Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• Fourteen

Setelah acara selesai, separuh anggota Bonten yang hadir langsung pulang dan berkumpul menuju markas. Namun tidak dengan Sanzu.

Kuina tahu, pria seperti Sanzu tidak akan tinggal diam setelah dikatai seperti itu sekalipun oleh temannya. Ia tahu Sanzu mungkin tidak akan marah soal dirinya yang dicap seorang maniak narkoba, tapi soal Kuina? Sanzu bisa saja tidak terima karena ekspresi yang diberikannya tadi cukup ketara. Gadis itu juga mendengar bisikan Takeomi, jika saja ia tidak melarangnya, mungkin saja hal buruk akan terjadi, ia tak mau melihat pria itu babak belur lagi, sekalipun bukan dia namun Kuina tidak mau melihat Sanzu berkelahi dengan temannya sendiri.

"Lo ngapain ikut balik, Bang?" tanya Sanzu pada Takeomi saat mereka sudah sampai di rumah.

Saat di perjalanan, Kuina sudah meredakan emosi Sanzu. Ia menjelaskan kalau ucapan Koko bukanlah sesuatu yang membuatnya kesal atau menyakiti hatinya. Sanzu pun bisa memahami apa yang dikatakan Kuina, meskipun sebenarnya ia sangat tidak terima dengan ucapan Koko saat di acara tadi.

"Ini juga rumah gue, hasil kerja gue. Kenapa lo protes kalo gue balik ke sini?" Asap putih berbau cengkeh menyeruak, Takeomi tengah bersantai dengan vape-nya sambil menikmati lagu rock lawas yang diputar dari piringan hitam.

"I'm just asking yaelah, bukan protes."

"Lo protes karena nggak aman mesra-mesraan bareng Kuina?"

"Ehh..." Kuina turut menanggapi perkataan putra Sulung itu.

"Malam ini gue butuh bicara sama dia, nggak bakal lama paling satu jam."

"Mau ngapain 1 jam?" tanya Sanzu sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Gue cuma mau ngobrol, lo nggak denger kalimat gue di awal?"

"Hmm... Iya, tapi lo-"

"Lo nggak perlu Khawatir, Sanzu. Gue nggak bakal ngapa-ngapain. Ada hal penting yang perlu gue omongin."

"Yaudah kalo gitu gue juga ikut dalam obrolan, Bang."

Takeomi menggeleng, "gue, mau bicara empat mata sama Kuina, bukan sama lo. Jadi stop berisik dan jadi orang yang ngasih ekspresi paranoid kayak gitu. Lagian sejak kapan lo dapat sipat kyk gitu, hah?"

"Oke, oke. Gue tidur deh, capek."

Sanzu langsung angkat tangan, entah mengapa ia tidak suka perkataan Takeomi yang terakhir. Sebelum pergi ke kamar ia sempat mengusap rambut Kuina dan berkata. "Kalo nanti ngantuk bilang aja, Abang gue pengertian kok."

••

"Dia berubah, anak-anak yang lain mulai protes." Takeomi menatap pohon yang daunnya bergerak-gerak tersapu angin malam, mereka berdua tengah ada di balkon lantai atas saat ini.

"Anak-anak lain?" tanya Kuina.

"Bonten, termasuk Manjirou."

Takeomi menjelaskan bagaimana Sanzu yang sebenarnya. Sejak kecil, pria itu sudah hidup dengan background kekerasan. Manjirou, adalah temannya sejak kecil. Loyalitasnya pasti sangat kuat terhadap pria keji yang satu itu.

Dengan segala hal yang terjadi sekarang, Takeomi sempat bingung harus membiarkan kebahagiaan adik laki-lakinya yang bersumber dari gadis dihadapannya ini berlanjut, atau memang menghentikannya sebelum segala hal menjadi semakin buruk dan membuat keduanya mengalami kehancuran yang besar.

"Awalnya gue pengen berhentiin semuanya, sejak awal gue udah nyangka semuanya bakal kayak gini. Jalan yang Sanzu pilih sekarang bukan zona aman dia."

"Tapi... Mungkin aja suatu hari dia bisa lepas dari semua hal itu kan, Bang? Dia sendiri yang bilang kalau dia juga ingin hidup normal layaknya makhluk hidup yang disebut ma-nu-si-a." Kuina menekan kata terakhirnya.

"Itu adalah bagian yang tidak mungkinnya, Kuina. Sanzu dan kehidupannya yang sekarang tidak bisa dipisahkan. Dia bakal di cap penghianat ketika ninggalin semua ini, dan hal itupun memang nggak akan pernah terjadi."

Kuina mencerna semua perkataan Takeomi, dari mulai awal kehidupan Sanzu, jalan hidup Sanzu, sifat dan sikap yang dimiliki Sanzu. Semua itu memang sangat kelam, hitam dan sulit.

"Lo yakin masih tetap mau di sisi dia? Kalaupun lo mau pergi dan ingin menjalani hidup dengan damai, gue bisa bantu lo kabur dan menghilang tanpa jejak dari Sanzu, Bonten dan siapapun."

Benar, Takeomi bisa saja menyuruh Kuina pergi, apalagi dengan jumlah kekayaan yang ia miliki. Untuk dibagi pada gadis itu, bahkan tidak akan membuatnya kehilangan seperempat hartanya.

"Gue yatim piatu, Bang. Gue nggak punya tempat pulang, gue nggak punya alasan maupun tujuan kalau gue setuju sama saran lo. Yang gue butuhkan saat ini cuma orang yang bisa gue sayang, bisa gue ajak berbagi. Itu cuma Sanzu, Senju, lo dan mungkin teman-teman dari kalian bertiga meskipun gue nggak terlalu akrab."

Takeomi tersenyum tipis mendengar jawaban gadis itu.

"Bagian terburuknya, lo bisa mati saat lo belum ingin mati."

"Maksudnya, terbunuh? Dibunuh?"

"Heem."

"I'm okay with that." Mendengar jawaban itu, Takeomi melirik ke arah kuina.

"Gue beneran baik-baik aja soal itu, prinsip yang gue pegang saat ini cuma berikan kesan terbaik buat orang-orang di sekeliling gue, buat mereka ngerasa dicintai dan tidak sendiri. Sisanya, gue nggak peduli soal kematian itu bakal datang kapan."

"Tapi lo nggak pernah mikir gimana akhirnya ketika sosok seperti lo itu pergi dari kehidupan mereka. Lo terlanjur membuat seseorang bergantung dan akhirnya-"

"I know, Bang. Bahkan gue pernah nanya ke Sanzu soal itu."

"Tanggapannya gimana?"

"Dia keliatan nggak peduli pas gue tanya gimana kalo orang kayak dia kehilangan orang yang disayang dan dia belum mikirin itu."

"Maybe someday he will."

"Gue nggak takut sama ancaman lo, Bang."

"Lo emang nggak takut buat mati, tapi seseorang bakal takut kalo lo pergi."

Takeomi mengakhiri percakapan itu, ia menyerah. Hatinya memang berkata bahwa hubungan kedua insan itu tidak mudah untuk dihancurkan begitu saja. Meskipun awalnya ia ingin menghentikan mereka karena keadaan dan posisinya, namun nalurinya tetap berkata lain.

"Gue tau ini beresiko, tapi gue juga berharap akhir yang baik untuk kalian," Takeomi membatin.

•••

Dalam ruangan bercahaya minim, seseorang tengah berpikir keras. Menyusun rencana untuk memperebutkan posisi nomor 2 dalam sindikat organisasi kriminal terkejam di Jepang.

Pria itu memulainya dengan masalah Mira, ia akan mengungkapkan fakta itu di depan sulung Haitani. Pria itu membuat rencana rapi agar seakan-akan Ran tahu informasi itu secara alami.

"Gue udah tau semuanya!" Ran membuka percakapan, setelah menghubungi teman-temannya untuk berkumpul di markas, ia langsung mengungkapkan apa yang sebenarnya akan ia bahas.

"Bang..." Rindou khawatir, perasaan kakanya pasti sangat kacau sekarang.

"Jadi, Mira juga sengaja nyuruh kalian buat nggak mengatakan yang sebenarnya?" tanya Ran sambil menahan amarahnya. Semua yang ditanyai hanya diam membisu.

"Kalian tau kan? Dari awal kalian tau kan? Hah?"

Belum ada tanggapan sama sekali, Ran tahu jawaban mereka adalah iya.

"Ah, anjing, bangsat. Kenapa nggak ada yang bilang sama gue sih, tolol!!!"

"Karena semuanya nggak mau liat lo kayak gini. Kita tau lo naruh perasaan besar ke Mira dari cara lo memperlakukan dia." Kakucho membuka suara.

"Sekalipun lo tau dia sukanya sama Sanzu." Koko mulai memanasi.

Sanzu? benar, semuanya karena pria itu. Semua berawal dari pria itu. Pria bangsat yang dicintai habis-habisan oleh Mira tapi malah mencampakkannya begitu saja karena gadis pasar itu.

Ran menyimpan dendam yang begitu dalam, api amarahnya tidak lagi bisa dipadamkan. Bukan Manjirou, bukan juga mereka yang lain. Tapi Sanzu, semua tidak akan terjadi kalau saja manusia satu itu tidak menyakiti hati gadis yang dicintainya.

Ran Haitani sudah kehabisan akal. Salah satu tujuannya hanya menghancurkan Sanzu. Hanya itu!

"Gue nggak bakalan biarin lo tenang gitu aja, gue nggak akan biarin orang yang udah bikin Mira menderita hidup bahagia gitu aja." Ran bergumam sambil menggertakan giginya.

"Ohiya. Pertanyaan gue cuma satu sih, kalau misalnya Manjirou sengaja ngebiarin cewek pasar itu hidup cuma dengan alasan stabilitas kerja Sanzu. Apa kabar dengan lo, Ran? Lo sama Mira udah lama bareng-bareng, bahkan bukan cuma lo. Tapi kita semua."

"Sedangkan cewek itu baru beberapa hari ketemu si Sanzu. Harusnya nggak masalah dong. Lebih masalah mana sama-"

"Udah, Ko. Perkataan lo bikin gue pengen bunuh dua manusia itu sekarang juga. Sampai kapanpun gue nggak bakal terima sama kejadian ini. Gue bakal ancurin mereka berdua."

"Ancurin apa?" Manjirou datang, dengan Takeomi di belakangnya.

"Mau ngancurin apa kalian? Hah. Awas aja kalo Bonten yang ikut kena." Takeomi ikut menanggapi.

"Berisik lo, gue cabut!" ujar Ran.

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro