Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-Dua Belas-

Terima kasih yang sudah baca, vote, tapi kalian sering lupa komen...wkwkwk

❤Happy reading❤

Eugene langsung melangkah keluar, menghampiri Yujin dan tidak paham dengan reaksi sang mama yang masih tercengang dengan apa yang baru saja terjadi.

Sedang Yujin memilih duduk di ruang tengah di depan televisi. Apa yang selama ini dilihat di majalah-majalah dewasa pria, Yujin melihat langsung dengan mata kepalanya. Dan itu berhasil membuat jantung Yujin berdebar dengan kencang.

Masih ingat di otaknya, apa yang ditangkap oleh retina matanya. Tubuh Shinta itu terlihat masih kencang meski sudah melahirkan seorang putra. Walau perutnya tidak terlalu datar, tetapi masih pas dan nyaman dipandang dengan kulit kuning yang lebih terang dari kulitnya yang tidak tertutup pakaian.

Yujin tersentak kala lelaki kecil itu menghampirinya dengan beberapa koleksi senapan mainan yang harganya tak tanggung-tanggung. Adyrasha membelikannya saat ulang tahun ke 6 cucunya, dan sejak saat itu Eugene selalu minta dibelikan mainan yang sama.

"Pa, lihat ini mainan Nerf ku! Bagus, 'kan?" Eugene memperagakan gaya menembak seolah dirinya adalah seorang tentara penembak jitu yang profesional.

Melihat tingkah polah Eugene, Yujin terkekeh dan mengambil salah satu senapan mainan yang berbentuk pistol berwarna biru. "Angkat ... tangan!" sergah Yujin dengan logat yang aneh. Mengetahui Eugene akhirnya mempunyai teman bermain yang tangguh-tak seperti kakung yang cepat meminta istirahat-akhirnya anak itu menarik Yujin ke halaman belakang dan bermain perang-perangan di sana.

Shinta mendengar keriuhan tawa dan canda double Yu yang berbeda generasi. Lelaki dewasa itu mudah sekali menjelma menjadi seorang bocah dengan ekspresi yang sama menggemaskan dengan Eugene. Berbagai rupa suara aneh keluar dari mulut mereka berdua. Mulai dari menirukan suara tembakan sampai suara pekikan saat tubuh salah satunya terkena peluru gabus.

"Aarrrghh!" erang Yujin saat dirinya sengaja mengalah dan tidak mengelak ketika peluru itu mengarah mengenai dadanya.

Teriakan Eugene menggema saat Yujin tumbang. Anak lelaki delapan tahun jingkrak-jingkrak tak keruan mendapati dirinya telah menang menumpas kejahatan.

"Hahahaha, akhirnya aku bisa mengalahkanmu, penjahat!" Derai tawa Eugene membahana larut dalam perannya sebagai lakon protagonis dalam permainan mereka.

"Tidak semudah itu, Anak Kecil!" Yujin berpura-pura kesakitan dan mengerang saat hendak bangkit.

"Jangan panggil aku Anak Kecil, Paman! Panggil aku ..." Eugene mengernyitkan alisnya, berpikir. "panggil aku ...." Anak itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Eugene menoleh ke arah Shinta yang baru saja mengintip apa yang diperbuat anaknya. "Panggil aku siapa ya, Ma?"

"Yu, si Penembak Jitu." Shinta asal saja menjawab. Manik mata Shinta menangkap sosok lelaki dewasa yang bergelung di rumput di taman belakang rumah, masih menghayati perannya sebagai penjahat yang terkapar kalah. Dan melihat lelaki itu, membuat Shinta ingat segala kekonyolannya sepanjang pertemuan pertamanya. Pipi Shinta terlihat semburat merah yang sempat ditangkap oleh Yujin yang akhirnya gadis itu mengalihkan pandang agar dirinya tak menjadi canggung.

Eugene berdeham kencang sambil menaikkan dagunya. Tangannya masih menggenggam senjata mainan yang disandarkan di bahu kanannya. "Panggil aku Yu, si Penembak Jitu, Paman! Hahaha!" Kembali tawa renyah Eugene menguar di udara.

Suasana ramai itu tak pernah terdengar di rumah. Adyrasha tak bisa mengimbangi lagi polah aktif Eugene, dan Shinta tak ada waktu menemani anak lelakinya bermain seperti itu. Dan dengan kehadiran Yujin, rumah itu menjadi sedikit berwarna dan lebih ceria dengan pekikan anak kecil dan tawa riang lelaki dewasa.

Adyrasha menghampiri Shinta yang masih berdiri di ambang pintu belakang rumah. Lelaki setengah baya itu menepuk pundak Shinta, membuat gadis itu menoleh menatap ayahnya yang sudah semakin renta.

"Shint, kamu pernah mengenal lelaki itu? Kenapa dia terlihat tidak asing, ya?" tanya Adyrasha kepada anaknya.

Shinta mendesah, kemudian berbalik dan duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.

"Pa, aku ... salah ya berbohong sama anak itu? Aku tidak pernah menyangka Yujin itu benar-benar nyata," kata Shinta.

"Benar kamu yakin begitu, Shinta? Papa malah berpikir, kalian pernah bertemu-"

"Dia ... lelaki yang menyelamatkanku di hari nahas itu. Dia juga yang awalnya tak peduli melihatku dirisak tetapi kembali lagi untuk menyelamatkanku. Namun semuanya sudah terlambat ...." Adyrasha menepuk punggung tangan Shinta, dan mengelusnya dengan penuh kasih.

"Pantas Papa seperti pernah lihat, karena ada anak laki-laki yang menunggui kamu sebelum Papa datang. Kami berpapasan, dan perawat hanya menunjuk orang yang menolongmu. Saat Papa mau mengucapkan terima kasih, dia sudah tidak ada," kisah Adyrasha memutar lagi kenangannya.

Mereka terdiam dengan perenungan masing-masing. Shinta dan Adyrasha menatap nanar tangan yang bertaut di atas permukaan meja makan.

"Shinta, kamu pasti ada kontak batin setelah pertemuan kalian dulu, sehingga alam bawah sadarmu mengingat nama itu. Menamai anakmu Eugene, dan memberikan kebohongan nama Yujin sebagai ayah Yu."

Shinta mendongak menatap wajah yang tak lagi muda itu. "Kontak batin? Aku merasa itu hanya mimpi, nama Eugene yang kubaca itu, serasa membuatku nyaman dan tak sendiri di saat aku terpuruk. Aneh ya? Aku senang ada yang menolongku. Dan kupikir saat itu aku hanya berkhayal saja karena lelaki itu tak ada lagi di sana."

"Tapi, dia pria yang baik menurut Papa. Dia tidak akan kembali kalau tidak menuruti kata hatinya," ucap Adyrasha.

Shinta mendesah panjang, menatap manik mata berwarna hazel brown milik sang ayah. "Pa, Papa tahu 'kan. Tidak semudah itu seorang lelaki menerima wanita yang tidak perawan dan anak hasil pemerkosaan-"

"Kamu berhak bahagia. Tidak semua lelaki seperti Dion." Adyrasha menatap tajam anaknya.

Shinta menelan ludah kasar. Dion?

"Lelaki itu sudah mati. Dia kecelakaan karena mabuk ...." Akhirnya kenyataan itu keluar dari bibir Adyrasha.

Shinta terlonjak kaget. "Bohong. Kak Dion pasti ga akan mati. Dia hanya pergi begitu saja."

"Kalau dia pergi begitu saja, kenapa dia tidak mendekam di penjara? Dia mati, setelah melakukan perbuatan hinanya!"

"Bohong! Papa bohong! Dia tidak mati dengan mudahnya setelah berbuat kejam kepadaku! Dia ... dia ... harus mendapatkan hukuman yang setimpal yang lebih mengerikan dari kematian!" seru Shinta dengan mata membelalak. "Atau paling tidak dia harus bertanggung jawab."

"Shinta sadar, Shint ... Lepaskan sakit hati, kebencianmu. Kosongkan semua dan isilah dengan kebahagiaan." Adyrasha mencoba menenangkan Shinta. Namun lagi, Shinta berontak.

"Lepaskan aku, jangan sentuh aku!" Di atas kursi, Shinta menarik kakinya, menenggelamkan kepalanya di antara lengannya. "Semua jahat padaku! Papa pasti bohong! Tidak semudah itu dia mati!!"

Yujin yang mendengar keributan di dalam segera berlari masuk. Di ambang pintu didapatinya Adyrasha yang beberapa kali ditepis tangannya oleh Shinta.

Ketika Eugene hendak menghampirinya, Yujin segera berbalik dan membungkuk mengimbangi wajah Eugene.

"Yu, main sendiri. Papa break, ingin bicara sama mama," ucap Yujin yang disambut anggukan lelaki kecil itu.

Melihat Eugene sudah menjauh, Yujin masuk mendekati ayah dan anak itu. Beberapa kali Adyrasha menenangkan, berusaha membongkar lengan itu tetapi kali ini lelaki tua itu tak mampu mengendalikan emosi anaknya.

Yujin menepuk pundak Adyrasha, membuat lelaki itu mendongak. Tanpa bicara, tatapan Yujin seolah mengatakan 'Serahkan Shinta padaku', membuat Adyrasha spontan menarik badannya dan meninggalkan dua anak muda itu sendiri.

Yujin menurunkan badannya dan berlutut di depan Shinta. "Shint ... menangislah kalau ingin menangis! Aku akan menemanimu disini." Tangannya menepuk punggung Shinta, tidak berusaha menenangkan. Hanya menemani dalam kesesakan perempuan itu.

Tangis kekecewaan pun pecah. Raungan kesedihan itu menguar di udara. Kebenciannya terasa sia-sia karena alam telah lebih dulu mengutuk dan mengambil nyawa Dionisius Tandiokusuma. Suatu kenyataan yang selama ini disembunyikan oleh Adyrasha ayahnya.

Melihat Shinta yang tak menolak ketika Yujin menepuk punggungnya, Yujin menarik badan kecil itu ke tubuhnya. Tangis Shinta masih terdengar dengan badan yang bergetar. Yujin menepuk dan sesekali mengelus punggung Shinta sambil membisikkan kata, "Shint, aku disini. Seperti dulu aku kembali padamu dan merengkuhmu."

Rengkuhan Yujin sungguh menenangkan. Aroma yang terhirup oleh penciuman Shinta, membuat gadis itu teringat akan aroma manis yang sama dari seorang lelaki yang tergopoh membopongnya. Sebelum matanya terpejam, sekilas tertangkap oleh iris matanya sebuah tulisan 'Eugene Bae'.

Dan otaknya hanya mempresepsikan bahwa itu hanya mimpi indah di sela nasib buruk yang terjadi malam itu.

Shinta lambat laun semakin tenang, dan badannya tak lagi bergetar. Yujin mendorong pelan badan Shinta, tetapi yang terjadi adalah perempuan itu lemas tak sadarkan diri, seperti sesudah serangan panik yang pernah terjadi sebelumnya.

Badan itu terkulai, ambruk di badan Yujin, dan Yujin dengan sigap berdiri, membopong badan lemah itu masuk ke dalam kamar.

"Kung, Mama kenapa?" Eugene tak sengaja melihat Yujin menggendong mamanya. Anak itu lari begitu saja mendapati Yujin diikuti Adyrasha yang juga ikut buru-buru masuk.

"Pa, Mama kenapa?" Tak dipungkiri raut kecemasan terukir di wajah belia itu.

Yujin tersenyum menenangkan. "Mama hanya sedikit lelah. Biarkan dia ... istirahat. Ehm?"

Adyrasha tertegun melihat sosok lelaki yang menggendong anaknya selain dirinya. Selama delapan tahun ini lengannya yang selalu menggendong putri semata wayangnya saat Shinta terpuruk. Walau lengan itu sudah tak bertenaga dimakan usia tetap saja dia melakukannya. Entah kenapa, ketika melihat lengan kekar berdarah muda itu menopang punggung dan bawah tungkai Shinta, dirinya merasa bersyukur. Ada lelaki yang mau menerima putrinya apa adanya.

Yujin dibuntuti Eugene yang memegang ujung kaus putihnya, masuk ke dalam kamar. Kamar yang beraroma khas parfum Shinta itu membuat otaknya memutar memori yang membuatnya selalu ingin berbuat kebaikan bagi siapapun, sekecil apapun. Aroma parfum yang sempat dihirupnya dulu saat tergopoh menggendong Shinta yang menjadi korban pemerkosaan.

Yujin melangkahkan kaki menuju bed king size yang terletak di tengah ruang. Yujin membaringkan pelan gadis itu di atas bed, dan Eugene segera menyelimuti Shinta seperti yang sering ia lakukan bila mamanya ambruk. Anak itu melompat naik ke atas kasur dan menciumi mamanya.

"Ma, Yu mohon. Cepatlah sehat! Yu janji akan jadi anak baik." Eugene terisak memeluk kepala mamanya.

Yujin trenyuh dengan pemandangan itu. Tak terasa bulir bening sudah menggenang di pelupuk matanya, membuatnya semakin terikat dengan ibu dan anak di hadapannya.

💕Dee_ane💕

Aku kok baper ya sama Yujin🤦‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro