Guilty Smile
Bulan baru saja muncul, bersamaan dengan (name) yang keluar dari Agensi Detektif Bersenjata, beranjak untuk mengistirahatkan otak yang telah banyak berpikir dan mengistirahatkan telinganya mendengar pertengkaran Dazai dan Kunikida.
Bisa dibilang hari ini adalah hari tersialnya selama bekerja sebagai sekretaris yang juga terkadang merangkap sebagai asisten Edogawa Ranpo.
(name) kembali mengingat kejadian hari ini. Datang dengan disambut ocehan Kunikida, memecahkan beberapa gelas, menumpahkan kopi diatas proposal yang telah Kunikida kerjakan, dan menjalani misi sebagai asisten Ranpo yang tengah bermood jelek.
'Masih bisakah hari ini menjadi lebih buruk?'
Langkah demi langkah ia lalui dengan gontai serta kepala yang menunduk, mengabaikan penghuni langit yang memancarkan keindahan sempurna.
(name) mulai mendongakkan kepalanya dan menatap sekeliling, kini ia telah sampai di daerah pertokoan.
Matanya menatap toko toko baju dan toko toko kue berjejer dengan rapih menunggu seseorang memasukinya.
Matanya berkeliling hingga menemukan hal yang benar benar mengerikan.
Kekasihnya, Nakahara Chuuya tengah berdiri beberapa meter didepannya. Ia tak hanya sendiri, namun bersama dengan wanita yang terlihat serba lebih sempurna dari (name).
Mungkin terdengar wajar. Namun hal selanjutnya membuat (name) tak dapat bergerak dari tempatnya.
Chuuya mengecup wanita itu, didepannya umum, didepan matanya.
Tak ingatkah Chuuya jika telah memiliki kekasih? Masihkah? Atau selama ini Chuuya tak pernah menganggap (name).
'Apa apaan ini?!' batin (name)
Mata (name) tak lepas menatap dua insan yang tengah menautkan bibir didepannya.
Sakit? Bukan hanya itu, hatinya remuk. Tidak, lebih dari itu. hatinya menghilang entah kemana.
Beberapa detik terlewati dan merekapun melepas pangutan bibir. Sang wanita langsung menunduk, malu. Sedangkan Chuuya menatap sekeliling hingga matanya bertemu dengan (name) yang tengah menatapnya dengan mata berkaca kaca.
Chuuya masih menatap (name) dengan wajah terkejutnya hingga (name) menitikan airmata.
Pandangan (name) mengabur Namun masih tetap menatap sang penghianat. Saat itu juga dengan penglihatan samar, (name) melihat Chuuya tersenyum. Tersenyum getir. Penuh penyesalan.
(name) pun mundur beberapa langkah dan mulai berlari. Ia berlari menyusuri pertokoan dan bertemu dengan lampu penyerangan jalan.
'Ternyata hari ini masih bisa menjadi lebih buruk.' batin (name) sembari menyebrangi jalan yang sepi.
Tepat saat itu juga sebuah sinar menyinari (name) dari samping. Refleks ia berhenti dan menghalangi cahaya itu dengan tangannya.
Sebuah mobil melaju dengan cepat menujunya. (name) dapat melihat itu dari sela sela jarinya.
'Chuuya.' batin (name) bersamaan dengan dua suara benturan yang sangat keras. Sedetik kemudian ia mendengar jeritan banyak orang serta langit yang bertabur bintang diatasnya. Namun sedetik kemudian semua hening dan menjadi gelap.
***
"...iklah, saya permisi."
Suara seorang wanita, bau obat obatan, serta tangannya yang hangat.
Hal itulah yang pertama kali (name) rasakan sebelum membuka matanya di dalam ruangan serba putih.
Matanya menyisir sekeliling, hingga menangkap sosok pria dengan rambut senja bertahtakan topi hitam menatapnya lekat. Matanya turun dan menemukan tangannya yang tengah berada dalam genggaman sang pria.
Pria itu berdiri kemudian menekan tombol di atas ranjang.
(name) masih memandang dengan bingung. "Kau... " sang pria menatap (name). "...siapa?"
Seketika itu juga sang pria menghentikan gerakannya, bahkan mungkin napasnya pun ikut tersendat.
Pintu terbuka, menghapus keheningan yang sempat tercipta. Masuklah seorang pria berjas putih dengan ditemani dua wanita berseragam putih, mengecek keadaan (name).
"Sensei," sang dokter menatap pria bersurai senja itu. "Ada apa dengan (name)?" seketika (name) kaget kala sang pria tahu namanya.
"Memangnya ada apa?" tanya sang Dokter bingung.
"Dia... " menatap (name). "Tidak mengenaliku."
sang dokter beralih pada (name). "Nona, nama anda?
"(name)."
"Pekerjaan?"
"Asisten Edogawa Rampo dan sekretaris di Agensi Detektif Bersenjata."
"Nona kenal pria ini?" menatap sang pria, (name) hanya menggeleng, membuat sang pria terlihat kecewa. Sang dokterpun menggeleng.
"Tuan," kata sang dokter. "Nona (name) mengalami trauma, hingga memori beberapa bulan terakhirnya menghilang."
"Apakah ini..."
"Ini hanya sementara," potong sang dokter. "Seiring waktu ingatan nona (name) akan kembali normal."
setelah mengucapkan hal itu sang dokter permisi untuk memeriksa pasien yang lain dan meninggalkan (name) dengan pria lain.
Sang pria berdehem, mengambil alih perhatian (name).
"(name)," kata sang pria. "Mari mulai kembali dari perkenalan." lanjutnya dan mengulurkan tangannya. "Nakahara Chuuya."
***
Sudah tiga minggu sejak (name) keluar dari rumah sakit. Sejak saat itu juga (name) selalu bersama dengan Chuuya.
(name) bertanya apapun dari A-Z pada Chuuya. Namun hanya satu pertanyaan yang belum terjawab.
"Chuuya," tanya (name) yang kini telah memanggil sang pria asing dengan nama kecilnya. "Sebenarnya kita memiliki hubungan apa?"
Chuuya yang mendengarnya pun terkejut. Alih alih menjawab Chuuya hanya tersenyum.
'Senyum itu!' pekik (name) dalam hati.
Semua terlihat berputar, dunia seakan berguncang, kepalanya sangat sangat sakit, seakan terhantam benda tumpul.
'Apa ini?!' batin (name)
Entah mengapa (name) merasa senyum yang ditampakkan Chuuya barusan pernah ia lihat.
"Kau tak apa?" tanya Chuuya khawatir saat melihat (name) yang seketika mencari penopang alternatif.
"Tak apa," jawab (name) lemah. "Hanya sedikit pusing." (name)pun kembali menatap Chuuya heran kala sang pria membantunya duduk.
(name) sekilas teringat sesuatu. Tapi ia tak tahu ingatan tentang Apa itu. Seketika ia merasa sangat kesal.
'Aku yakin ingatan ini sangat penting. Tapi mengapa aku tak dapat mengingatnya?!'
Semakin (name) mengingat semakin berdenyut pula kepalanya.
***
Malam ini, malam dengan langit yang memancarkan keindahan yang sempurna, malam ini juga Chuuya mengajaknya makan malam.
(name) yang mendapat kabar itu dari pesan singkat sang pria merasa senang.
walau ia tak tahu apa hubungan mereka, entah mengapa ia merasa senang, seakan ini merupakan sebuah permintaan maaf yang entah untuk apa permintaan maaf itu.
Baru sebentar ia merasa senang, senyum getir yang sebelumnya di tampakkan Chuuya kembali mengisi pikirannya.
Ia yakin pernah melihat sebuah senyum seperti itu, namun ia masih belum bisa mengingat dimana dan kapan ia melihatnya.
Semakin (name) memikirkan tentang senyum itu, kepalanya kembali berdenyut. dengan itupun ia menghempaskan pemikiran itu. Tak ingin membuat makan malamnya kacau hanya Karna rasa sakit tak berguna itu.
Suara pintu diketuk membuyarkan keheningan di ruangan sang gadis. Dengan segera ia membuka pintu dan menemukan Chuuya yang berdiri membelakanginya.
Setelah menutup pintu, (name) pun berjalan kearah Chuuya dan memulai perjalanan menuju restoran yang mereka tuju.
"Kita akan kemana?" tanya (name) membuka percakapan.
Chuuya tersenyum, kali ini senyum lembut yang terpancar. "Tempat biasa kita makan malam." ucap Chuuya memaksa otak (name) kembali menggali ingatannya. Namun gagal.
Setelah sampai di area pertokoan, Chuuya bethenti di depan restoran prancis tepat didekat lampu penyebrangan jalan
Mata (name) berkeliling, menatap zebra cross. Ia merasa Kenal dengan jalan itu, kemudian mendongak dan menemukan langit yang indah, membuatnya teringat perasaan aneh.
Dingin dan langit yang indah sempurna.
"(name)," (name) mengalihkan perhatiannya pada Chuuya. "Perkenalkan..."
(name) menatap wanita didepannya. kali ini ia juga merasa pernah bertemu dengannya.
Wanita itu serba lebih sempurna dari (name) membuat hatinya sakit.
"...tunanganku." (name) tersentak.
(name) menatap Chuuya dengan pandangan kabur, entah mengapa hatinya sakit dan refleks menitikan air mata.
Seketika kepala (name) kembali berdenyut, napasnya tak teratur, tubuhnya lemas, batinnya menjerit kesakitan.
Seiring bertambah kuatnya rasa itu, sebuah kilas balik datang layaknya potongan potongan role film. Ingatan itu sedikit demi sedikit menyatu dan merangkai kejadian kelam di malam yang sempurna.
"Chuuya..." air matanya tak kunjung berhenti, bahkan kini semakin deras mengalir di pipi mulusnya, kala ia tahu apa yang pernah terjadi
"Maaf," kata Chuuya dengan wajah yang lagi lagi menampakkan senyum getir.
"Aku sebenarnya ingin mengatakan hal ini saat kau berada di rumah. Namun takdir membuat skenario sendiri."
(name) membekap mulutnya, tak kuasa menahan isakan.
"Chuuya..." kemudian menggeleng, membuat air mata yang jatuh layaknya kerlipan bintang dilangit. "Ku pikir kau akan mengejarku dan menjelaskan semuanya malam itu."
(name) menatap sang wanita. "Tapi bahkan, saat ingatanku kembali aku tak mendapat hal yang kuharapkan." ucapnya dengan sesenggukan dan air mata yang masih terus mengalir. "Sebaliknya, aku mendapat hal yang tak pernah kubayangkan."
Chuuya menatap (name) dengan tatapan bersalahnya, namun tak mengucap satu katapun.
"Ku kira kau mencintaiku sebesar aku mencintaimu," ucap (name) dengan nada bergetarnya.
(name) menampakkan wajah frustasinya dan menyeka air mata dengan kasar.
"Bahkan mungkin kau tak pernah mencintaiku." ucapnya baru tersadar akan hal itu.
Chuuya diam di tempatnya, tak berbicara apapun, tak menyangkal apapun, membiarkan (name) mengeluarkan perasan terluka karnanya.
"Aku..." air mata kembali jatuh. "Aku..." (name) mundur perlahan.
"(n- name)..." panggil Chuuya dengan lembut namun lagi lagi berhenti, (name) pun berbalik dan meninggalkan Chuuya yang masih terus memanggilnya.
(name) terus berlari tanpa perduli dengan panggilan Chuuya dan tatapan orang lain. Kali ini yang ada dipikirkannya hanya pergi. Pergi manjauh!
Chuuya mengikuti dari belakang, otomatis (name) pun mempercepat larinya.
Tak berlangsung lama, langkah (name) terhenti tepat di tengah penyerangan jalan karna sebuah sinar yang membalut tubuhnya.
Ia tak dapat berbuat banyak, hanya menutupi mata dengan tangannya.
(name) mengintip asal sinar itu melalui sela sela jarinya. Mobil! Saat itu juga kakinya lemas.
(name) menengok ke belakang, mendapati Chuuya yang berlari dengan wajah panik, sebelum akhirnya (name) mendengar dua benturan yang sangat keras.
(name) merasa ada cairan menggenang di beberapa bagian tubuhnya, terutama kepala. Iapun membuka matanya dengan susah payah dan mendapati langit berbintang seakan tersenyum sendu. Sedetik kemudian pemandangan itu di gantikan dengan wajah cemas Chuuya.
(name) tersenyum lemah. "Chuuya..." ucapnya dengan susah payah.
tangan mungilnya ia ulurkan mencoba menggapai wajah Chuuya. "...Aku mencintai..."
Berlum sempat (name) menggapai Chuuya dan menyelesaikan kalimat, tenaganya seketika hilang terbawa angin malam.
Semua menjadi hitam, semua senyap. Tak ada lagi langit berbintang, tak ada lagi senyum sendu Chuuya. Semua itu hanya akan menjadi kenangan pahit yang akan selalu ia bawa.
'Selamat tinggal, Chuuya.'- (name)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro