-Delapan-
Vote dan komennya jangan lupakan yak ...
Selamat membaca
Shinta meremas pahanya sendiri. Matanya memerah mencoba menahan gejolak emosi karena diingatkan pada kejadian yang ingin dihapusnya dari ingatan. Namun, tiba-tiba nada dering dari gawainya berbunyi membuat perhatian Shinta teralih.
Shinta meraih tas yang berada di pangkuan, dan segera merogoh gawai yang ada di dalam tas dan melihat siapa yang menelpon.
'Sekolah Yu'
Jantung Shinta berderap kencang tiap kali sekolah Yu menelpon. Digesernya tanda menerima panggilan di layar ponselnya dan dengan tangan bergetar karena gugup ditempelkannya speaker gawai di daun telinganya.
"Hallo ...."
"Bu Shinta, ini saya Bu Firda." Suara seorang perempuan terdengar dan Shinta sudah hafal dengan suara perempuan itu.
"Ada apa, Bu?" suara Shinta terdengar cemas.
"Eugene berkelahi, dan kepalanya bocor karena terantuk pinggiran meja. Saat ini kami membawanya ke IGD Rumah Sakit UNS."
Tangan Shinta lemas kala mendengar kata demi kata yang menabuh gendang telinganya. Cuping hidungnya melebar berusaha meraup udara untuk menjernihkan pikirannya. Segera Shinta berdiri diikuti Yujin yang melihat perubahan wajah Shinta.
"Shint, What's wrong?"
Shinta terlihat linglung, dia hanya menggigit bibir dengan badan yang gemetar. Beberapa kali dia meracau melafalkan nama Eugene, anaknya.
"Yu ... Eugeneku, dia di rumah sakit." Tatapan Shinta tak fokus menjawab tanya Yujin.
"Hospital?" Satu kata yang ditangkap oleh Yujin mengindikasikan bahwa ada yang tidak beres. Shinta tak mengindahkan Yujin, lantas bergegas ke luar.
Dengan beberapa langkah panjang, Yujin menjangkau Shinta. Lelaki itu menangkap pergelangan tangannya. "Shinta, aku antar!"
Shinta menggeleng-geleng. "Please, terlalu berbahaya bila kamu mengendarai motor sendiri dalam keadaan seperti ini!"
Suara Yujin yang naik satu oktaf menyadarkan Shinta. Shinta melihat tangannya yang gemetar hebat. Namun dia juga takut berdua dengan lelaki asing di dalam mobil. "Tunggu di sini, aku akan membayar dulu."
Shinta bergeming di tempatnya. Seolah titah Yujin itu adalah mantra yang membekukan tubuhnya sehingga dirinya tidak beranjak ke manapun. Beberapa menit Shinta menunggu dan akhirnya Yujin menggandeng Shinta masuk ke dalam mobilnya.
Di luar, langit masih menumpahkan ribuan liter air ke atas permukaan bumi. Yujin memanggil tukang parkir untuk mengantarkan Shinta lebih dulu menuju ke mobil yang dituju. Namun, ketika hendak menarik pengait untuk membuka pintu, Shinta mendorong pintu itu kembali dan mundur ke belakang.
Melihat sikap Shinta yang terlewat aneh, mau tidak mau dalam situasi hujan yang cukup lebat, Yujin menerobos derai air langit, tak mempedulikan tubuhnya yang basah kuyup.
"Shint ...."
"Kumohon, aku tidak bisa!" Shinta hendak berbalik menuju motornya. Kini keduanya sudah dalam kondisi basah kuyup. Dan tukang parkir itu memilih menjauh karena sepertinya kedua orang itu lebih suka berhujan-hujanan.
"Bukankah kamu harus segera ke rumah sakit?" kata Yujin dalam bahasa Indonesia yang terbata.
"Aku bisa mengendarai motorku." Merasa tak bisa membujuk perempuan itu, Yujin membuka pintu mobil, menarik Shinta dan mendorongnya masuk untuk duduk di kabin depan, sebelah pengemudi.
Shinta duduk dengan gelisah. Berkali-kali dia mencoba menenangkan diri dengan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, tetapi tetap saja Shinta duduk dengan gerakan tak jelas sambil menepuk kedua pipinya untuk menyadarkan nalarnya.
Yujin masuk dengan baju yang basah kuyup seperti Shinta. Lelaki itu menyeka kedua tangan kekarnya yang basah dengan telapak tangannya. Yujin mengerling dan mendapati Shinta yang duduk dengan tak tenang. "Shint ...."
Shinta terengah-engah seperti habis lari marathon. Dadanya kembang kempis, dan wajahnya yang basah terlihat pucat.
"Shinta," panggil Yujin lagi, seraya menepuk punggung Shinta. Namun, yang didapat Yujin adalah tepisan kasar, penolakan dari Shinta.
"Jangan sentuh aku, kumohon ...." Shinta hampir menangis. Kilasan peristiwa menyakitkan di mobil bersama lelaki membuatnya panik seketika.
"Tenang, ada aku disini ...."
Empat kata itu merayap di indera pendengaran Shinta yang dihantarkan ke otaknya untuk dipresepsikan sebagai sugesti yang secara ajaib mampu mengendalikan respon tubuhnya.
Napas Shinta lambat laun semakin tenang. Dadanya tak lagi naik turun. Shinta berpaling, menatap Yujin yang dilihatnya meneteskan titik air dari ujung dagu. Takut-takut Shinta memandang Yujin dengan alis yang berkerut. Sekuat tenaga otaknya membongkar file kenangannya, tetapi tak pernah didapati wajah pemuda yang berwajah oriental itu.
"Sudah tenang? Kita berangkat ke rumah sakit." Yujin mulai menyalakan mesin mobilnya dengan menekan tombol start dan segera meluncurkan kendaraan roda empat itu ke jalanan yang padat dengan pengguna jalan. "Tunjukan jalannya, Shint."
Shinta berusaha tenang. Sekuat tenaga dia harus mengendalikan dirinya, mengatasi traumanya. Dia fokus ke arah depan, memberi petunjuk pada Yujin yang mengendalikan setir bulat.
Dua puluh menit kemudian Yujin sudah memposisikan mobil berada di drop zone depan IGD, dan dengan cepat Shinta melesat keluar dari mobil. Dengan langkah tergopoh perempuan itu masuk ke dalam ruang IGD dan segera bertanya dimana anak SD yang terluka. Perawat jaga menunjuk bilik tempat Eugene mendapat perawatan, dan tak pikir panjang Shinta lekas menyusul.
"Yu!" panggil Shinta dengan tatapan nanar saat melihat Eugene yang duduk di atas brankar. Anak lelaki itu sudah dijahit lukanya di bagian pelipis meninggalkan kassa dan plaster yang melekat erat di samping wajahnya.
"Mama!" Mata Eugene berbinar mendapati sang mama yang menyusulnya.
Shinta menyeruak masuk ke dalam bilik. Di dalam bilik terdapat Firda, guru Eugene yang setia menunggu.
"Maaf ya, Bu. Jadi merepotkan." Shinta menyapa dahulu Firda sambil menjabat tangannya.
"Tidak repot, Bu. Sudah menjadi kewajiban kami." Sambil mendengar jawaban Firda, Shinta mengalihkan pandangannya sekilas pada Eugene. Shinta mendekati anaknya.
"Yu, kenapa kamu selalu bikin Mama jantungan?" Eugene tersenyum saat Shinta memeluknya. Anak itu tak menghiraukan baju mamanya yang basah. Badan yang dingin itu justru mengalirkan kehangatan di batin Eugene, membuatnya merasa aman dan diperhatikan. Dan harum parfum yang masih melekat di tubuh sang mama menenangkan Eugene.
"Yu ga suka Angga bilang bohong kalau Yu ga punya Papa ...." Lagi, ucapan Eugene seolah menumbuk ulu hati Shinta membuat tenggorokannya terasa terceat tak mampu bicara.
Belum Shinta membuka mulut untuk bereaksi pada cerita Eugene, tiba-tiba lelaki kecil itu terpekik saat mendapati sosok yang begitu familiar di matanya.
"Pa ... pa?" Shinta mengurai pelukan, dan mengurut arah pandang anaknya yang tertumbuk pada sosok lelaki tinggi besar yang kini berada di luar bilik kecil berbatas tirai plastic yang terbuka separuh.
Wajah Shinta memucat, saat lelaki besar itu masuk dengan tersenyum memberi jawaban atas tanya Eugene. Dan lelaki kecil yang masih mengalungkan lengannya di perut Shinta, akhirnya melepaskan diri dan meloncat dari brankar yang tinggi.
Eugene menghamburkan badannya memeluk lelaki yang dianggapnya 'Papa'. Sedang Shinta hanya bisa menatap kosong pemandangan yang membingungkan di depannya. Baru kali ini, Shinta melihat Eugene dengan tarikan bibir yang lebar membingkai di wajahnya. Memperlihatkan gigi kelinci karena gigi seri permanennya yang tumbuh lebih besar di depan bersanding dengan geligi susu. Bahkan senyuman ini lebih lebar saat Shinta membelikannya lego, mainan kesukaan Eugene.
Yujin menepuk punggung yang bergetar itu. Lelaki kekar itu mengurai pelukan Eugene dan membungkukkan badan menyetarakan pandangannya pada wajah kecil Eugene.
"Hi, dude! Boys don't cry." Yujin mengusap pipi Eugene yang bersimbah air mata dan sedikit darah yang mengering.
Eugene menggeleng berulang. "Bisa bicara pakai bahasa Indonesia? Aku masih belum bisa bahasa Inggris. Papa bilang agar aku belajar matematika dan aku lupa belajar bahasa Inggris!"
Yujin terkekeh, menangkap kata demi kata yang menggelitik batinnya. "Anak lelaki tidak boleh menangis."
Eugene mengusap cepat matanya dengan kasar, menyisakan mata merah yang masih sembab. "Good boy, that's my boy!" Yujin mengacungkan dua jempolnya dengan senyuman yang membuat matanya tinggal segaris.
Eugene kemudian menarik tangan Yujin, menghantar lelaki itu ke depan Firda. "Bu Firda, kenalin ini Papa Yu."
Shinta menelan ludah kasar. Pandangan matanya bertautan dengan tatapan Yujin yang masih mengurai senyuman.
"Wah, ini Papa Yu to?" Firda mengulurkan tangannya. "Kenalkan saya Firda, guru kelas Eugene."
Yujin menyambut jabatan tangan Firda, dan sambil membungkuk, lelaki itu berkata. "Mohon bimbingannya ya, Bu."
Shinta membelalak mendengar jawaban Yujin. Mohon bimbingan??
"Wah, Yu pasti senang papanya pulang ya." Eugene tak henti-hentinya mengurai senyuman dan sorot mata yang bersinar. Shinta hanya bisa pasrah, melihat anaknya yang disayang sekaligus yang mengingatkannya pada trauma terbesar dalam hidupnya.
***
Shinta menunggu administrasi dan mengambil resep obat. Sambil menanti di nurse station, dari jauh dilihatnya dua lelaki itu sudah bercanda seolah sudah mengenal lama. Eugene berkali-kali terkekeh mendengar cerita Yujin yang Shinta tak tahu di mana letak lucunya.
Shinta segera beralih ke bagian farmasi dan meletakkan resep pada kotak yang tersedia untuk pasien umum. Perempuan itu mencari tempat duduk yang kosong. Sensasi dingin dari tempat duduk besi itu merayap ke punggung dan pantatnya saat Shinta meletakkan pantatnya di permukaan kursi.
Pandangan Shinta menerawang ke depan. Seolah ingin menyeruak kebingaran suasana IGD yang baru saja kedatangan pasien kecelakaan baru. Keriuhan itu tak mampu mengobati jiwanya yang kesepian. Setelah delapan tahun, baru kali ini Shinta menaiki kendaraan roda empat lagi. Dan anehnya, Shinta yang selalu ketakutan dengan lelaki asing, tidak terlalu merasakan rasa yang berlebihan seperti yang sudah-sudah.
Siapa dia?
"Benedict Eugene Adirasha ...." Panggilan itu memecah lamunan Shinta, membuat perempuan itu menyudahi pikirannya yang melayang. Segera Shinta bangkit dan melakukan pembayaran sebelum kemudian menerima obat yang diresepkan oleh dokter jaga.
Langkah Shinta kembali menapak menyusuri lorong IGD yang sibuk menuju ke salah satu bilik tempat anaknya dititipkan pada lelaki khayalannya yang menjadi nyata. Namun kakinya terhenti, saat Shinta ingin menguping pembicaraan yang tampak asyik itu.
"Papa ternyata bisa bahasa Indonesia ...," tanya Eugene yang tak melepaskan tatapan kagumnya pada sosok lelaki yang dianggapnya sebagai papanya.
Suara kekehan Yujin menguar di udara, bersatu dengan kebisingan seluruh instalasi. "Papa tinggal di Jogja ... SMA, tapi lama tidak pake jadinya
... lupa. Yu ajari Papa lagi ya?"
"Siap, Pa" Eugene mengangkat lengannya membuat sikap menghormat pada Yujin yang membuat lelaki itu mengacak rambut Yu kecil.
"Mama dan Papa tadi main air hujan ya?" Dan si kecil itu mencari topik bahasan lain sehingga tidak ada keheningan di antara mereka.
"Karena panik ... mamamu mau cepat-cepat datang ke rumah sakit, sampai akhirnya tidak peduli menembus hujan." Yujin memberi alasan yang terdengar logis untuk menjawab pertanyaan Yu.
"Mama tidak memakai mantel?" Nada Eugene keheranan.
"Kami kesini ... dengan mobil."
"Mobil? Bukankah Mama sering mabuk bila naik mobil? Setiap Mama masuk mobil, Mama selalu muntah. Ck, Mama kaya orang desa ga pernah naik mobil!"
Yujin mengerucutkan bibirnya menyadari sesuatu.
Mabuk bila naik mobil?
Tentu tidak sesederhana itu. Dan lambat laun Yujin paham kenapa itu terjadi. Membuat lelaki itu semakin merasa bersalah pada sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekat ke arah mereka duduk.
❤Yujin-Eugene-Shinta❤
💕Dee_ane💕💕
Hai, Dee boleh donk promosi lagi yak😬
Yuk baca kisah Melody yang manja tapi belajar menjadi perempuan kuat ketika hidupnya terpuruk. Dia harus bertemu dan menjadi istri Bayu, cowok dingin yang sekalinya buka mulut kaya angin ribut yang bisa memporak porandakan hati Melody.
Dee tunggu kedatangan kalean di kisah ini...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro