Bab 8. Believe Me
Shirenia merasakan jantungnya berdetak kencang mengiringi setiap langkahnya memasuki kelas. Dia menatap orang-orang yang berada di koridor dengan berbagai macam pikiran. Tangannya memeluk sebuah buku merah yang tidak lagi melenyapkan coretan yang ia buat seperti sebelumnya.
Kali ini apapun yang ia tulis di sana sama halnya seperti menulis di buku biasa. Tidak ada yang terjadi, bahkan lukisan Shaquille yang baru ia buat kemaren masih ada di sana lengkap dengan riwayat pria itu. Butuh usaha keras untuk mengingat kembali apa yang sudah ia tulis tentang pria itu hingga di sinilah dia berada.
Di depan kelas dengan tangan memeluk buku merah usang. Matanya menatap pada teman sekelasnya yang juga terheran-heran melihat Shirenia berdiri di depan kelas.
"Teman-teman," mulainya. Semua mendadak diam dan mengalihkan perhatian padanya. Perasaan ragu dan gugup tiba-tiba saja merayapi hatinya. Tapi sosok Shaquille di sebelahnya terus memberikan senyum meyakinkan agar ia tetap melakukan apa yang harus dilakukan.
"Maaf aku meminta waktu kalian sebentar. A-aku ingin memperkenalkan s-seseorang pada kalian ...." Shirenia membalik buku dalam pelukannya sehingga gambar yang ia buat bisa dilihat oleh semua orang di kelas. Pada mulanya mereka semua berdecak kagum melihat karya tangan Shirenia yang luar biasa. Sayangnya itu tak bertahan lama saat Shirenia melanjutkan ucapannya.
"D-dia Shaquille. Yang di gambar ini adalah kekasihku."
Hening.
Tak ada yang menyahut. Mendadak lututnya terasa bergetar dan lemas. Sampai kemudian terdengar suara tawa mengejek memenuhi ruang kelas dan pendengarannya. Shirenia merasa kepercayaan dirinya telah hilang saat itu juga, dia tidak tahan ditertawakan seperti itu. Tapi, lagi-lagi dia memilih memaksakan kakinya agar tidak bergerak sedikitpun dari posisinya.
"Hei, apa yang kau bicarakan? Apa gosip itu benar? Kau sudah gila?" tanya seorang pria dengan tatapan merendahkan.
"Astaga! Aku tidak percaya dia sendiri yang mendeklarasikan bahwa mentalnya telah terganggu dengan berbicara omong kosong." Yang lain menyahut. Itu adalah wanita populer yang hari itu pernah pamer tentang kekasihnya yang pencemburu.
"Aku serius!" Entah mendapatkan kekuatan dari mana Shirenia akhirnya berani menaikkan nada suaranya. "Kumohon percayalah, dia ada. Dia kekasihku." keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Seumur hidup, dia tidak pernah memiliki teman dekat karena terlalu asik dengan kesendiriannya. Tapi kini ia terpaksa melakukan sesuatu lebih dari sekedar berinteraksi dengan satu orang. Ini pertama kalinya dia berbicara di depan banyak orang di luar pelajaran. Dan rasanya seperti kau tidak sanggup hidup tapi tak mau mati.
"Kau pikir kami percaya hanya pada sebuah gambar? Yang benar saja. Bisa saja gambar itu hanya khayalanmu. Sudahlah, jangan mengada-ngada."
"Dasar gila."
Perkataan itu serupa dengan ribuan jarum yang menusuk hati. Shirenia meruntuhkan pertahanan yang telah menipis itu. Cukup! Dia tak tahan lagi untuk tetap berdiri di antara manusia itu. Kakinya mundur perlahan sebelum kemudian dia berbalik dan berlari secepat mungkin menjauh dari situasi menyedihkan itu. Ia tak peduli Shaquille yang mengejar dan terus memanggil namanya.
Air matanya mengalir tanpa tahu kata berhenti. Isak tangisnya beradu dengan udara dingin yang menerpa. Inilah alasan dia meragu. Reaksi orang-orang itu sudah sempat ia prediksi akan seperti ini. Tapi demi Shaquille dan kebersamaan mereka Shirenia mengesampingkan semua itu dengan harapan orang-orang akan percaya pada ucapannya. Dan sekarang dia telah gagal meyakinkan mereka, suara-suara bernada ejekan itu bahkan masih betah memenuhi kepalanya hingga saat ini.
Ia terduduk di halte menangis hebat seraya menunggu bus tiba. Shaquille hanya bisa menatap sendu kekasihnya dari kejauhan. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan, sebenarnya dia sangat menyesal karena sosoknya terbatas pada ingatan. Tak ada yang bisa ia lakukan jika orang lain bahkan tidak bisa melihat keberadaan dirinya. Satu-satunya yang bisa melihat dia hanya Shirenia.
Hatinya mencelos, sesak rasanya melihat gadis itu menangis putus asa. Tanpa disuruh kakinya berjalan mendekat hingga ia berdiri di belakang gadis itu, tubuhnya sedikit menunduk hingga ia bisa memeluk gadis itu dari belakang. Membagi kekuatan adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan agar gadis itu tidak semakin rapuh.
"Tenanglah, aku bersamamu. Jangan pikirkan apa yang menyakitimu, Sayang."
Shirenia masih terisak pedih. Itu sudah menunjukkan seberapa dirinya kacau dan putus asa sekarang.
"Aku harus bagaimana lagi, Shaqi? Semuanya mengejekku, me-mereka tak ada yang mau percaya. Siapa yang bisa mempercayaiku? Siapa?" tanyanya dengan suara lemah tertelan tangisan.
"Ssssh ... kau masih memiliki seorang ibu yang akan mempercayaimu." Shaquille tahu, Sheren pada awalnya memang terlihat meragukan kondisi anaknya. Tapi ia yakin ibu dari kekasihnya itu bisa mempercayai anaknya, asalkan Shirenia memberitahunya dengan detail dan jelas.
"Apa ibu akan percaya?" tanyanya gamang.
Bus datang saat itu hingga Shaquille berbisik, "Aku yakin ibumu akan mempercayaimu. Ayo kita temui ibumu." Tangan itu menarik Shirenia menuju bus.
Sesampainya di rumah, Shirenia memutar matanya ke segala arah mencari keberadaan wanita yang menjadi harapan dia satu-satunya untuk mempercayai apa yang ia percaya.
"Bu, kau di mana?" tanyanya pada udara.
Tak ada sahutan. Tiba-tiba ia ingat ibunya sedang di toko kue di jam begini.
"Ah aku lupa, ibuku pasti sedang di toko kue." Shirenia mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu dengan lelah.
"Ya sudah. Sebaiknya kau istirahat, matamu pasti lelah karena banyak menangis." Shirenia menurut dan memilih tertidur di sofa panjang seraya menunggu kepulangan ibunya.
Hingga entah sudah berapa lama, ia bisa merasakan tepukkan halus di pipinya. Tangan yang menyentuh itu terasa dingin sekali. Shirenia lantas membuka kedua matanya yang langsung mendapati sang ibu dengan wajah lelah.
"Ibu sudah pulang?" gumamnya.
"Apa kau menunggu ibu?" tanya Sheren.
"Iya. Ada yang ingin aku tunjukkan pada ibu," ucapnya serak karena bangun tidur.
"Oh ya, apa itu?" Kini Shirenia sudah terduduk dengan ibunya yang juga mengubah posisi menjadi duduk di sebelahnya. Sheren menatap penasaran pada anaknya.
Sementara itu Shirenia meraih tas kuliahnya dan mengeluarkan buku merah usang sebelum kemudian menunjukkan halaman yang berisi gambar Shaquille.
"Ibu lihat gambar ini, 'kan?" Sheren terdiam dan mengamati, meskipun belum mengerti dia tetap mengangguk.
"Namanya Shaquille. Sebelumnya aku harap ibu mau mempercayai aku, ibu percaya kan padaku?" tanya Shirenia nyaris berbisik.
Sheren terhenyak melihat tatapan anaknya yang penuh harap dan permohonan. Karenanya ia mengangguk yakin. "Iya ibu percaya padamu, Sayang." Tangan tuanya mengusap rambut Shirenia lembut.
"Dia. Yang aku gambar ini adalah kekasihku, maaf karena baru memberitahu ibu. Sebenarnya aku takut ibu tidak suka padanya, maafkan aku...."
Sheren tertegun sejenak sebelum menggeleng mengerti. "Tidak apa, Sayang. Yang penting sekarang ibu tahu anak ibu sudah dewasa dan punya kekasih yang tampan. Kenapa kau tidak ajak dia kemari dan perkenalkan pada ibu?" Sejujurnya Sheren sangat terkejut. Namun, melihat anaknya yang hampir menangis membuatnya tak mampu merasakan keterkejutannya. Sekarang baginya adalah kebahagiaan Shirenia. Apapun itu, selama mampu membahagiakan anaknya dan memberikan anaknya sesuatu yang tidak bisa ia berikan maka ia akan mendukungnya.
"Aku takut ibu akan melarang. Tapi hari ini dia ada di sini. Aku mengajaknya untuk bertemu dengan ibu," ucapnya.
Shaquille perlahan berjalan mendekat dan saat itu juga Sheren benar-benar bisa melihatnya. Sosok yang selama ini hanya bisa dilihat Shirenia akhirnya bisa dilihat orang lain juga.
"Selamat malam, saya Shaquille. Senang bisa bertemu dengan Anda, Nyonya Sheren." Sheren masih terpaku menatap sosok yang entah sejak kapan sudah berada di ruang tamunya. Dia tak bisa berkata-kata melihat sosok yang ternyata lebih tampan dari gambar yang ditunjukkan Shirenia.
"M-malam, senang bertemu denganmu, Shaquille." Sheren akhirnya bersuara setelah berkali-kali menatap gambar dan sosok di depannya bergantian.
"Saya harap, Anda bisa menerima saya menjadi kekasih Shirenia. Maafkan saya karena baru mengenalkan diri sekarang."
Sheren menggeleng. "Ah t-tidak apa. Haha aku senang akhirnya anakku tidak akan sendirian lagi karena kamu sudah pasti akan selalu menemaninya, 'kan?" Shaquille terdiam sebelum mengangguk ragu. Dia sendiri tidak bisa menjanjikan hal itu.
"Saya akan berusaha." Setelah itu mereka bertiga makan malam bersama. Shirenia bahagia karena akhirnya bukan hanya dia yang bisa melihat Shaquille. Ibunya juga bisa melihat kekasihnya itu sekarang.
Tapi, hal itu tak berlangsung lama. Karena Sheren sudah tua, dan ingatannya sering kali terganggu. Seperti pagi hari saat Shirenia sarapan dan menceritakan tentang Shaquille. Ibunya malah menatap bingung padanya sebelum di susul pertanyaan.
"Siapa Shaquille? Ibu tidak ingat kau pernah memperkenalkan seorang pria pada ibu."
Saat itulah Shirenia benar-benar hampir kehilangan harapan. Ia tak bisa selamanya mengandalkan ingatan ibunya yang lemah. Bahkan untuk belanja kebutuhan toko saja ibunya pasti akan melupakan beberapa yang harus dibeli.
Sekarang apa yang harus dia lakukan? Inikah akhirnya?
Shirenia tiba-tiba merasakan kepalanya berdenyut sakit. Matanya tak mampu lagi melihat objek lukisannya dengan jelas. Hingga tak lama kemudian kegelapan menyapanya membuat ia tak sadarkan diri.
***
To be continue.
A/n: kasian Shirenia.(T_T)
TDWC - Day 8
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro