part 1
Maafkan diriku membawa kisah baru..
Dilapak sebelah aku membuat cerita bersama sahabat ku pumpummaru dengan genre komedi-romantis..
Kalau ini religi-romantis..
Sebagian adalah pernah dialami seseorang di real.. tapi sebagian lagi adalah khayalan ku..
Semoga bisa dinikmati..
Nb : yg gak suka gak perlu paksa untuk membaca..
*****
Waktu memang tidak pernah mau dikalahkan oleh apapun. Tapi waktu tahu kapan harus mempertemukan jodoh kita..
Setelah sekian lama impiannya akhirnya terwujud pada siang ini. Kedua kakinya telah sampai menginjak ibu kota yang kata banyak orang kota yang paling menakutkan.
Kejam dan bisa menjerumuskan siapa saja. Tapi gadis ini tidak pernah gentar karena dia percaya restu ibunya selalu mengiringi langkah kakinya saat ini.
Peluh yang mengalir diwajah putihnya diseka berkali-kali. Ini sudah hampir satu jam dia menunggu disebuah terminal namun orang yang dia tunggu belum juga datang.
Rambut hitam bergelombang sudah diikatnya asal dengan karet gelang berwarna cokelat.
Ingin rasanya dia membeli sebotol air mineral untuk melepaskan dahaga namun lagi-lagi dia menahannya. Uang bekal dari ibunya dari kampung belum tentu cukup sampai ketempat tujuan. Karena itu lebih baik dia tidak minum dari pada dia harus tersesat di ibukota tanpa uang.
"Neng Zaza.."
"Pakde Danu..." sambutnya histeris.
Melihat orang yang ditunggu akhirnya datang membuat gadis yang bernama Zaza tersenyum senang.
"Maaf pakde telat jemputnya. Tadi nganterin si bapak dulu..."
Zaza mengangguk saja. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir tipisnya yang begitu ranum. Ditambah lesung pipi di sisi kanannya menambah manis gadis ini.
Dialah Zalika Mahira..
"Nanti pakde kasih tau kamu harus ngapain aja. Sementara ikutin aja apa yang disuruh sama si nyonya besar?"
"Iya pakde, aku paham kok"
Tas ransel miliknya dimasukan oleh pak Danu kedalam mobil SUV putih metalic yang terlihat sangat mahal dimata Zaza.
"Wah.. pakde. Kita naik ini?"
"Iya toh, emang mau naik apalagi?
Zaza terpesona melihat bentuk dalam mobil itu. Karena baru kali ini dia bisa naik mobil semewah ini. Biasanya hanya sebatas angkot saja dia harus memikir terlebih dahulu.
"Gimana kabar ibu dikampung?"
"Ibu baik. Dia restuin Zaza kekota karena pakde aja yang ngajak. Kalau nggak mah, Zaza nggak akan diijinin. Padahal kan Zaza udah lulus SMA."
"Emang kalau udah lulus SMA bisa seenaknya kemana-mana?" Nasihat pakde Danu yang usianya sudah lebih dari batas senja.
"Nggak juga sih..." lirih gadis itu.
Kedua pipinya digembung-gembungkan tanda tidak suka dengan nasihat pakdenya itu. Baginya selama dia bisa menjaga diri berarti dia telah dewasa dan bisa pergi kemana saja.
"Za, inget loh. Disana jangan macem-macem. Pakde gak mau kamu dinilai kurang sopan"
"Iya pakde.."
"Jangan iya-iya aja. Nurut. Kamu kan dititipin ibu mu sama pakde. Jadi jangan buat umur pakde berkurang"
Kening Zaza berlipat-lipat, apa iya sifatnya seburuk itu. Memang ibunya sering mengeluh dengan sifatnya yang terlalu manja kadang jahil yang sulit untuk Zaza hilangkan.
"Nah udah sampai..."
Seorang satpam membuka kan pintu gerbang berwarna hitam agar mobil itu bisa masuk kedalam sebuah rumah yang nampak sederhana namun begitu luas dan indah.
Nyaman. Kata itu yang pertama kali muncul di pikiran Zaza. Halaman yang begitu luas, bunga-bunga bermekaran, ada beberapa pohon besar yang menambah kesan asri untuk rumah ini.
"Ayo turun Za. Pakde kenalin sama semua orang.."
Zaza nampak salah tingkah ketika dia ingin melangkahkan keatas lantai granit yang begitu mengkilau.
Keren. Batin gadis itu.
"Pakde, ini rumah apa istana sih?"
"Ini rumah dong. Ayo cepet. Masuknya lewat belakang aja"
Pakde Danu menarik tangan Zaza untuk mengikutinya. Berkali-kali langkah kecilnya tersandung karena berjalan tidak hati-hati.
"Assalamu'alaikum.."
"Wa'alaikumsalam. Udah dateng pak?"
Cantik. Zaza tak berkedip melihatnya. Perempuan yang berdiri didepannya memang sudah tidak muda lagi, tapi aura kecantikannya begitu memikat mata yang melihat.
Gamis panjang dengan hijab polosnya menambah kesan muda diwajah senjanya.
"Duh cantik banget kamu" ucapnya spontan saat melihat wajah Zaza. "Pak, kamu nggak bilang punya keponakan cantik begini"
"Yah walau bukan anak kandung adik saya, tapi dia keponakan saya yang paling cantik"
"Nama kamu siapa sayang?"
"Zalika, bu."
Perempuan itu tertawa karena Zaza nampak takut saat bicara dengannya. "Jangan dipanggil ibu dong, panggil nenek aja. Kamu itu seumuran sama cucu saya yang bandel-bandel" kekehnya.
Zaza semakin bingung, ada perempuan seperti ini. Biasanya perempuan agak sensitif dengan umur. Karena itu Zaza lebih memilih memanggil ibu dari pada nenek. Tapi kenyataannya sungguh berbeda.
"Udah kamu anterin dia kekamar yang belakang itu. Deket kamarnya bibik.."
"Iya bu.."
"Psstt.. pakde.." Bisik Zaza. "Dia itu siapa sih?"
Pakde Danu tersenyum sekilas sebelum mengusap lembut rambut Zaza yang bergelombang. "Dia ibunya bapak Dewangga Bahuwirya, nyonya besar dirumah ini..."
Seketika Zaza menjadi takut mendengar kalimat nyonya besar..
****
Dia bingung harus memulai dari mana. Berdiam diri saja merasa salah, ingin ikut membantu juga salah. Masalahnya tidak ada instruksi sedikitpun apa yang harus dia kerjakan.
Sedangkan pakde nya sudah pergi entah kemana meninggalkan Zaza yang tidak tahu harus berbuat apa.
"Za, sini bantu nenek buat kue. Jangan diam saja.."
Dengan perlahan dia mendekat kearah perempuan yang mau dipanggil nenek. Namun setelah mendekat dia semakin bingung melihat begitu banyak bahan yang tersaji diatas meja.
Satu hal yang hanya dia tahu, hanya telur. Sisanya sulit dibedakan.
"Ambilin nenek baking powder.."
Diam. Dia membatin sendiri. Selama dikampung dulu dia jarang sekali memperhatikan ibunya memasak. Dia pernah bereksperimen mengenai bumbu-bumbu memasak. Dan akhirnya ibunya hampir keracunan dengan tumis kangkung sederhana yang dia masak.
"Kok diem?"
Tidak menjawab, Zaza yang tersenyum masam. Apa dia harus mengakui kekurangannya?
"Jangan malu. Kalau kamu belum tahu itu wajar, tidak ada orang yang terlahir langsung bisa berjalan. Semua butuh proses pembelajaran. Karena semua makhluk yang Allah ciptakan tidak ada yang bodoh. Yang ada hanya malas tidak ingin belajar"
Gadis itu tersenyum bahagia. Nenek ini begitu memahami isi hatinya. Bahkan tanpa perlu repot-repot Zaza ucapkan secara lisan.
"Dulu nenek juga begitu waktu seumur mu. Mana pernah memikirkan urusan dapur, mana pernah tahu apa nama bumbu ini dan itu. Tapi setelah nenek dewasa dan menikah, waktulah yang membantu nenek untuk mengenal semuanya"
AH, lagi-lagi yang bisa dilakukan Zaza hanya mengangguk.
"Kamu mau bantu coba untuk mengaduk kue ini?"
"Ya.." satu kata tapi bisa membuat si nenek tersenyum bahagia.
"Coba aduk hingga rata, pelan-pelan aja.." ujar nenek.
Dengan pelan Zaza menuruti semua yang dikatakan nenek. Ada sedikit rasa sedih dihati Zaza karena tiba-tiba saja dia mengingat ibunya dikampung.
"Loh.. loh.. loh.. kamu udah pulang Ka?"
"Iya nek..." jawab laki-laki muda itu sembari melangkah menuju kamarnya dilantai atas.
Zaza yang memperhatikan sekilas wajah laki-laki itu seperti mengenalnya tapi entah dimana.
"Good morning madam.."
"Ini udah siang Ray, kamu masih pagi aja..."
Orang yang dipanggil Ray tertawa senang dengan memasang wajah malu-malu.
"OMG, madam.. sindang siapa?"
"RAY.. stop !! Bicara yang bener" maki si nenek yang nampak tidak suka dengan gaya bahasa yang dipergunakan oleh Ray.
"Sorry deh madam, eike udah biasa begindang..."
Takut-takut dia memperhatikan wajah Zaza yang masih sibuk mengaduk adonan kue yang sudah nampak merata. "Wah, situ bisa buat kue?" Tanya Ray.
"Kamu lanjutin aja Za, orang kayak gini jangan di tanggapin. Laki-laki kok setengah mateng" kesal si nenek.
"Ya ampun madam, dari eike masih orok juga madam tau kan eike kayak apa" kekehnya dengan jari kelingking yang nampak naik.
Nenek memukul kuat jari kelingking Ray yang berdiri. "Turunin tuh jari"
"Ah madam nggak asik.."
Ray mendudukan diri didepan wajah Zaza yang tidak peduli dengan kehadirannya sedikit pun. "Neng, serius banget."
"Udah sana. Jangan diganggu nanti kalau gagal awas !!" Ancam nenek. Tapi Ray terlihat sangat tidak peduli dan terus memperhatikan wajah cantik dari Zaza.
"Ya deh madam. Eike keatas dulu"
Nenek semakin kesal mendengar gaya bicara Ray, padahal laki-laki itu normal namun karena pergaulan membuatnya menjadi seperti itu.
"Kamu jangan dengerin si Ray, dia emang begitu. Tapi begitu-begitu dia baik kok" jelasnya.
"Iya nek, dikampung banyak yang macem begitu cuma lebih butut" jujurnya.
"Kamu bisa aja.." kekehnya.
Hampir satu jam mereka sibuk membuat berbagai macam kue. Dari mulai kue brownies hingga kue kering untuk di masukan kedalam toples.
Zaza yang sudah mulai nyaman dengan nenek semakin keluar sifat aslinya. Kadang gadis itu mengucapkan sesuatu yang memancing gelak tawa perempuan lanjut usia itu.
"Nek.. "
Seorang laki-laki muda nampak diam melihat pemandangan didepannya. Gadis manis yang sedang sibuk menata kue-kue kering kedalam sebuah toples kristal.
"Maaf tuan. Nenek sedang menerima telepon.." jawab Zaza sopan.
Dia menjadi salah tingkah saat ini, ketika pandangan mata penuh cahaya itu memancarkan sinar untuknya.
Mata itu mirip sekali dengan ibunya, batin laki-laki itu.
"Come on Gill.." tepuk Ray yang berdiri dibelakangnya. "Eh, kenapa diem?"
Wajah Ray menatap Zaza dan laki-laki yang dia panggil Gill secara bergantian.
"Duluan kemobil.." perintah Gill.
Ray yang sedang malas berdebat memilih mengikuti saja kemauan sahabatnya itu.
"Angkasa..."
Laki-laki itu menoleh ke asal suara, disanalah neneknya tengah menatapnya tidak suka.
"Nenek udah bilang stop menjadi artis nggak karuan begitu. Memangnya apa yang kamu dapat dari menjadi artis? Pahala? Nggak kan !!! Lebih banyak dosa !!!" Makinya.
"Nek, siapa dia?"
Zaza mendadak takut dengan tatapan dingin laki-laki itu. Apa memang seperti itu caranya memandang seorang perempuan?
Dan tadi apa Zaza tidak salah dengar? Ternyata dia artis. Pantas saja Zaza nampak familiar dengan wajahnya.
"Kenapa tanya begitu? Bukannya kamu mau pergi, jadi nggak perlu tahu masalah dirumah"
"Nek.. Gill.."
"ANGKASA.. NOT GILL..!!" Potong nenek.
"Ok.. ok.. aku mau ada tour luar kota. Jadi please nek jangan berdebat"
"Angkasa Gilli Bahuwirya, kamu benar-benar keterlaluan !!! Nenek benar-benar nggak pernah pikir kamu bakalan seperti ini. Menjadi artis yang nggak tahu apa yang dicari !! Jika ketenaran yang kamu cari apa semua itu akan dibawa sampai mati? Apa malaikat akan bertanya tentang ketenaran mu didunia? Berpikir jangan hanya sampai didunia saja. Tapi diakhirat juga dipikirin. Bisanya cuma nyanyi nggak jelas begitu. Pelajarin tuh tilawah bukan nyanyi sampai suara serak !!!"
"Cukup nek !!!" Bentaknya.
"Nenek nggak akan pernah berhenti sampai kamu lelah !!! Kamu dan dia sama saja !!"
"Oke.. oke.. nenek boleh hina aku sepuasnya, tapi jangan hina ibuku !!!"
Laki-laki itu pergi melangkah keluar rumah dalam keadaan marah. Cukup sudah keributan dirinya dengan si nenek hari ini.
Dia memang bukan laki-laki baik, tapi dia sangat tidak suka jika ibunya ikut dituduh perempuan yang tidak benar.
"Za..."
"Ah.. iya nek."
"Kamu akan tahu seperti apa keadaan rumah ini yang sebenarnya" lirihnya sembari mengusap lembut rambut Zaza.
Harus mulai dari manakah dia untuk mengenal keluarga tempatnya mengabdi untuk bekerja?
****
Hari telah berganti, cuaca pagi ini begitu indah. Pagi-pagi sekali Zaza sudah sibuk dengan kegiatan barunya yaitu membantu pengurus kebun untuk menyiram dan bercocok tanam.
Dia tidak canggung melakukan itu, bahkan Zaza begitu senang bermain air sambil memberikan air pada tanaman-tanaman untuk bekal fotosintesis.
Tapi yang tidak Zaza tahu ada sepasang mata hitam yang menatapnya dari lantai atas. Semua gerak gerik Zaza tak luput dari tatapan tajamnya.
Baju Zaza yang sedikit basah membuat punggungnya nampak tercetak jelas. Kadang berkali-kali terangkat hingga tubuhnya yang putih bisa dinikmati siapa saja yang melihat.
"Bodoh..." gumamnya.
Tok.. tokk..
"Masuk..."
"Pagi pak, saya bawa beberapa list aset hotel yang kemarin baru saja dibeli"
"Letakkan saja disitu" ucapnya tegas.
Secangkir kopi dihisapnya dengan lembut sembari menikmati rasa pahit yang bercampur manis di lidah.
"Danu.." panggilnya.
"Iya pak.."
"Perempuan itu keponakan mu?"
"Iya pak, dia Zalika. Apa dia melakukan kesalahan?" Tanya pakde Danu yang ternyata seorang asisten pribadi dari laki-laki ini.
"Ada. Tolong suruh dia tutupi tubuhnya agar tidak ada yang melihat"
"Maksud bapak?"
"Tubuh seorang perempuan tidak pantas untuk dipamerkan layaknya sebuah dagangan."
Pak Danu mengangguk tanda dia mengerti. Sudah hampir 20 tahun dia bekerja sebagai asisten di keluarga ini. Dan dia tahu benar bagaimana karakter dari seorang Dewangga Bahuwirya.
"Terima kasih pak sudah mengingatkan"
Laki-laki itu hanya mengangguk sekilas lalu kembali fokus pada berkas-berkas yang tadi dibawakan oleh Danu.
Setelah keluar dari kamar pak Dewa, pakde Danu menghampiri keponakannya itu.
Pakde Danu memang membenarkan kata-kata bosnya tadi, karena baju yang dipakai oleh Zaza sudah basah hampir seluruhnya.
Bahkan kulit putih Zaza sudah terlihat jelas dibalik tshirt tipis yang dia pakai.
"Za..."
"Pakde... kemana aja. Zaza ditinggalin gitu aja" rengeknya.
"Kamu itu nggak bisa dibilangin. Pakde kan udah bilang, jaga sikap"
"Emang Zaza salah apa sih?"
Mata cokelatnya nampak bingung menatap laki-laki tua didepannya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan, tapi mengapa dia ditegur oleh pakdenya itu.
"Besok-besok baju tipis begini jangan dipakai"
"Ini tuh masih bagus tau. Ya walau warnanya udah pudar" kekehnya.
Zaza sama sekali tidak takut ketika dimarahi, dia tidak ambil pusing dengan amarah dari pakde Danu.
"Pokoknya pakde nggak mau ngeliat kamu pakai baju yang begini lagi. Kamu tahu kan perempuan itu pakai bajunya yang bener kalau nggak mau dihinggapi lalat terus belatungan.."
"Ih.. pakde.. serem banget"
"Karena itu, pakai yang lebih sopan. Malu sama si nyonya, dia bajunya tertutup masa kamu begini.."
"Tapi..."cicitnya.
"Tapi kenapa lagi?"
Tubuh kecilnya berjinjit-jinjit agar bisa mencapai telinga dari pakde Danu.. "Aku nggak punya baju yang kayak nenek..." bisiknya.
"Kalau belum punya, mau pakde pinjemin?" Goda pakde Danu sambil tersenyum jenaka.
"Pakde punya baju yang begitu?"
Zaza begitu antusias mendengarnya. Sejak datang kemarin memang dia sudah tertarik dengan pakaian yang dipakai oleh nenek.
Nenek yang sudah berumur saja bisa terlihat muda dengan pakaian itu, apalagi dirinya. Pikir Zaza.
"Bukan baju begitu, tapi kain sarung " kekeh pakde.
"Pakde..." histerisnya.
Zaza kesal dibuat oleh pakdenya itu. Dia pikir pakde Danu serius mau meminjamkan baju yang seperti nenek pakai. Tapi ternyata semua itu hanya menjadi bahan lelucon.
Dia juga ingin cantik sama seperti nenek itu, tapi apa daya dia tidak punya baju yang indah. Semua baju yang dia bawa dari kampung hanya sebatas celana pendek dan tshirt yang telah usang.
Sungguh malang nasibnya..
Terkadang mereka enak dipandang seperti kupu-kupu, namun tak jarang garang layaknya lebah yang menyengat (itulah wanita)...
Bersambung..
Gimana? Baru part satu..
Tapi mudah-mudahan suka..
Aku bawakan yang beda. Dan mudah-mudahan tidak ketebak jalan ceritanya.. whakakaa..
Serius.. ini udah jauh-jauh dari karakter al kahfi series.. hehee..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro