Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5

Suara gesekan benang terdengar dengan jelas di ruangan itu. Banyak jenis dan warna benang berada di tempatnya. Hening yang nyaman merajalela di ruangan itu. Tapi hal itu tidak berlangsung lama saat si bungsu Kim mulai mengeluh.

"Aku lebih baik melakukan hal itu saja." Protes Somi pada neneknya. Tangannya yang sedang merapikan benang kembali ke tempatnya berhenti. Dia menatap neneknya dengan harap. "Kau masih belum siap, Somi. Dengarkan suara benangnya. Saat kau terus membelit seperti itu, emosi akhirnya akan mengalir di antara kau dan benangnha." Tutur nenek Kim dengan lembut tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.

"Huft... Benang tidak berbicara." Gumam Somi setelah mendengar ceramahan neneknya tadi. So Eun yang tidak tahan dengan kelakuan adiknya, memilih mengikuti percakapan mereka. "Maksud nenek itu 'konsentrasi'." Ucap So Eun pada akhirnya.

"Sejarah Itomori selama seribu tahun terukir di tali kepang kita. Dengarkan. Dua ratus tahun yang lalu..." Nenek Kim memulai dongengnya. "Dia mulai lagi." Gumam So Eun pada diri sendiri sambil sedikit tersenyum geli.

"... Kamar mandi pembuat sandal Jung terbakar dan membakar seluruh area ini. Kuil dan dokumen lama hancur. Dan hal ini dikenal sebagai..." Dongeng nenek Kim dipotong oleh So Eun. "Kebakaran besar Jung." Lengkap So Eun untuk dongeng nenek Kim. Nenek Kim hanya menaikkan kacamatanya. Sedangkan Somi nampak penasaran pada sesuatu.

"Di api ada namanya? Kasihan sekali si Jung itu." Ucap Somi, matanya menatap kebawah. "Jadi makna festival kita menjadi tidak diketahui dan hanya bentuknya saja yang hidup. Tapi bahkan jika kata-kata hilang, tradisi tetap harus diturunkan. Itulah tugas penting yang kita miliki di Kuil Kim." Tutur nenek Kim. Dia menjeda perkataannya lalu menghela nafas berat.

"Tapi si menantu bodoh itu... Seolah meninggalkan imamat Dosimgwa dan rumah ini tidak cukup, sekarang politik?! Dia benar-benar tidak bisa diharapkan." Tambah nenek Kim. Setelah itu, mereka menuntaskan tugas masing-masing.

*Di rumah Siwon*

"Ini minumlah lagi." Ucap seorang pria. Aroma soju cukup menyengat di tempat itu. Suara tuangan soju terdengar mendominasi. "Aku mengandalkan bantuanmu lagi." Ucap pria tadi dengan senyum yang terlihat sedikit licik itu menghiasi wajahnya yang sudah berkerut. Menandakan bahwa dia sudah berumur.

"Serahkan saja itu padaku. Kau akan mendapatkan suara dari Distrik Kabogshi dan Jeongjwa." Ucap pria yang satunya. Dia mengangkat gelasnya sebagai tanda hormat lalu meminumnya lagi. Wajahnya merona merah yang berarti dia sudah cukup mabuk.

Sedangkan itu, Siwon yang berada di ruang kamarnya -yang berhadapan langsung dengan ruang makan. Tempat dimana pria-pria paruh baya tadi mabuk- hanya menatap ke arah mereka dengan wajah aku-sudah-tahu-hal-ini-akan-terjadi. "Aku mencium bau-bau korupsi." Gumamnya sambil meminum segelas soda miliknya.

Tiba-tiba ayah Siwon datang dan berlalu untuk pergi ke kamar mandi. "Siwon, bekerjalah di lokasi akhir pekan ini. Belajarlah cara menggunakan peledak." Ucap ayah Siwon sembari berjalan menuju ke kamar.

"Hn" Gumam Siwon sebagai jawaban, yang kita tahu hal itu cukup tidak sopan untuk diucapkan kepada orang tua. "Aku tidak bisa mendengarmu!" Teriak ayah Siwon dengan suara serak khas orang mabuk.

"Ne!" Teriak Siwon tanpa repot-repot untuk mengalihkan perhatiannya dari meja. Entah bagaimana bisa, menatap meja itu seakan menjadi lebih menarik daripada wajah ayahnya.

*sreet*

Suara pintu kayu yang digeser terdengar dengan jelas. Siwon berjalan menuju balkon rumahnya. Mencoba mencari udara segar sembari memandangi keindahan alam yang tersuguh di depannya. Matanya menatap sesuatu di luar sana. Pikirannya merenungkan tentang dirinya dan orang lain.

"Kita berdua memiliki yang sulit, bukan?" Gumamnya pelan. Matanya masih menatap lekat keluar sana.

*Kuil*

Di panggung kecil di dekat kuil, So Eun dan Somi mengadakan upacara seperti biasanya. Mereka berdua menggenakan hanbok sebagai pakaian mereka. Dan sebuah mahkota di kepala mereka masing-masing. Mereka mulai menari dengan anggun dan cantik. Rambut mereka, mereka ikat manjadi satu di bagian bawah dengan pita putih sebagai hiasan. Sedangkan untuk musiknya, mereka memainkannya dari kaset radio.

"Apa dia Somi? Dia sudah tumbuh ya." Bisik salah seorang penonton lelaki pada perempuan di sampingnya. Hanya ada sekitar lima belas orang yang menonton tradisi upacara ini. "Mereka berdua sangat cantik seperti ibu mereka ya." Balas sang wanita.

Yoona melihat sendirian di bagian tepi panggung. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Siwon berjalan pelan menuju Yoona. "Yak." Sapa Siwon. "Hey." Balas Yoona. Mereka lalu melihat dari tepi sambil bersampingan.

Nenek Kim sendiri melihat di bagian atas panggung yang tidak terlihat. Dia duduk dengan tenang sambil menyaksikan kedua cucu kesayangannya melakukan tradisi yang sangat ia puja.

So Eun dan Somi berhenti menari. Mereka lalu duduk dan membuka plastik kertas yang membungkus nasi itu dengan pelan. Dia atas meja yang sangat kecil, telah disediakan nasi untuk upacara mereka. Mereka mengambil nasi itu dengan anggun, lalu mengunyahnya.

"Itu adalah cara membuat soju paling tua di dunia. Dengan mengunyah nasi, mengeluarkannya, lalu membiarkannya berfermentasi, maka itu akan menjadi alkohol." Jelas Siwon sambil menatap lekat pada So Eun yang tengah melakukan hak yang dia jelaskan tersebut.

"'Ib ssibneun sul'. Apa Dewa mengapresiasi soju yang dibuat dengan cara seperti itu?" Tanya Yoona dengan ragu. "Tentu saja mereka mengapresiasi hal itu." Potong Siwon dengan lantang.

Lalu datanglah dua orang wanita dan seorang lelaki, yang tak lain adalah Dong Shuu dengan kedua teman -budaknya-. "Yak, lihatlah. Itu So Eun." Ucapnya dengan nada mencemooh seperti biasa. Setiap kata yang diucapkannya seperti mengandung racun. Tajam, dan menusuk hati. Dia sangat berbakat dalam urusan menghina orang lain.

So Eun sendiri, menutup mata dan mengeluarkan nasi yang sudah dia kunyah menjadi cair ke dalam wadah kotak kecil yang terbuat dari kayu. "Eww! Aku tidak akan pernah melakukan hal itu!" Ucap gadis berkuncir satu. Sedangkaj gadis disebelahnya mengangguk dan meletakkan tangan kirinya di mulutnya. Menandakan kalau dia jijik.

"Tidakkah dia malu?" Ejek gadis yang surainya dibiarkan tergerai. "Tidak bisa dipercaya." Tambah si kuncir satu. So Eun yang mendengar hal itu, tetap mencoba untuk fokus pada upacaranya dan menulikan telinganya dari ejekan-ejekan tersebut.

Mereka -So Eun dan Somi- lalu menutup kotak tersebut dengan kain, dan melilitkan benang merah sebagai simpulnya.

*Selesai upacara*

"Semangatlah, Unnie. Siapa yang peduli bila beberapa teman sekolahmu melihatmu?" Ucap Somi mencoba mengembalikan suasana hati So Eun yang sedari tadi terus murung. Mereka berjalan berdampingan menuju rumah sambil membawa buntelan kain yang berisi pakaian dan soju mereka.

"Aku iri dengan rasa kurang pedulimu." Ucap So Eun dengan nada bergurau. "Oh benar juga! Kenapa kita tidak menjual ib ssibneun sul dan menggunakan uangnya untuk pergi ke Seoul?" Usul Somi yang terdengar hebat bagi dirinya, namun terdengar aneh bagi So Eun.

"Benar-benar. Kau ini dapat ide darimana sih?" Tanya So Eun tidak percaya dengan jalan fikir adiknya. Mereka berjalan menuruni tangga yang sangat panjang. "Jual mereka dengan foto-foto dan membuat video. Lalu kita namakan 'Soju Gadis Kuil'. Kita pasti akan menghasilkan banyak uang!" Tambah Somi, pembicaraan mereka nampaknya semakin ngawur saja.

So Eun membayangkan dirinya memakai hanbok dengan membawa ib ssibneun sul di tangannya dengan lidah yang terjulur keluar dengan pose imut. "Tidak boleh! Itu melanggar Undang-Undang Pajak Minuman Keras!" Ucap So Eun dengan wajah merona merah.

Dia langsung mempercepat langkahnya dan berlari menuju ujung bawah tangga. Meninggalkan Somi yang geleng-geleng dengan kelakuan kakaknya. Menurutnya kakaknya itu aneh. Padahal dia belum tahu saja, yang dia katakan itu sangat menggelikan.

Begitu sampai di ujung tangga. So Eun berhenti dan menatap sebentar pemandangan di depannya. "Aku benci kota ini! Aku benci hidup ini! Tolong berikan aku pria tampan dari Seoul untuk kehidupanku yang selanjutnya!!" Teriaknya di sana. Suaranya menggema ke penjuru kota. Beruntungnya, hal itu tidak membuat penduduk kota yang terlelap, menjadi terbangun karena suara teriakan cemprengnya.

"Betapa bodohnya..." Gumam Somi sambil berjalan pelan menuju kakak tunggalnya itu.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro