Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-Tiga-

Shinta mendesah panjang. Puskesmas Banyuanyar, tempatnya bekerja, sebentar lagi akan menjalani reakreditasi. Itu artinya, akan banyak waktu yang harus diluangkan oleh Shinta mengerjakan segala tetek bengek persiapan survey. Sejak apa yang terjadi dengan Eugene seminggu lalu—pulang dengan wajah memar dan berdarah karena berkelahi—Shinta memutuskan untuk mengundurkan diri dari ketua Mutu. 

Shinta sudah mencium pemberontakan kecil anak itu. Ada sesuatu yang tidak memuaskan batin anaknya. Walau Shinta tahu, jawabannya adalah keberadaan seorang ayah. Dan untuk menghindari letupan yang tidak diinginkan, sebagai seorang singleparent, Shinta harus berusaha menjalankan fungsinya tak hanya sebagai seorang ibu, tetapi juga seorang ayah.

Sayangnya, permohonan pengunduran diri itu, ditolak dengan alasan tak ada calon pengganti lainnya, dan tidak bisa begitu saja Shinta mundur dari jabatannya di tengah tahun berjalan. Shinta paham, konsekuensi dari jabatan yang memperoleh point tinggi dalam pembagian Jasa Pelayanan : pekerjaan yang menumpuk, stress tinggi, dan waktu bersama anaknya yang harus dikorbankan.

Ditengoknya jarum jam di arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya.

Jam 14.00 ... aku harus mengantar Yu ke tempat latihan karate ....

Mata Shinta mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Karyawan lainnya sudah mulai suntuk dengan berbagai gaya duduk yang tertangkap matanya. Bahkan ada yang terang-terangan menguap. Lokakarya Mini Puskesmas kali ini sungguh menjemukan dengan permasalahan yang sama tiap bulan.

"Mas Argo, aku duluan ya." Shinta berbisik di dekat Argo, dokter umum yang sangat dekat dengannya.

Belum berhasil Shinta mengangkat badannya, Argo sudah menahan lengannya. "Kemana?" desis Argo dengan alis yang terangkat. Shinta memutar bola matanya. Kesal. Inginnya cepat, tetapi malah diinterograsi.

"Aku harus mengantar Yu latihan karate!" Suara Shinta yang berbisik tampak kesal.

"Shint, kamu kan ketua mutunya. Masa kamu menghilang di tengah lokmin!" protes Argo.

"Anakku lebih penting, Mas! Siapa suruh menolak pengunduran diriku jadi ketua mutu!" Shinta menepis kuat tangan Argo. Perdebatan mereka mengundang lirikan dan bisikan dari rekan karyawan Puskesmas.

Shinta tak peduli. Dia sudah memberitahu sebelumnya, kalau hari Senin, Rabu dan Jumat adalah hari di mana dia harus mengantar Eugene latihan karate, mulai minggu ini. Dan, lokmin tetap diadakan di hari Rabu. Shinta tak mau mengingkari janjinya pada lelaki kecil yang dilahirkannya. Shinta nekad berdiri, diikuti pandangan Argo, dan Bella—dokter senior yang menjadi kepala Puskesmas. Wanita itu berjalan menyisir tepi aula, tak mempedulikan tatapan aneh yang ditujukan padanya.

Kalian tidak merasakan jadi aku!

Shinta menuruni tangga menuju ke lantai satu. Langkahnya berderap menggema di bangunan baru yang masih bau cat.

"Shint!" Shinta tahu, suara berat itu adalah Argo. Langkah panjang lelaki itu bisa menjangkau Shinta, menyergap pergelangan tangannya.

Shinta menepis tangan Argo. "Apa sih, Mas? Aku keburu telat nih!"

"Kamu dipanggil Bu Kapus." Shinta mendengkus keras. Kapus singkatan dari Kepala Puskesmas. Argo tak pernah memanggil kepalanya dengan nama Bella.

"Ya ampun! Selalu ya Bu Bella bikin posisiku sulit!" keluh Shinta.

"Selesaikan dulu tugasmu seperti biasa!" tukas Argo berbalik. Dia tahu bagaimana karakter Shinta. Perempuan itu adalah perempuan perfectionis yang selalu ingin tampil sempurna.

Shinta mencebikkan bibir. Mengikuti Argo dari belakang, untuk menuntaskan tugasnya. Saat memasuki aula, semua mata yang ada di situ menoleh ke arahnya. Sejenak, Shinta membalas tatapan orang-orang itu, yang kemudian mereka mengalihkan pandangan ketika Shinta melemparkan tatapan yang cukup sengit. Shinta tahu, pasti karena Argo menyusulnya. Membuat gosip tentangnya di Puskesmas itu semakin berbumbu sedap.

***

Waktu sudah menunjukan pukul 15.00 saat Shinta tiba di depan rumah. Eugene yang sudah memakai baju karate lengkap dengan sabuk kuningnya, sudah ada di teras rumah bersedekap dengan mulutnya maju ke depan beberapa centi. Melihat wajah anaknya yang tertekuk, Shinta langsung tahu anak itu sedang marah.

"Yu ... maafkan Mama. Mama ada rapat di kantor!" Shinta tergopoh mendapati Eugene.

"Mama bohong! Kemarin m
Mama bilang akan antar Yu ke tempat latihan." Eugene masih memasang wajah ngambek.

"Iya, maaf. Ini kan Mama sudah datang." jelas Shinta. "Lagian biasanya kalau Mama tidak bisa antar, Yu kan diantar Kakung." Kakung adalah sebutan untuk kakek Eugene—ayah Shinta.

"Eugene tidak mau Kakung antar." jelas Adyrasha, ayah Shinta. "Katanya mau tunggu Mama, karena Mama sudah janji."

Shinta menghela napas panjang. "Ayo, kita berangkat." Shinta mengusap rambut Eugene. Anak itu menepis kasar tangan ibunya.

"Aku sudah terlambat! Mama tahu kalau aku terlambat, Simpe akan memberi hukuman push up tiga set!" keluh Eugene dengan alis mengkerut.

"Eugene, ngerti Mama dikit dong." Nada suara Shinta terdengar berusaha memanjangkan ususnya.

"Coba kalau ada Papa, amama tak perlu repot begini. Sebenarnya Eugene punya papa atau tidak, Ma?!"

Shinta menatap nanar wajah polos Eugene, lidahnya kelu tak mampu berucap. Kebohongan sudah terlanjur terlontar dari mulutnya sejak dulu, sewaktu Eugene kecil menanyakan ayahnya. Dan, kini kebohongan itu membawa Shinta dalam labirin kebohongan yang tidak berujung.

"Yu, masih mau latihan karate tidak?" tanya Shinta tak mengindahkan tanya Eugene.

"Yu mau latihan. Diantar sama Kakung!"

Adyrasha memandang anak perempuannya. Wajah Shinta kini sangat buram, dengan campuran emosi yang terlihat. Menahan rasa jengkel, kesal dan marah pada anaknya sendiri.

"Jangan dimanjakan, Kung! Aku tidak ingin dia bersikap seperti bapaknya!" desis Shinta pelan berusaha tak terdengar oleh Eugene.

Shinta masuk ke dalam rumah menuju kamar yang dipakainya istirahat bersama sang anak. Dilemparnya tas punggung kecil warna hitam di atas ranjang. Wanita itu merubuhkan pantat di bibir ranjang, membuat kasur springbednya memantulkan tubuh kecilnya.

Shinta mengembuskan napas keras melalui mulutnya, mengusap kasar wajahnya yang sudah kusut. Pikirannya campur aduk antara urusan Eugene dan pekerjaan.

"Bu, nilai UTS Eugene rendah. Sewaktu pelajaran pun tidak fokus. Terlebih akhir-akhir ini dia begitu sensitif. Bila ada yang tidak disukainya, dia akan memukul temannya. Ya, seperti yang ibu lihat kemarin, Eugene pulang dengan wajah memar dan berdarah." Shinta teringat ucapan wali kelas Eugene saat dipanggil ke sekolah tadi pagi.

"Salahkah aku mempertahankan anak itu? Yang justru membuat anak itu tersakiti?"

Ingatan Shinta melayang saat mendapati dirinya hamil. Betapa frustasinya seorang perempuan muda tanpa suami yang mengetahui ada janin yang bersemayam di rahimnya. Obat apapun tak bisa meluruhkannya. Sampai akhirnya Adyrasha tahu apa yang dialami anak gadisnya.

"Bayi itu tidak berdosa! Kamu yang akan berdosa dengan membunuhnya. Selamatkan janin itu!"

"Tapi dia tidak punya ayah!  Lelaki itu pergi, apa yang harus Shinta lakukan? Shinta malu, Pa!"

Shinta ingat, baru kali itu ayahnya menatap dirinya kecewa. Kecewa karena kenyataan anak gadis yang selama ini dijaganya hamil di luar nikah. Dan lelaki yang harusnya bertanggung jawab, pergi.

"Maafkan Mama, Eugene! Sejak awal, Mama tidak bisa memberikan kehidupan normal bagimu."

***

"Yu, kita jalan-jalan dulu yuk." Adyrasha berusaha menghibur cucunya sepulang dari latihan. Perangai anak itu sangat keras. Pria itu menduga mungkin itu sifat dari lelaki yang menabur benih di rahim anak gadisnya.

"Kung, Papa Eugene, gimana orangnya?" tanya Eugene tiba-tiba. Adyrasha menelan ludah kasar. Takut salah menjawab.

"Ehm ... gimana ya?" Adyrasha hanya menatap lurus ke jalanan, tangan kirinya masih memegang setir bulat dan tangan kanannya mengusap janggut putih yang mulai tumbuh, mencari jawaban yang pas.

Eugene menunggu dengan sabar kakeknya bicara. Adyrasha mengerling ke arah Eugene, paham bahwa cucunya meminta jawaban. "Katanya sih ganteng, tapi ga seganteng Kakung ...."

Eugene mengangkat bibirnya, memberi pandangan mencemooh. "Bukan jawaban itu. Eugene tahu kalau papa ganteng."

"Tahu dari mana?" Alis lebat Adyrasha mengkerut. Dia hanya tahu sekilas lelaki yang menghamili anaknya itu.

"Kung ... Kung! Menepi bentar yuk!" Lelaki tua itu memutar setir, menepikan mobilnya di bawah pohon Acasia yang besar. "Pinjam hpnya ya Kung? Yu mau tunjukan sesuatu ...."

"Apa?" Eugene mengambil hp yang ditempelkan di media player dengan casing yang di belakangnya terdapat tentakel perekat kaca. Eugene menariknya, dan membuka kunci yang sudah menjadi rahasia umum di antara mereka.

Jemari kecil itu mengetikkan sesuatu dan setelah dia menemukan yang dicari, mata Eugene membulat.

"Kung, Papa balas pesan Yu!"

***

Yujin menatap smartphonenya. Kali ini entah kenapa, Yujin ingin menyapa anak laki-laki itu. Lagi, Yujin meminta tolong Bima mengetikkan pesannya dengan imbalan akan mengenalkannya pada Bae Hara, sepupunya yang tergabung dalam girlband XOXO yang saat itu sedang digandrungi para lelaki.

"Beneran loh!" Bima meyakinkan janji Yujin.

"Iya. I swear!" Yujin mengacungkan dua jarinya membentuk huruf 'V'.

"Baiklah kalau begitu." Jemari Bima lantas mengetikkan sebuah pesan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan terjemahan apa yang terucap dari mulut Yujin. Walau Yujin sedikit bisa bahasa Indonesia, tetapi ia tidak ingin bila ada kesalahan yang mengaburkan makna.

"Dear, My Son ...."

"Dear, My Son?" Belum juga Bima mengetik, sebuah kalimat protes sudah meluncur. "Ini pembohongan, Letnan!"

Yujin berdecak. "Sudah tulis saja! Ingat nomor Bae Hara menunggu!"

Bima mendecih. Laki-laki itu tak lagi protes, hanya saja ketika apa yang didengarnya terasa aneh, Bima membuat ekspresi tak enak dipandang.

Dear, My Son ....

Eugene, ini Papa. Maaf, Papa baru bisa membalas pesanmu begitu lama karena terlalu sibuk. Kamu tahu, menjadi tentara di perbatasan Gaza tidaklah mudah karena menantang maut. Dan akhirnya, Papa baru ada waktu membalasnya.
Terima kasih Eugene, karena sudah menyapa Papa. Kamu sudah tumbuh dengan besar. Terima kasih sudah menjaga mlMama untuk Papa.

Bima menggeleng-geleng tak percaya dengan apa yang sang komandan timnya ucapkan. Lebih tak percaya lagi, dia ikut dalam konspirasi membohongi anak kecil, hanya demi beberapa angka yang menghubungkannya dengan idol K-Pop kesukaannya.

Bima masih melanjutkan mengetik. Jemarinya sangat tangkas menyentuh keypad di layar sentuh gawai Yujin.

Bagaimana latihan karatemu? Pastikan kamu berlatih dengan rajin. Saat Papa pulang kita akan beradu, Yu dengan karatenya dan Papa dengan Taekwondo. Dan Mama akan menjadi wasitnya.
Maafkan, Papa belum bisa pulang. Selama Papa tidak ada, jadilah anak baik untuk mama. Mengerti??

Papa mu

B. Yujin

Pesan telah terkirim. Dan Yujin tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Dia jatuh cinta dengan kepolosan anak yang namanya terdengar sama dengannya.

"Bima, latih aku bahasa Indonesia. Aku dulu pernah bisa sewaktu tinggal di Indonesia."
Bima terperangah. Kali ini dia melihat, Yujin tak main-main. Lelaki itu sepertinya ingin merealisasikan kebohongannya.

🌸Yujin~Eugene~Shinta🌸

Si ganteng Yujin, si imut Eugene dan si manis Shinta datang lagi...
Besok giliran up Tangled...
Makasi sudah membaca..
Yang belum komen..yuk mari jangan pelit ketikkan komennya..
Suka cerita ini? Masukkan library dan reading list..
Yuk follow authornya supaya kalian bisa dapat update terkini coretan imajinasiku..
Happy reading...

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro