Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

« 💎 »

starring to :


Han Jisung ( 21 )

"Seberapa banyak kamu mengeluh hari ini? Dan seberapa banyak kamu bersyukur?"




Lee Chaeyeon ( 21 )

"Tidak usah berlagak dewasa. Ingat, umur kita hanya terpaut dua bulan."











YOU STILL MY NO.1
©phamilyy














Bukh!

"Desain mu telah ditolak mentah-mentah oleh klien penting kita. Kau ini bagaimana? Bekerja lah dengan sungguh-sungguh, Lee Chaeyeon!"

Suara nyaring yang begitu menusuk pendengaran sang wanita membuat dirinya menunduk seraya menggigit bibir dalamnya. Chaeyeon tak berani untuk menatap apalagi menjawab seruan atasannya yang barusan membanting kertas berisi desain pakaian, tepat di hadapan dirinya sendiri.

Semua rekan kerjanya yang berada di sekitar situ lantas memusatkan perhatian mereka, terkadang di selingi dengan bisikan-bisikan penuh kebencian tentang diri Chaeyeon.

Kecuali dua orang, Sunwoo dan Yena.

"B-baik... Pak. S-saya akan bekerja dengan lebih baik lagi kedepannya."

"Ck, sialan!"

Setelah mengatakan hal tersebut, atasan itu berlalu dari situ sembari menutup pintu dengan keras. Sepeninggal dia, Chaeyeon memijat pangkal hidung nya. Wanita itu sudah terlalu lelah dengan semua tuntutan dan pekerjaan yang kian menumpuk setiap harinya. Bekerja sebagai seorang desainer muda yang terkenal di seluruh penjuru kota, ternyata tidak selalu membuatnya bahagia.

"Chaeyeon, are you okay?" Tangan Yena memegang bahu gadis itu. Sorot matanya mengisyaratkan kekhawatiran.

"Ya jelas nggak okay lah, Yen! Kamu liat kan, barusan dia dimarahin sama Atasan! Gitu aja kok pake nanya." Sunwoo membalas sewot.

Gadis berkuncir kuda tadi balik mengarahkan tatapan tajam pada Sunwoo. "Diem. Aku nanya ke Chaeyeon, bukan kamu."

"Nyenyenye, Yena jel—"

"Udah udah, aku gapapa kok. Kalian fokus aja sama pekerjaan kalian, nggak usah mikirin aku." Chaeyeon menepis tangan Yena di bahunya, lantas berlalu dari tempat itu, meninggalkan dua orang rekannya yang memasang ekspresi bingung. Sampai akhirnya, Yena menyikut lengan Sunwoo sebagai isyarat untuk mengejar perempuan tadi.

"Ogah ah!"

"Kim Sunwoo!"

"Apaan panggil-panggil?"

"Gak aku traktir es boba loh."

Mendengar kata 'es boba', laki-laki itu langsung melebarkan mata. "Dih?! Y-yaudah deh."

Sunwoo segera beraksi. Gesit, dia mempercepat langkah melewati para karyawan lain di lorong, membuat dirinya hampir menabrak orang yang tengah membawa tumpukan kertas. Untung saja dia sigap menangkap kembali kertas itu. Sehingga tidak ada perseteruan layaknya dalam film-film yang sering ia tonton.

"Chaeyeon, tunggu. Kamu mau kemana? Pekerjaan mu belum selesai, 'kan?" Sunwoo bertanya setelah berhasil mencengkeram pergelangan tangan Chaeyeon supaya dia tidak kabur.

"A-ah, Sunwoo. Aku cuma pengen jalan-jalan keluar. Sebentar doang kok. Mau cari inspirasi juga," jawab Chaeyeon yakin. Namun entah mengapa bagi Sunwoo, pernyataan perempuan di depannya sedikit sulit dipercaya. Perlahan ia melepaskan cengkeraman di tangan Chaeyeon.

"Beneran nih cuma sebentar?" tanya Sunwoo penuh selidik.

"Yah, mungkin." Gadis bermarga Lee itu bahkan tampak meragukan perkataan nya barusan. "Kalo gitu, aku pergi dulu, ya. Jangan lupa kasih tau Yena. Bye, Sunwoo."

Chaeyeon lalu berjalan tergesa-gesa dari tempat itu menuju lift. Laki-laki Kim tadi hanya mengangguk kecil, membenarkan posisi dasi dan kembali lagi menuju ruangan kerjanya. Dia hanya tidak mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Chaeyeon, tentang kemana ia akan pergi, dan untuk apa ia kesana.

Tentu saja, ke tempat dimana kita bisa merasa tenang untuk waktu yang... lama.

⋇⋆✦⋆⋇


Suasana Café Honevaale pada pagi maupun sore hari selalu ramai akan pengunjung. Racikan minuman serta cemilan yang dinilai mempunyai ciri khas tersendiri adalah poin utama dari tempat itu. Kafe dengan nuansa ala Prancis dan terdapat beberapa spot foto yang aesthethic tentu menambah daya tarik para pengunjung. Baik itu untuk berkumpul dengan teman, me-time, ataupun hanya duduk-duduk santai.

Begitu pula dengan sore ini. Seorang pria bersurai pirang dengan apron biru muda terlihat sedang sibuk melayani pengunjung yang berdatangan. Terkadang ia dibantu oleh pria lain yang sepertinya lebih tua darinya. Setelah selesai mencatat pesanan, kakinya melangkah menuju dapur.

"Kak Yuta, ini catatan pesanannya aku taruh di deket gelas ya."

"Wah wah, makasih, Jisung. Oya, Mingyu mana?" Yuta yang sedang menuang air tersenyum, melirik sekilas ke arah laki-laki yang kerap dipanggil 'Jisung' tersebut.

Jisung melongok, kemudian tangannya menunjuk. "Kak Mingyu lagi beresin meja tuh."

"Yaudah. Eh, ini tolong anterin ke meja nomer 5 ya. Yang deket jendela, paham kan?" Pria Jepang tadi mengambil baki berisi segelas cappucino latte dan sepiring kecil makaroni stroberi, lalu menyerahkannya pada Jisung.

Dia meng-iyakan dan menerima baki itu, membawanya secara hati-hati ke meja yang ditunjukkan oleh Yuta barusan. Rupanya orang yang menempati meja itu adalah seorang laki-laki ber-cardigan coklat yang terasa tidak asing bagi diri Jisung. Untuk menuntaskan rasa penasaran, dia mendekat. Orang itu sedang menopang dagu, sementara netranya melihat ke arah luar jendela. Sedikitpun tak menyadari bahwa ada Jisung yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Permisi mas, pesanan anda sud—"

"Aduh maaf ya, saya tadi melamun— LOH JISUNG?!"

"B-bang Brian?!"

Dua anak manusia itu sama-sama terkejut akan kehadiran satu sama lain. Jisung sendiri kaget karena mendapati Brian — kakak kelasnya dulu sewaktu SMA yang paling akrab dengannya — mampir di kafe ini. Sedangkan Brian pun kaget karena melihat penampilan Jisung yang seperti seorang pekerja, tertera dari kostum yang dia kenakan sekarang.

"Kamu ngapain disini, Sung?" tanya Brian, masih dengan ekspresi penuh tanda tanya.

"Aku..."

"Ettt, bentar. Sini duduk dulu biar enak ngobrol nya." Brian pun menunjuk ke kursi depannya yang masih kosong, menyuruh laki-laki tadi untuk duduk.

Jisung menurut, segera meletakkan pesanan Brian di atas meja dan mendudukkan pantatnya.

"Kamu apa kabar?" tanya pria yang lebih tua, memulai pembicaraan. Sepasang obsidian nya tertuju pada manik legam nan indah seseorang yang kini di depannya.

Pemuda Han itu mengulum bibir. "Ah, eum, y-ya gitu lah."

"Haha. Plis deh, nggak usah canggung. Anggap aja kita lagi ngobrol kayak tiga tahun lalu di warung depan sekolah sambil ngemutin kulit kuaci."

Sang lawan bicara tertawa mendengar pernyataan itu. "Ehehe. Tapi entah kenapa ngobrol sama bang Brian dalam keadaan seperti ini jatohnya... awkward."

"Yah, mungkin karena kita udah jarang ketemuan langsung. Apalagi kita kan semakin dewasa, udah punya kesibukan sendiri-sendiri," tukas Brian. Diambilnya satu macaron di atas piring, lalu memakannya dalam sekali lahap. "Oya, balik lagi ke pertanyaan awal. Kamu lagi apa disini? Trus kenapa pake gituan?" Tangan pria itu menunjuk pada apron serta topi yang terlihat sama dengan pekerja lain.

Jisung bergeming sesaat. Pikirannya tengah mengolah kata yang tepat untuk diucapkan supaya Brian tidak salah paham. "Aku kerja paruh waktu di kafe ini, bang."

Bagaimana reaksi Brian?

Dia hampir saja tersedak karena baru meminum seteguk kopinya saat Jisung berkata.

"Uhuk uhuk! K-kerja? Bukannya biaya hidup dan makan sehari-hari udah ditanggung sama tante mu? Atau kamu mau kuliah? Haduh, kenapa nggak bilang aja sih sama abang? Nanti bakalan abang kasih duit kok," ucap si pria seraya menepuk-nepuk bahu Jisung. Padahal sang pemuda belum mengatakan semuanya secara lengkap, tetapi langsung dipotong oleh Brian serta dihujani berbagai pertanyaan di dalamnya.

"Sabar elah," Han Jisung mengambil jeda sejenak. "Aku kerja paruh waktu biar nggak terlalu ngerepotin tante Taeyeon. Trus juga karena..."

"Karena apa?"

"Aku punya mimpi yang pengen aku gapai, bang."

Baiklah, kini Brian mulai mendekatkan diri. Memasang telinganya baik-baik dan fokus mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Jisung.

Sedetik demi sedetik berlalu dengan keheningan.

Melihat perubahan air muka Brian yang kian serius, Jisung menahan tawanya. "KEPO BANGET ANJIR WKWKWK."

Jikalau ini adalah komik, maka mungkin di dekat kepala Brian sudah ada 'perempatan merah'. Namun dia berusaha untuk tidak emosi, karena dia paham sifat alami seorang Jisung memang seperti ini.

Menyebalkan dan sungguh tampol-able.

Dia mengulas senyum tipis, selain karena alasan tadi, Brian juga teringat perkataan Jae, teman seperjuangannya. Dia ingat bahwa laki-laki Park itu pernah berkata, "Jangan gampang emosi, nanti kamu keliatan tua."

Perlu digaris bawahi, BRIAN. TIDAK. MAU. TERLIHAT. TUA.

Walaupun umurnya hampir menginjak seperempat abad, tapi tetap saja dia takut jika dirinya terlalu sering emosi, dia bisa kelihatan seperti bapak-bapak tetangga yang sering  ditemuinya saat kerja bakti ataupun yang suka sebat-sebat asik di pos ronda hingga dini hari.

Oke, kembali lagi ke perbincangan awal.

Setelah puas memancing emosi Brian, Jisung berdeham. Sepertinya ia sudah berubah ke mode serius. Dia menegakkan duduknya sebelum berujar kembali. "Ehm, emang aku belum pernah cerita ke bang Brian ya?"

Pertanyaan itu dibalas gelengan pasti.

"Jadi aku tuh pengin suatu hari nanti aku bisa membangun sebuah panti asuhan khusus anak-anak yang nggak punya orangtua lengkap —kayak aku, ataupun anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari lingkungan nya. Aku harap dengan mereka tinggal disitu, hati mereka bisa ngerasain kehangatan dan bahagia, walaupun salah satu alasan kebahagiaan nya udah direnggut sekalipun," jelas sang lelaki muda secara panjang lebar.

Mari kita menebak lagi akan seperti apa reaksi yang ditunjukkan oleh Brian.

Kaget? Tidak.

Brian justru speechless.

Kata per kata yang  terlontar dari mulut Jisung teramat menggugah hati nya. Dia tak menyangka bahwa pria yang dulunya sering ngutang gorengan di kantin dengan seragam yang dikeluarkan bisa mempunyai pemikiran macam ini. Brian sampai berpikir, apakah Jisung sudah tobat?

"Sung ... sumpah aku nggak nyangka kamu bisa kayak gini. Mana Jisung ku yang kocak dan nggak punya malu, hm?" ujar Brian, melongo.

Jisung semakin ingin menjadi jelly saat dipuji seperti tadi. Itu artinya proses hijrahnya menjadi pribadi yang lebih dewasa cukup berhasil —yah walaupun kesan pertama masih membuat orang lain tak percaya.

Tapi perlu diingat, pemuda Han tidak berbohong soal impiannya itu. Semenjak orangtua nya telah tiada karena tragedi kecelakaan dua tahun lalu, Jisung trauma. Trauma akan semua hal yang berhubungan dengan kematian orang tuanya, baik itu mobil, jalanan, dan juga ... Dokter.

Ya, dulu pola pikir Jisung memang masih sangat kekanak-kanakan. Dia menganggap bahwa penyebab orangtua nya meninggal adalah kesalahan sang dokter yang tidak cekatan dalam menangani korban. Padahal kenyataannya, takdir memang sudah menggariskan bahwa keadaannya akan seperti ini. Tidak ada yang bisa membantah. Siapapun.

Setelah mengurung diri selama seminggu di dalam kamar, Jisung akhirnya mau keluar dan belajar beradaptasi dengan lingkungan saat itu. Semua itu karena siapa? Lee Chaeyeon. Sepupu satu-satunya yang paling mengerti tentang diri Han Jisung. Perempuan dengan segenap energi dalam dirinya yang bisa membuat Jisung mengurungkan niat untuk turut menyusul kedua orangtua nya pasca tragedi tersebut.

Sayangnya, itu hanya dulu...

"Woy, Jisung?"

Lamunan laki-laki bersurai pirang terbuyarkan akibat suara Brian serta lambaian tangan di depan mukanya.

"Jangan ngelamun! Nanti kerasukan setan kan bahaya."

"...."

"Tapi kalo setannya ganteng kaya abang mah gapapa."

"Yeu, apaan sih???"

Satu pukulan pelan berhasil diarahkan pada lengan Brian, sementara itu ada juga bekas jitakan yang tercetak indah pada jidat selebar lapangan milik Jisung.

"Eh iya, aku baru inget. Abang sekarang kerjanya ngapain aja?" tanya Jisung.

Brian menyahut. "Sebenernya ini gatau bisa dibilang pekerjaan atau bukan. Tapi akhir-akhir ini abang sering di studio, nyiptain lagu-lagu gitu. Bareng dua temen abang yang kamu gausah tau namanya."

"Oh gitu. Hmmm, pasti keren. Kapan-kapan kalo udah rilis albumnya jangan lupa aku dibagiin ya, harus gratis. Ga boleh bayar."

"Semprul!" ujar Brian sembari melempar bungkus gula kecil ke arah sang pemuda. "Dikira bikin lagu gam—"

Drrttt... Drrttt...

Ponsel yang diletakkan di atas meja bergetar tanda ada telepon yang masuk. Jisung berjengit, mengintip sebaris nama yang tertera di layar. Lantas matanya membulat.

"Loh ngapain tante Taeyeon nelpon aku?" monolognya, namun tetap menggeser tombol hijau dan menekan opsi loudspeaker.

"Hal—"

"Jisung-ie, kamu tau nggak Chaeyeon kemana?! "

Laki-laki itu bahkan belum mengatakan sepatah kata, akan tetapi suara Taeyeon di seberang sana sudah menyerobot terlebih dahulu. Dua anak di situ saling melempar pandangan bingung sebelum akhirnya menjawab.

"Nggak, Tante. Emangnya kenapa?"

"Cepetan!"

"H-hah? Aku masih ada di Café sekarang. Ada apa sih, Tan?"

"Chaeyeon nggak pulang-pulang daritadi!" Taeyeon bahkan meninggikan nada suaranya, membuat Jisung tercekat beberapa saat.

Gadis itu... tidak pulang?

Merasa belum mendapatkan penjelasan secara lengkap, dia memilih untuk terus mendengarkan ucapan Taeyeon dalam telepon.

"Ch-chaeyeon tadi bilang ke Tante mau pulang ke rumah jam 2 siang, tapi sampai sekarang hampir jam 4 dia belum juga pulang..."

Jisung cengo, apalagi Brian yang tidak tahu apa-apa.

"Emm, positif thinking dulu. Barangkali Chaeyeon ada pekerjaan tambahan, jadi dia pulangnya telat." Pemuda itu mencoba menenangkan.

"Nggak, Sung. Chaeyeon bilang dia gaada pekerjaan tambahan, makannya dia bakalan pulang awal. Haduh, gimana ini..."

"Tante udah hubungin dia?"

"Bahkan Tante udah chat sama telpon berkali-kali, tapi dia ga aktif dan sampai sekarang belum ada jawaban. Kira-kira anak itu kemana yah..."

Brian yang bisa mendengar percakapan mereka — walau samar-samar — mencolek lengan Jisung dan mulutnya berbisik seolah mengatakan 'kamu harus cari Chaeyeon sekarang'.

Beruntung, laki-laki itu peka dan langsung bergerak cepat. Dia mematikan teleponnya bersama sang bibi. Tungkainya melangkah keluar dari Café setelah meminta izin kepada Yuta dan Mingyu, juga berpamitan dengan Brian yang ternyata masih ingin tetap disitu sebentar lagi. Diiringi beribu harap, serta berusaha memikirkan hal yang positif, pemuda itu mempercepat jalannya menuju kantor pusat desain pakaian tak jauh dari situ, tempat Chaeyeon bekerja.

⋇⋆✦⋆⋇

"Gila, ternyata gedungnya sebesar ini. Apa iya aku beneran mau masuk?" gumam Jisung, menimbang keputusan untuk berpijak ke dalam gedung pencakar langit di depannya. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Semua orang di sekitarnya sepertinya adalah karyawan atau manager yang tentu tidak ada yang Jisung kenali. Berbanding terbalik dengan ia yang hanya mengenakan kaos panjang dan celana jeans, orang-orang disitu tampak formal dengan setelan jas dan dasi yang terpasang rapih di dada mereka, membuat Jisung semakin ragu untuk masuk.

Gengsi sungguh mengalahkan segalanya.

Sementara dari kejauhan, dua manusia yang sedang memegang satu cup es boba di tangan masing-masing mengernyit melihat ada seseorang yang sedang bolak-balik tidak jelas sembari menggigit jari di pintu masuk gedung. Awalnya mereka pikir itu tukang parkir baru, karena baik muka maupun aura nya masih terasa asing bagi mereka.

"Yena," panggil Sunwoo, menyikut lengan perempuan di samping nya.

"Apaan?"

"Itu siapa sih? Samperin kuy."

Yena menyebikkan bibir. "Gausah ah. Buang-buang waktu aja. Pekerjaan kita kan masih banyak."

"Tapi—"

Dengan cepat, Yena menggandeng tangan Sunwoo, bermaksud untuk cepat-cepat pergi dari tempat itu dan hanya melewati Jisung begitu saja. Akan tetapi, saat dua orang itu lewat di depannya, Jisung buru-buru memanggil mereka. Barangkali mereka bisa membantu mencari Chaeyeon, begitu pikirnya.

"Eh Mbak, Mas," panggil Jisung.

Yena dan Sunwoo awalnya kelabakan. Apa benar pemuda aneh itu memanggil mereka?

"K-kita?" tanya Sunwoo yang menunjuk pada dirinya sendiri dan Yena.

"Iya, kalian."

Raut muka gadis Choi berubah panik. "Anu Pak, saya nggak parkir disini kok. Saya parkirnya di parkiran dalam, jadi kalo mau nagih— mpph!"

Mulut Yena langsung dibekap oleh Sunwoo saat sedang mencoba mengelak dari Jisung yang dianggapnya sebagai tukang parkir tersebut. "Maaf ya, kang. Temen saya emang suka gini."

Laki-laki bermarga Han tadi malah mengerutkan dahi melihat kelakuan dua orang itu, lantas melontarkan pertanyaan nya setelah teringat kembali tujuannya pergi ke sini. "Saya bukan tukang parkir, mbak. Hehe. Btw, apa saya boleh nanya sesuatu?"

"Nanya apa?"

"Kalian kenal Lee Chaeyeon nggak?"

Yena membalas semangat. "Ah iya! Kebetulan saya sendiri temennya. Ada perlu apa ya, Mas?"

Jisung pun mengenalkan diri sebagai sepupu Chaeyeon. Setelahnya, dia menjelaskan apa yang terjadi barusan kepada dua anak itu. Saat mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut si pria, Yena turut khawatir, berbeda dengan Sunwoo.

"Jadi, kalian tau nggak Chaeyeon kemana?" final Jisung.

"Nggak tau, sih. Dia—"

"Sebentar, slur! Aku lagi nginget-nginget dulu," sergah Sunwoo, membuat kedua lawan bicara nya menoleh bersamaan. "Chaeyeon... kalo nggak salah dia tadi bilang mau pergi ke taman."

Bukannya mendapatkan respon baik seperti yang diharapkan, sebuah pukulan yang terhitung menyakitkan dari Yena justru melayang di punggung laki-laki Kim. "Kamu kok nggak bilang-bilang sama aku?!"

"Aduh aduh! Ampun Nyai, ampun. Aku teh kelupaan!"

"SERAH LU, SARIPUDIN!"

"Etdah, Saripudin itu nama tetangga aku. Jangan dibawa-bawa!"

"BODO!"

Melihat interaksi dua rekan tersebut, senyuman manis terpatri di bibir Jisung. Dia baru tahu kalau ternyata teman-teman Chaeyeon lucu juga.

"Kalau begitu, saya izin pamit ya. Mau cari Chaeyeon dulu. Maaf kalau udah ganggu waktu kalian." Dia membungkukkan badan, memilih berlalu dari situ. Berusaha acuh tak acuh dengan Sunwoo dan Yena yang sedang adu mulut sampai tak menyadari bahwa Jisung sudah pergi.

Tujuannya saat ini adalah taman di sekitar sungai besar yang mengaliri kota mereka. Walaupun tadi Sunwoo tidak menyebutkan taman mana secara spesifik, namun Jisung yakin taman yang ia maksud adalah taman Nagakarsa. Karena di kota mereka hanya taman Nagakarsa lah yang paling dekat dengan gedung desain serta masih terawat keasrian nya, sehingga setiap hari banyak orang yang memilih refreshing di area sini.

Setelah berlari selama kurang lebih 15 menit, dia akhirnya sampai. Angin sepoi-sepoi sore hari menerpa surai pirangnya. Jisung menyipitkan mata karena cahaya matahari yang masih silau, namun dari penglihatannya ia tak sengaja menangkap seseorang yang sedang duduk dibawah pohon seraya melambai ke arahnya.

"Han Jisung! Sini!" panggil orang itu.

Jisung tercengang. "Loh, Eric?"

Laki-laki itu, Eric Son, mengangguk. Merasa tidak melihat pergerakan, Eric kemudian memilih untuk berjalan mendekat ke Jisung.

"Kamu lagi apa di sini, Sung?" sapa Eric, tangan kanannya mengulur, bermaksud menjabat tangan pria di depannya. Sementara tangan kiri ia gunakan untuk memegang tali yang melingkar pada leher anjingnya supaya tidak pergi kemana-mana.

"Aku lagi cari Chaeyeon. Kalo kamu?"

"Aku lagi ngajak Ben jalan-jalan." Eric menjawab disertai menunjuk ke arah hewan peliharaan nya. "Tapi tunggu, kamu cari Chaeyeon? Chaeyeon yang sepupu kamu itu kan?"

Jisung mengangguk. "Kamu ada liat dia di sekitar sini nggak, Ric?"

Pria itu menimang dagunya sebentar. "Tadi aku liat cewek, mirip sih kayak Chaeyeon. Tapi dia lari-lari ke arah sana." Jemari Eric menunjuk pada jalan kecil menuju sungai besar tersebut.

Baiklah, pikiran Jisung sudah dihantui oleh berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk.

"YAUDAH, MAKASIH YA, ERIC!"

Keheranan Eric bertambah ketika laki-laki itu berlari terburu-buru meninggalkan dirinya seorang. Berdiri mematung bersama Ben sang anjing, ia menatap punggung Jisung yang lama kelamaan menghilang dari hadapannya.

⋇⋆✦⋆⋇

Lagi, Jisung dibuat ngos-ngosan karena berlarian kesana kemari. Yah, walaupun jarak antar tempat memang tidak terlalu jauh. Netra nya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, mencari keberadaan gadis bermarga Lee yang kata Eric pergi ke sekitar sungai ini.

Sembari mengontrol nafasnya, Han Jisung berjalan menapak di atas rumput, terkadang menunduk untuk menghalau sinar matahari yang menyinari wajahnya. Namun ketika ia mendongak, dia langsung dihadapkan dengan punggung seorang perempuan yang ia yakini sebagai Lee Chaeyeon, tak jauh dari situ.

Perempuan itu masih mengenakan pakaian kerjanya. Dengan satu rambut yang dikuncir ke belakang, dia berdiri menatap sendu ke bentangan sungai di depannya. Kedua tangan Chaeyeon mencengkeram pagar. Jisung masih mengamati, tapi sewaktu satu kaki gadis itu melompati pagar pembatas tersebut, dia langsung berlari mendekat seraya berteriak sekeras yang dia bisa. "CHAEYEON!"

Chaeyeon tersentak, menoleh dan matanya melebar penuh kekagetan. "Ka-kamu ngapain disini?!"

"Aku yang seharusnya nanya, kenapa kamu disini?" Jisung memegang lengan Chaeyeon seerat mungkin. Air mata berjatuhan di pipinya tanpa bisa ia kendalikan. "Tolong jangan begini. Tolong."

"Han Jisung, lepas!"

Jisung menggeleng berkali-kali, memegang kedua tangan Chaeyeon makin kuat. "Nggak! Aku nggak akan pernah lepasin! Kalo kamu lompat, aku bakal lompat juga!"

"Kamu nggak akan berani."

"Kamu mau aku buktiin?!"

"Jisung—"

Dia melepaskan genggaman nya dari lengan Chaeyeon dan ikut melompati pagar pembatas. Tindakannya membuat gadis tadi tersentak kaget. "Berhenti!"

"Aku bakal berhenti kalo kamu berhenti!"

"Jisung—"

"Aku itung satu sampai tiga dan kalo kamu nggak balik juga ke sisi pagar yang lain, aku bakal lompat."

"Udah aku bilang, kamu nggak bakal berani."

"Biar kita liat aja." Jisung menyeka pipinya yang basah dengan punggung tangan. "Satu... dua... tig—"

"OKE!" Chaeyeon akhirnya berseru sambil beralih ke sisi pagar yang lain. Jisung menghela napas, separuh dirinya lega dan separuh lainnya tetap bertanya-tanya bagaimana dia bisa punya keberanian untuk melewati pagar pembatas sebuah sungai besar yang tentunya memiliki kedalaman yang memungkinkan manusia untuk tenggelam.

Namun Chaeyeon jelas terlalu peduli padanya untuk membiarkannya merealisasikan ancaman tersebut. Lelaki itu bahkan membantunya kembali, kemudian mendudukkan diri diatas rerumputan. Mereka tidak bicara setelah itu. Hanya saling diam, membiarkan air mata terus menetes ke pipi masing-masing. Kemudian Jisung berujar. "Kalo kamu kayak gitu lagi, aku bakal ngelakuin sesuatu yang lebih parah."

"Kamu kira itu bisa menahanku?"

"Aku nggak bermaksud menahan kamu. Tapi aku cuma pengen kamu nggak pergi sendirian, dan nggak dengan cara kayak gini."

Chaeyeon bergeming setelah mendengar kata-kata Jisung barusan.

"Sebenernya kamu kenapa, Chae? Kenapa tiba-tiba banget?" tanya Jisung lembut.

Chaeyeon tetap tak menjawab, sampai akhirnya buliran bening yang sedari tadi memenuhi pelupuk matanya menetes semakin deras disertai rasa sesak di dadanya.

"Aku capek, Jisung. Aku capek! Dunia dan seisinya terlalu kejam. Gaada yang bisa ngertiin aku sama sekali. Pokoknya aku capek!" seru sang perempuan, tangannya meremas rambut kecoklatan nya, lalu mengacak-acak dengan emosi dan masih berlinang air mata.

Laki-laki di sebelahnya menepuk bahu Chaeyeon, membiarkan gadis itu meluapkan segala resah dan gelisah dalam lubuk hatinya.

"Aku ga percaya, mimpi yang dari dulu aku impikan sekarang memang udah tercapai, tapi itu malah bikin aku tambah gila," bisik Chaeyeon.

Dua insan itu tidak berbicara lagi selama beberapa saat. Setelah itu, perkataan Jisung agaknya membuat ia termenung.

"Kalo dipikir-pikir lagi, hidup tuh kayak piano. Tuts putih melambangkan kebahagiaan, dan tuts hitam melambangkan kesedihan. Terkadang kita perlu menekan tuts hitam untuk menciptakan melodi yang indah. Apa kamu paham maksudku?

Chaeyeon tak memiliki niatan untuk menjawab.

Jisung menyambung. "Dalam hidup ada rasa manis dan rasa pahit. Banyak kenyataan yang harus kita hadapi. Setiap masalah yang datang ke kita harusnya membuat diri kita menjadi lebih kuat dan lebih dewasa. Jangan jadikan itu sebagai alasan kamu ingin menyudahinya dengan segala cara," tegasnya.

"Kamu... lagi berpuisi? Atau ceramah?" tanya Chaeyeon tanpa melihat kedua iris sang pria.

"Ish! Aku serius, Chaeyeon."

"Haha, iya. Kamu lagi nyindir aku, bukan?" Kini, perempuan tersebut tertawa hambar dan mulai menatap intens Han Jisung.

"Syukurlah kalo kamu sadar," balas Jisung, kurva di bibirnya melengkung.

"Tapi maaf," Chaeyeon kembali menyahut. "Kadar permasalahan setiap orang itu berbeda-beda. Kamu nggak bisa seenaknya menghakimi seperti ini. Aku nggak suka."

"Tapi, Chae—"

"Dan juga, jangan jadi sok dewasa. Ingat, umur kita hanya terpaut dua bulan, bukan berarti kamu bisa bebas menyuruhku ini itu, bahkan mengatur hidupku."

Chaeyeon dengan penuh penekanan langsung menyerang balik kata demi kata Jisung. Dalam hatinya, ia senang mengetahui bahwa dirinya bisa membuat laki-laki tadi bungkam seribu bahasa. Hanya saja, dia tak menyadari bahwa ada ketidakpercayaan serta rasa kecewa yang tertera dalam sorot mata sang lawan bicara.

"Kamu nggak seharusnya kayak gini, Chaeyeon."

"Shut up! Aku capek denger omong kosong kamu."

Jisung semakin menggertakkan giginya. "Kamu dengerin aku dulu, aku ini sepupu kamu loh."

"Trus? Apa hubungannya?"

"Aku rela nasihatin kamu, aku rela ngurusin kamu, rela ngasih tau kesalahan kamu. Kamu pikir itu karena apa?! Karena aku sayang sama kamu, Lee Chaeyeon!" Tak tahan lagi dengan kekesalan yang membuncah di hatinya, Jisung berteriak di depan Chaeyeon langsung. Untung saja di sekitar situ tidak ramai orang-orang, sehingga mereka tidak menjadi pusat perhatian.

"Kita tumbuh dan dewasa bareng-bareng, masa sih nantinya kita ada di sisi yang berbeda?" timpal Jisung, berusaha menghentikan tangisannya. "Kamu boleh pulang Chaeyeon, tapi nanti kalo semuanya udah berjalan baik."

⋇⋆✦⋆⋇

15 TAHUN YANG LALU.

"Chaeyeon-ie, Jisung-ie, jangan rebutan mainan! Kan kemarin udah dibeliin satu-satu sama kakek."

Suara wanita memecah atensi dua bocah yang tengah berebut sebuah boneka karakter Winnie The Pooh. Mereka tak menghiraukan ucapannya, kian brutal hingga salah satu anak laki-laki berkaos merah menarik rambut si perempuan dan membuat nya menangis kesakitan.

"Tante... hiks, Jisung nakal!" adu anak bernama Lee Chaeyeon, menunjuk ke arah sepupunya, Han Jisung, yang justru tertawa bahagia tanpa dosa.

Wanita berumur 30an tadi mendekat ke mereka dengan membawa dua piring makanan di masing-masing tangannya. "Udah-udah. Mendingan sekarang kalian makan dulu, okey? Mainnya dilanjut nanti lagi." Lalu diletakkannya piring itu di depan Chaeyeon dan Jisung, disambut dengan senyuman secerah matahari.

"Uwaaa, makasih tante!"

"Yey! Makasih ya, Mah!"

Sang wanita ikut tersenyum sambil sedikit menahan kegemasan akan dua saudara itu. Anaknya yaitu Jisung dan keponakannya, Chaeyeon, memang sudah klop sedari kecil. Kemana-mana pasti selalu bersama. Mungkin hal ini juga disebabkan karena rentang umur mereka yang cukup dekat, hanya terpisah dua bulan. Ah, dia kembali mengingat masa-masanya hamil berbarengan dengan Taeyeon, sang adik. Dan ketika lahir, jadilah anak mereka masing-masing kini seperti soulmate.

"Ahahaha! Itu di hidung kamu ada nasinya," ledek Jisung.

Chaeyeon menghentikan menyuap makanan, tangannya meraba-raba sekitar hidung untuk mengecek apakah benar ada nasi disana. "Mana sih, nggak ada kok."

"Tapi boong, wleee!" Jisung menjulurkan lidah, kemudian tertawa lagi.

Chaeyeon menggerutu, bibirnya mengerucut beberapa senti. "Gatau ah, Jisung nyebelin. Aku gamau main sama kamu."

⋇⋆✦⋆⋇

8 TAHUN YANG LALU.

Chaeyeon yang baru saja pulang sekolah seketika melipat dahi begitu melihat Jisung yang cekikikan sendiri di sofa ruang tengah. Hanya sekadar informasi, mereka berdua satu sekolah, namun berbeda kelas. Setelah menaruh tas nya di kamar, Chaeyeon mendekat ke arah laki-laki itu, lantas duduk di kursi.

"Kamu gila?" tanya gadis itu, menaruh tatapan aneh pada Jisung.

"AW AW. MAU TAU SESUATU NGGAK?" Bukannya menjawab pertanyaan gadis Lee, ia malah menegakkan duduknya.

Chaeyeon menggeleng kecil.

"Tadi itu... ada cewek yang suka sama aku di sekolah!" Jisung bersemangat walaupun merendahkan volume suaranya supaya tidak ada yang mendengar percakapan tersebut.

Chaeyeon memutar bola matanya malas. "Yaelah, lebay amat. Kayak aku dong, disukain banyak cowok tapi tetep biasa aja. Karena aku tau aku itu cantik luar biyazah!" Ia tersenyum bangga, memamerkan rambut hitam lurusnya.

"Iyain deh yang ngaku-ngaku inces dari alam baka," celoteh Jisung.

"APA KAMU BILANG?!" Gadis itu melotot.

"Eh maaf—tadi itu—refleks."

⋇⋆✦⋆⋇

2 TAHUN YANG LALU.

"MAMAH! PAPAH! TOLONG JANGAN TINGGALIN JISUNG SENDIRIAN!"

Suara teriakan serta tangisan menggema di lorong sebuah rumah sakit. Anak muda yang masih mengenakan seragam sekolahnya berusaha memasuki pintu ruangan UGD walaupun sudah ada satpam serta dua wanita yang mencegahnya. Dia masih tak bisa mempercayai fakta yang barusan menimpa dirinya. Kedua orang tuanya telah mengalami kecelakaan yang menyebabkan mereka mustahil untuk bertahan lebih lama di dunia.

Dia ketakutan dan sekujur tubuhnya gemetaran.

"Jisung, tenang dulu. Sini duduk," tutur gadis yang seumuran, Lee Chaeyeon, menyodorkan sebotol air mineral untuk Jisung minum.

"Chae... kalo mamah sama papah udah nggak ada, aku mau tinggal sama siapa..." Suaranya turut bergetar.

"Hey, kamu masih punya aku, masih punya tante Taeyeon. Kamu bisa tinggal sama kita. Jadi... gausah khawatir ya? Masih banyak orang yang sayang sama kamu, Jisung." Chaeyeon membalas nya dengan senyuman penuh kekuatan dan harapan. Tangannya merangkul bahu sang laki-laki. Dan entah mengapa, saat melihat Jisung menangis, ada sesak yang turut hadir dalam sanubari nya.

⋇⋆✦⋆⋇

MASA SEKARANG.

Selepas Jisung membawanya kembali ke masa silam, Chaeyeon tertunduk. Tidak bisa memungkiri semua kenangan yang telah ia buat bersama laki-laki Han itu. Pada momen itu juga, ia teringat sebuah quotes yang terasa begitu dalam baginya.

"Bagian yang paling menyedihkan dari sebuah hidup adalah ketika orang yang telah banyak mengukir memori bersamamu, kini sudah menjadi memori."

Chaeyeon tidak ingin membuat Jisung terpuruk kedua kalinya setelah kehilangan kedua orangtuanya. Tidak.

Chaeyeon benar-benar tidak tega.

Tapi di satu sisi, dia butuh alasan untuk hidup. Dia ingin kehadirannya dianggap dan dihargai. Dia juga ingin memiliki tempat untuk bersandar.

"Chae?"

"Em, hm?"

"Aku minta, tetep disini, ya?"

Ragu, ia menggeleng. "Untuk apa aku hidup jika aku nggak punya alasan?"

"Trus kamu nganggep aku tuh apa?"

"... sepupu."

Jisung tersenyum teduh. "Aku lah alasan kamu harus bertahan, Chae. Kalo dulu kamu bisa bikin aku bangkit dari keterpurukan, masa kamu nggak bisa ngelakuin itu buat diri sendiri?"

Perempuan tersebut menggigit bibir, menahan tangisnya supaya tidak pecah untuk kesekian kalinya.

"I need you more than you know, Lee Chaeyeon. Jadi tolong, janji sama aku buat tetep disini, tetep ada di samping ku," ucap Jisung dan menunjukkan kelingkingnya.

Sayangnya, masih belum ada kelingking lain yang tertaut padanya.

"Aku... ngerasa sendiri di dunia ini, Han Jisung," lirih Chaeyeon dengan menatap datar ke depan.

"Terkadang kamu ngerasa seperti sendirian di dunia ini. Begitu pula aku. Semua orang pasti pernah merasakan perasaan hampa yang susah di deskripsiin pakai kata-kata. Tapi pada kenyataannya, kamu punya orang-orang di sekitarmu yang mencintai dan merawatmu. Trust me."

Tanpa dikomando, bahu Chaeyeon naik turun seiring suara Jisung yang masuk ke telinganya dengan lembut. Dia ingin menyuruh laki-laki itu untuk berhenti berbicara supaya tangisnya tidak semakin kencang. Bagai mantra magis, elusan lembut pada surai Chaeyeon membuatnya tenang perlahan-lahan.

"Yeuu, kok malah nangis? Gapapa, deh. Puas-puasin dulu nangisnya," kata Jisung, menepuk-nepuk punggung Chaeyeon.

"K-kamu jahat. Aku benci ka-kamu..."

"Walaupun jahat-jahat gini tapi kan kamu sayang."

"K-kata siapa? Aku benci kamu."

"Kata kamu sendiri, kan?"

Baiklah, Chaeyeon tidak bisa melawan lagi. Mengapa semua yang dikatakan pria itu benar semua?

Sepertinya slogan 'cewek selalu benar dan cowok selalu salah' tidak berlaku bagi setiap orang.

"Asal kamu tahu, kamu itu perempuan kedua yang aku sayangi setelah ibu ku, Chae."

"STOP!"

Seruan dari perempuan di sebelahnya membuat Jisung tersentak kecil. Chaeyeon mendongakkan kepala, mukanya masih sembab akibat menangis barusan. Beberapa maskara dan make-up miliknya luntur terkena air mata hingga mencoreng wajahnya sana sini. Jisung mengulum bibir, menahan tawanya supaya momen aesthetic dan uwu-uwu mereka tidak hancur gara-gara hal sepele.

"Berhenti bikin aku nangis," suruh Chaeyeon.

"Siapa juga yang nyuruh kamu nangis?" timpal Jisung.

Menarik nafas sedalam mungkin, ia kembali melemparkan pandangan ke arah sungai di hadapannya. Pantulan sinar matahari yang hampir terbenam menciptakan warna oranye di air sungai. Suasana sekitar mereka sudah mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat baru pulang sekolah ataupun bekerja.

"Dan kamu pasti lupa sesuatu."

Chaeyeon mengusap air matanya, kemudian menoleh cepat begitu Jisung mengucapkan hal tersebut. "Apa?"

"Hari ini kamu ulang tahun, 'kan?"

Chaeyeon tertawa, merutuki dirinya yang bahkan tidak ingat atau mungkin tidak mau ingat dengan hari dimana ia dilahirkan ke dunia.

"Selamat ulang tahun, Lee Chaeyeon. Sepupuku yang paaaaaaling aku sayang selama ini."

Pergerakan selanjutnya membuat si gadis terhenyak. Pasalnya, laki-laki Han menarik perempuan itu ke dalam dekapan, menenggelamkan mukanya ke helaian rambut Chaeyeon. Gadis tadi tentu membiarkan. Lagipula, berada dalam pelukan Jisung membuat Chaeyeon merasa seperti menemukan rumah nya.

Kini, baik Chaeyeon maupun Jisung sama-sama mengerti bahwa mereka saling membutuhkan. Jisung butuh Chaeyeon, begitu pula sebaliknya. Tanpa kehadiran satu sama lain, mungkin eksistensi mereka di dunia ini sudah lenyap sejak lama.

Bersama sang senja yang mengawasi dari kejauhan, dua insan satu hubungan darah tersebut tersenyum lebar. Sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan, yang tak berani sekalipun untuk dijadikan angan-angan. Pukul 17.15, pada tanggal 11 Januari, akhirnya satu kelingking lain berhasil tertaut pada kelingking Jisung.

"I'll be your home, Chae. Bagaimanapun, kamu tetep prioritas aku di dunia ini. Inget itu."

Chaeyeon mengangguk pasti. Namun tiba-tiba ia teringat akan suatu hal. "Jisung, apa aku boleh nanya?"

Jisung terheran, tetapi mulutnya berkata. "Tanyain aja."

"Apa alasan kamu sebegitu peduli dan sayang sama aku, terlepas dari hubungan kita sebagai sepupu?"

"Karena kamu terus-terusan mengangguku. Dasar aneh."











fin






Akhirnyaa selesai jugaa😭❤

Anyway, aku bikin cerita ini karena terinspirasi dari lagu No.1 nya mbak BoA eheheh :")

Terimakasih sudah membaca! Maaf kalau ada kesalahan yaa

a l p h a ,  2020

▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║
▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║
©phamilyy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro