Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keputusan Papa

Tak tak tak

Suara sepatu pantopel yang beradu dengan lantai marmer terdengar kian ketara. Tak lama setelahnya seorang berjas rapi datang diikuti oleh dua orang bodyguard berpakaian hitam dengan kacamata bertengger di matanya.

"Mbok Sum, Lucy mana?" tanya Patrick dengan suara mencekam.

"Nyonya ada di taman belakang menyirami bunga, Tuan."

"Panggil dia kemari!" titah Patrick dengan suara meninggi.

"B-baik, Tuan."

Sum berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu belakang. Ia menarik gagang pintu dengan tergesa dan berjalan setengah berlari menuju taman.

"Hosh ... Hosh ...." suara nafas Sum terengah engah.

Lucy mengernyitkan dahi melihat ekspresi Sum yang ketakutan. Ia pun segera meletakkan gembor yang sedang ia bawa.

"Kamu kenapa, Mbok Sum?" tanya Lucy heran.

"Anu, Nyah. I-itu emmm ...." ucap Sum muter-muter yang membuat Lucy memutar bola mata malas.

"Kenapa, Sum? Tarik nafas dulu, baru kamu cerita ya," ucap Lucy sembari mengusap punggung Sum.

"Itu Nyah, Tuan."

"Tuan? Maksud kamu Patrick? Kenapa dia?" ucap Lucy memotong ucapan Sum.

"Anu Nyah, sepertinya Tuan sedang marah. Tuan menyuruh saya memanggil  Nyonya," jelas Sum yang sudah agak tenang.

"Oh, baiklah."

Lucy segera melepas clemek yang bertengger di lehernya dan mengganti sepatu boot-nya dengan sendal rumahan. Tak lupa ia mencuci tangan dan merapikan rambutnya sebelum ia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

"Tumben, Patrick marah," batin Lucy heran. Pasalnya selama menikah ia jarang sekali melihat sang suami marah jika tak ada masalah yang besar.

Lucy melangkahkan kaki dengan anggun berjalan menuju ruang tengah. Ia mengembangkan sebuah senyuman menyapa sang suami yang terlihat sedang duduk menatapnya tajam.

"Tumben papa sudah pulang?" sapa Lucy kepada Patrick.

Patrick mengeluarkan amplop dengan logo sebuah klinik bersalin. Ia lantas menyodorkannya kepada sang istri.

"Baca ini," ucap Patrick tegas.

Lucy membuka amplop tersebut. Ia membelalakkan mata kala melihat apa isi amplop tersebut.

"Bagaimana itu sampai terjadi dan Mama tidak tahu!" geram Patrick.

"Papa dapat ini dari siapa? Barang kali ini hanya akal-akalan orang yang tidak suka dengan keharmonisan keluarga kita saja kan?"

"Papa temuin itu di mobil yang kemarin Andrea pakai, Ma. Dan Papa juga enggak bodoh, Ma. Papa bahkan sudah mengecek ke klinik itu langsung. Dan dokternya bilang itu benar."

Lucy segera mengambil gawainya dan menelpon sang putri. Dengan hati yang tak karuan ia berusaha berbicara seperti biasa kepada putri kecilnya itu.

Sementara itu Andrea yang saat itu sedang menolong orang kecelakaan di jalan pun segera pulang setelah memberikan pertolongan pertama kepada korban.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa membawa Bapak ke rumah sakit dan saya juga tidak bisa mengantar Bapak pulang," ucap Andrea tak enak hati.

"Tak apa, terima kasih." Seorang pria bermasker itu bersusah payah  menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.

Andrea mengangguk dan tersenyum kecil sebagai jawabannya. "Saya pergi dulu ya, Pak. Mari," ucap Andrea santun.

Andrea masuk ke dalam mobil. Ia dengan tergesa melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan kedua orang tuanya.

Andrea menghirup udara panjang, ia menenangkan hatinya sebelum ia mendekati kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang tengah. Seperti biasa Andrea bersalaman dengan kedua orang tua lantas duduk dengan tenang di sebelah sang ibu.

"Kata Mama, Papa cari Andrea ya?" ucap Andrea membuka pembicaraan.

Tanpa babibu Patrick mengulurkan sebuah amplop kepada Andrea. "Jelaskan sama Papa, ini apa Andrea?" ucap Patrick dengan nada penuh emosi.

"P-papa, Papa dapat itu dari mana?" tanya Andrea heran.

"Gak penting Papa dapat kertas ini dari mana, yang penting kamu harus jelasin semuanya ke Papa!"

Andrea menghela nafas dalam sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya perlahan.

Plaaak!

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi putih Andrea. "Kamu! Kamu benar-benar memalukan Andrea."

"Katakan, siapa laki-laki itu!" lanjut Patrick berapi-api.

Andrea menundukkan kepala sembari menitikan air mata. Ia tahu persis konsekuensi apa yang akan ia terima setelah ia menjawab pertanyaan sang ayah tersebut. Andrea menggelengkan kepala lemah yang membuat Patrick semakin naik pitam.

Plaaak!

Satu tamparan kembali mendarat di pipi Andrea. Kali ini tangis Andrea pecah. Ia saat ini sudah bersujud di depan kaki sang ayah memohon maaf atas apa yang telah ia lakukan. Patrick menarik lengan Andrea agar sang putri bangkit dan sejajar dengannya.

"Katakan siapa yang melakukannya?" tanya sang ayah dengan nada lebih rendah.

"A-Andrea tidak tahu, Pa. Saat itu ruangannya gelap. Andrea juga setengah mabuk. Jadi Andrea tidak bisa melihat wajah orang melakukannya," ucap Andrea berbohong.

"Baiklah, kita anggap ini adalah sebuah kecelakaan karena kecerobohan mu."

Andrea mengangguk dan sedikit bernafas lega mendengar ucapan sang ayah. Namun air wajah Andrea kembali berubah sendu kala mendengar pernyataan sang ayah selanjutnya.

"Gugurkan kandunganmu, Andrea," ucap Patrick kemudian.

"T-tapi pah?"

"Tapi apa lagi Andrea? Jangan buat Papa semakin malu! Kamu tahu Papa ini siapa? Apa kata orang jika mereka mendapati kabar kalau kamu hamil di luar nikah. Pikirkan juga masa depanmu, An. Usiamu saja sembilan belas tahun belum genap," jelas Patrick berargumen.

Andrea menggeleng pelan. Ia memeluk sang ibu yang sedari tadi menangis dalam diamnya. "Ma, Andrea gak mau gugurin kandungan ini. Andrea gak bisa, Ma."

Lucy tahu persis apa yang sedang dirasakan oleh sang putri namun ia pun bingung. Disatu sisi semua ucapan sang suami adalah benar. Di satu sisi ia juga mengkhawatirkan kesehatan putrinya. Melakukan aborsi di usia masih belia sangatlah beresiko dan Lucy sangat khawatir akan hal tersebut.

Lucy mengusap lengan sang putri lembut. Dengan hati-hati ia membujuk sang suami dan menjelaskan kekhawatirannya.

"Pa, apa tidak ada jalan lain selain aborsi? Papa tahu kan kalau aborsi itu bahaya? Apalagi saat ini usia masih sangat muda. Mama khawatir, Pa."

Patrick diam sejenak, ia berpikir ulang. Apa yang dikatakan oleh sang istri membuatnya berpikir keras dan mencoba mencari solusi lainnya.

"Tinggalkan rumah ini selama kamu hamil! Mark akan mengurus semuanya," ucap Patrick tegas dan berlalu pergi.

Andrea benar-benar bernafas lega saat ini. Meski ia sedih karena harus pergi dari rumah tapi ia lega, setidaknya bayinya selamat.

"Ayo kita berjuang, Nak," ucap Andrea di dalam hati.

Lucy memeluk sang putri dengan sayang, ia mencoba menguatkan hati anak bungsunya itu.

"Mama harap kamu tidak membenci Papa atas keputusannya ini, An. Mama yakin Papa melakukan ini semua demi kebaikan bersama."

Andrea mengangguk mengerti. "Iya, Ma. Wajar jika Papa seperti ini. Andrea gak marah ataupun benci sama Papa kok."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro