"Gue kangen Mira, gimana ya kabar dia?" celetuk Ran.
Koko dan Kakucho saling melirik.
"Udah, nggak usah aneh-aneh, Ran." Kakucho membuka suara. Pria itu menyodorkan sebungkus rokok kretek ilegal dengan bermacam komposisi di dalamnya.
"Lo nggak tau sih rasanya nahan rindu kayak gimana?" tanya Ran.
"Mendadak jadi anak senja lo, ketularan bucin kayak si Sanzu ya," sindir Koko.
"Cih, nggak usah samain gue kayak orang sinting itu," ujarnya. "Minggu depan adem ayem kan gak ada kerjaan? gue mau cari tau soal Mira deh."
Ran bergegas dengan kunci mobilnya, orang-orang yang ditinggalkan hanya kembali saling melirik.
"Kakak lo beneran belum tau apa-apa, Rin?"
Rindou menghela napas panjang. "Gue bingung, kalo dia tau, urusannya bakal jadi kayak gimana."
Di tengah obrolan itu, diam-diam ada seseorang yang menyembunyikan senyum miringnya. Seseorang yang terlihat puas dengan situasi yang bisa dimanfaatkannya.
•••
"Dia siapa sih?" tanya seorang pria pendek terhadap rekannya. Hari ini adalah perayaan hari didirikannya geng Brahman, setiap tahun mereka memang rutin melakukan kegiatan tersebut.
"Gak tau, bos yang bawa ke sini. Dengar-dengar sih pacar kakaknya yang anak Bonten itu." Pria yang ditanyai menjawab demikian.
"Yang mana ege, kakak bos dua-duanya kan di Bonten semua."
"Si nomor 2."
"Gila!!!"
Akhir-akhir ini Senju memang sering membawa Kuina ke pertemuan Brahman, menurutnya itu bukan hal yang dapat memicu pertikaian. Namun ternyata, tanpa sepengetahuan Senju justru Kuina sudah mendapatkan hal-hal yang kurang mengenakkan dari beberapa anggotanya.
Salah satunya, lontaran verbal yang seakan menolak kehadiran gadis itu.
"Gue nggak mau berurusan sama mereka." Salah satu dari mereka menarik temannya yang terus mengganggu Kuina.
"Justru dengan lo ngelarang Kuina datang ke sini, lo sama aja dengan nyari gara-gara sama kakaknya bos." Wakasa memukuli wajah pria itu hingga bonyok saat ia memergoki mereka membuat gadis itu kurang nyaman.
"Udah gapapa, gue pulang ya, Wakasa."
"Sama siapa, Neng?" tanya Benkei.
"Sanzu katanya mau jemput, gue tunggu di depan. Kasih tau Senju gue balik duluan ya. Maaf jadi membuat keributan."
Sebelum pergi, salah satu teman kubu orang yang tengah dipukuli Wakasa menghentikan gadis itu dan membisikan sesuatu.
"Emm.. Kuina. Jangan ngadu apapun ke cowok lo ya."
"Eh, enggak bakal kok." Gadis itu terlalu baik hati.
"Makasih, maaf kalo kita—"
"Dia emang nggak bakal bilang ke Sanzu, tapi gue bakal kasih tau soal ini ke Senju. Biar habis lo pada sama Bos."
"Eh?" Kuina sempat ingin menimpali Wakasa, namun Benkei segera mengantarnya ke depan. Setelah itu Kuina tidak tahu hal apa yang terjadi selanjutnya, tapi ia harap itu tidak berkelanjutan.
Sebuah mobil berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu masuk, Sanzu melihat pria berbadan besar yang sering bersama adiknya ikut menunggu di belakang gadis yang hendak dijemputnya. Tak lama Kuina pun melambai dan langsung masuk ke dalam mobil tersebut.
"Ada yang ganggu lo?" kata pertama yang diucapkan pria itu.
Kuina menggeleng keras. "Enggak ada."
"Bagus deh, kalo ada yang berani macem-macem gue nggak bakal tinggal diam. Sekalipun hal itu memicu perang."
Kuina hanya tersenyum, mungkin untuk meyakinkan kalau dirinya benar-benar baik-baik saja.
"Nih." Sanzu menyodorkan beberapa patch pain relief kepada Kuina.
"Untuk apa?" tanya gadis itu.
"Barangkali badan lo pegal-pegal, semalem nemenin gue tidur sampe pagi di kursi. Padahal kalo lo tau gue ketiduran kenapa nggak lo bangunin aja."
Setelah kejadian semalam, memang tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Entah mengapa, Sanzu merasakan hal yang berbeda saat bersama Kuina. Setelah bercumbu sebentar, pria itu malah tertidur, padahal dia sedang dalam keadaan normal tanpa pengaruh alkohol atau apapun. Ia sempat berpikir, mungkin karena perasannya untuk Kuina kali ini benar-benar tulus, terasa nyata, dengan sebuah kata yang biasa orang-orang sebut dengan 'cinta'.
"Lain kali, jangan terlalu nggak enakan jadi orang."
"Iya, but that's just a small thing."
"Sekecil apapun hal tersebut, lo nggak harus mentolerir atau mengiyakan itu kalau lo nggak nyaman. Ya gue nggak maksud menceramahi lo, lagipula apa sih yang bisa diterima orang lain dari orang yang nggak bener kayak gue, sekalipun yang gue ucapkan adalah kebenaran." Sanzu terkekeh, entah kemana maksudnya.
"Emm, kita mau pergi ke mana sekarang?"
"Ke hotel."
Kuina terkekeh, "lo bisa bercanda ya sekarang."
"Gue nggak lagi bercanda."
Seketika Kuina langsung terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tak jauh dari tempat itu, Sanzu menghentikan mobilnya lalu mengajak gadis itu pergi ke salah satu butik ternama di Yokohama.
Gadis itu hanya membuntuti Sanzu, sesekali pria itu memelankan langka agar mereka berdua bisa beriringan.
"Tuan Sanzu, bajunya sudah disiapkan."
Seorang karyawan perempuan menyodorkan satu buah jas berwarna abu dengan garis-garis vertikal putih. Kemudian seorang wanita datang menyusul dengan membawa sebuah gaun selutut berwarna hitam dengan model yang sangat elegan.
"Ini, Nona."
Kuina hanya terdiam, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.
"Silahkan dicoba, semoga ukurannya cocok. Sepertinya sangat cocok kalau melihat Nona secara langsung."
Kuina melirik ke arah Sanzu, pria itu mengisyaratkan sesuatu yakni melirik ke kamar ganti. Kuina yang mengerti langsung bergegas mencoba baju itu.
Setelah beberapa menit, Kuina tak kunjung keluar. Sanzu meminta salah satu pegawai butik untuk memeriksanya, tak lama gadis itu keluar dengan langkah yang sangat pelan dan meragukan.
Sanzu terpaku ketika melihat gadis itu, perawakan ideal serta kulit putih nan mulus membuat gaun hitam itu terlihat sangat indah di matanya.
"Emm... Kayaknya ini terlalu ketat."
"Tidak, Nona. Ini benar-benar pas dan terlihat sempurna."
"S-sanzu?" Gadis itu memanggilnya canggung.
"Cantik."
Hanya sepatah kata, pria itu tidak memberikan ungkapan lain lagi. Kata itu sudah cukup mewakili semuanya.
"Does this look good on me?" tanya Kuina.
"Sure!" Sanzu tidak pernah melihat gadis itu berpakaiannya seperti ini, begitu pula Kuina yang sehari-hari hanya memakai kaos juga rok di bawah lutut.
Tidak menghabiskan waktu lebih lama, setelah pegawai butik membawakan sebuah high heels setinggi 5cm, Sanzu pun mengajak Kuina untuk ke salon yang jaraknya tidak jauh dari sana.
•••
Grand opening Royal Deluxe Tour
Sanzu benar-benar mengajak Kuina ke hotel, kali ini sedang ada acara pembukaan Bisnis Transportasi salah satu PT yang dibantu didanai oleh Bonten.
Tentu saja pemilik dan orang-orang yang terpampang dalam perusahaan itu bukan mereka sendiri, mereka hanya bermain sebagai latar belakang. Demi menjamin kelancaran acara, mereka turut hadir. Lagipula orang-orang tidak akan mengetahui identitas mereka yang sebenarnya.
Sampai di sana Sanzu dan Kuina hanya menikmati acara, hingga acara selesai dan tamu dipersilahkan menikmati hidangan dan berbincang-bincang, bertemulan Sanzu beserta beberapa teman satu gengnya.
"Gue duluan, Bro. Ada urusan lain." Shion melenggang saat berpapasan dengan Sanzu.
Di sebrang sana ada Koko dan Kakucho yang tengah berjalan kearah mereka berdua. Kuina nampak tak nyaman, tapi saat melihat Takeomi juga ada di sana, ketegangannya sedikit memudar.
"Lo nggak bilang mau bawa Kuina, Zu." Takeomi membuka pembicaraan. Belum sempat Sanzu menjawab Koko sudah menyambar duluan.
"Wahh... Pasangan serasi, maniak narkoba dan gadis pasar penjual ikan." Koko tersenyum miring sambil bertepuk tangan pelan, mendengar itu Sanzu menanggapinya dengan tatapan marah juga tangan terkepal yang siap melayangkan tinju kapan saja.
"Jangan ngerusak acara, kalau ada masalah beresin nanti aja di markas," bisik Takeomi sambil memegang bahu sang adik.
•to be continued•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro