. Dia tadi sudah begitu bahagia mendengar Gill akan mentraktirnya makan, namun entah karena apa Gill mengurungkan niatnya dan membawa Zaza kembali pulang.
Jelas saja gadis itu kesal bukan main. Seumur-umur hidupnya belum pernah sekalipun dia makan direstaurant mewah. Dan baru saja Gill memberikan harapan palsu untuknya.
"Benar kata ibu, pria itu selalu menjanjikan sesuatu yang membuat perempuan senang. Tapi setelah itu.. busss.. lupa akan segala janjinya" gumam Zaza pada dirinya sendiri.
Gadis itu tidak sadar jika sedari tadi dia tengah diperhatikan dalam-dalam oleh seseorang. Mata hitam itu terus saja mengunci pandangannya pada tubuh Zaza.
"AHHH.. BAPAK...!!!" teriak Zaza.
Dia kaget bukan main sewaktu membalik tubuhnya dan melihat Dewa yang tengah berdiri tak jauh dari hadapannya.
Hampir saja piring yang tengah dia cuci pecah berserakan. "Bapak bisanya buat kaget. Nanti kalau piringnya pecah saya yang ganti" kesal Zaza.
"Tadi kamu dari mana dengan Gill?"
"Kok bapak tahu? Wah.. bapak punya indera ke enam ya?"
Tidak ada rasa takut bagi Zaza untuk menatap Dewa tepat dimanik hitamnya. "Bapak keliatan lebih muda kalau wajahnya bersih kayak gitu" kekeh Zaza.
Kedua mata hitam Dewa membulat, gadis didepannya ini sudah membuatnya bertingkah tidak jelas. Mengapa dia mau-mau nya melakukan hal diluar kebiasaannya?
Selama ini Dewa tidak pernah memangkas bulu-bulu yang tumbuh dirahangnya. Paling dia hanya merapihkan bulu-bulu tersebut. Karena sesungguhnya dia selalu mengikuti sunnah rasul seperti mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, memasukkan air ke hidung (saat wudhu), memotong kuku, mencuci sendi-sendi jari tanggan, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut di sekitar kelamin, mencuci dengan air setelah buang air kecil.
"Pak... pak..." Zaza melambaikan tangannya didepan wajah Dewa. Ia bingung mengapa Dewa tiba-tiba saja diam mematung.
"Hm..maaf" Dewa merutuki suaranya yang berubah menjadi gugup. Tangannya hampir saja terulur merapihkan rambut-rambut yang menutupi wajah Zaza. Namun semua itu terhenti diudara karena dia ingat semua itu salah.
Tidak ada Allah menyarankan laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya saling menyentuh satu sama lain.
Astagfirullah al'adzim...
Dewa membalik tubuhnya lalu meninggalkan Zaza yang masih mengerjab-ngerjabkan kedua matanya karena bingung.
"Kok aneh sih..." gerutu Zaza.
Namun ketika dia berbalik untuk mencuci piring kembali, sudut bibirnya tersenyum senang. Ini kedua kalinya dia melihat wajah Dewa begitu dekat seperti tadi. Bahkan Zaza bisa mencium wangi tubuh laki-laki dewasa itu.
Pikiran nakal Zaza melayang kemana-mana, dia ingin tahu ada apa dibalik kemeja yang dipakai Dewa tadi. Sejujurnya dia ingin menyentuh kulit wajah yang Dewa yang baru saja di cukur rapih. Dan merasakan sensasi aneh itu.
Karena dulu ketika disekolah, dia hanya bisa menjadi pendengar yang baik ketika teman-temannya mulai menceritakan hal-hal yang mereka lakukan dengan pacar mereka. Sedangkan Zaza, tidak pernah ada satu pun laki-laki untuk mendekatinya.
"Kenapa kamu senyum-senyum?" Tanya nenek.
"Eh.. nenek. Bikin kaget aja"
"Nenek dari tadi disini loh, tapi kamunya masih asik senyum-senyum sendiri"
Zaza terkekeh geli, jangan-jangan nenek tahu apa yang tadi dia pikirkan.
"Dulu nenek waktu seumur mu juga begitu. Mengkhayal hal-hal yang belum pernah nenek tahu bagaimana rasanya. Apalagi kalau berhubungan dengan lawan jenis. Menurut nenek itu hal yang wajar. Tapi kamu harus ingat, jika Allah tidak menyukai kegiatan yang tidak berdampak positif pada diri kita"
"Maksud nenek?" Potong Zaza.
"Begini loh sayang, memangnya dengan kamu mengkhayal seperti tadi ada hal positif yang kamu dapatkan?"
Zaza menggeleng kuat hingga rambut bergelombangnya bergerak kekanan dan kiri.
"Bahkan Rasulullah pernah bersabda "Aku khawatir pada dua hal yang akan menimpa kalian kelak; (1) panjang angan-angan, dan (2) mengikuti hawa nafsu." Sesungguhnya angan-angan yang panjang bisa melupakan akhirat, dan mengikuti hawa nafsu dapat menghalangi datangnya kebenaran.
Zaza, nenek tanya sekarang apa kamu tidak malu dengan merasa membangun apa yang tidak kamu tempati! melamunkan apa yang tidak kamu dapati! dan mengumpulkan sesuatu yang tidak pernah kamu makan! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah membangun banyak, mengumpulkan banyak harta dan menghayal teramat jauh. Namun semua tempat yang dibangunnya hanya menjadi kuburan, lamunannya jadi tipuan dan harta yang dikumpulkannya menjadi kehancuran."
"Kok gitu nek?"
"Kamu tanya kok gitu? Masa kamu gak paham kenapa?"
"Abis Zaza bingung mendengar penjelasan nenek" akunya.
"Melakukan khayalan seperti itu berarti sama saja tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Sama saja memfokuskan dunia untuk mewujudkan apa yang kamu khayalkan tanpa memikirkan akhiratnya."
Zaza kembali terdiam. Benar juga apa yang dijelaskan nenek, batinnya. Karena jika dia pikirkan lagi tentang khayalannya tadi, pasti dia sekuat tenaga ingin mewujudkan khayalannya itu. Namun yang dia lewatkan adalah dosa besar yang telah dia buat.
"Ih.. serem.." ucapnya spontan.
"Serem kan. Kamu sekarang didunia bisa saja senang-senang berkhayal apapun yang kamu suka. Namun nanti diakhirat sana semua pasti diperhitungkan. Semua anggota tubuh mu akan di pertanyakan kebaikan apa yang sudah dilakukan."
"Nek, kok Zaza jadi takut ya.."
"Alhamdulillah, kamu masih punya rasa takut. Itu tandanya kamu masih memiliki iman. Cobalah untuk lebih dekat kepadaNya."
"Kepada siapa nek?"
"Tuhan.." jawab nenek sembari berlalu meninggalkan Zaza yang tersenyum salah tingkah. Dia pikir mendekat kepada laki-laki itu.
****
Cinta yang tersirat melalui kata..
Sadarkah kau tiada jarak diantara kita..
Hanya saja ada kata yang merayap perlahan..
Diantara sela leguh nafas kita..
Membaur memekati udara..
Menyelebungi keinginan kita satu sama lain..
Jangan katakan kau tak percaya mulut penyair..
Sementara aku tak pernah memahami cinta selain dengan kata..
Aku masih mencari diantara rintik hujan..
Arti sebuah jawaban..
Tentang cinta yang tersirat melalui kata..
Dewa menyandarkan tubuhnya pada kursi diruang kerjanya. Kedua matanya membaca ulang atas apa yang baru saja dia tulis diatas sebuah kertas, sebelumnya diatas kertas ini juga sudah terdapat tulisan darinya.
Dia tersenyum mengejek atas apa yang dia lakukan. Mengapa hanya pada kertas dia berani menuliskan atas apa yang dia rasakan.
Kemudian kertas itu ditempelkan pada sebuah mading diruangan itu. Diatas mading itu baru terdapat satu kertas yang baru kemarin dia tempelkan.
Masih atas nama yang sama.
Dewa tak habis pikir mengapa dia mau-maunya merangkai semua ini menjadi suatu yang baru dalam hidupnya. Dia memang tidak mau menghindar lagi, karena semua yang pernah dikatakan ibunya benar. Sekarang sudah saatnya dia bangkit.
Sudut bibirnya terangkat, berpikir mulai dari mana dia untuk memperbaiki semuanya.
Satu yang ada didalam pikirannya, hanya nama dia.
Buru-buru dia keluar untuk menemui seseorang yang akan membantunya kelak. Namun saat kakinya menginjak anak tangga terakhir matanya dibuat panas oleh sesuatu yang tak seharusnya dia lihat.
Dalam diam dia terus berjalan ke arah garasi belakang. Bukannya dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan dua orang itu, tapi dia tidak mau mencampuri. Anggap saja dia buta hingga tak melihat hal yang memalukan tadi.
"Pak Danu.."
"Iya pak.." Danu berjalan tergopoh-gopoh menghampiri bos nya itu. "Ada yang bisa dibantu pak...?"
Ketika dirinya sudah ditanya seperti ini dia tidak yakin menyampaikan maksud hatinya. Apalagi tadi dia harus melihat hal itu.
"Siapkan mobil, antarkan saya kebandara. Saya harus ke makassar"
Bodoh, runtuk Dewa.
Mengapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Semua kata yang sudah ada diotaknya tiba-tiba saja ancur.
Apa memang dia tidak boleh egois?
****
"Aduh.. sakit" keluh Zaza.
"Untuk pertama pasti sakit"
"Nanti berdarah gimana?" Tanya Zaza lagi.
"Tinggal diobatin.."
"Perih tau. Pelan-pelan tekannya" maki Zaza.
Nenek yang melewati ruang tamu langsung saja berhenti mendengarkan percakapan yang kurang lazim itu. Memang umurnya sudah tidak muda lagi, namun dia bisa mendengar dengan jelas itu suara siapa.
Karena takut akan hal negatif yang dilakukan kedua orang itu, nenek memastikan apa yang terjadi sebenarnya.
"Astagfirullah al'adzim.. nenek pikir kalian ngapain. Nenek jadi suudzon duluan jadinya"
Zaza dan Gill saling menatap bingung lalu melihat kearah datangnya nenek secara bersamaan.
Ditangan Zaza terdapat sebuah gitar yang tadi dibelikan oleh Gill. Ternyata gadis itu tengah diajarkan oleh Gill bermain gitar dengan baik.
Jari kecilnya ditekan Gill kuat-kuat diatas senar gitar yang berjajar rapih. Sampai buku-buku jari nya itu berubah menjadi merah karena ulah Gill.
"Emangnya kami kenapa nek?" Tanya Zaza.
"Makannya nek jangan selalu mikir negatif sama Gill. Beginilah orang yang selalu menilai orang lain dari sampul luarnya saja"
"Nenek gak begitu Kasa.."
"Masa? Buktinya tadi nenek sampai kaget gitu kan. Pasti mikir yang aneh-aneh."
"Emangnya nenek mikir apa?" Gadis itu bertanya kepada Gill karena dia merasa tidak paham dengan perkataan nenek.
"Tanyain aja sama nenek" kesal Gill.
"Nenek mikir kalian melakukan tindakan asusila di rumah ini"
"Apa? Ih.. nenek kok gitu" histeris Zaza.
"Tuh kan bener. Nenek selalu ngajarin Gill buat sholat dan inget Tuhan. Tapi nenek sendiri melakukan tindakan yang jauh dari diri seorang muslimah"
Kata-kata Gill sangat menyudutkan nenek. Dia tidak melawan apa yang dikatakan cucunya itu. Bukannya nenek takut, tapi apa yang dikatakan cucunya itu sama saja. Sama-sama menilai orang lain dari sampul luarnya saja.
"Gill..."
Suara besar dan tinggi mengintrupsi perdebatan antara cucu dan nenek. Laki-laki itu bertolak pinggang berdiri disamping sang nenek.
"Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti pernah mengalami penilaian-penilaian negatif dari orang lain. Kita selalu dianggap salah, padahal belum tentu salah. Kita sering dikritik, padahal belum tentu kita mempunyai kekurangan. Kita sering dinilai negatif, padahal belum tentu negatif.
Karena itu adalah hal wajar. Tidak selamanya yang baik itu dipuji, lalu tidak selamanya yang buruk itu dicemooh. Contohnya saja Nabi Muhammad, dia dikucilkan karena menyebarkan agama Islam. Tapi karena dia merasa melakukan hal yang benar, maka dia tidak pernah menyerah atau bahkan marah pada orang yang menilainya sebelah mata.
Melainkan beliau menunjukkan kepada semua umat jika Islam itu agama yang sempurna. Bukan bersikap seperti kamu, memaki balik orang yang menilai mu. Harusnya kamu berterima kasih karena mendapat komentar dari orang lain. Berarti ada orang yang peduli kepada mu. Dan cobalah memiliki sedikit sifat nabi"
Gill diam dan menunduk. Sudah lama sekali rasanya dia tidak mendengarkan nasihat dari ayahnya itu. Bukannya Gill tidak suka dinasihati, tapi antara dirinya dan Dewa seperti ada jurang pemisah.
"Begitu ya pak.." sahut Zaza. "Tapi aku dan mas Gill gak melakukan apapun. Kita cuma... mas Gill lagi kasih tahu aku cara main gitar" jelasnya.
Rasanya dia tidak enak jika memanggil nama Gill langsung. Bukannya dia disini hanya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
"Kami tidak butuh penjelasan dari mu. Tapi coba tanyakan pada hati mu yang paling dalam, berduaan dengan laki-laki apa itu tindakan yang benar atau tidak. Karena yang tahu itu baik atau buruknya kamu sendiri. Tapi bagi orang disekitar mu, mengingatkan untuk menjadi baik itu sebuah kewajiban"
Zaza ingin menjawab kata-kata Dewa, namun dia katupkan kembali bibirnya.
Melawan Dewa bukan dengan cara seperti itu. Laki-laki dewasa itu terlalu pintar.
"Tidak ada laki-laki dan perempuan yang bersahabat tanpa ada cinta diantara keduanya. Dan cinta pada orang yang bukan halal mu sama saja menabung dosa didunia.." ucap Dewa. Kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan mereka semua.
Suasana masih hening tidak ada yang berniat memulai suara kembali.
Hingga pada akhirnya...
"DEWA...."
Tubuh seorang wanita tepat berdiri didepan pintu masuk. Dua orang satpam nampak memegang tangan wanita itu yang meronta-ronta minta dilepaskan.
Pandangan mata nenek, Gill dan Zaza menatap tidak suka kearahnya.
"Hewan ragunan lepas dari kandang" ceplos Zaza begitu saja.
Bersambung...
Oh.. tidak.. monster mana tuh yang dateng???
Duh geregetan nih sama hubungan Zaza, Gill dan Dewa.. ngajak ribut banget.
Apalagi Dewa. Tarik ulur terus.
Dimulmed atas aku bawa yang jadi Dewa ya..
Kalo gak suka jangan dipake.. aku sih ngayalin di Dewa ya kayak gitu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro