Enigma
Levi Ackerman mendongak.
Pada Selazar tak terbatas, ia melihat taburan bintang-bintang tak terhitung memeluknya. Mendekap. Menghujani ia dengan harapan akan keindahan. Mereka berupa-rupa ukuran. Menyala, kerlipnya membias di mata kelabunya yang sudah lelah, letih.
Tapi bukan itu tempatnya terpaku.
Di sini sangat sepi. Tanahnya licin berpasir. Permukaannya halus tanpa kerikil. Persis di atasnya suatu benda bercahaya paling terang—paling agung, tak acuh akan ia yang telanjang bulat di bawahnya macam bayi baru lahir. Ia berbentuk trisula cantik. Gagangnya yang juntai memanjang indah hingga Utara. Ekornya tak terlihat. Ia diwujud oleh sebuah koordinat abadi di zaman ini. Mereka akan kembali pada sebuah empu yang mereka menyebutnya; Sang Koordinat.
Di sini. Adalah tempat transit manusia bosan hidup.
Oleh-oleh dari dunia ialah segaris garis melintang dari kening hingga mencapai bawah bibir sebelah kanan, melindas matanya tanpa ampun. Luka-luka goresan permanen di pipi-pipi, tapi ia sudah tak peduli. Tugasnya sudah selesai.
"Yo, sudah lama di sini?" tanya sebuah suara.
Ia tak perlu berbalik. Ia sudah tak peduli. "Ya, lumayan."
Ada seorang gadis kecil penimba sumur berpakaian lusuh, tak terlihat wajahnya, menangkup sebuah ember kayu. Ia hanya memerhatikan, tidak mendekat. Levi menebak—mungkin ia yang disebut-sebut Malaikat Maut. Ternyata tidak seburuk itu.
"Kenapa?" Paradoks.
Ajaibnya Levi mengerti. "Terlempar oleh sesuatu atau—entahlah," kata Levi. "Tapi di sini tidaklah terlalu buruk. Kau tidak perlu hidup kesulitan lagi, karena sekarang sudah terserah denganmu. Kalau kau? Kenapa?" Ia menengok—
"Oh, kalau aku mungkin sudah tak diberikan waktu. Tapi—"
Mata Levi membulat.
Ia mengenalinya sekali lihat. Postur tubuh, suaranya—
"—kalau aku sudah di sini, bukankah artinya aku sudah bebas?"
.
.
.
"World is cruel, but also beautiful."
.
.
"But if you thought that isn't enough, a most beautiful place is waiting for you."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro