Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-Tiga Belas-

Kasih vote dan komen donk? Mosok kudu ngrengek macem Yu🙄

❤Happy reading❤

Yujin duduk di bibir ranjang sebelah Shinta berbaring. Adyrasha mengajak Eugene keluar, membiarkan lelaki muda itu menemani Shinta. Adyrasha percaya Bae Yujin akan menjaga anak perempuannya setelah melihat apa yang terjadi. Entahlah, itu keyakinan lelaki renta yang berharap ada pria yang mau menerima Shinta apa adanya.

Yujin menatap lekat Shinta yang berpeluh tipis di keningnya. Ditariknya selembar tissue di nakas dekat ranjang, kemudian menyekanya dengan menempelkan pelan di atas dahi Shinta. Pelipis Shinta kini dibanjiri bulir bening yang berasal dari kelopak mata yang terpejam. Deras ... hingga membasahi bantal yang bersarung motif bunga tulip.

Yujin menunduk, membisikkan sesuatu di samping telinga Shinta. "Menangislah. Keluarkan ...  semua kesedihanmu. I will wipe your tears, Shinta."

Bisikan Yujin itu seolah membuka katup di kelenjar air mata Shinta, membuat gadis itu tidak hentinya mengeluarkan butiran bening yang sarat dengan kesedihan dan kekecewaan.

Yujin hanya bisa melingkarkan lengannya di atas badan Shinta, berulang kali membisikkan kata, 'It's Okay, i'm here', seraya menepuk lengan atas perempuan itu.

Melihat Shinta yang sudah tenang, Yujin berniat keluar. Setidaknya dia tahu, dia bukan suami Shinta yang bisa berlama-lama hanya berdua di dalam kamar. Saat akan beranjak, terdengar lirih suara Shinta.

"Don't leave me alone." Yujin menoleh, mendapati Shinta yang masih tergolek lemah dengan mata terpejam.

"I'm here, aku menunggumu di luar. Sekarang beristirahatlah!" Bae Yujin menaikkan selimut yang menyelubungi Shinta. Dan dengan langkah pelan keluar kamar tanpa menutupnya.

Mata Shinta terbuka perlahan mengikuti gerakan Yujin yang menjauh. Batinnya yang penat selama ini terasa longgar ketika semua kesesakan yang merongrongnya berhasil meluap tiada henti sore itu.

Bae Yujin, siapa kamu? Aku takut akan bergantung padamu ... Sebaiknya kita sudahi mimpi indah ini.

***

Sore ini Yujin ditahan oleh Yu kecil yang merasa menjadi anaknya. Eugene bahkan mengajak Yujin untuk memandikannya.

"Yu, bukankah kamu sudah bisa mandi sendiri?" Adyrasha merasa cucunya berubah menjadi manja begitu Yujin yang dianggap papanya datang.

"Yu 'kan tidak pernah dimandikan Papa,  Mama pun jarang. Hanya Kakung dan Mbak Sri yang memandikan Yu," protes Eugene.

"Tidak apa-apa, Pa,"

Pa? Papa? Lelaki dewasa muda ini memanggilku Papa? Kenapa aku senang? Seolah aku mendapat anak laki-laki ... bukan, lebih tepatnya seorang menantu.

Adyrasha hanya melongo saja. Kehadiran Yujin seolah membiusnya. Memberi kenyamanan dan sedikit bisa mengangkat beban yang bertahun-tahun dipikul pundaknya.

Dan sekarang, Yujin dan Eugene sudah berada di kamar mandi. Yujin membasuh badan kecil Eugene. Ia tak pernah menyangka, karena ketidakpeduliannya, seorang anak telah lahir.

"Pa, kenapa diam saja?" tanya Eugene saat Yujin menggosok punggungnya.

Mereka saling bertatap mata. Warna manik mata warna hazel brown milik Eugene persis warna manik mata milik wanita yang melahirkan, dan bibir itu persis bibir merah Shinta. Betapa Tuhan sungguh ajaib menghadirkan bocah itu. Dalam waktu tak kurang satu jam, dari keterlambatannya, benih pemerkosa itu telah tertanam di rahim Shinta yang subur, bersatu dengan sel telur Shinta, sehingga tertanamlah bibit janin di dinding rahim perempuan itu.

Yujin termangu, masih dengan gerakan tangan menyapu spon di badan Eugene. Lamunan Yujin dibuyarkan oleh percikan air di wajahnya.

"Hei .... " Yujin mengusap tetesan air di wajahnya itu dengan lengan kaus. Lengkungan bibir membentuk senyum menyembunyikan mata sipit Yujin.

"Papa kenapa diam saja?" tanya Eugene dengan alis mengkerut karena merasa tidak dipedulikan.

"Ah ... Papa hanya ... berpikir." Yujin menegakkan tubuhnya, mengambil shower yang tergantung, lantas menekan kran, membuat air memancar menyirami tubuh Eugene yang berbalut busa sabun. "Kamu ... pasti rindu Papa?"

Eugene mencebik. Anak itu memejamkan mata erat sambil mengusapnya. Gerakan bibirnya mengisyaratkan kalau Yu kecil menahan tangis. "Hei, Yu ...." Yujin membulat matanya saat mendengar isakan lirih. 

Yujin merendahkan posisi badannya, duduk berjongkok dengan tumit. Lelaki itu meletakkan begitu saja shower yang masih menyemprotkan air.

"Yu?" tanya Yujin dengan tautan alis di pangkal hidungnya.

"Papa ... Yu kangen Papa," Eugene menghamburkan pelukannya di badan kekar lelaki yang dianggap papanya.

Yujin membalas pelukan Eugene dengan melingkarkan lengannya di badan kecil itu. Tak mempedulikan kausnya basah karena tertempel oleh buliran air yang masih melekat di badan Eugene.

"Iya, Papa akan ... ada bersama Yu," kata Yujin lirih.

Eugene kecil menangis di bahu kekar 'sang ayah'. Tepukan lirih di punggungnya membuat anak itu merasa ada 'papa' yang selalu mengawasi walau tak terlihat.  Yujin mendorong pelan badan Eugene. Memperhatikan anak yang masih mengusap matanya, sementara isakannya masih menggaung di kamar mandi.

Yujin menangkup pipi Eugene yang merah seperti tomat. "Yu, anak lelaki ... tidak boleh cengeng. Karena anak lelaki adalah jagoan mama dan papanya. Ehm?" Alis Yujin terangkat menanti anggukan kecil Eugene.

"Ayo, guyur badanmu!"

Yujin melanjutkan menyiram tubuh Eugene. Badan kecil itu masih sesekali bergetar dengan isakan halus yang masih terdengar. Dada Yujin terasa sesak. Dia tidak berbuat dosa perzinahan itu, tetapi ia menutup mata atas perbuatan dosa itu, membuat seorang anak terlahir dan menyeretnya dalam mimpi buruk selama ini.

***

Adyrasha masuk ke kamar Shinta saat dua lelaki beda generasi itu berada dalam kamar mandi. Adyrasha melihat kondisi putrinya yang sudah tenang. Gerakan spring bed yang menggoyangkan tubuhnya, membuat Shinta membuka kelompak matanya.

"Pa ...."

"Bagaimana keadaanmu Shinta?" tanya sang ayah. Shinta hanya tersenyum lemah memberi tanda bahwa ia lebih baik.

"Shint, bagaimana menurutmu dengan lelaki bernama Bae Yujin itu?" Shinta memalingkan wajahnya, sambil menggigit bibir bawahnya. "Sepertinya dia sungguh-sungguh ingin kembali—"

"Kurenungkan beberapa waktu tadi, sepertinya dia hanya didera rasa bersalah, Pa," kata Shinta. "Papa tahu, tidak mudah jalan yang harus ditempuh seorang lelaki yang ingin bersamaku ..." Shinta menghela napas. "Dia pasti punya keluarga yang tidak akan mudah menerima anak lelakinya bersama wanita korban pemerkosaan dan seorang anak."

"Tapi, sepertinya dia serius—"

"Pa, dia lelaki yang baik. Dia pantas mendapatkan gadis yang lebih baik dari aku. Dan ... aku tidak ingin terluka lagi karena penolakan. Aku tidak ingin hidup dalam mimpi indah yang semu," ujar Shinta.

Adyrasha termangu. "Pa, suruh dia pergi. Sebelum kita semakin larut dalam euforia maya yang tidak jelas."

***

Malam itu, Eugene benar-benar tidak melepaskan Yujin. Dia hanya ingin menempel pada 'ayahnya'. Adyrasha masih berpikir dan menimbang percakapannya dengan putrinya. Sampai akhirnya Adyrasha memutuskan menuruti apa kata Shinta. Kakek Eugene itu memberi kode pada Yujin untuk mengikutinya ke kamar.

"Yu, belajar dulu. Papa ... dipanggil Kakung." Eugene mendongak dan sambil tersenyum, dia mengangguk.

Yujin pun akhirnya meninggalkan Eugene untuk mengikuti Adyrasha ke kamar depan. Begitu Yujin masuk, Adyrasha menitahkan agar menutup pintu menyisakan celah, agar bila ada sesuatu dengan Shinta ia masih dapat mendengar.

"Tutup separuh pintunya!" Yujin melakukan apa yang dititahkan. "Di sini, pintu pamali untuk ditutup rapat. Pernah waktu itu, aku mendengar Shinta terkena serangan panik dan hampir melukai Eugene yang masih bayi. Karena  Shinta mengunci pintu, aku memukul handle pintu hingga rusak. Sejak saat itu, aku membuat semua pintu tidak dapat dikunci bahkan dengan kamar mandi." Adyrasha mengenang masa beratnya bersama putrinya yang terpuruk.

"Sini duduklah!" Adyrasha menepuk sebelah kasurnya, dan lagi Yujin menurut, duduk di sebelah Adyrasha.

"Mas ..." Adyrasha terkekeh sendiri, bingung menyandangkan nama panggilan. Tidak enak bila memanggil 'Pak' karena Yujin lebih pantas menjadi anaknya. "Tidak apa-apa 'kan aku memanggil  dengan sebutan 'Mas'?"

"Boleh, Pa," Yujin tersenyum, "Bolehkan ... saya memanggil 'Papa'?"

Kembali Ady tertawa. "Boleh, boleh sekali."

Lelaki tua itu menepuk punggung lelaki muda itu. Otot Yujin terasa begitu liat karena latihan fisiknya selama menjalani dunia militer. "Kamu ... kenapa kamu kesini?"

Pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Yujin. Beberapa detik suasana hening. Hanya detikan jarum jam dinding yang menguasai kesunyian mereka.

Yujin menghela napas panjang. "Pa, bolehkah saya menjadi ayah Eugene ... dan pendamping Shinta ... yang sepadan?"

Adyrasha menoleh, dengan mata yang membelalak. Warna putih di matanya perlahan-lahan memerah. Ia menggigit bibir bawahnya kuat, masih memasang telinganya.

"Saya ... ikut berdosa atas kejadian itu. Seandainya nurani saya tak mati, mungkin kejadian nahas itu tak akan terjadi, dan kehormatan Shinta ... tak akan terenggut. Saya menyesal ... sudah lalai berbuat baik! Membayangkan mata Shinta ... yang  ... yang ...." Yujin menunduk menangkup wajahnya. Bayangan wajah Shinta yang berantakan dengan mata sendu yang penuh luka itu kembali muncul di ingatannya.

Adyrasha memeluk tubuh Yujin. Tak menyangka lelaki itu adalah orang yang menolong, tetapi justru ikut merasa bertanggung jawab atas kejadian itu. "Kesempatan berbuat baik ... saya lewatkan begitu saja. Andai saat itu saya berhenti, dan turun ... pasti saya  tidak akan ... dihantui rasa bersalah!"

Oh, ternyata dia merasa bersalah. Adyrasha sedikit merasa kecewa.

Tubuh Yujin gemetar, masih menangkup wajahnya yang juga sama merasa menderita. "Apa susahnya turun dan menolong?" Kini Yujin memukul pahanya sendiri melampiaskan emosinya. "Dan ... saat saya kembali, Shinta hanya bergumam ... 'Kenapa tidak menolong? Cukup sulitkah berbuat baik?', gumaman itu menghantui  ... setiap malam dalam tidur saya. Berbuat baik sesering apapun, rasanya  ... tidak mampu menebus kesalahan saya padanya. Papa, pernahkah Papa sadari ... bahwa kebaikan sekecil apapun ... ternyata sangat bermakna bagi orang lain? Sayangnya, saya baru menyadarinya setelah peristiwa itu terjadi."

"Mas Yujin, aku tidak tahu ikatan batin kalian sebegitu kuatnya. Tapi, tidak mudah bisa menyelami Shinta. Dia sudah benar-benar menutup hatinya untuk orang lain," kata Adyrasha dengan prihatin.

"Kalau pintu itu tertutup, saya akan mengetuk sampai Shinta membukakannya." Yujin menoleh memandang Adyrasha.

"Mungkin itu bukan cinta, Mas. Itu hanya rasa bersalah," Adyrasha menyimpulkan.

"Rasa bersalah?" gumam Yujin lirih. "Tak bisakah saya bersama Shinta untuk menebus kesalahan itu?"

Adyrasha tersenyum. "Masa depanmu masih panjang. Shinta pun tahu niat baikmu. Kalau kalian memang berjodoh, biarkan perasaan itu berkembang seiring berjalannya waktu."

....

....

Mereka kembali diam dan berkutat dalam perenungan masing-masing.

"Mas, setelah ini pulanglah. Aku tidak ingin Yu menjadi lemah, dan bergantung padamu," kata Adyrasha.

"Tidak bisakah aku tinggal hingga dia terlelap?" tanya Yujin menawar.

"Maaf, tapi aku harus melindungi hatinya. Aku tidak ingin Yu terperangkap dalam kebahagiaan semu." Adyrasha terdiam sesaat. "Bagaimanapun kamu bukan ayahnya."

Yujin menelan ludah kasar. Itulah kenyataannya. Benedict Eugene Adyrasha bukanlah anak kandungnya. Dia adalah anak dari hasil ketika Yujin menutup mata batinnya terhadap ketidak adilan dan penindasan.

"Aku ... tahu," kata Yujin lirih.

"Pulanglah. Biarkan kami melanjutkan hidup kami seperti dulu," ucap Adyrasha seraya memeluk Yujin yang dibalas dengan rangkulan erat. Pelukan Adyrasha bagaikan pelukan seorang ayah yang tak pernah Yujin cecap. Seperti Eugene yang merindukan seorang ayah, Bae Yujin merasakan kehangatan pelukan seorang ayah dalam diri Adyrasha.

Yujin bangkit, keluar dari kamar. Di ruang tengah tak didapati Eugene yang tadi belajar. Yujin mencarinya untuk berpamitan, dan lelaki itu menemukan Eugene sedang mengelus-elus kening mamanya. Hati Yujin nyeri seperti tersirat sembilu mendapati pemandangan ibu dan anak itu. Ingin rasanya Yujin berlari dan merengkuh mereka.

"Yu," panggil Yujin.

"Ya, Pa?" Eugene menoleh ke arah sumber suara berat itu.

"Papa harus kembali." Ada nada getir di dalam suaranya.

"Papa harus kerja lagi?" tanya Eugene dengan tatapan polosnya.

"Iya, supaya bisa  ... memberantas kejahatan." Tarikan bibir canggung berusaha dikembangkan untuk menutupi nyeri batinnya.

"Kapan Papa pulang?" Tenggorokan Yujin terasa tercekat. Suaranya tak dapat keluar untuk menjawab pertanyaan anak itu.

Pulang?

"Kalau urusan ... sudah beres, Papa akan pulang." Hanya itu yang bisa dijawab oleh Yujin.

"Bisakah Papa disini ..." Mata Eugene mulai berkaca. "semalam saja?"

Rahang Yujin mengatup erat. Kepalan tangannya bergetar menahan gejolak emosi. Lelaki itu ingin berada di sisi Eugene. Sejak saat pesan itu terkirim di inboxnya, Yujin jatuh cinta dengan anak kecil itu. Delapan tahun setelah hatinya tergetar dengan wajah manis Shinta yang ia jemput kembali.

Buncahan emosi antara rasa bersalah, rasa iba dan rasa sayang yang mulai menjalar di hatinya membuat Yujin menapakkan kaki selangkah demi selangkah mendekat, membuat Eugene melompat dan menghamburkan pelukan ke lelaki yang menjadi figur ayahnya.

"Papa, jangan pergi! Yu mohon jangan tinggalkan Yu dan Mama!" Eugene menangis sejadi-jadinya, membuat Shinta terbangun dan terkejut mendapati putranya memeluk Yujin.

Shinta tersentak dan bangkit dari tidurnya. Ia berusaha mengurai lengan kecil yang merangkul di pinggang Yujin. "Pa, Yu mohon! Yu akan belajar rajin!!"

Begitu tautan lengan itu terlepas, Shinta berseru, "Kumohon, pergilah dari hidup kami! Kami tidak butuh belas kasihanmu!"

"Shint, ini bukan hanya sebatas kasihan! Bukankah kamu memintaku untuk tidak meninggalkanmu?" ucap Yujin.

"Itu kesalahan! Lupakan apa yang kukatakan! Kumohon pergilah!" kata Shinta lirih berusaha menahan Eugene yang meronta hendak merengkuh kembali sang ayah, "Pergilah! Kumohon ..."

Sergahan Shinta itu membuat Yujin mundur. "Shint, maafkan aku. Sungguh aku ingin menebus segala kesalahanku."

"Tidak perlu meminta maaf, Bae Yujin. Semua sudah terjadi. Jangan membuat kami hidup dalam mimpi indah yang semu—"

"Ayo, Mas!" Adyrasha menarik tangan Yujin, menuntun pria itu keluar. Eugene meronta berteriak dan menyerukan nama 'Papa' yang membuat batin Yujin tersayat. Sementara dari jauh, Yujin mendengar Shinta berusaha mengendalikan anak lelakinya dengan bentakan yang syarat dengan kepiluan.

Aku hanya ingin Papa -B. Eugene

Aku ingin menjadi papa bagi Yu, dan suami bagi Shinta - B. Yujin

💕Dee_ane💕💕

Part akhir dee kok sedih ya?😔
Dee heran, gimana bisa bikin ide njlimet macem cerita ini?
Masih bisa ngikutin ceritanya?
Suka ga sih kalian sama cerita ini? Kenapa??🙄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro