Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• Ten •

Semenjak kejadian tidak disengaja kala itu, berhari-hari Sanzu tidak pulang kerumah. Jika ditanya alasannya, mungkin tidak perlu alasan karena pria itu memang seperti ini sebelumnya. Don't care about anything and don't want to get involved in unimportant things.

Tapi berbeda dengan sekarang, pria itu justru kelihatan tidak tenang. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya, seakan ia ingin pulang ke rumah, tapi nyalinya hilang begitu saja. Sedikit konyol memang, sejak kapan ia mencemaskan hal yang tidak penting seperti ini?

"Kalo kita mau minta maaf ke cewek itu biasanya ngasih apa ya?" tanyanya pada Akashi sulung yang kini tengah duduk sambil mengepulkan asap berbau paper mint dari mulutnya.

"Duit!" jawabnya tak tanggung-tanggung.

"Harusnya gue emang gak nanya sama lu, Bang."

"Terus nanya ke siapa? Koko? Jawabannya pasti sama."

"Ya, otak kalian isinya cuma duit doang. Dipikir semua cewek bakal maafin dengan cara kita kasih duit gitu."

"Iyalah, emang siapa ceweknya? Lagian tumben amat pake acara mau minta maaf segala. Emang salah lo apa? Bunuh orang aja nggak ada iba-ibanya lo."

"Hush, itu beda cerita."

Sanzu tenggelam lagi dalam pikirannya. Ia rasa tidak ada orang yang bisa ditanyai dalam ranah Bonten. Mereka tidak terlihat seperti orang-orang yang pandai dalam sesuatu yang romantis, konyol memang, benar kata yang lain, Sanzu seperti tengah kehilangan jati dirinya sendiri.

Sebuah opsi terakhir hanya terletak pada adik perempuannya, meskipun sedikit gengsi, Sanzu tetap menghubunginya untuk meminta saran permintaan maafnya pada Kuina. Lagipula gadis itu menyaksikan sendiri konflik mereka berdua pada pagi itu, Senju juga yang tahu bagaimana keseharian Kuina. Tidak ada salahnya berdiskusi dengan gadis itu.

Sebuah kotak berisi bunga dan boneka tidak berbulu berbentuk hiu. Katakanlah Sanzu mendapatkan sebuah pengalaman pertama dalam hidupnya. Masuk ke dalam toko bunga, membeli boneka di toko aksesoris, hal semacam apa itu? Mengapa ia mau melakukannya? Bahkan ini terlihat seperti permainan bodoh remaja yang baru memasuki masa puber, pantaskah ia bertindak demikian?

Bicara soal Kuina, gadis itu sempat meminta pergi dari rumah Akashi, tapi Senju melarang karena Sanzu tidak memerintah. Pria itu bisa marah jika tiba-tiba saja orang dalamnya pergi begitu saja. Ditambah, Kuina termasuk orang dalam pengawasan Bonten, dalam kata kasarnya ibarat buronan, meski tidak salah apa-apa. She can't act freely, dan berada di bawah tanggung jawab sang Haruchiyo.

Hari ini Senju membawa Kuina keluar, katanya Sanzu hendak pulang tapi tidak ingin bertemu gadis itu dulu. Senju bertanya soal permintaan maaf yang direncanakan kakaknya, katanya Sanzu hanya akan menaruh bunga itu di kamar saja—Khawatir Kuina tidak siap menemuinya. Atau justru Sanzu sendiri yang tidak ingin menemuinya.

"Ini," Senju menyodorkan sebuah paperbag kecil berisi kotak di dalamnya, dua gadis itu kini tengah berada di tangga sisi danau, melihat burung-burung pelikan beterbangan sambil sesekali menyeburkan diri untuk mengambil ikan kecil.

"Apa ini?" tanya Kuina.

"Buka aja." Senju sibuk memakan permen gula kapas di tangan kanannya.

Kuina mengambil kotak tersebut, sudah bisa ia tebak kala melihat gambar dipermukaan kubus tersebut, benda pintar elektronik dari sebuah brand bermerk.

"Handphone? Buat gue?" tanyanya.

"Iya."

"Kayaknya gak perlu deh, Ju. Gue—"

"Buat lo, lagian nggak kepake, cuma hp bekas."

"Lo yakin ini hp bekas?" tanyanya lagi. Jika kondisi benda itu usang mungkin Kuina bisa mempercayainya. Tapi yang ia liat sekarang justru benda yang masih terlihat cantik tanpa gores sedikitpun.

"Iya, hehe. Baru beberapa hari dipake."

"Tapi buat apa?" tanya Kuina lagi.

"Biar gampang hubungin lo kalau gue di luar, terus di suruh Sanzu juga."

"San-zu?" tanyanya ragu.

"Iya, udah pake aja. Lengkap kok, udah ada nomor gue sama Sanzu juga."

Kuina hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada gadis itu. Katanya, Senju dan Akasi yang lain terlalu banyak membantunya. Kuina sempat mencurahkan isi hatinya tentang kekhawatiran dirinya menjadi benalu, tapi Senju menentang itu dengan keras.

"Tidak ada yang merasa diberatkan, gue jadi punya temen, abang gue juga jadi punya alasan."

"Alasan apa?"

"Ya coba aja tanya sama si Chiyo tuh, gue nggak paham lah. Lagian lo yang lebih tua dari gue kan, kenapa lo yang polos dah."

Keduanya hanya tergelak, Kuina tidak menyangka hidupnya yang sebatang kara itu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Ia merasa senang jika orang lain dengan begitu suka rela menawarkan segala kebaikan terhadap dirinya.

Seorang Sanzu lebih uring-uringan dari biasanya, muka kusut, emosi tidak stabil, juga sensitif terhadap orang lain.

Padahal jika diperhatikan, pria itu selalu aman, tenang, damai dan sejahtera. Tapi kali ini, terlihat seperti kebalikannya.

"Kelebihan ngobat, si bangsat," cetus Haitani bungsu.

"Gue nggak sakau, Njing."

"Nih!" Kakucho menaruh beberapa botol koktail beserta gelasnya di hadapan meja yang dikelilingi kursi berbentuk leter L. "Minum Zu, biar nggak gila lo. Kusut banget itu muka dari tadi," tambahnya.

"Gak, nggak mau ngulang kesalahan yang sama gue."

"Ha? Emang kenapa lo? Nidurin Senju sampe bilang kesalahan segala."

"Yeh, si tolol kalo ngomong no brainer banget."

"Gue cincang sampe tipis badannya kalo sampe ngapa-ngapain adek kesayangan gue," ancam Takeomi.

"Sinting kali gue nafsu sama ade sendiri."

"Loh, kan emang sinting?" sahut Rindou yang sendiri tadi hanya asik dengan gadget di genggamannya. Tapi tak lagi disahuti oleh yang dimaksud.

"Abang lawak lo kemana, Rin?" tanya Kakucho. Di ruangan ini hanya ada Kakucho, Rindou, Sanzu, Takeomi dan Mochi saja. Sedangkan sisanya menghilang entah kemana.

Membahas soal kata lawak, itu sudah menjadi bahan guyonan sejak lama terhadap Haitani bungsu, bahkan saat mereka masih terpisah geng Rokuhara Tandai dan Kantou Manji. Mengingat saat 12 tahun lalu, saat tragedi pertempuran Touman dan Tenjiku, Ran menganggap Kakucho telah mati bersama Izana, jadi pria itu dengan khusyuk-nya menutup mata keduanya sambil merapalkan kalimat perpisahan. Padahal, Kakucho masih bertahan hidup sampai sekarang.

Itu selalu menjadi bahan ledekan anak-anak Bonten, meskipun ada kisah pilu yang tidak dapat terlupakan juga di baliknya.

"Tau dah, minum sampe nggak bisa bangun dari kemaren. Males banget ngurusinnya," protes Rindou.

"Gue mau balik," ujar Sanzu dengan nada sedikit membentak.

"Yaudah balik sana, sih. Ribet juga lo di sini. Gak jelas, kayak tukang ayam." Mochi angkat bicara.

"Emang tukang ayam nggak jelas ya?"

"Balik sana, gue timpuk pake botol tau rasa lu!" ancam Kakucho. Sanzu pun langsung bangkit dan merebut kunci mobil yang tercantol di garis sabuk celana Takeomi.

"Gak ada akhlak!" cibir sang kakak.

"F*ck you."

Sanzu pun benar-benar pergi dari sana, membelah jalur Shibuya menuju rumah kediaman peninggalan keluarga. Katakanlah dirinya sudah gila, gila dari awal. Tapi melakukan hal biasa seperti yang orang-orang lakukan, itu termasuk bentuk kewarasan bagi Sanzu.

Bertahun-tahun ia bahagia hidup dalam kegilaan, jika mencoba waras, apakah akan tetap bahagia juga.

Lebih bahagia? Atau justru tidak ada kata bahagia?

Tbc....

••

1

8/09/21
Himawari 🌻

Do you see the star on the left?
⬇️Press, Arigatou (。・ω・。)ノ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro