-Dua-
Eugene punya kebiasaan baru setiap pulang sekolah. Alih-alih menggunakan uang jatah jajannya untuk membeli makanan ringan kesukaannya, Eugene memberikan kepada Eriko lembaran kertas berisi coretannya untuk dikirimkan pada sang 'ayah'.
"Nih, Kak, kirimin lagi ya?" Eugene menyodorkan selembar kertas putih yang dilipat empat dan di dalamnya sudah terselip uang 5000 jatah uang sakunya hari itu.
Eriko mendesah panjang. Tidak tahu apakah yang dilakukan itu sudah benar. Tetapi, melihat Eugene yang sudah seperti adiknya, tersenyum ceria, Eriko tetap membantu Eugene mengirimkan pesan untuk seseorang yang anak itu sebut sebagai 'papa'.
Lagi, Eriko mengetikkan sebuah pesan pribadi untuk Bae Yu Jin.
Dear Papa,
Ini Eugene lagi ....
Kalau dipikir-pikir nama kita sama ya, Pa? Huh, kenapa Papa tidak kreatif sekali? Kata Mama, Papa yang memberi nama untuk Yu. Benedict Eugene Adyrasha. Kalau disingkat B. Eugene akan sama dengan nama Papa, Bae Yujin. Entah kenapa, Yu senang sekali. Kata Mama kenapa Papa memberi nama sama, katanya sih supaya sewaktu besar nanti Yu bisa sepintar dan seganteng Papa. ^.^
Pa, hari ini Yu mau cerita. Yu, sudah memutuskan untuk melanjutkan latihan karate. Dulu sempat terputus karena kata Mama kalau Yu ikut kegiatan itu, sekolah Yu bisa terbengkalai. Padahal Yu, senang sekali bisa bergerak bebas di udara sewaktu latihan. Tiba-tiba Mama bilang ke Yu, kalau Mama tidak memperbolehkan Yu latihan karate lagi. Yu sedihhhhh banget.
Sejak nilai UTS Yu jelek, Mama malah bilang Yu boleh latihan karate lagi. Katanya Mama, ga mau paksa Yu lagi supaya nilainya bagus. Mama bilang, mungkin kepandaian Yu ada di bidang lain selain pelajaran sekolah. Tapi, mama bilangnya kaya sedih gitu, Pa.
Dengar, Pa, bukan Yu tidak mau belajar! Yu belajar rajin. Mama mengajari Yu setelah mama praktek, walau saat mengajari tiba-tiba Mama yang cantik berubah jadi monster macam film di kamen rider itu, Pa. Mengerikan. Apalagi suaranya, melengking! Yu, sudah berpikir Pa! Menggunakan otak Yu. Tapi Mama selalu tidak sabar. Padahal 'kan memang susah, Pa, Yu tidak bisa langsung paham. Yu, kadang menangis, saat Mama sudah menggebrak meja. Entahlah, Yu merasa bodoh sudah mengubah Mama yang baik menjadi monster saat mengajari Yu belajar. Apa sebaiknya Yu tidak usah belajar ya Pa, biar Mama tetap jadi Mama yang manis? Hah, itu hanya mimpi Pa!
Oya Pa, balik lagi soal karate, Papa tahu kenapa Yu juga pengen melanjutkan latihan karate? Sebenarnya sih karena ...(Papa jangan bilang Mama ya.) hmmmm ... Yu pengen melindungi Mama saat Papa tidak ada di samping Mama. Mama setiap malam sering menangis sendiri di kamar sebelah. Yu pengen menghibur Mama, tapi Yu tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur Mama. Dan, kadang, Yu mendengar juga tetangga menceritakan Mama karena melahirkan Yu tanpa Papa di sampingnya. Disitu Yu sedih, Pa. Yu pikir, Yu yang menjadi kesedihan Mama. Pengen Yu sumpal mulut para tetangga itu dengan kaus kaki bekas yang belum dicuci berhari-hari biar pingsan mereka. Biar mereka diam, tak lagi nggosipin Mama. Tapi, Mama hanya diam, walau tahu ada omongan jahat seperti itu. Kata Mama sih, 'sing meneng, bakal menang'. Yu bahkan tidak tahu artinya. Tapi Yu, tahu Yu disuruh diam.
Pa, makanya papa pulang, yuk. Yu rindu sekali dengan Papa. Yu pengen juga seperti teman-teman Yu lainnya yang diantar dan dijemput sama papanya. Bahkan raportnya juga diambilkan oleh papanya. Waktu Outing Class dan outbond bersama, saat yang lain dengan kedua orangtuanya, hanya Yu yang sendiri dengan Mama. Eugene dan Mama akan selalu menunggu kedatangan papa.
Salam sayang dari anakmu yang tak kalah ganteng.
B. Eugene
Eriko mendesah panjang lagi. Tak menyangka dirinya membuat anak lelaki kecil itu mengirim surat pada lelaki yang bernama Bae Yujin.
"Kalau betul, orang ini adalah papanya, kenapa nggak pernah pulang? Trus, kenapa setiap DM tidak pernah dibalas?" Coretan dalam kertas itu dikumpulkan dalam sebuah amplop coklat, dan disimpannya di sebuah laci di belakang meja kasirnya.
***
Yu Jin kegerahan. Hawa jalur Gaza kali ini sangat terik dan berdebu. Aktivitasnya mengevakuasi warga sipil akibat serangan yang dilakukan oleh pihak Israel kemarin, menguras banyak tenaganya. Banyak diantara warga yang terkepung dalam reruntuhan bangunan rumahnya sendiri. Seolah rumahnya kini bisa menjadi rumah masa depannya apabila sukarelawan tidak cepat menemukan mereka. Dibantu dengan anjing pelacak, Yu Jin melakukan pencarian.
"Brownie, apa kau menemukan sesuatu?" tanya Yu Jin pada anjing pelacaknya. Brownie, anjing jenis Labrador Retriever berwarna coklat itu mengenduskan hidungnya di sela puing bangunan yang sudah luluh lantak. Bahkan Yu Jin mengira pasti sudah tidak akan ada kehidupan di bawahnya.
Namun, yang terjadi Brownie menggonggong-gonggong. Gonggongannya memberi tanda pada Yu Jin bahwa ada sesuatu yang tak beres di bawah reruntuhan itu. Yu Jin berlari mendapati anjing itu dan area rumah yang sudah rata dengan tanah itu.
Yu Jin mengangkat sebuah puing batu besar. Berusaha mencari celah apakah ada tanda-tanda kehidupan di bawah sana. Yu Jin meringis memperlihatkan gigi putihnya tatkala seluruh tenaganya terpusat pada lengan yang berusaha mengangkat batu itu. Salakan Brownie terdengar keras dan anjing itu terlihat senang ketika Yu Jin berhasil menyingkirkan sebuah batu penghalang. Brownie melongokkan moncongnya, sementara ekornya bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri.
"Brownie, kamu minggir sedikit, aku akan memeriksa apakah ada yang masih bertahan hidup dibawah reruntuhan itu."
"Guk ... guk ...," jawab Brownie dalam bahasa anjing.
Yu Jin berjongkok, menumpukan lututnya di tanah yang berdebu. Telapaknya memijak bumi, membiarkan tanah melekat mengotorinya. Yu Jin mencondongkan badannya turun ke celah di bawah reruntuhan. "Hello, can you hear me?"
Tak ada jawaban, dan Yujin mengulanginya sekali lagi. "Hello, Anybody there?" Suara Yu Jin menggaung. Beberapa saat kemudian, lelaki itu dikejutkan oleh sebuah tangan yang menjulur di reruntuhan. Tangan yang berbalut sebuah kain tunik panjang berwarna gelap. Jarinya yang panjang dan lentik, menandakan bahwa yang terkubur di reruntuhan adalah seorang perempuan.
"Wait, I will help you!" seru Yu Jin. Dengan sekuat tenaga, pria itu menyingkir lagi batu dan puing bangunan yang menimpa tubuh seorang perempuan di bawahnya. Tak peduli peluh yang mengucur, tak dihiraukan pakaian yang sudah basah, Yu Jin berusaha mengangkat batu-batu penghalang sehingga tersembullah kepala seorang perempuan. Cadarnya sudah terbuka, memperlihatkan wajah khas timur tengah dengan wajah tirus, hidung mancung, bibir yang tipis tetapi kering terkelupas. Namun, paras ayu itu ternoda oleh luka dan darah yang mengalir dari pelipis serta dahinya.
"Save my child, please ...." Napas perempuan itu tersengal. Yu Jin melihat, bibir yang kering itu sebagai tanda bahwa sudah satu hari mungkin wanita itu terjepit di bawah puing reruntuhan rumahnya sendiri.
Yu Jin melihat seorang anak balita dalam dekapan ibunya. Kira-kira umurnya satu tahun. Bayi itu menetek dalam, sisa-sisa air susu yang telah mengering. Hanya itu yang bisa diberikan sang ibu agar anaknya tidak kelaparan. Yu Jin mengerutkan alis berpikir sambil menyeka keringat yang jatuh di matanya, membuat matanya sedikit pedih.
Lelaki itu memandang berkeliling. Dan ketika melihat seorang temannya dari kejauhan, Yujin bersiul dengan memasukkan jari jempol dan tengahnya. Siulan yang melengking itu membuat perhatian sekitarnya terdistraksi dan melihat ke arah Yujin.
"Aku akan membawa anakmu untuk mendapatkan pertolongan pertama. Aku akan kembali lagi!" Yu Jin mengangkat anak itu, dan saat berpapasan dengan sukarelawan lain, Yu Jin memberitahu apa yang terjadi. Yu Jin berlari secepat mungkun, membawa anak balita yang tergolek lemah di gendongannya.
***
Sore itu, saat istirahat di sebuah mess, lagi Yu Jin membuka-buka isi pesan dalam smartphonenya. Ibunya pasti akan cemas akan kondisinya, mengetahui bahwa kemarin ada serangan besar yang pasti disiarkan oleh media di seluruh dunia. Namun, mata Yu Jin lebih tertarik membuka sebuah aplikasi sosial media yang kini sering dibukanya.
Yu Jin memandang berkeliling mencari Bima, translator berjalannya. "Bima!" panggil Yu Jin dengan menunjukkan gawainya. Yang dipanggil hanya bisa mendesah malas, tetapi tetap menghampiri Yu Jin.
"Apa lagi?" tanya Bima datar. Dirinya ingin segera tidur setengah jam saja, karena serangan kemarin membuat matanya siaga.
"Terjemahkan," pinta Yu Jin.
"Anak itu lagi?" Yu Jin mengangguk. Bima duduk dengan mata yang sudah setengah watt, mengambil smartphone Yu Jin dan membaca sekaligus menerjemahkan.
Yu Jin duduk. Menumpukan sikunya di lutut. Punggungnya melengkung, dan jemarinya saling bertaut di depan bibir merahnya. Alisnya mengernyit setiap mendengar kata yang terlontar dari mulut Bima.
"Salam sayang dari anakmu yang tak kalah ganteng. B. Eugene ...." Lagi Bima menghela napas kasar. Kali ini memandang Yujin yang masih termangu. Bima menepuk pundak Yu Jin menyadarkan lamunannya. "Letnan Bae, aku kira, kamu harus berterus terang pada anak itu kalau memang kamu bukan ayahnya."
Bima mengembalikan gawai Yu Jin. Lelaki itu memandang gawainya yang entah kenapa perasaannya bercampur aduk. Yu Jin menggeleng menjawab Bima. "Entahlah. Tapi aku mulai terbiasa dengan pesan yang setiap hari masuk."
"Kamu memberi harapan semu pada anak itu Yu Jin." kata Bima.
"Aku tahu. Biarkan aku mengenal anak itu. Aku merasa aku melihat model diriku sewaktu kecil. Namun dengan keputusan yang berbeda."
"Maksudmu?" Bima tak mengerti. Namun, Yu Jin hanya tersenyum, bangkit dan menepuk Bima.
"Thank You. Besok lagi ya?"
Lantas Yu Jin menarikan jemarinya di atas permukan layar sentuh mencari sebuah nama 'Eomma'.
Nada panggil terdengar di telinga Yu Jin dan tak butuh waktu lama suara serak perempuan menjawab panggilannya.
"Yooboseyo" Yu Jin mendengar sapaan wanita yang melahirkannya.
"Eomma ...."
"Yu Jin a. Itu kamu,Nak? Ibu khawatir sekali ...." Suara serak khas bangun tidur itu tiba-tiba lenyap ketika mengetahui Bae Yu Jin anak tunggalnya yang menelpon.
"Apa kabar?" tanya Yu Jin. Ada perasaan malu menanyakan kabar sang ibu.
"Baik, Eomma sehat. Bagaimana kamu? Apakah di sana berat? Kamu makan dengan baik di sana?" Suara wanita itu tampak sangat mencemaskannya.
"Aku makan dengan baik, Eomma. Eomma sehat 'kan?" Tiba-tiba Yu Jin merasa sangat rindu dengan ibunya. Lelaki kekar berusia dua puluh delapan tahun itu menggigit bibirnya menahan getaran karena emosi yang menggelegak. Segera Yu Jin mencari tempat sepi, agar tidak diketahui oleh orang yang lainnya.
"Eomma sehat. Kamu kenapa Yu Jin? Apakah ada yang tidak beres? "
"Eomma, maaf ...."
"Kenapa?"
"Entahlah, aku hanya ingin minta maaf karena menjadi anak yang tidak berbakti." Yu Jin menyeka bulir yang menggenang di pelupuk matanya.
"Kamu adalah anakku. Eomma yang bersalah tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu." Dari nadanya, Yu Jin tahu ibunya juga pasti sedang berusaha tidak menangis.
"Terima kasih sudah menjadi ibuku yang paling baik ...."
Percakapan di telepon itu terputus karena sinyal yang masih belum stabil. Namun dalam hati, baru kali ini Yu Jin merasakan kehangatan. Sebuah uneg-uneg yang tak pernah disampaikan pada sang ibu akhirnya terlontar juga dari bibirnya.
"Eugene, siapa dia? Aku ingin mengenal anak itu," gumam Yu Jin.
***
Eugene n Yu Jin sama Shinta Up lagi...
Udah terasa feelnya?
Kalau suka kisah YES - Yu Jin, Eugene n Shinta, silakan add di library n tambahkan ke reading list kalian ....
Follow authornya juga bisa, biar bisa ngerti update terkini worknya Dee ....
Tengkyu for reading...
❤Dee_ane❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro