Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

"Miss, tolong tunggu sebentar."

Aku berhenti berjalan. Sebelah tanganku dicekal oleh Papa Kimkim. Aku menunduk dalam. Ada aliran panas di pipiku. Dengan sebelah tangan yang bebas, kuusap kasar wajahku.

"Saya antar Miss Sandra pulang," tawarnya.

Aku menggeleng lemah tanpa mengangkat kepala.

"Jika pertimbangan Miss menolak tawaran saya karena Jason, dia tidak akan ikut saya mengantar Miss Sandra."

Aku mengangkat kepala dan melempar tatapan takjub pada pria yang menebar senyum rupawannya. Apa segitu ketaranya wajah benciku pada Jason sampai Papa Kimkim yang baru kukenal bisa mengetahuinya?

"Jangan pikirkan saya, saya sudah biasa pulang malam sendiri," tolakku halus.

Kekehan ringan keluar dari bibir tipis lawan bicaraku. "Kalau Miss Sandra sebut jam dua puluh nol nol di Jakarta sebagai malam, saya wajib mengantar pulang Miss Sandra."

"Eh?" Aku memiringkan kepalaku bingung.

"Ayo!" Papa Kimkim menggerakkan kepalanya memberi kode jalan. Dia sudah melepas genggamannya pada lenganku.

Aku terdiam sedetik sebelum membuntuti. Kulirik ke belakang. Tidak ada sosok Jason. Aman. Aku mengusap dada sembari mengucap syukur.

Kami sampai ke pelataran parkir yang tidak kuhapal. Sudah kubilang ini bukan ladang jajahanku. Mana kutau ini di West Mall atau East Mall atau di Menara BCA atau entahlah. Aku terus menunduk sepanjang jalan dengan pikiran melayang-layang.

Papa Kimkim berhenti. Aku berhenti dua langkah di belakangnya. Kepalaku menengok kanan kiri.

"Ada apa Miss Sandra?" Papa Kimkim menyodorkan helm putih.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Emm Pak, mana benz-nya?"

YYY

"Morning," sapa Pak Revan sumringah, disusul kedatangan Mbak Velia, Gendis, dan Elfin. Aku yang sudah datang duluan membalas sapaan itu sambil mengangkat cangkir teh hangat.

"Sarapan yuk," ajak Gendis sembari membuka bungkusan gorengan yang khas dari kertas putih dilipat jadi bentuk kantong.

Pak Revan mendekati meja Gendis. "Gue ambil pisangnya ya, sepet lidah gue."

"Udah ngerokok pagi hari, pantas lidah sepet. Tobat merokok deh," timpal Elfin.

"Lo lihat gue ngerokok, Fin?"

Elfin mengangguk sembari membereskan isi tasnya. Dia menoel lengan atasku yang kulipat di atas meja. "Kemarin apa kabar?"

Aku mendengkus. "Apa kabar apanya?"

"Yee, ditanya malah nanya balik. Nggak seru nih. Ya soal lo ketemu bokapnya Kimkim lah. Ngapain juga gue kepoin kesehatan lo."

"Hidup lo pasti santai banget ya, Fin. Lancar banget itu mulut menyilet perasaan gue." Aku menunjuk bibir Elfin menggunakan sendok teh yang habis mengaduk gula ke minuman.

"Kalo emosi gini, bisa jadi karena Sandra gagal pedekate ke pamud." Gendis sok mengeluarkan analisis ngaconya. Gendis memang yang sering ngaco kalau membuat statement, sementara Elfin adalah yang paling nyablak bicara. Dua-duanya sama tidak mengenakan diajak curhat. Syusyahh nemu solusi, yang ada tarik urat.

"Gue pedekate kok."

"WHATT?!"

Mbak Velia menarik semua perhatian kami. Wajahnya terlihat antusias. Tempat dudukku yang membelakangi ruangannya membuatku tidak menyadari dia yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan kami.

"Berisik lo, Vel," kata Pak Revan. Aku, Gendis, dan Elfin mengangguk setuju.

"Sorry," lirihnya. "Beneran pedekate nih?"

Aku lirik-lirikan dengan Elfin. Frekuensi kami sama sekarang. "Dia antar gue pulang."

Mbak Velia melebarkan mulutnya takjub. Tingkahnya sangat polos. "Mas Dinan antar lo pulang, that's amazing. Dia sudah lama nggak pernah keliatan dekat cewek."

Aku dan Elfin saling lempar seringai. "Mungkin dia mau membuka diri sama Sandra," tambah Elfin.

"Mas Dinan pasti tertarik sama lo, San. Dia juga bukan tipe cowok yang ganjen." Mbak Velia mengelus bahuku seolah mentransfer kelembutan hatinya. Ini ngaco maksimal.

"Gue pernah antar Sandra pulang, nggak berarti gue pedekate ke dia." Pak Revan mencomot pisang goreng keduanya. "Rasa tanggung jawab aja kali."

Gendis memanyunkan bibirnya. Sebagai penonton yang baik, dia tidak suka omongan Pak Revan yang mengacaukan keusilanku dan Elfin. Dan Mbak Velia malah terlihat sendu.

Bakar. Kata yang terucap dari mulut Gendis tanpa suara. Aku dan Elfin saling lempar kode mata.

"Gue dan Papa Kimkim naik motor gitu pulang dari GI," kataku sengaja ajak ngobrol Elfin dan tidak mempedulikan Mbak Velia serta yang lain.

"Motor? Lo dibonceng gitu? Pegang pinggangnya nggak?" Elfin pasang wajah terkejut yang super lebay. Aku yakin dia benar-benar terkejut, cuma ekspresinya itu yang kayak alay.

"Lebih dari pegang pinggang," kataku dengan suara rendah. Aku melirik respons Mbak Velia. Perempuan cantik di sebelahku khidmat mendengarkan, lebih serius dari wajahnya saat PTM.

"Lebih gimana?" Suara Elfin naik beberapa oktaf. Mungkin dia kaget benaran sampai lupa kontrol diri. Semoga anak-anak di kelasnya tidak mengalami penuaan telinga dini gara-gara punya homeroom teacher suka ngemil toa musholah seperti Elfin.

"Dia ngarahin tangan gue masuk ke saku jaketnya."

Sepersekian detik berikutnya...

Rahang Gendis jatuh, Pak Revan terbatuk sampai pisang goreng menyembur ke meja Sherly, bibir Elfin bergetak tak jelas, dan — yang terbaik— Mbak Velia kabur ke ruangannya.

Aku tidak berbohong soal Papa Kimkim mengarahkan tanganku masuk ke saku jaketnya. Itu tidak lebih karena aku kedinginan, hawa malam itu memang dingin setelah diguyur hujan. Tentu saja, Papa Kimkim sudah lebih dulu meminta izin memasukkan tanganku ke saku jaketnya. He's such a gentleman.

"Gue ke supplay room ambil material buat numeracy kelas gue dulu. See you." Aku melambai sok anggun pada manusia-manusia yang tidak bergeming di ruangan ini. Tidak lupa, aku melirik ruangan kaca Mbak Velia. Dia sedang menunduk. Setitik kekhawatiran muncul jika keusilanku kelewatan. Tapi Daru sudah cukup kece, masak sih Mbak Velia gebet dua cowok sekaligus, Daru dan Papa Kimkim.

Yyy

Pelajaran numeracy berakhir kacau. Anak-anak bergiliran minta izin minum, toilet, sampai ada yang ketiduran. Yang terakhir memang sudah sering terjadi, Luth ngantuk di jam pelajaran numeracy.

"Kak, pegel banget. Anak-anak bolak-balik bikin excuse," keluh Arsee. Wajahnya seperti habis marathon.

"Ooh." Aku susah fokus menimpali keluhan Arsee. Craft literacy yang kusimpan minggu lalu lupa kuberi nama, alhasil aku pusing yang ini dan yang itu buatan siapa. Terpaksa aku membuka dokumentasi foto kegiatan anak saat membuat craft tersebut. Arsee belum memindahkan hasil jepretannya dari kamera kelas ke laptopku, alhasil aku harus berkutat pada monitor mini di kamera.

"Kakak sih santai, udah di-charge semalam." Arsee tersenyum lebar.

Wajahnya menunggu kutonjok. "Maksud situ apa ya?"

Arsee menyenggol lenganku. "Kak, ceritain dong ngapain aja ama papanya Kimkim."

Aku berpikir sejenak. Ada yang kulupa sepertinya. "Arsee, lo tau nggak nama papanya Kimkim?"

"Jangan mengalihkan topik deh."

Aku duduk di kursi sebelah Arsee. "Gue serius. Lo tau nggak siapa nama papanya Kimkim?"

"Herdinan," desis Arsee kesal.

"Tuh kan!" pekikku spontan.

Arsee mengusap telinga kirinya. "Ada apa sih, Kak?"

"Gue ketemu sama temen sekampus gue yang ternyata kenalan bokap Kimkim. Dia panggil bokapnya Kimkim Aidan. Tapi kok Mbak Velia panggil dia Mas Dinan. Aneh, kan?"

"Tanya langsung lah, Kak." Arsee mengangkat bahunya cuek.

"Lah ketara banget keponya gue."

"Emang kepo, kan?"

"Gengsi ketauan kepo."

"Udah masukin tangan ke saku jaket tuh udah mendekati tangan yang menuju dompet soooo Kakak emang tinggal sejengkal lagi jadi ADUH!"

Aku menjitak kepala Arsee. Semoga kesadarannya kembali. Mode otak fairytale anak ini sering membuatku melepas konsistensiku sebagai perempuan dewasa yang lemah lembut. "Jangan bikin statement ngaco. Lo kebanyakan bergaul sama Gendis dan Yossa."

"Ya kan satu kantor. Temenan sama siapa lagi dong? Ama kakak dan Kak Elfin gitu? Ntar aku jadi skeptis dan jutek."

Aku mencubit bibirnya gemas. Anak ini makin kelewatan omongannya. "Sembarangan aja menilai orang."

"Sori." Arsee mengusap-usap bibirnya. Sementara aku mengusap jariku yang terkena liur Arsee memakai tisu. "Tapi Kakak nggak coba nanya sama papanya Kimkim, si Mas Dinan."

Aku batal menimpali saran Arsee karena suara pesan masuk ke ponselku. Jariku menggeser ikon unlock pada layar ponsel. Mataku membulat sempurna sebelum balik normal karena teringat makhluk astral di sampingku yang belum belajar koordinasi volume suara dengan bijak. Dia berpotensi jadi informan gosip kantor karena suara toanya.

Papa Kimkim
Siang, Miss. Apa Kimmy boleh mengirimkan maksi untuk teachers sekarang?

Maksi? Aku melirik jam dinding. Jam dua lewat lima belas. Apa masih pantas disebut makan siang?

Aku
Silakan saja pak. Asal tidak merepotkan.

Aku berdehem. Arsee yang sedang fokus dengan absensi murid mengangkat wajahnya. "Kimmy mau kasih kita maksi."

Alis Arsee menukik. "Maksi jam segini?"

"Taaau." Aku angkat bahu sok acuh.

"Buat siapa aja?"

"Tulisannya sih teachers."

Arsee misuh-misuh tidak jelas. "Ada apa-apanya nih," katanya dengan wajah yang malas dideskripsikan.

Yyy

Makan siang kiriman Kimkim datang jam setengah tiga. Berupa nasi kotak dari salah satu restoran di daerah Melawai. Warga kantor menganga saat menerima itu sebelum akhirnya senyum-senyum penuh siasat kepadaku. Beruntungnya selama makan tidak ada yang mengeluarkan suara melipir ke arahku walau sesekali mereka mengubah topik perihal Kimkim dan papanya but nothing about me. Fiuh. Napas lega.

Ojek online yang kutumpangi sudah berlalu dari depan gerbang rumah. Mungkin dapat orderan baru jadi si abang langsung ngacir begitu kelar me-drop aku. Hari ini aku memilih menggunakan ojek untuk pulang dibanding naik angkot atau taksi. Firasatku bilang bakal macet di jalan. Then yes, macet di jalan menuju pemukiman rumahku. Ada pohon tumbang disusul mobil mogok. Abang ojek yang ahli salip berhasil membuatku lolos dari kemacetan. Alhasil aku masih bisa sampai rumah sebelum maghrib.

Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Sayup-sayup kudengar obrolan Bapak dan Ibu. Aku enggan nimbrung obrolan mereka. Banyak yang ingin kulakukan di atas ranjang. Misalkan tidur, rebahan, merem-merem manja, guling-guling, tengkurap, atau telentang. Yang pasti ini belum maghrib, aku masih punya waktu leha-leha. Sampai ponselku berdering. Tanpa melihat nomor penelepon, langsung kugeser ikon hijau.

"Halo," sapaku.

"Halo, Miss Sandra." Oh my, suara ini. Baru semalam aku mendengarnya langsung dan sekarang sudah terdengar dari ponselku. Aku mengecek nama penelepon. Papa Kimkim.

"Iya, Pak. A-ada apa?" Duh mulut, harus banget mendadak keserimpet gini ngomongnya.

"Bagaimana makan siang kiriman Kimmy? Saya belum sempat menanyakannya tadi, tidak ingin mengganggu jam kerja miss."

Lezat banget, teriak hatiku. "Terima kasih atas makanannya. Kami senang dengan makanan kiriman Kimkim. Tapi bukan Kimkim kan yang bayar?" Aku tertawa canggung di ujung.

Terdengar suara tawa di seberang. "Nggak masalah, Miss. Sayangnya Kimkim yang bayar."

Aku terperanjat. Leluconku gagal. "What? Kimkim yang bayar?"

Suara tawa semakin keras terdengar. "Ya, dia bayar dengan kartu saya," kata Papa Kimkim setelah selesai tertawa.

"Ya ampun, Pak, saya kira Kimkim benar-benar punya penghasilan sampai sanggup bayar makanan itu semua," akuku.

"Bagaimana bisa Kimmy punya penghasilan. Kegiatannya di rumah tidak jauh dari tv."

"Jangan sering memberi gadget ke Kimkim, Pak. Baiknya diberikan permainan edukasi seperti puzzle atau jenga. Lego juga bagus," saranku.

"Boleh juga saran, Miss. Sayangnya, saya tidak tahu banyak permainan anak untuk seusia Kimmy. Bisa bantu saya mencarinya, Miss?"

Ini tawaran kok lancar sekali terucap ya? "Boleh saja, Pak."

"Kapan Miss punya waktu luang?"

"Seharusnya saya yang bertanya ke Bapak. Kapan Bapak punya waktu? Seingat saya, Bapak pernah bilang akan sibuk sampai akhir tahun? Bapak yang sewajarnya memeriksa jadwal Bapak lagi," kataku dalam satu helaan napas. Mulutku tidak kenal berhenti. Seenaknya saja berucap sembarangan. Deuh, ingat San, Mbak Velia kenal personal papanya Kimkim. Bisa diadukan mulut comelmu.

"Baik, baik, saya yang akan menentukan waktunya. Semoga Miss Sandra punya kesempatan saat itu menemani saya. Selamat sore, Miss," kata papa Kimkim usai terkikik di seberang.

"Pak," lirihku yang dibalas deheman tipis. "Saya minta maaf kalo ada perkataan saya kurang mengenakan."

Terdengar suara embusan napas.

"Tentu tidak. Saya yang seharusnya meminta maaf mengganggu Miss Sandra menjelang maghrib. Sampai jumpa."

Aku bersiap menjauhkan ponsel, tapi suara Papa Kimkim mencegahku. "Assalamu alaikum, Miss Sandra."

"Wa-walaikum," jawabku.

Tut.

Aku menatap layar ponsel. Tangan kiriku meremas bagian dada bajuku lalu bergerak turun ke perut. Perutku masih biasa. Tidak ada getaran aneh apa pun. Ya, semuanya normal. Hingga aku melihat semburat merah di pipiku pada pantulan cermin di atas meja rias. Aku flu kan? tanyaku pada diri sendiri.

###

01/02/2020

Miss Bekcu is BACK!!
Mana goyangannya 💃💃💃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro