Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-Dua Puluh-

Shinta meletakkan nampan kecilnya. Napas terhela kasar, dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja menyangga badannya. Disadari oleh Shinta bahwa ayahnya tak lagi muda. Wajah kuyu yang penuh keriput itu menandakan bahwa umur sang ayah sudah menua. Setiap guratan garis di wajah itu diikuti oleh kebijaksanaan sang ayah karena sudah banyak asam garam kehidupan.

Shinta paham, kondisi kesehatan ayahnya tak lagi sefit dulu. Ayahnya yang menggendongnya  dan membuainya saat Shinta masih kecil. Pria yang mengayomi di masa sulit, yang merengkuhnya saat semua orang mencibirnya. Adyrasha adalah satu-satunya lelaki yang menerima Shinta dengan penuh kasih sayang, saat dirinya tak lagi suci, dan hanya mengatakan, 'Semua baik-baik saja. Ada Papa di sini'.

Shinta mengeratkan oklusi rahangnya. Dirinya merasa tak sempurna sebagai anak. Shinta merasa dari kecil hingga dewasa selalu menyusahkan ayahnya. Saat Shinta mengalami depresi post partum, Adyrasha yang menjaga Eugene. Adyrasha yang menjadi penengah antara Shinta dan Eugene saat dirinya merasa membenci anak yang dianggapnya telah menghancurkan kehidupannya. Dan Adyrasha yang selalu menenangkannya bila serangan panik itu datang tak diundang.

Sekelebatan ingatan demi ingatan berputar di otak Shinta. Menyadarkan dirinya bahwa selama ini dia terlalu berkutat dengan sakit hatinya, dengan rasa kecewa dan kesedihannya, tanpa mempedulikan orang yang paling menyayangi dan mempedulikannya.

Papa ....

Shinta bersyukur, mempunyai ayah seperti Adyrasha. Yang menarik ulur dalam mendidiknya sehingga Shinta boleh mencecap semua pengalaman indah masa mudanya. Yang memberi kebebasan bertanggung jawab alih-alih mengekangnya. Dan peristiwa nahas itu juga tidak membuat Adyrasha berubah sikap.

"Semua sudah terjadi. Kristal yang Papa jaga telah pecah. Disatukan pun tiada guna. Papa hanya ingin mengumpulkan setiap serpihan kristal itu, membuatnya menjadi bentuk lain. Dengan serpihan kristal itu, Papa akan menyusunnya menjadi sebuah mozaik indah yang menentramkan hati orang lain yang memandang. Oleh karena itu, Shinta, berjuanglah membuat mozaik indah dari setiap keping serpihan hatimu yang hancur. Papa yakin kamu wanita hebat karena terlahir dari rahim ibumu yang kuat."

Shinta mencengkeram erat pinggiran meja dapur. Tangisnya teredam dengan badan yang bergetar hebat. Dia tidaklah sekuat yang dikatakan oleh sang ayah. Shinta adalah wanita lemah yang cengeng, yang berlindung di balik punggung sang ayah. Shinta merasa tak ubahnya seperti anak kecil yang ketakutan akan kehilangan orangtuanya.

***

Yujin yang awalnya hendak mencuci tangan karena terkena kotoran bubur yang tercecer, mendengar sekilas percakapan ayah dan anak perempuan itu. Entah kenapa ia merasa sedih dengan percakapan itu. Yujin tak pernah mengalami kasih sayang seorang ayah. Ia sangat senang bisa mengenal seorang Adyrasha yang sangat bijak.

Kelembutan hati seorang pria tangguh menimbulkan keseganan dan rasa hormat bagi lelaki muda yang kekar itu. Hidup Adyrasha yang tak mudah membesarkan putri semata wayangnya seorang diri itu berbalut dengan luka karena peristiwa yang menghancurkan harga diri dan kesucian Shinta.

Dan kini, setelah sempat bercakap sejenak dengan Adyrasha, ia berjalan ke dapur. Langkahnya tertahan saat melihat punggung wanita mungil yang bergetar hebat dengan isakan tertahan. Tak tega hati Yujin melihat getaran kesedihan yang menguar di udara. Hatinya ikut perih, dan rasa bersalah itu kembali meraja.

Dalam dua langkah lebar, Yujin menjangkau Shinta dan memeluknya dari belakang, membuat Shinta terkejut. Wanita itu mengusap kasar matanya dan mengelap ingus yang leleh dengan punggung tangannya.

"Yu—"

"Oppa ...."

"Mr. Bae, kumohon ...," pinta Shinta dengan nada memelas berusaha melepas rengkuhan tangan kekar Yujin.

"Oppa .... kamu lupa?" tanya Yujin. Shinta mengembuskan napas kasar.

Rengkuhan tangan Yujin semakin erat melingkar di bahunya. Lelaki itu menyurukkan kepalanya di bahu sang perempuan yang berusaha membebaskan diri.

"Yujin Oppa, please!" Shinta memohon dengan sangat.

"Shint, bersandarlah ... padaku! Menangislah di pelukanku. Aku akan selalu ada untukmu." Bisikan lembut itu menyapu pendengaran Shinta, membuat geleyar aneh di batinnya. Shinta terhanyut dengan kata manis itu. Shinta terbius dengan dekapan erat nan kokoh itu. Seolah sang ayah menjelma menjadi sosok muda yang siap melindunginya.

Tangis Shinta pecah. Isakan yang ditahannya kini tak bisa diredam lagi.  Dia menyembunyikan wajahnya pada lengan Yujin hingga pori-pori kulitnya dibasahi oleh sekresi kelenjar air mata Shinta.

Berulang kali Yujin berkata, "Aku disini, aku ada untukmu. Semua akan baik-baik saja." Dan kalimat itu seperti mantra yang menghipnotis wanita yang berbeban berat itu.

***

Malam ini Shinta sengaja tidak praktek sore, karena ingin benar-benar merawat Eugene. Malam ini pun, karena ada Yujin yang menjaga putranya, Shinta menggunakan kesempatan untuk bermanja bersama sang ayah.

"Pa ...." Adyrasha mendongak melihat ke arah Shinta yang menghampirinya membawa dua cangkir teh. Lelaki itu meletakkan ponselnya dan melepas kacamatanya.

"Tumben kamu buatkan Papa minuman tanpa diminta," kata Adyrasha. Baru disadari selama ini memang Shinta tak pernah membuatkan minuman untuk sang ayah kalau Adyrasha tak meminta.

Shinta mencebik manja sambil meletakkan nampan di meja kaca di depan sofa ruang keluarga. "Ih, papa begitu banget. Kaya anak perempuan Papa ini ga ada pekanya."

Dengan mengaitkan jemarinya di gagang cangkir, Shinta mengangkat cangkir keramik itu, dan mengulurkannya pada sang ayah.

Mata Adyrasha menyipit oleh senyuman yang terurai di wajah. Shinta dengan manja merangkulkan lengan ayahnya yang dulu sangat kokoh dalam ingatannya di bahunya. Shinta menggelendot manja di pundak sang ayah seolah ia seorang anak gadis kecil.

Sambil menyesap tehnya, tangan kiri Adyrasha mengusap lembut rambut lebat anaknya. "Shint, kamu kenapa? Tumben manja sama Papa gini?"

"Aku kangen jadi anak gadis Papa." Mereka terdiam, menikmati kehangatan kasih sayang ayah dan anak.

"Pasti berat ya, Shint?  Menjadi ibu di usia semuda kamu." Perkataan Adyrasha memecah hening. Shinta hanya mengangguk berulang. "Anak gadis Papa hebat. Bisa bertahan saat terpuruk."

"Tapi aku cengeng, Pa. Kena depresi post partum, serangan panik, membuat Papa sering cemas dan kalut."

"Papa cemas karena papa sayang kamu, Shint. Seandainya Dion masih hidup, Papa akan cabik-cabik laki-laki itu."

Shinta menegakkan tubuhnya, memicingkan mata menelisik mata yang berkerut dan berkantong itu. "Hih, Papa mana menang melawan Dion yang kekar. Dia kan ahli taekwondo."

"Shint ... kamu udah ga anti lagi sebut nama Dion?" Shinta terkesiap menyadari, ia menyebut nama lelaki yang selama ini tak pernah dia sebut.

"Kalau Papa pikir-pikir, sejak kehadiran Yujin, kamu sedikit lebih tenang. Ehm, kamu bisa naik mobil lagi, dan terlihat tanpa beban menyebut nama Dion," ujar Adyrasha.

Shinta menggigit sudut bibir kirinya. Alisnya mengernyit berpikir tentang perkataan ayahnya. Betulkah lara itu telah lenyap di hatinya berganti kehangatan sejak kehadiran Yujin. Seperti dulu saat ia terpuruk dan mencengkeram kuat kemeja Yujin yang seolah mengisyaratkan bahwa dirinya tak ingin ditinggalkan, tak ingin sendiri karena didera ketakutan akibat perbuatan biadab yang dilakukan oleh Dion.

Shinta memeluk lengan Adyrasha. Otot-otot itu tak lagi liat, seperti waktu muda saat mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan membuatnya seolah terbang di udara. Namun lengan kekar itu, tetap selalu dirindukannya saat ia merasa tak ada sandaran.

"Pa, sehat ya ... Panjang umur." Ucapan lirih itu menyeruak di liang pendengaran Adyrasha.

"Manusia itu mesti mati, Shinta. Kita tinggal menunggu waktunya saja. Papa tak lagi muda. Badan Papa sudah lelah. Papa hanya ingin menyerahkan kamu kepada lelaki baik yang bisa menjaga anak papa dan cucu papa."

Shinta duduk bersimpuh di sofa. Badan kecilnya membuat ia leluasa bergerak semaunya sendiri. Perempuan itu mengguncang lengan kiri Adyrasha, memohon agar sang ayah tak berpikir tentang kematian yang membuatnya akan ditinggal oleh lelaki yang sangat disayanginya. Lelaki yang selalu tersenyum padanya seberat apapun permasalahan hidup.

Shinta membenci perpisahan. Shinta membenci kematian. Cukup Ibunya yang tega meninggalkannya bersama sang ayah. Shinta tidak mau ayahnya pergi dengan cepat. Shinta belum siap. Shinta merasa tetaplah Shinta yang selalu merengek pada sang ayah.

Shinta terisak. "Kumohon, jangan berkata seperti itu, Pa. Aku takut sendirian."

"Hei ..." Adyrasha mengangkat dagu putrinya. "Shinta, lihatlah ketulusan dan cinta Bae Yujin. Walau kalian baru bertemu sekarang setelah sekian lama berpisah, Papa yakin, lelaki itu yang telah terikat benang merah denganmu."

Shinta menggeleng. "Aku hanya ingin Papa dan Eugene. Aku tidak butuh yang lain. Sudah cukup rasa sakit hati yang ditorehkan lelaki seperti Dion dan Argo. Aku tidak sanggup lagi kalau harus sakit hati untuk kesekian kali."

"Shinta, sudah saatnya kamu membuka hatimu. Argo ... memang dia mencintaimu, hanya saja, Papa tidak melihat dia bisa mencintai dengan tulus cucu Papa." Adyrasha menatap lurus ke depan. "Saran Papa, pertimbangkan Bae Yujin."

Isakan Shinta terhenti. Kata-kata sang Papa seperti wasiat yang harus dilakukannya. Dan itu membuat hati Shinta bergolak.

💕Dee_ane💕

Bae Yujin menemukan sosok ayah di diri Adyrasha

Shinta yang rindu di dekat Papa


Dee datang lagi...
Tengkyu dah mengikuti sampai sejauh ini...semoga ga bosen....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro