-Empat Belas-
Yujin dengan hati gamang mengayunkan kakinya melangkah keluar dari kediaman Adyrasha. Tak banyak bicara, hanya dibarengi tepukan yang syarat dengan sesal, lelaki tua itu mengantar Yujin dan menunggui hingga mobil lelaki itu tak terlihat ketika berbelok di ujung gang.
Yujin mencengkeram erat bulatan kendali setir mobil, sementara otaknya tak henti-hentinya memutar kembali suara pekikan lelaki kecil yang kini telah menguasai hatinya. Memanggilnya 'papa' membuat dirinya teringat betapa setiap malam Yujin kecil selalu menangis merindukan sang ayah yang telah berpulang. Hidup tanpa ada figur seorang ayah membuat Yujin merasa hampa. Dan, saat ibunya memutuskan menikah lagi, sang ayah tiri tak sanggup mengisi ruang kosong kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.
Yujin mendesah. Pandangannya kosong saat mobilnya dihentikan oleh lampu berwarna merah di perempatan jalan. Bertemu langsung dengan Shinta dan Eugene ternyata membuatnya bahagia walau hanya beberapa jam saja. Yujin tidak mengerti dengan perasaannya.
Apa itu cinta?
Bahkan Yujin tak bisa menjawabnya. Yang jelas Yujin ingin menapaki dan menghapus rasa penyesalan itu, ingin mimpi buruknya tak lagi mengganggu. Yujin hanya ingin bisa bersama Shinta, dan menjadi ayah yang baik untuk Eugene. Yujin menjadi mempertanyakan apakah keinginannya terlalu berlebihan dan sebatas angan.
Mengenal Shinta beberapa jam ini dan berinteraksi langsung dengannya, membuat Yujin paham bahwa gadis itu pasti sudah beradaptasi dengan beratnya hidup yang harus diembannya. Menjadi ibu tunggal, menjadi seorang dokter gigi, dan menjalankan tugas sebagai abdi negara tentu tidak mudah dijalani oleh Shinta seorang diri bersama ayah kandungnya.
Sifat keras Shinta terbentuk tak ubahnya seperti cangkang yang berusaha melindungi bagian lunak yang mudah rapuh dan ambyar. Atau bila dianalogikan yang lain, hati Shinta sudah menjadi sekuat batu karang yang siap menghadapi kerasnya ombak lautan kehidupan yang menghadang.
Suara klakson dari mobil belakang membuyarkan lamunan Yujin. Yujin kembali melajukan mobilnya bergabung dengan riuhnya jalanan kota Solo yang semakin padat. Alisnya bertaut memikirkan cara apa yang harus dilakukannya untuk mengetuk pintu hati gadis itu, agar sang empunya hati mau membuka diri. Atau mungkin justru Yujin akan mundur teratur setelah penolakan ini.
***
Shinta kesusahan mengendalikan Eugene. Kali ini dengan bentakan pun anak itu tetap meronta bahkan berteriak histeris tak keruan. Cukup lama Shinta dan Adyrasha bisa menenangkannya. Dengan iming-iming es krim, Nerf atau lego pun tetap tak bisa menghilangkan isakan dan tangisan Eugene.
"Yu hanya mau Papa ... Yu hanya mau Papa ... Yu hanya mau Papa." Berulang kali kalimat itu terlontar dari bibir mungil Eugene. Anak itu menangis hingga napasnya tak beraturan dan gelagapan mengambil udara.
Sampai akhirnya Eugene tertidur setelah lelah menangis. Anak itu ketiduran di sofa di depan tivi, meringkuk sambil menggigit kuku jempol sesekali mengenyotnya seperti bayi. Suatu kebiasan Eugene bila ia gelisah atau sedang sedih.
Shinta sudah tak kuat lagi memindahkan Eugene yang sekarang sudah berberat badan 28 kg. Dengan tulang rentanya, Adyrasha pun membopong cucunya masuk ke kamar Shinta karena Shinta ingin tidur berdua dengan anak lelakinya.
Sesudah membaringkan cucunya di kasur empuk itu, Adyrasha menyelubungkan selimut di atas tubuh Eugene. Adyrasha merasakan suhu badan Eugene sedikit meningkat.
"Shint, sepertinya Yu demam," kata Adyrasha sambil menempelkan punggung tangannya di dahi Eugene.
Shinta buru-buru mendekat. Naik ke ranjang dan ikut menempelkan punggung tangannya di dahi sang putra. Merasa tidak cukup yakin, Shinta meloncat turun dari tempat tidur hendak mengambil termometer digital yang disimpan di kotak obat ruang tengah.
Dengan jalan tergopoh, Shinta menghampiri Eugene dan mendekatkan termometer itu di dekat liang telinga putranya.
"38.8⁰ C." Shinta membaca hasil pengukurannya. "Iya, Pa, Eugene demam."
"Papa ... Papa ...," igau Eugene dalam tidurnya. Shinta dan ayahnya saling pandang.
"Bagaimana ini, Pa?"
"Sudah. Paling besok pagi sudah baikkan. Papa ambilkan parasetamol, ya?"
Shinta mengangguk.
Sambil menunggu obat dan air minum, wanita itu menyeka poni di dahi Eugene yang membara. Hatinya perih karena kebohongan yang dibuatnya telah melukai sang anak, alih-alih bisa membuat Yu bahagia.
Shinta mendesah, tak tahu harus berbuat apa. Kadang, Shinta merasa hidupnya hancur karena keberadaan Eugene, tetapi anak kecil itu pula lah yang menguatkannya dalam masa terpuruknya.
"Maafkan Mama, Yu ... maafkan karena kamu lahir ke dunia ini melalui rahim seorang wanita yang lemah, yang tak bisa memberikanmu sosok seorang ayah," gumam Shinta. Lagi, air matanya lolos tak dapat dicegah mengalir ke pipinya.
Mendengar langkah kaki ayahnya mendekat, Shinta segera menghapus tetesan bening di pipinya. Wanita itu menunduk, membisikan dengan lembut nama Eugene di samping telinga untuk membangunkannya.
"Yu ... Eugenenya Mama, minum obat dulu yuk." Eugene hanya menggeleng. Mulutnya ditekuk ke dalam, menandakan bahwa ia kukuh tidak ingin meminum obat.
"Yu hanya ingin Papa," sahut Eugene lirih dalam tidurnya. Sebulir bening air, menetes lagi di pelipis Yu.
Shinta menegakkan badan, mendesah perlahan sambil menatap sang ayah dengan tatapan putus asa. Kepala Shinta menjadi semakin pening mendapati sikap Eugene yang tak kooperatif.
Giliran Adyrasha yang membujuk Eugene. Lelaki itu berjongkok di samping ranjang, dan menyibakkan poni yang menutup dahi Eugene.
"Ayo, Yu. Minum obat dulu. Besok pasti Papa mampir lagi," kata Adyrasha yang terpaksa mengatakan sesuatu yang jelas tidak akan terjadi.
Manik mata Shinta membesar, mendengar ucapan sang ayah. Namun, dia tetap bungkam, yang penting sekarang anaknya mau minum obat, dan berharap besok Eugene sudah melupakan kesedihannya.
Tampaknya harapan Shinta sia-sia. Eugene masih mengingat janji kakungnya. Pagi menjelang, hal yang pertama ditanyakan begitu anak itu membuka mata adalah keberadaan Bae Yujin 'sang papa'.
"Ma, Papa mana?" Shinta yang baru mengumpulkan nyawanya hanya bisa menelan ludah kasar.
"Tunggu ya, nanti kita hubungi papa,"
"Yu ingin papa sekarang," ucap Eugene lirih.
"Percaya sama Mama, nanti siang ... Mama janji."
Ada nada getir dalam ucapan Shinta saat mengatakan janji itu. Dia paham bahwa ia tidak bisa menepatinya. Bagaimana membawa Yujin kembali? Berarti dia harus menjilat ludahnya sendiri dan menghubungi lelaki itu lebih dulu.
Tidak, tidak, tidak! Aku tidak boleh lemah! Kamu pasti bisa mengatasi hal ini. Eugene pasti hanya tantrum sesaat seperti biasa.
"Ma, janji bawa Papa pulang, ya?" tanya Eugene lagi dengan pandangan berharap.
Manik mata Shinta menatap mata polos Eugene yang membuatnya tak bisa menolak. Wanita itu hanya mengangguk dan menjawab dengan mengangkat kelingkingnya yang disambut dengan kaitan kelingking kecil Eugene. Sebagai tanda sahnya janji mereka.
Bisa dipastikan, setelah itu Shinta kalang kabut. Ia bingung apa yang harus dilakukannya untuk membawa Yujin kembali. Bahkan Shinta sempat berpikir sebaiknya dia melupakan niatnya menggenapi janjinya pada Eugene. Shinta belum bisa memutuskan karena dua-duanya beresiko.
Bila Yujin datang kembali, bisa dipastikan tidak semudah itu Shinta akan memenggal paksa ikatan yang semakin terjalin antara Yujin dan keluarganya. Sedang bila dia tidak berusaha menghadirkan kehadiran Yujin, ia yakin akan berdampak pada kondisi kesehatan jiwa dan raga Eugene kecil.
Shinta hanya bisa menghela napas panjang. Pasrah.
***
Pagi menjelang siang, di Puskesmas Banyuanyar yang selalu ramai di kunjungan pasien, Shinta semakin tak fokus bekerja karena saat mengecek kondisi Eugene, Adyrasha mengabarkan bahwa Eugene tidak mau makan apa-apa sebelum 'papa'nya datang.
Shinta mulai galau, berpikir apakah sebaiknya dia menghubungi Yujin. Walau hati dan nalar berontak, tetap saja tangannya bergerak mencari gawai dan menarikan jarinya di atas layar smartphone untuk mencari aplikasi pertemanan yang kemarin pernah digunakan untuk menghubungi Yujin.
Nekad. Ya, itulah hal yang Shinta rasakan sekarang. Jantungnya bergemuruh kencang saat mengetikkan sebuah tulisan di pesan pribadi Yujin.
Dear Mr Bae,
Eugene sakit. Dia mencari dirimu. Apakah kamu bisa membantuku sekali lagi? Bila berkenan, datanglah ke rumah kami. Mohon maaf bila merepotkan.
Regards,
Shinta
Shinta membaca berulang-ulang pesan pendek itu. Dan dengan mata terpejam erat, jempolnya menyentuh tombol panah biru untuk mengirim pesannya.
Jari jemari Shinta mengetuk permukaan meja bergantian menanti balasan pesannya. Shinta bisa melihat pesan terbaca sepuluh menit kemudian, tetapi tidak ada jawaban.
Lagi, Shinta menunggu dengan gelisah jawaban Yujin. Suara ketukan kuku jemari yang beradu dengan permukaan kayu meja menguasai ruangannya beserta detikan jarum jam dinding. Riuh pasien di luar ruangannya seolah sirna begitu saja kala fokus matanya tertuju pada layar gawai.
Ya Tuhan, kenapa tidak dibalas? Apakah dia sudah pulang ke negaranya?
Kecemasan Shinta semakin menjadi karena sudah satu jam lebih pesannya tak berbalas. Shinta hanya menunduk pasrah, menyangga kepalanya di atas lengan yang ditumpukan di mejanya.
Pasien di poli gigi tak begitu banyak, membuat Shinta justru tak ada pengalihan rasa galaunya. Gadis itu sedari tadi mengantuk-antukan kepalanya di atas meja, merutuki kebohongan yang telah ia ciptakan selama bertahun-tahun.
Gawai Shinta bergetar diikuti nada dering pesan masuk. Buru-buru Shinta mendongak dan mengecek, tetapi ternyata bukan pesan yang diinginkan. Lagi, ia menyandarkan kepalanya di atas meja.
Kali ini gawai Shinta berbunyi lagi, tetapi Shinta sudah tak mau terlalu berharap. Dengan malas, dia mengecek gawainya dan matanya membelalak saat mendapati balasan pesan Yujin.
Hi Mom,
Benar kamu mengharapkan kedatanganku?
Shinta menegakkan badannya di kursi. Ekspresinya kesal seolah Yujin jual mahal. Buru-buru jarinya mengetik balasan.
Ya sudah kalau tidak mau datang. Aku juga tidak memaksa ....
Shinta geram. Hatinya jengkel karena seolah dirinya ditolak, dan terkesan terlalu memohon. Shinta mengetikan pesannya lagi.
Oya, jangan memanggilku Mom! Aku bukan ibumu! 😤
Shinta membanting gawainya di atas meja, membuat Resti perawat giginya yang sedang sibuk berkutat dengan input data terlonjak. Shinta meremas-remas kertas yang ada di hadapannya, untuk melampiaskan kekesalan.
"Ada apa, Bu Dokter?" tanya Resti mendapat wajah kusut atasan ruangannya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya kesal! Masa ada orang yang jual mahal! Menyebalkan!" keluh Shinta berapi-api. Suaranya menggelegar saking jengkelnya.
"Siapa ... Bu Dok?"
"Orang gila! Sayang wajahnya ganteng ...."
"Maksud Bu Dokter, Oppa Korea ini yang bikin jengkel?" Resti menunjuk ke arah luar pintu yang terbuka.
Shinta bangkit, mendorong doctor stool nya dan bergegas ke arah pintu masuk ruangan yang sengaja terbuka ketika pasien kosong.
"Bae Yujin ...."
Manik mata Shinta membesar, dan terselip binar bahagia saat melihat pemuda yang berdiri di depan pintu masuk. Yujin menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring untuk menyapa Shinta yang terperangah.
"Kamu sebegitu mengharapkan aku kembali, Mom? Sampai suara kesalmu yang merutuki aku saat aku tidak memberi kepastian terdengar dari luar," kata Yujin sambil melambaikan gawainya dengan wajah yang cerah.
Wajah Shinta memerah. Telinganya terasa panas. Hatinya kesal karena Yujin berhasil membuatnya galau.
Yujin yang happy Shinta memintanya kembali😍
Eugene menunggu 'papa' pulang
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro