Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-Sepuluh-

Vote? Komen?
Jangan lupa ya...

❤Happy reading❤

“Aku akan memaafkan bila kamu pergi dari hidup kami!” tandas Shinta dengan lafal bahasa Inggris yang jelas dan tegas.

Yujin hanya menatap wajah Shinta yang serius. Sesungguhnya dia tidak menginginkan jawaban seperti yang terucap dari bibir berpoles lipstick berwarna netral. Lelaki itu mendesah panjang.

“Itukah yang kau inginkan, Shinta?” tanya Yujin dengan alis mengernyit. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan Shinta dengan bibir atasnya yang tertarik ke samping. “Sayangnya, aku tidak menyetujuinya.”

Kini mata Shinta yang membelalak mendapati respon yang dianggapnya tak menyenangkan. “Hah! Kau pikir aku semudah itu terintimidasi? Aku tidak peduli apa pemikiranmu!”

Bagaikan kilatan arus listrik tegangan tinggi yang keluar dari kedua manik mata Shinta dan Yujin. Perang urat syaraf itu membuat Eugene yang sedari tadi hanya menjadi penonton jengah dan membanting sendoknya.

“Papa, Mama dari tadi ngobrol apa? Yu belum bisa paham!” Dentingan sendok dan garpu yang diletakkan Eugene kasar di atas permukaan meja mengagetkan Shinta.
“Yu!” sergah Shinta tak senang.

Yujin yang duduk di sebelah anak lelaki berumur 8 tahun itu mengacak rambut di pucuk kepala Eugene. “Papa … sedang ehm … talking ...” Yujin mengerucutkan tangannya sembari menggerakan jemarinya seperti paruh bebek yang bergerak-gerak. “tentang … kita!”

Shinta mengeratkan rahangnya dengan meringis sehingga bibirnya yang penuh membentuk bingkai tipis yang memperlihatkan gigi putihnya. Matanya sudah semakin membesar memberikan tatapan menyalang pada lelaki yang baru berapa jam yang lalu dikenalnya. Dengan kesal Shinta memberikan tendangan kuat ke arah kaki Yujin yang membentur tulang keringnya.

“AAWWWW!!!” Yujin terpekik. Tendangan Shinta itu berhasil membuat lelaki kekar itu meringis. Spontan Yujin mengangkat kakinya dan mengusap kuat sambil melayangkan tatapan melotot dari mata sipitnya.

“Kenapa, Pa?” tanya Eugene dengan alis bertaut.

“Hati-hati, ada … ehm,” Yujin berpikir sebentar mencari kosa kata, “ada anjing gila!”

“Mana?” Eugene kemudian menunduk memeriksa di bawah meja.

Sementara Shinta hanya menggerakkan bibir dengan ekspresi tak percaya mengucapkan tanpa suara, “Anjing gila?! Bagaimana bisa kamu menyebut ‘Anjing gila’?”

Yujin terkekeh. Gadis di depannya sungguh terlihat lucu dengan pembalasannya. “Mana, Pa? Tidak ada apa-apa di bawah meja?” Eugene keheranan karena yang disebutkan oleh lelaki yang dianggap sebagai ayahnya itu tidak didapatinya. “Yang ada hanya ada kaki Mama, kaki Papa dan kakiku.”

“Ah … dia rabun, Yu!” jawab Shinta.

“Ih, Mama tidak sopan. Mana boleh bilang ‘dia’ ke Papa. Yu kan diajari untuk sebut ‘Mama’, ‘Kakung’ mana boleh panggil ‘dia’ atau ‘kamu’ ke Papa!” Eugene berceramah panjang lebar.

Shinta mendesah panjang, sedikit kesal karena pengajarannya berhasil dia tanamkan baik, tetapi justru menjadi bahan untuk menyerang dirinya di hadapan laki-laki yang dari tadi meringis terus.

“Bisa tutup mulut tidak? Seringaimu menyebalkan! Bisa-bisa kering gigimu!” Yujin tergelak mendengar desisan yang keluar dari bibir yang tak terlihat tergerak.

“Kamu lucu sekali, Shinta!” Tawa Yujin tak bisa berhenti membuat Shinta semakin jengkel.

“Pa, Pa, apa yang lucu? Kenapa Papa tertawa? Sepertinya aku harus belajar bahasa Inggris supaya bisa ikut percakapan kalian.” Eugene mencebik dengan melipat tangan di depan dada. Wajahnya tertekuk karena merasa tak dianggap.

Yujin menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya dengan buku jari tengahnya, kemudian dia menunduk menyamakan posisi mulutnya di samping telinga Eugene. Dengan sorot jenaka, Yujin sekali melirik Shinta saat membisikkan kata-kata di liang pendengaran Eugene. Anak kecil itu menggeliat kegelian sambil menggerak-gerakkan kepala saat bisikan itu berembus di telinganya.

Kedua lelaki beda generasi itu terkekeh sementara rahang Shinta hanya bisa menganga lebar melihat keduanya cekikikan.

Ini tidak benar! Dia bukan siapa-siapa, dan dia adalah orang asing! Aku harus waspada!

“Yu, sini! Duduk dekat Mama!” Alih-alih Eugene yang bergerak, tetapi justru lelaki kekar berjaket kulit hitam dan berkaus putih itu yang memindahkan pantatnya mendarat di kursi sebelah Shinta.

Rahang bawah Shinta semakin tertarik oleh gravitasi bumi, dan manik matanya hanya bergulir mendapati Yujin yang menggeser mangkok baksonya melintang di meja sementara pria itu bergerak cepat bagai super hero The Flash yang bergerak secepat kilat berpindah ke sebelah Shinta.

“Kenapa kamu kesini?” Kali ini Shinta sudah kesal sehingga kosa kata bahasa inggrisnya tak dapat keluar.

“Yu, sini! Duduk dekat Mama!” Yujin menirukan Shinta berbicara yang dianggapnya berlebihan sehingga Shinta hanya bisa memutar bola matanya. “My name is Yu, right? Yujin. Sound like Eugene.” Yujin meringis menyembunyikan mata sipitnya.

Shinta menghela napas panjang. Ingin marah, tapi memang benar namanya Yu, Yujin. Shinta merutuk dalam hati, sedikit menyesal kenapa di antara jutaan nama yang ada di bumi ini, dia memilih nama Eugene yang bila dilafalkan berbunyi persisi seperti nama Yujin.

“Yu …” panggil Shinta.

Nama kedua lelaki itu menjawab serempak, “Ya …”

“Mr. Bae, saya memanggil anak saya. Mengerti?” Yujin mengulum senyum sambil mengangkat alis dan mengangguk berulang.

“Benedict Eugene Adyrasha …” Shinta terpaksa harus menyebut Eugene dengan nama lengkapnya, “cepat habiskan baksomu dan kita pulang.”

“Siap, Ma! Ayo, Pa, cepat habiskan! Hujan-hujan begini enaknya tidur siang di bawah selimut di tengah-tengah Mama Papa.”

Bakso yang belum sempat terkunyah itu tertelan ke tenggorokannya saat Shinta mendengar ucapan Eugene. Shinta reflex terbatuk tapi bulatan daging giling itu tak juga mau terlontar keluar. Gadis itu hanya bisa menepuk-nepuk pundak Yujin. Air muka Shinta sudah memerah dan gadis itu mulai kesulitan bernapas.

“Pa, Papa, Mama kenapa?” Suara Eugene yang panic dan tepukan keras Shinta memaksa lelaki itu menoleh ke arah kiri. Mata sipit itu melebar kala mendapati Shinta yang kini menepuk-nepuk dadanya dan memegangi lehernya seperti ingi memeras sesuatu di dalamnya.

Shinta hampir menangis karena bakso itu tak juga tertelan dan justru menghalangi jalan napasnya. Beberapa detik lagi, bisa jadi dia pulang tinggal nama dimana media sosial akan mengukir namanya dengan berita hangat, 'Seorang dokter gigi, inisial S. P, tewas tersedak bakso saat makan bersama anak dan teman lelakinya di warung bakso Pak Samidi'.

Shinta hanya bisa pasrah membayangkan nasib ayahnya yang harus mengurus Eugene bila benar bakso sialan itu akan merenggut nyawanya. Namun, saat asa Shinta pupus, dan kesadaranmu beranjak menurun, Yujin mendorong kursinya ke belakang dengan keras. Saking kerasnya, kursi itu terbanting ke belakang membuat para pelanggan lainnya melonggokkan kepalanya ke arah rombongan mereka.

Dengan cekatan, lelaki tinggi dan berbadan tegap itu mengangkat Shinta sehingga membuat gadis itu berdiri. Shinta hanya bisa pasrah ketika Yujin membungkukkan badannya dan mulai menepuk punggungnya. Karena belum menampakkan hasil yang memuaskan, Yujin memeluk Shinta dari belakang dan mengangkatnya. Kursi yang sedari tadi diduduki ditendang begitu saja memberi tempat lapang agar bisa melakukan teknik tusukan perut. Teknik manuver Heimlich itu dilakukan Yujin dengan melakukan gerakan mendesak perut Shinta ke arah atas.

Badan kecil Shinta terayun-ayun dan surai hitamnya berkibar-kibar saat Yujin berusaha menekan kuat perut Shinta dengan dorongan cepat ke atas. Beberapa kali dorongan dan akhirnya bulatan bakso itu terpental keluar. Bola daging itu menggelinding setelah beberapa kali terpental di lantai.

Shinta terbatuk, masih dengan Yujin yang memeluknya dari belakang. Semantara Eugene menatap takjub tak tahu bahwa ibunya hampir saja meregang nyawa.

“Wow … Papa hebat! Strong!!” Eugene bertepuk tangan dengan mata berbinar.

Shinta baru menyadari bahwa lengan kekar yang bulunya tak jauh lebih lebat dari miliknya itu masih melingkar di uluhati, tepat di bawah dadanya. Shinta menepis keras, sementara saat oksigen sudah mulai lancar beredar di seluruh tubuhnya tak terkecuali otaknya, organ pengisi cangkang kepalanya itu memutar kembali ingatan yang terjadi beberapa menit lalu.

Semburat memerah menguasai wajah Shinta. Wanita itu tak mampu menoleh, bahkan untuk mengucapkan satu kata saja ‘Terima kasih’, suara Shinta tak bisa keluar.

Yujin menyeka peluhnya. Perempuan yang berbadan kecil itu ternyata beratnya lumayan membuat Yujin terengah-engah kala melakukan pertolongan pertama. Yujin menegakkan badannya, sedikit menarik tubuhnya ke belakang dengan meletakkan tangannya di kedua pinggangnya.

“Kamu berat juga, ya?” Ucapan Yujin itu justru membuat Shinta melupakan rasa hutang budinya.

Apa?? Berat? Kalaupun berat, kenapa harus diperjelas seperti itu? Menyebalkan kamu Bae Yujin!

Shinta melihat ke sekelilingnya, dan suara kikikan terdengar lirih menguar di udara. Dari ekor matanya juga, Shinta menangkap kuluman senyuman serta tawa tertahan, yang membuat dirinya ingin lenyap ditelan bumi saat itu juga. Ditambah seorang bapak membetulkan letak kursi Shinta, dan menanyai Shinta.

“Hati-hati Mbak makannya. Ga papa 'kan?” tanya Pak Samidi, pemilik warung bakso itu cemas. Mungkin dia tidak ingin warungnya menjadi viral karena ada peristiwa naas yang bisa merusak reputasi usahanya. Pak Samidi mengulurkan tas yang terlempar yang diterima Shinta dengan wajah yang memerah karena malu.

“Tidak apa-apa, Pak!” jawab Shinta. Begitu Pak Samidi berlalu setelah meyakinkan pelanggan setianya baik-baik saja, Shinta memanggil Eugene. “Eugene …”

“Yes …” Yujin menjawab bersamaan dengan Eugene, putra Shinta menjawab ‘Ya’.

“Aku memanggil anakku, Tuan Bae Yujin!” Shinta mendengkus. “Ayo, kita pulang!” Shinta mengulurkan tangannya, tetapi tak disambut oleh anak kecil itu.

“Ih, Mama, baksoku belum habis!” gerutu Eugene. Anak itu lantas kembali ke tempat duduknya, dan tanpa merasa bersalah menyantap lagi makanannya.

“Sudah, makan saja dulu. Pelan-pelan.” Yujin menepuk pundak Shinta dan ikut duduk di depan Eugene melanjutkan makannya.

Shinta terperangah tak percaya, dua lelaki itu sepertinya sengaja berkomplot menentangnya. Dan entah sejak kapan kata ‘pelan-pelan’ itu terdengar sangat menyebalkan di telinga Shinta.

Pelan Shinta duduk, tak ingin menambah kericuhan bila dia memaksa keras kepala. Perempuan beranak satu itu hanya bisa menunduk dan saat hendak mengambil sendok, tiba-tiba mangkuknya diambil oleh Yujin. Kekesalan Shinta sudah diubun-ubun hendak meledak karena Yujin–-lelaki asing itu—seolah ingin menguji kesabarannya.

“Aku potong kecil-kecil dahulu supaya kamu tidak tersedak.” Wajah Yujin terlihat serius saat sendoknya memotong bulatan bakso yang tersisa, kemudian mengulurkan kembali ke hadapan perempuan yang hanya bisa melongo itu.

“Sini Yu, Papa potongkan!” Eugene dengan senang hati mendorong mangkoknya dan menunggu drngan sabar sang ‘papa’ membagi bakso itu karena tidak ingin kejadian itu berulang kembali.

Mereka makan dalam diam, sesekali diselingi celotehan Eugene yang ceria. Shinta hanya bisa menatap sisa potongan bakso yang terbagi menjadi 8 bagian. Matanya nanar menatap daging giling padat itu berenang di kuah kaldu dalam mangkok. Hatinya trenyuh hanya melihat bulatan bakso yang terbagi itu. Tindakan kecil Yujin yang menggetarkan batin Shinta yang lama telah kering

Papaku hebat ih, bisa ngangkat mama ... mereka tadi senam apa gimana ya??🙄 - Benedict Eugene Adyrasha

Auto pengen ngilang ditelan bumi, makan bakso pake acara tersedak...- Shinta Paramesthi


❤Dee_ane❤💕

Jangan lupa ikutin workku lainnya ya...
Gendhis' Puzzle House

Melody Sang Bayu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro