-Sembilan Belas-
Yujin tersenyum. Namun, ekspresinya tampak kecut. Pernyataan percaya diri Argo membuat Yujin seolah tak terima. Yujin mendengkus, menyadari pikiran konyolnya.
Siapa aku bagi Shinta sehingga mempunyai rasa tak terima? Kalaupun ada seribu laki-laki yang mencintai Shinta, Yujin tak berhak melarangnya. Aku bagi Shinta hanyalah seorang papa bagi Yu. Tidak lebih!
Yujin meraih tangan Shinta. Telapak tangan kanan besarnya menjadi tumpuan tangan kecil Shinta. Sementara tangan kiri Yujin menepuk dan sesekali mengelus punggung tangan Shinta.
"Oh, begitu? Kurasa Dokter Argo terlalu berhalusinasi. Shinta, mamanya Yu, sebentar lagi akan menjadi istriku." Yujin menarik sudut bibir kirinya, dengan wajah yang tenang tetapi mengintimidasi.
"Masa kamu tidak tahu imbas dari perbuatanmu yang membuat Shinta hamil dan melahirkan Eugene? Kemana saja kamu?" cecar Argo seolah ingin memberi tahu bahwa perbuatan Yujin sungguh tidak jantan.
"Shinta, baru memberitahuku beberapa waktu ini," kata Yujin tak berbohong. Memang kenyataannya Shinta berkabar dengan Yujin baru-baru saja.
Kepalan tangan Argo mengencang. Yujin tahu sepertinya lelaki itu masih menaruh perasaan besar pada Shinta. Dan melihat kilatan ekspresi Shinta, Yujin menangkap bahwa Shinta sepertinya juga masih mencintai Argo.
"Shinta, kamu tidak menjamu tamu kita dengan minuman?" tanya Yujin yang membuat Shinta gelagapan. Meninggalkan Yujin dengan Argo sendiri sepertinya bukan ide yang bagus. Namun, tetap saja Shinta berdiri dan meninggalkan mereka.
Sepeninggalan Shinta, Yujin dan Argo bersitatap dengan sengit. Lewat tatapan mata, mereka berusaha menelisik kedalaman hati masing-masing. Di mata Yujin, garis wajah Argo menunjukkan penyesalan. Mata itu adalah mata yang mendamba perempuan yang menjadi ibu bagi Eugene.
"Dokter Argo, penyesalan selalu ... datang terlambat. Dan, kita baru akan menyadari betapa berharganya seseorang itu, setelah kita kehilangan mereka. Belajarlah dari peristiwa ini! Aku akan menjaga Shinta dengan baik," kata Yujin yang membuat Argo membuang napas keras.
Rahang Argo mengerat tak ingin berdebat. Kata-kata Yujin menamparnya telak. Ia sudah kehilangan Shinta, ketika ia berdebat antara membawa Eugene atau tidak saat berkenalan dengan orang tuanya.
Salahkah aku dulu menutupi keberadaan Eugene? Penolakan keras dan penghinaan terhadap Shinta itu seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Aku hanya tidak ingin Shinta terluka. Dan apa yang aku ramalkan betul-betul terjadi. Shinta terluka oleh penolakan keras keluargaku, batin Argo bergejolak.
Argo bangkit, diikuti oleh Yujin. "Katakan pada Shinta, aku pulang." Argo mengulurkan tangannya untuk berpamitan. "Tolong jangan sakiti Shinta. Dia sudah cukup menderita selama ini atas akibat yang kamu perbuat."
"Tenang saja. Kekhawatiranmu tidak akan terjadi."
Mereka berjabat tangan erat. Masing-masing dengan pemikirannya sendiri, dan keduanya menyimpulkan bahwa mereka sama-sama peduli dengan Shinta. Yujin mengantar tamunya ke depan rumah, sampai saat ia kembali ke dalam rumah, didapatinya Shinta yang keheranan karena tamunya tak ada lagi di ruang tamu.
"Argo?" Alis Shinta mengerut.
"Sudah pulang." Yujin membungkuk dan mengambil cangkir teh yang sudah disajikan di atas meja.
Lelaki itu duduk, menghirup dalam-dalam lebih dulu aroma melati dari cangkir yang mengepulkan uap panas, sebelum menyesapnya.
"Kenapa pulang?" Shinta duduk di seberang Yujin, masih melekatkan pandang ke arah lelaki itu.
Yujin hanya mengendikkan bahu saja, masih menyeruput teh hangat yang membasahi kerongkongannya. Shinta masih sabar menunggu Yujin sampai dia puas meminum tehnya.
"Kamu tidak membuat masalah, 'kan?" Mata Shinta menyipit.
"Shint, bukannya kamu tadi yang memohon?" tanya Yujin balik.
Shinta diam tak menjawab. Dia hanya ingin Argo tahu bahwa Shinta tak lagi sakit hati dan sudah move on.
Yujin menyunggingkan senyum simpul. Dia beranjak dan kembali ke kamarnya seolah sekarang rumah itu adalah rumahnya.
Shinta menatap nanar cangkir yang ada di atas nampan itu. Alisnya mengerut, mengira-ngira apa saja yang terjadi antara Yujin dan Argo.
Bukannya hatiku menjadi lega ketika membalas sakit hatiku, tetapi batinku terasa mengganjal. Aku ingin mengambil torehan rasa sakit yang menancap di hati. Namun, begitu aku berusaha mengambil paksa dan melemparkan kembali pada orang yang menyakitiku, justru hatinya terasa kosong. Hampa. Tidak ada kelegaan tetapi rasa tak nyaman. Inikah balas dendam? Yang justru meninggalkan rasa sakit yang lebih mendalam.
***
Malam itu, Eugene memanfaatkan kesempatan bermanja dengan 'papanya'. Bahkan makan malam pun, Eugene ingin disuapin oleh Yujin. Awalnya Shinta melarang. Ada ketakutan Eugene akan tergantung dengan keberadaan Yujin. Sementara Shinta tak ingin menjebak Yujin dalam situasi yang dihadapinya sekarang.
"Yu, mama suapin, ya?" tanya Shinta saat membawakan semangkok bubur ayam.
Eugene menggeleng. "Yu, mau Papa." Eugene menangkap pergelangan tangan Yujin.
"Yu ...." Shinta berusaha membujuk Eugene.
"Sudah. Biar aku ... yang suap," kata Yujin mengakhiri perdebatan ibu dan anak itu.
Yujin mengambil alih mangkok yang berada di atas nampan kecil yang dibawa Shinta. Shinta tak dapat menolak. Ia memberi permakluman. Selama Eugene sakit saja, Shinta akan memperbolehkan anak itu bermanja-manja dengan lelaki yang dianggap papanya.
Manik mata Shinta masih memperhatikan Yujin. Setiap gerakan Yujin tak luput tertangkap oleh netra Shinta. Dari cara ia menyendokkan bubur, mendinginkan hingga menyuapi. Semua tahapan itu begitu indah dan menenangkan hati Shinta. Sebuah pemandangan yang langka dimana seorang pria dewasa selain Kakung yang menyuapi Benedict Eugene Adyrasha.
"Pa, masih panas." Mulut Eugene membuka membentuk huruf O dan tangan kecilnya dikibaskan berulang untuk mengurangi panas.
"Oya? Maaf, Papa kurang lama mendinginkannya." Ekspresi Yujin tampak menyesal.
"Makanya, Mama saja yang menyuapi." Shinta berusaha mengambil celah dan memanfaatkan kecerobohan Yujin.
"Mama, Papa tidak sengaja." Segera Eugene berusaha membela papanya.
Yujin mengacak rambut anak kecil itu. Keduanya tersenyum, hingga menyembunyikan kedua mata mereka yang sipit. Persis. Bila orang tidak tahu, mereka memang cocok menjadi ayah dan anak. Hanya saja kulit Eugene sedikit lebih gelap dibandingkan Yujin.
***
Adyrasha yang memandang mereka dari ambang pintu kamar merasa ikut bahagia. Melihat anak dan cucunya tertawa membuat batinnya merasa lega. Lelaki paruh baya itu ikut terkekeh kala melihat ketiganya bercanda dan tertawa bersama. Buliran bening tak terasa menggenang di pelupuk matanya.
Adyrasha berbalik, dia memilih duduk di depan televisi. Walaupun suara itu memecah sunyi, tetapi batinnya terasa kosong. Mungkin akan ada saatnya nanti dia harus menyerahkan anak perempuannya pada seorang lelaki untuk menjadi pendamping hidup Shinta. Itu artinya ia akan kesepian di rumah yang ia bangun sendiri dengan jerih payahnya.
Shinta keluar dari kamar, mendapati ayahnya duduk di sofa, menatap kosong televisi yang menyala. Wanita itu melihat gelagat aneh sang ayah, sehingga memutuskan untuk menghampiri lelaki yang membesarkannya dengan susah payah tanpa kehadiran seorang ibu.
"Pa, ada apa?" tanya Shinta begitu ia duduk di sebelah Adyrasha. Lelaki itu terkesiap, tersadar dari lamunan kosongnya.
Di balik kacamata plus minusnya, Adyrasha menyeka air mata dengan buku jari telunjuk, kemudian meletakkan kembali kacamatanya agar bertengger dengan manis di hidung.
"Pa?" tanya Shinta lagi dengan kerutan dahi yang dipenuhi rasa penasaran.
"Shint, kamu menyukai Yujin?" tanya Adyrasha.
Shinta menarik sedikit kepalanya ke belakang, merasa aneh dengan pertanyaan sang ayah. "Papa kok tiba-tiba tanya gitu sih?"
Adyrasha mengambil tangan Shinta. Menepuk perlahan punggung tangan anak perempuan yang kini sudah menjadi ibu. "Papa sayang kamu, Shinta. Papa ingin kamu bahagia."
"Aku bahagia bersama Papa dan Eugene, Pa."
Adyrasha menggeleng. "Kamu butuh pasangan yang sepadan denganmu. Yang bisa melindungimu dan Yu. Papa tak lagi muda dan semakin renta. Sudah saatnya Papa melepasmu di tangan lelaki yang tepat."
Shinta memeluk sang papa. "Aku akan menjaga Papa, seperti Papa menjaga sewaktu aku kecil hingga sekarang. Papa sudah menjadi figur ayah dan ibu bagiku, dan aku tidak ingin meninggalkan Papa."
"Papa yang akan lebih dulu meninggalkanmu. Dan saat itu kamu akan sendirian, Shinta." Adyrasha mengusap perlahan lengan kecil yang mengalung melintasi dadanya.
"Papa akan panjang umur. Aku yakin." Sesudah mengatakan demikian, Shinta mengecup pipi kiri sang ayah dan beranjak menuju dapur.
Adyrasha membuang napasnya kasar. Panjang umur? Kuharap aku bisa menemani kalian lebih lama.
***
Eugene manja sama papanya
Papa Yujin yang ganteng
💕Dee_ane💕
Dee datang lagi!!
Beberapa waktu lalu, rasanya kaya kehilangan jiwa cerita ini. Merenung2 hari ini akhirnya aku bisa sedikit mendapatkan chemistry dari Yujin, Shinta dan Yu.
Kalo ada krisar dm ya...saya harus mengasah kemampuan menulis saya.
Semoga cerita ini lancar jaya tersaji. Maunya maraton up tiap hari kek bayu n melo.
Tengkyu buat dukungannya😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro