-Lima Belas-
Mata besar Shinta membelalak. Jari manisnya menyapu pelupuk mata, siapa tahu ada kotoran yang membuat pandangannya kabur. Shinta mengerjap berulang, dan bayangan sosok Yujin masih terlihat di depannya.
Yujin tersenyum lebar, dan itu meyakinkan bahwa lelaki itu benar ada di sini. Lelaki yang berhasil membuatnya galau karena tidak segera membalas pesannya.
Antara senang dan jengkel, itulah yang dirasakan Shinta. Namun, Shinta memilih mempertahankan harga dirinya. Shinta sudah terlanjur kesal. Terlebih melihat cengiran di wajah lelaki itu dan isi pesannya, membuat Shinta keluar dan menarik Yujin menuju serambi depan gedung puskesmas.
"Siapa bilang aku mengharapkanmu? Sudah sana pergi! Jangan ganggu kami lagi!"
Dengan wajah bersungut Shinta masuk kembali ke dalam gedung puskesmas. Para pengunjung melihat dokter gigi itu masuk dengan wajah yang tertekuk. Termasuk Argo, dokter umum yang kebetulan lewat hendak kembali ke poli umum.
Mengetahui wajah teman sejawatnya sangat tidak menunjukkan budaya mutu mereka yang 3S-senyum, sapa, salam-maka Argo pun masuk ke dalam ruang gigi.
"Shint, ada apa? Mukamu kelipet banget," tanya Argo begitu masuk ruangannya.
"Ga ada apa-apa kok," ucap Shinta begitu saja.
Argo duduk di kursi samping meja di dekat Shinta duduk.
"Kamu ga bisa bohong, mantan terindahku," ucap Argo yang membuat Shinta berdecak malas.
Resti terkikik dengan pasangan dokter itu. Mereka sempat berpacaran selama 3 tahun dan baru putus enam bulan lalu. Namun, perhatian Argo tidak berubah. Masih sama seperti saat mereka berpacaran, walaupun beredar gosip macam-macam tentang putusnya mereka.
"Udah deh, sana urusin pasien-pasienmu Pak Dokter. Tuh masih banyak yang antri!" Argo tersenyum simpul. Seperti biasa, Shinta selalu membatasi interaksi dengannya sejak putus.
"Ada dokter Internship. Santai ...," ujar Argo.
"Mas, please ...." Shinta tak ingin memperpanjang diskusi, terlebih dengan kedatangan Yujin di puskesmas, pasti membuat asumsi-asumsi sekitar putusnya mereka akan kembali hot.
Shinta dan Argo memang putus baik-baik. Ketika Argo mengenalkan Shinta membawa serta Eugene, keluarga Argo tidak menyetujui hubungan mereka. Argo sebenarnya tidak ingin Shinta membawa Eugene, tapi Shinta tak ada pilihan karena saat itu ayahnya sedang berada di luar kota, dan Shinta tak bisa meninggalkan Eugene sendiri.
Penolakan yang diterima Shinta cukup menyakitkan karena Shinta dianggap bukan perempuan baik-baik. Sekuat tenaga Argo menjelaskan tetapi orangtuanya menutup telinga.
Shinta memilih mengakhiri hubungan mereka, dan itu membuat banyak sekali gosip beredar yang menyudutkan Shinta. Salah satunya bahwa Argo memutuskannya karena memang terbukti Shinta bukanlah perempuan yang baik.
Kenangan itu membuat Shinta sangat membatasi hubungannya dengan lelaki manapun. Perjuangannya menjadi ibu tunggal dari anak hasil pemerkosaan ternyata hanya dipandang sebelah mata. Orang lain yang tidak tahu apa-apa hanya menghakimi dari apa yang dilihat dan didengar tanpa tahu faktanya. Dan itu membuat Shinta memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan serius, karena Shinta sadar setiap lelaki yang mau bersamanya harus mau menerima dan mencintai putranya juga, alih-alih hanya mencintainya.
Ketika bersama Argo, rasa kecewa itu muncul. Tak dipungkiri, Shinta memang pernah menaruh hati pada lelaki itu, tetapi rasa sakit hati yang ditorehkan keluarga Argo membuat Shinta harus menghadapi kenyataan bahwa memang dia tidak ditakdirkan lagi untuk mencintai seseorang. Shinta telah menutup relung hatinya rapat-rapat, dan meyakinkan tidak akan ada seorangpun yang akan menembusnya.
***
Mata Shinta berbinar saat Ina petugas rekam medis mengantar berkas pasien. "Eh, aku ada pasien. Sudah keluar dulu sana!" Argo mendesah halus, menurut dengan pengusiran halus Shinta. Argo sudah terbiasa dengan sikap Shinta yang seperti itu.
Begitu dokter umum itu keluar, Shinta menekan tombol panggilan, yang di luar bergema suara perempuan
"Nomer antrian C6, silakan menuju poli gigi."
Shinta menerima berkas dari Resti, dan belum sempat membaca identitas pasien, Shinta mendongak, ingin menyapa pasien terlebih dahulu.
Bayangan seseorang masuk dari balik pintu kaca yang keruh, dan saat pasien itu menyembul dari daun pintu yang terbuka, bola mata Shinta membesar.
"Heh ... ngapain kesini?!" seru Shinta.
"Saya ... pasien, Bu Dokter." Yujin memberikan cengiran khas yang membuat matanya tinggal segaris
Shinta mengecek kebenarannya. Membaca deretan huruf yang ada di e -rekam medis layar laptopnya
Nama pasien Bae Yujin, nama KK Song Il Hwan, Alamat Seoul ... Apa-apaan ini?
Shinta kesal dan melotot tajam pada pasiennya. Baru kali ini, ia menghadapi pasien dengan wajah garang seperti hendak berperang. Wajah cerah ceria itu luntur, lenyap entah kemana begitu melihat Yujin yang masuk dan sekarang duduk di samping meja anamnesa*, untuk dilakukan pengkajian awal oleh perawatnya.
Resti mempersilakan Yujin untuk menemui Shinta yang duduk manis di kursinya setelah dilakukan pemeriksaan tanda vital dan anamnesa awal. Melihat Shinta tak begitu merespon, Resti mengingatkan.
"Bu Dokter, Masnya ini mau periksa loh ...," kata Resti. Resti paling paham dengan apa yang dialami Shinta. Dan bagi Shinta, Resti adalah orang yang bisa dipercaya sehingga sering kali Shinta membeberkan perasaannya pada asistennya.
Shinta melirik tajam pada Yujin yang sedang tersenyum manis pada Resti karena ada yang membelanya. Melihat itu, ia hanya mendesah pasrah.
Ok, kalau begitu. Aku layani permintaanmu!
Shinta menghela napas panjang, mengatur ekspresi wajah. Segera saja wajahnya berubah, seperti memakai topeng yang mengulas senyuman lebar.
"Sugeng siang, asmanipun sinten (Selamat siang, namanya siapa)?" tanya Shinta menggunakan nada yang sangat ramah, saat hendak melakukan identifikasi ulang pasiennya dengan menanyakan nama pasien.
Yujin terkekeh. "Bae Yujin, Bu Dokter. Kulo (Saya) ... Bae Yujin!"
Shinta membelalak lagi. Pria di depan ini penuh dengan kejutan. Bagaimana bisa pria asli Korea Selatan itu bisa berbahasa jawa.
"Kamu menyebalkan Bae Yujin!" Lagi, Shinta seperti melepas kembali topeng senyum yang dikenakan. Wajahnya kembali terlipat, seperti kertas kusut di atas meja yang tadi sempat diremas-remas oleh Shinta.
Yujin kembali mengembangkan senyuman. Tatapannya membuat Shinta sedikit canggung. "Jadi, ada yang bisa saya bantu, Pak Yujin?"
"Kok Pak?" Yujin memincing, memperlihatkan ekspresi pura - pura tak senang.
"Terus?" Shinta mengangkat alisnya.
"Mas ...."
Resti menyemburkan tawanya mengikuti obrolan dokter pasien itu. "Oppa gitu, Bu Dokter."
Shinta menggeram halus, masih melayangkan pandangan tak bersahabat.
"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" Kali ini Shinta mengambil jalan tengah tidak menyebut panggilan.
"Saya mau ... periksa."
"Keluhannya apa?" Shinta mengetuk-ketukkan pulpennya di atas kertas hendak mencatat keluhan pasiennya.
"Keluhan? Bukannya kita ... harus kontrol ... enam bulan sekali?"
Shinta menghela napas panjang dan lama. Harusnya sebagai seorang dokter gigi dia senang edukasi dan promosi kesehatan tentang pentingnya berkunjung ke dokter gigi paling tidak enam bulan sekali berhasil dan ada yang mengimplementasikan. Namun kali ini, kunjungan berkala itu membuat Shinta justru tertekan karena Bae Yujin yang menjadi pasiennya, dan pasiennya lah yang membuat si dokter gigi sempat galau beberapa jam yang lalu.
"Baiklah, mari silakan duduk di kursi gigi. Saya akan lakukan pemeriksaan terlebih dahulu." Shinta mempersilakan Yujin untuk duduk di dental unit.
Setelah memakai masker, dia menempatkan diri duduk di doctor stool di sebelah kanan pasien dan dengan gerakan tangan di depan lampu, lampu sensor menyala, memancarkan cahaya terang yang menyinari wajah Yujin. Lelaki itu memicing sesaat menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke pupil matanya.
Saat Shinta sudah memegang alat diagnostiknya, lelaki itu membuka mulutnya lebar persis seperti anak burung yang minta disuapi induk burungnya. Melihat Yujin yang mengangakan mulutnya lebar, Shinta mengulum senyum di balik maskernya.
"Permisi ya, saya akan periksa kondisi gigi dan mulutnya dahulu," ucap Shinta sebelum memberikan pemeriksaan pada Yujin.
Shinta memasukkan kaca mulut dan mengecek satu persatu gigi geligi Bae Yujin. Gadis itu takjub melihat deretan gigi baik rahang atas maupun bawah dalam kondisi yang sehat, tanpa ada caries yang mengintai.
Kaca mulut masih bergerak-gerak di dalam rongga mulut Yujin, sementara manik mata Yujin memindai sang pemeriksa. Wajah di balik masker itu masih mempesona Yujin. Lelaki menyukai mata lentik Shinta yang begitu serius menjalankan pekerjaannya secara profesional.
"Tolong matanya dikondisikan, tidak perlu jelalatan kesana kemari!" Suara teredam itu mengagetkan Yujin.
Begitu kaca bulat kecil itu keluar dari mulutnya, Yujin terkekeh. Dia menyempatkan berkumur sebentar karena mulutnya terasa kering setelah menganga beberapa saat.
"Baik-baik saja giginya. Tidak ada yang lubang. Tidak butuh treatment khusus," kata Shinta menyudahi pemeriksaannya.
"Karang gigi? Bukannya pembersihan karang ... setiap 6 bulan?"
Lagi, Shinta mengembuskan napas di balik maskernya. "Jadi, mau pembersihan karang?" Pertanyaan Shinta disambut anggukan berulang Yujin.
"Ada BPJS?"
Yujin mengernyit tak paham, yang membuat Resti tertawa. "Ya elah, Bu. Masa Oppa pakai BPJS?"
"Sapa tahu 'kan, Mbak?" jawab Shinta asal.
"Kalau tidak ada BPJS, nanti bayarnya Rp 100.000,- ya." Shinta menambahkan.
"Mau bayar berapa-berapa boleh. Mau bayar ... dengan hatiku juga siap ...."
Kali ini Resti tak dapat menahan tawanya. Aksen bicara Yujin sungguh lucu di pendengaran. Ditambah gombalan recehnya membuat Resti menyemburkan tawa geli yang justru membuat Shinta hanya bisa memutar bola mata, tak merespon.
Shinta menginstruksikan Resti menyiapkan inform consent dan alat yang akan digunakan untuk melakukan tindakan. Setelah Yujin menanda tangani form persetujuan tindakan, Shinta barulah melakukan tindakan.
Dari semua pasien yang pernah dirawat oleh Shinta, baru pasien yang bernama Bae Yujin yang sempat membuat dirinya berdebar kencang. Pandangannya kadang tak fokus. Manik matanya terkadang mengerling ke arah wajah yang berkulit lebih terang dari kulit tangannya. Dan saat pandangannya membentur bola mata Yujin yang juga menatapnya, wajah Shinta merona. Beruntung pipinya tertutup masker sehingga lelaki itu tak menyadari semburat merah di pipinya.
"Sudah," kata Shinta sambil meletakkan gagang pembersih karang pada tempatnya.
Yujin berkumur dan sesudah mengelap mulutnya dengan tissue, dia turun. Resti memberikan secarik kertas untuk pembayaran di kasir. Namun, sebelum keluar membayar dia duduk terlebih dahulu di kursi pasien sambil menunggu Shinta mencuci tangannya.
"Apa lagi?" tanya Shinta sambil duduk di kursinya hendak mengetik catatan riwayat kesehatan medis pasien.
"Eugene ...." Shinta mendongak, memandang Yujin. Pandangan lelaki itu terlihat cemas.
"Untuk apa kamu peduli, toh dia bukan siapa-siapa bagimu." Kembali Shinta memfokuskan diri dengan mengisi rekam medis.
"I know ...," jawab Yujin lirih yang membuat hati Shinta berdesir.
Lantas kalau kamu tahu untuk apa kamu kembali? Shinta berprasangka buruk dalam hatinya.
"Untuk apa kesini?" tanya Shinta langsung. "Kupikir kamu sudah pulang."
"Aku semalam bermalam di hotel. Aku tak bisa pergi begitu saja," jelas Yujin.
"Why? Kami bukan siapa-siapa, dan kami tidak butuh belas kasihanmu." Shinta merendahkan suaranya dengan penekanan.
"Tidak bisakah aku menjadi ayah untuk Eugene dan suamimu, Shinta?" Shinta membelalak. Matanya nanar menatap layar laptop yang tiba-tiba kabur tak tahu apa yang tertera di sana. Jemarinya yang dari tadi menari di atas keyboard tiba-tiba berhenti.
Wajah Shinta memanas. Bahkan saat ini dia tak berani mengerling ke arah Yujin. Dadanya bergemuruh. Ini persis apa yang pernah terjadi 8 bulan lalu, saat Argo melamarnya. Bedanya, Argo melamarnya ingin menjadi suaminya. Dan saat perkenalan, keluarganya menolak habis-habisan calon menantu yang mempunyai anak tanpa ayah.
Shinta membuka maskernya, dan memberikan senyuman pada Bae Yujin. "Kukira, saya tidak sehalusinasi itu, Tuan Bae. Cukup temui Eugene hari ini, dan jangan beri dia harapan apapun."
Hanya itu yang bisa dijawab oleh Shinta. Membentengi dirinya dari harapan semu, tak ingin mengalami penolakan lagi. Shinta sudah cukup puas dengan apa yang dia jalani sekarang bersama ayah dan anak lelakinya. Menjalani hubungan dengan lelaki lain, pastilah tak semudah membalikkan telapak tangan. Menerima Shinta artinya harus menerima Eugene juga.
Namun, saat Yujin mengatakan lebih dulu ingin menjadi ayah Eugene, membuat relung hati Shinta menjadi sedikit goyah.
Bu Dokternya imut😍- Bae Yujin
Pasienku bikin deg-degan - Shinta
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro