-Tujuh Belas-
Shinta hanya bisa memandang ayahnya dengan tatapan kosong. Bingung hendak bereaksi seperti apa. Sementara Adyrasha khawatir apabila serangan panik Shinta kambuh saat terlalu dekat seorang laki-laki asing.
"Ayo, Ma!" seru Eugene tak sabar. "Papa juga bobok sini." Eugene kecil menarik lengan tepat di siku Yujin sehingga lelaki dewasa itu hanya bisa menurut.
Begitu Yujin berbaring, Eugene melingkarkan pahanya melintang di perut Yujin. Melihat ekspresi seolah kesakitan dari Yujin, Eugene terkekeh senang.
"Anak Papa sudah besar. Kamu ... berat, Yu." Yujin memberi ringisan pura-pura kesakitan.
"Ayo, Ma! Ih, Mama lama ..." protes Eugene. "Tarik Mama, Pa!"
Yujin melirik ke arah Shinta, memberikan gerakan dagu untuk meminta Shinta menuruti Eugene. Shinta mengernyit kesal. Mulutnya mencebik maju ke depan beberapa centi. Gadis itu melihat ke arah ayahnya, meminta petunjuk. Adyrasha hanya menghela napas.
"Mas Yujin, titip anak dan cucu saya ya." Setelah berkata begitu lelaki itu beranjak bangkit. Shinta memandang sang ayah.
"Yu, menunggu mamanya, tuh," ujar Adyrasha.
Shinta menatap nanar dua lelaki beda generasi di depannya yang sedang berbaring santai, sambil sesekali terkekeh keras, saling menggelitik. Mau tidak mau setelah sekian kali Eugene meminta Shinta segera bergabung, maka ia pun tidak mampu menolaknya.
Melihat gerakan yang lambat dari sang mama saat naik di kasur, Eugene menarik Shinta yang membuat wanita itu terjerembab di atas ranjang.
"Yu!" sergah Shinta tak suka.
"Yu, jangan begitu," larang Yujin.
"Mama lama!" Shinta akhirnya memperbaiki posisi badannya, dan meletakkan kepalanya di atas bantal yang empuk.
Anak itu lantas menarik kedua tangan 'Papa' dan Mamanya. Eugene menautkan jemari besar Yujin di jemari Shinta.
"Ma ... Pa ..." Eugene berganti menoleh ke kanan dan ke kiri melihat Yujin dan Shinta.
"Ehm ...," sahut kedua orang dewasa itu bersamaan.
"Ih, Papa dan Mama jodoh! Jawabnya samaan!" pekik Eugene girang.
Shinta mengernyit dan melempar tatapan sengit pada Yujin yang seolah sengaja melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukannya. Namun, tatapan itu tidak diindahkan oleh Yujin.
"Ya, pasti ... jodoh. Kalau tidak jodoh, tidak akan ada Yu," jawab Yujin sekenanya, yang justru membuat Shinta semakin melotot.
"Mama dan Papa flip flop dulu," kata Eugene.
"Flip flop?" Yujin tak mengerti.
"Jelaskan, Ma!" titah Eugene seenaknya.
"Yu lah yang jelaskan ke ..." Ucapan Shinta terputus, lantas ia mengembuskan napas panjang. "Papa," sambung Shinta pasrah.
Yujin mengulum senyum senang, yang diartikan Shinta bahwa senyum itu penuh dengan arti kemenangan karena bisa membuat Shinta mengucapkan kata 'Papa'.
"Mama aja ... biar jelas!" Lagi, Shinta meniupkan udara kasar dari mulutnya.
"Ayo, Ma. Jelaskan ke Papa!" Sengaja Yujin menggoda Shinta membuat wajah Shinta semakin berlipat.
"Ayo, Ma ..." Dan kini kedua lelaki itu merengek sambil menggoyang- goyangkan tangan Shinta.
"Mister-" Yujin berdeham membuat Shinta menghela napas untuk yang sekian kalinya. "Papanya Yu ...."
"Iya, Mama Sayang!" jawab Yujin dengan nada yang dibuat mesra. Shinta bergidik kesal.
"Ayo to, Ma!" bujuk Eugene.
Lagi, untuk kesekian kali Shinta terpaksa mengalah. Matanya menyipit melihat dua lelaki yang melayangkan pandangan menunggu penjelasannya. Akhirnya Shinya memulai penjelasannya
"Jadi, flip flop ini permainan simple. Nanti kita saling berpegangan tangan seperti ini ..." Shinta memberikan contoh, mengaitkan jemari kecilnya ke jemari Yujin yang membuat Yujin tak mampu menyembunyikan senyum, "lantas, kita memejamkan mata, mengucapkan permohonan. Setelah itu kita menghitung sampai tiga. Pada hitungan ketiga kita menyebutkan flip atau flop. Kalau berbeda, dan membentuk kata flip flop berarti terkabul permohonannya. Kalau sama malah tidak terkabul. Paham?"
Yujin tersenyum lebar, membuat matanya yang tinggal segaris. "Ayo, kita praktekkan!" ajak Yujin.
Lelaki itu lantas mengaitkan jemarinya erat pada jemari tangan lembut Shinta. Shinta menatap jemari yang sekarang sudah terkait di antara jemari besar Yujin. Jemari yang terlihat kokoh dan terasa kasar di indera perabanya. Shinta berpikir pasti latihan fisik yang dilakukan oleh seorang Bae Yujin sangat keras, membuat jari-jarinya kapalan.
"Ok, kita make a wish," kata Shinta dengan nada bergetar. Wanita itu menutup kelopak matanya, merapalkan permohonan. Sedang Yujin memilih menatap wajah manis yang dengan serius komat-kamit membuat permohonan. Lelaki itu gemas dengan sikap Shinta yang sok tidak peduli tetapi justru paling serius melakukan permainan flip flop.
Melihat keseriusan Shinta, Yujin akhirnya mengikuti memejamkan matanya dan membuat permohonan. Shinta yang sudah selesai mengucapkan permohonan, kemudian membuka mata. Di depannya, dilihatnya Yujin yang menutup matanya. Wajahnya dengan mata tertutup itu terlihat tenang. Tidak terlihat gerakan di bibir merah pemuda itu. Yujin mengucapkan permohonannya di dalam hati. Melihat Yujin yang berbaring miring menyangga samping kepalanya dengan telapak tangan kirinya, membuat detak jantung Shinta berdegup kencang.
Saat Shinta tengah sibuk menjelajahi lekuk wajah Yujin, mata lelaki itu terbuka. Shinta terkesiap, dan mengalihkan pandang. Gadis itu berdeham, mengembalikan perhatiannya pada lanjutan permakinan flip flop.
"Sudah?'
"Sudah," jawab Yujin.
"Ok, kita hitung sama-sama," kata Shinta.
Bersama-sama mereka menghitung. "Satu ... dua ... tiga ...."
"Flip!" seru Shinta.
"Flop!" seru Yujin bersamaan.
Mendengar kedua kata itu berbeda, Shinta membelalak dan tanpa pikir panjang, berhambur memeluk Yujin. Suatu kebiasaan Shinta saat bermain flip-flop dan bila kata yang diucapkan berbeda maka dia kan memeluk lawan mainnya.
Mata sipit Yujin membulat, saat lengan Shinta merangkul di lehernya. Namun dia menikmatinya. Aroma lembut white musk dari belakang telinga Shinta menguar menyusup di lubang penciuman Yujin, membuat lelaki itu membalas merengkuhnya.
"Ma ... kebiasaan ya? Kalau dapat flip flop suka peluk-peluk. Yu di bawah Mama!" Kesadaran Shinta pulih. Dia mengurai pelukannya dan wajahnya sangat dekat dengan wajah Yujin. Lantas dia mengambrukkan badan dan memalingkan pandang. Pipinya merah padam dan terasa panas. Dalam hati, Shinta merutuki spontanitasnya.
Yujin terkekeh. "Mr. Bae, jangan tertawa!!" Shinta melirik kesal pada Yujin yang masih tertawa menggelegar. Suara beratnya mengudara di ruangan yang biasa sunyi dan hanya diisi suara feminin Shinta dan suara anak kecil.
"Kebiasaanmu lucu sekali Shinta!" ujar Yujin.
Melihat mamanya yang memerah pipinya dengan pelototan tajam, maka Eugene menyikut Yujin agar menghentikan tawanya. "Pa, diam. Mama mukanya udah nakutin tuh."
Yujin berhenti tertawa tiba-tiba dan menoleh ke arah Shinta. "Bae Yujin ...," desis Shinta.
"Iya ... aku diam!" Yujin menutup mulutnya dengan kedua tangannya, memilih membaringkan tubuhnya lurus terlentang.
Mereka diam dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat. Sampai akhirnya, Eugene memecah keheningan. "Ma, Pa ...."
"Iya." Hanya Yujin yang menjawab.
"Yu senengggg banget, akhirnya bisa bobok sama Mama dan Papa," ujar Eugene.
Kembali Yujin mengubah posisi ke samping. "Papa di sini 'kan Yu. Akan selalu bersama Eugene."
"Yu takut tidur. Bagaimana kalau saat bangun, Papa tidak ada di sini?" Kilatan bulir bening kini sudah menumpuk di pelupuk mata anak kecil itu.
"Yu, Papa ada di sini. Untuk kita. Bukan begitu, Pa?" Shinta menatap lekat bola mata Yujin yang terlihat membesar karena terkejut mendengar ucapan Shinta.
"Ah, ya ... Pasti Papa ada buat Yu dan Mama," jawab Yujin
Seketika gemuruh ombak kebahagiaan melanda batin Yujin. Alisnya masih mengernyit, tak percaya dengan yang dikatakan oleh ibu Eugene. Dan, keputusan tak sampai semenit itu dibuat oleh Shinta tatkala, mendengar anaknya mengatakan bahwa ia bahagia.
Keputusan final telah terlontar dari bibir Shinta. Dalam hatinya, ia ingin membuka sedikit hati untuk Yujin. Setidaknya Shinta beralasan agar Eugene bisa sedikit mencecap kebahagiaan mempunyai seorang ayah. Shinta ingin mencoba demi puteranya.
Yujin masih melempar pandang ke arah Shinta. Memandang ekspresi wajah Shinta yang membingungkan.
"Are you serious, Shinta?" tanya Yujin masih tetap tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
" Are you kidding me, Lieutenant Bae?" balas Shinta.
"Nope! Aku serius!"
"Aku coba mempertimbangkan apa yang kamu katakan tadi di kantor," kata Shinta. "Lagipula seorang ibu, demi apapun, mengharapkan kebahagiaan bagi anaknya. Kalau boleh aku akan menggadaikan nyawaku demi seulas tawa yang menguar di udara dan tarikan bibir yang merekah di wajah Eugene."
Bagaimana pun Shinta tetaplah seorang ibu. Melihat anaknya yang berlinang air mata di pelupuk matanya, membuat Shinta tak tega bila si kecil itu merana. Anak itu tidak bersalah telah terlahir di dunia.
"Really?" Mata Yujin tampak berbinar.
"Pelan-pelan. Kita jalani pelan-pelan ... Oke?"
Yujin tersenyum teduh dengan wajah penuh pengertian. "Thank you for giving me a chance, Shinta."
Aseekkk, Shinta mau membuka hati dikit
Shinta ingin mencoba membuka hati demi putranya
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro