Chapter 2: Pintu Masuk
Dua hari kemudian, Chise sudah bersiap dengan posisinya di tengah ruang kerja milik Elias. Jika dilihat lagi, ruangan ini cukup luas. Ada deretan lemari kayu dengan buku-buku menarik, penuh misteri, dimulai dari sampul polos hingga desain indah serta detail yang tidak main-main. Sebagian buku merupakan referensi untuk pekerjaan Elias menciptakan sebuah alat. Tidak lupa sofa panjang berwarna cokelat lembut berseberangan dengan lemari buku.
"Kenapa kau berdiri di situ?"
Chise mengedipkan mata berkali-kali. "Memangnya bukan seperti ini?"
Elias terbahak.
"Aku belum memerintahkan apa pun. Kau ini rajin sekali."
Gadis itu menatap Elias dengan tatapan datar, dengan cepat pria itu segera melenyapkan senyum lebar di permukaan bibirnya.
"Berbaringlah di atas sofa," pinta Elias. Ada pertanyaan yang menggantung di benaknya, akan tetapi Chise tetap mengikuti perintah Elias.
Ia melihat pria itu menggenggam sesuatu, seperti sebuah jam tangan, namun memiliki layar horizontal yang mungkin menutupi setengah pergelangan tangan.
"Ini." Ketika dipasangkan, benda tersebut memang memenuhi bagian atas pergelangan tangannya, lalu secara otomatis muncul beberapa tombol sentuh, serta angka nol berjajar.
Elias pun menutupi kedua kaki gadis itu dengan selimut. "Agar kakimu nyaman dan hangat," ungkapnya. "Aku takut udara dingin yang datang."
"Jadi untuk apa aku berbaring?"
"Prosesnya tidak terlalu merepotkan." Chise memberi ruang untuk Elias agar duduk di sampingnya. "Kau cukup berbaring, memegang buku di atas perutmu, dan biarkan alat ini menjalankan fungsinya."
"Begitu saja?" Chise berkata tidak percaya.
"Alat ini memberikan efek kantuk, sehingga ketika kau memasuki dimensi tersebut, kau seperti sedang bermimpi. Bisa dibilang layaknya kegiatan tidur pada umumnya."
"Baiklah."
Elias memberi buku yang sudah ia terima dari Nona Lein. Buku hitam dengan gambar yang cantik. Chise kagum dengan seseorang yang menciptakannya. Tarikan garis tegas, warna-warna yang tidak saling tabrak. Terlebih, warna emas begitu menonjol mempertegas.
"Kau memang belum membaca isinya, sehingga bayanganmu tentang dunia itu tidak tergambar sesuai keinginan. Maka dari itu, biarkan buku ini melukiskannya untukmu," jelas Elias pelan.
Chise mengangguk.
"Apa ini bisa dilihat secara langsung oleh Nona Lein?"
Pria itu merapikan selimutnya. "Kebetulan hari ini Nona Lein memiliki waktu setengah jam untuk istirahat. Jadi dia bisa melihat secara langsung melalui dirimu karena aku sudah memberikan akses untuknya."
"Bagus kalau begitu." Chise menyunggingkan senyum. "Aku sudah siap."
"Oh, ya, aku lupa."
Elias merogoh saku, dari sana ada satu alat pendengar sekaligus mikrofon berwarna senada dengan jam tangannya.
"Alat komunikasi, denganku dan juga dengan Nona Lein. Kau dapat mengaturnya di jam ini," ujarnya, lalu mengetuk jam tangan tersebut.
Chise memasangkan alat pendengar itu di telinga kirinya. Ia pun merasakan sorot mata Elias yang bertubi-tubi, rasanya ada beban negatif yang tersimpan.
"Elias?"
Pria itu membuang napas. "Aku khawatir," bisiknya.
"Hei," Chise menautkan jemarinya dengan Elias, "aku akan baik-baik saja. Kau mengawasiku juga, bukan?"
Elias seketika membisu.
"Oke, oke." Gadis itu mendorong Elias, "waktunya bekerja. Nona Lein pasti menunggu."
Bak magnet, Elias kembali mendekat dan membawa Chise ke dalam pelukannya.
"Hati-hati, Chise."
"Kau selalu mengatakannya," canda gadis itu.
Setelah Elias menjelaskan tata cara penggunaan jam tangan itu, Chise memandang Elias selama beberapa saat, memperhatikan setiap gerakan yang pria itu lakukan di depan layar komputer. Sudah setahun mereka menikah dan kehidupannya dengan Elias penuh warna, naik dan turun, dan lika-liku yang begitu membekas.
Ia partner hidupnya.
"Aku pergi, Elias."
Dan Chise mulai menyelam ke dalam dunia baru.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro