Mengapa Menahanku?
Sebuah alinea membuka babak cerita yang baru di hidup Andrea. Setelah pernyataannya semalam yang mengatakan bahwa dia bersedia untuk menjadi istri Rey. Pria bersneli yang berstatus calon suaminya itu langsung membawa Andrea bertemu dengan kedua orang tuanya di hari itu juga untuk membicarakan perihal pernikahan. Semula Andrea agak terkejut dengan keputusan Rey, ia merasa belum siap dan terlalu cepat. Namun, pria itu lagi-lagi dapat meyakinkan hati Andrea dan kedua orang tuanya jika dia memiliki niatan yang baik dan harus segera dilaksanakan.
Rey menggandeng tangan Andrea berjalan memasuki sebuah restoran hotel bintang lima yang cukup terkenal di Jogja. Mereka dibawa masuk ke ruangan khusus oleh seorang pelayan, ruangannya terlihat cukup luas dan bagus. Namun, hanya ada beberapa orang saja yang terlihat duduk disana, tampaknya itu adalah ruangan private.
Andrea mengedarkan pandangannya, ia melihat sepasang suami istri sedang duduk disana menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Wajahnya terlihat begitu bahagia, mereka mengulurkan tangan dan memeluk Rey secara bergantian. "Sayang, kamu sudah datang. Ayo ajak dia duduk."
Suara lembut ibu Rey yang menginstruksi untuk duduk membuat Andrea bergerak lebih mendekat. Dia mengulurkan tangan kanannya, menjabat tangan kedua orang tua Rey secara bergantian. "Saya Andrea, Tante, Om."
Keduanya tersenyum ramah, menerima Andrea dengan hangat lalu mempersilahkan Andrea untuk duduk. Mereka berempat saat ini duduk saling berhadapan, Rey mulai membuka suara, memperkenalkan Andrea secara langsung dan mengutarakan niat baiknya kepada kedua orang tuanya. Tentu saja ayahnya sangat bahagia, di usia Rey yang sekarang ini apalagi yang ia harapkan selain melihat putra pertamanya itu menikah. Setidaknya mereka berdua cukup lega, Rey masih normal tidak seperti rumor yang telah beredar di kalangan dokter yang mengatakan putranya itu penyuka sesama jenis. "Kalau begitu kapan rencananya kalian akan melangsungkan pernikahan?"
"Secepatnya, Pa. Lebih cepat lebih baik sebelum orang tau kalau Andrea sedang mengandung." Rey berkata dengan penuh antusias.
"Mengandung? Dia hamil maksudmu?" Nada bicara sang ayah yang semula halus terdengar meninggi.
Andrea seketika menundukkan kepalanya, ia merasa sangat takut dan malu saat ini. Ia seperti diingatkan kembali akan kemarahan sang ayah saat mengetahui dirinya hamil dan tidak mengaku siapa yang menghamilinya. Suasananya mencekam seperti ini, semua perkataan yang ia terima begitu menyakitkan, apakah hari itu akan terulang kembali saat ini?
Rey menganggukkan kepalanya mantap, dia berkata tanpa ragu. "Iya, Pa. Apa Mama belum bercerita soal ini kepada Papa? Maafkan Rey, Pa. Maaf jika Papa baru mengetahuinya, Rey tak bermaksud untuk menyembunyikannya dari Papa."
Raut wajah bahagia sang ayah tiba-tiba berubah menggelap, dia begitu murka mendengar penjelasan dari Rey yang mengatakan jika saat ini Andrea tengah mengandung anaknya.
"Kurang ajar kamu ya! Siapa yang mengajarimu untuk menjadi pria brengsek seperti itu? Mau ditaruh dimana muka Papa jika semua orang tahu anak laki-laki Papa, seorang dokter yang dulunya lulusan terbaik dan banyak mencetak prestasi menghamili anak gadis orang! Sebegitu buruknya kamu sehingga menahan nafsu saja tidak bisa." Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rey bersamaan dengan kemarahan serta makian sang ayah.
Wanita paruh baya itu berdiri, ia meraih lengan suaminya untuk duduk kembali di tempat duduknya, ia mengusap lembut dada sang suami dan berkata, "Pa, sudahlah. Semuanya sudah terjadi, Rey juga sudah meminta maaf atas itu dan dia juga bersedia untuk bertanggung jawab. Apalagi yang harus kita permasalahkan sekarang? Semua sudah terjadi, Pa. Tidak ada gunanya Papa marah."
Hilman memejamkan mata sejenak, emosinya sedikit mereda setelah mendengar perkataan sang istri. "Lamar dia dan segera nikahi. Papa tidak mau gosip semakin merebak luar sana."
"Aku sudah menemui kedua orang tuanya, Pa. Aku secara langsung sudah berbicara kepada orang tua Andrea dan semuanya sudah setuju."
"Baik, kalau begitu langsung saja. Nikahi dia!"
Rey cukup lega mendengar jawaban dari sang ayah, meski marah sang ayah akhirnya menyetujui pernikahannya dengan Andrea. Arum pun ikut lega mendengar keputusan suaminya, setidaknya kemarahannya masih bisa dikendalikan.
"Andrea, berapa umurmu sekarang?" tanya Arum mencoba mencairkan suasana. Ia tahu calon menantunya saat itu sedang ketakutan.
Rey meraih jemari Andrea, menghentikan gerakan Andrea yang sedari tadi meremas-remas ujung baju. Andrea sedikit mengangkat kepalanya, dengan suara lembut dia menjawab, "Delapan belas tahun, Tan."
"Delapan belas tahun?" Hilman mulai terpancing emosinya lagi, ia tidak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan oleh Rey.
Arum segera meraih tangan Hilman, dia menatap wajah yang kembali menggelap itu dan mengusap tangannya lembut. "Pa, tolong. Kita bisa bicarakan lagi di rumah dengan Rey. Jangan membuat calon menantu kita ketakutan, dia sedang hamil."
Hilman menarik nafas dalam lalu memijat pangkal hidungnya. Arum tersenyum, dia kembali mengajak bicara Andrea. "Andrea, Rey tidak memaksamu kan? Kalian melakukannya karena saling cinta kan?"
Andrea bingung harus menjawab apa, dia memang mulai tertarik dengan Rey saat ini, tetapi bukan Rey melakukan itu kepadanya. Andrea bingung harus mulai menjelaskan itu dari mana. Andrea menggigit bibir bawahnya dan berniat untuk mengungkapkan semuanya. Dia tak ingin menutupi semua cerita tentangnya kepada kedua orang tua Rey. Dia pasrah jika harus menerima sekali lagi persepsi buruk tentangnya. "Maaf, Tan. Saya dan Kak Rey-"
Baru saja Andrea ingin bercerita, Rey lebih dulu memotongnya dan berkata jika mereka melakukannya dengan saling mencintai. Rey meminta sang ibu untuk tidak bertanya-tanya lagi perihal itu. Arum tersenyum menanggapinya. "Hem, maafkan Mama."
***
Ketika perjalanan pulang Andrea bertanya kepada Rey kenapa Rey tak membiarkan Andrea mengatakan cerita yang sebenarnya saja. Rey menggeleng dan berkata itu tidak perlu karena yang terpenting Rey sudah tau dan menerimanya, toh yang menjalani rumah tangga nantinya adalah mereka berdua, jika Rey tidak mempermasalahkan kehamilan Andrea itu artinya sudah cukup bagi mereka.
"Tapi bagaimana jika Mama dan Papa mu tau, Kak? Aku tak ingin dicap sebagai pembohong nantinya."
Rey meraih pipi Andrea, mengusapnya dengan lembut dan berkata, "Mereka tidak akan pernah tahu jika kita tak bercerita kepadanya. Lagi pula apa yang mereka permasalahkan lagi jika kita sudah menikah dan saling menerima?"
"Tenanglah, Andrea. Semua akan baik-baik saja. Sekarang turun dan masuklah. Sampaikan salamku kepada orang tuamu. Besok pagi aku akan datang kembali bersama kedua orang tuaku. Maaf aku tidak bisa mengantarmu masuk ke dalam rumah, ini sudah malam dan aku harus segera kembali ke rumah sakit."
Andrea tersenyum, dia menganggukkan kepalanya. Andrea cukup mengerti pekerjaan Rey. "Baiklah, Pak Dokter. Aku akan masuk dan menyampaikan semuanya kepada orang tuaku. Hati-hati di jalan, jangan lupa kabari aku jika sudah sampai."
Sebelum Andrea turun dari mobil Rey menahannya, dia menangkup pipi Andrea lembut lalu mendaratkan sebuah ciuman pada dahi calon istrinya. "Tidurlah yang nyenyak, Sayang."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro