Bab 7. Stay With Me
Duduk memeluk lutut di atas ranjang dengan kepala telungkup menumpu pada lipatan tangannya. Itulah yang sedang Shirenia lakukan sejak bermenit-menit lalu, ia baru saja pulang dari kuil dan langsung mengurung diri di kamarnya.
Bahkan Shaquille sama sekali tidak berani mengganggunya dan membiarkan ia sendirian di kamarnya. Pria itu ada di sana, namun wujudnya samar karena Shirenia memang sedang tidak ingin melihatnya. Shirenia tak habis pikir ibunya nekat membawa dia pada seorang penyihir, entah dapat kenalan dari mana. Ia bahkan harus rela terbatuk-batuk karena aroma tidak menyenangkan dari tempat si penyihir. Aromanya menusuk hidung dengan sadis, sampai kiamat pun Shirenia tidak akan mau pergi ke sana lagi. Dia masih sayang nyawanya sendiri.
"Jadi, apa masalahnya?" tanya sosok perempuan dengan kuku hitam seperti tak pernah dibersihkan bertahun-tahun.
"Em be- begini ... anakku, belakangan ini dia menjadi agak aneh, sering berbicara sendiri, makan berdua entah dengan siapa. Anu ... aku takut dia diganggu roh jahat. Maka dari itu aku membawanya kemari dan ingin meminta bantuan padamu untuk mengobati anakku." Shirenia menutup mulutnya yang hendak terbuka ingin menyampaikan dia baik-baik saja akan tetapi ibunya terlanjur menjelaskan yang semakin memperburuk keadaan.
Hei. Dia tidak kesurupan roh jahat! Tega sekali ibunya berpikir demikian.
"Begitu rupanya, kalau begitu bisakah kau tinggalkan aku berdua dengan putrimu?" tanya si penyihir. Ibunya terlihat ragu sebelum akhirnya meninggalkan dirinya dengan si penyihir aneh.
Perempuan tua itu terlihat mengambil segelas air dan menusukkan jari telunjuknya ke dalam air, sementara itu mulutnya komat-kamit membaca sesuatu. Shirenia hanya bisa diam menahan ngeri, betapa joroknya ketika kuku hitam itu menyentuh air. Jangan bilang ia harus meminum airnya? Demi apa? Shirenia tidak akan pernah sudi!
Tak lama kemudian penyihir itu menghentikan aksinya. Dia menatap Shirenia dengan pandangan aneh sebelum menyerahkan gelas itu padanya. Kedua alis gadis muda itu mengkerut bingung.
"Minumlah!" Saat itu juga Shirenia menggeleng tegas.
"Aku tidak mau! Itu menjijikkan," ketusnya.
"Menurutlah. Ini demi kebaikanmu," ucap si wanita tua yang Shirenia ketahui bernama Winky. Jangan tertawa! Namanya memang seaneh orangnya.
"Tidak." Shirenia kembali keras kepala. Lama kelamaan perempuan itu memaksanya hingga dia muntah karena dipaksa menelan air bekas kuku hitam si penyihir. What the fuck?!
Setelah itu ibunya masuk karena mendengar keributan dari luar. Ia terkejut melihat Shirenia yang kacau, pun dengan Winky.
"Ada apa ini?" tanyanya nyaris memekik.
"Anakku, apa yang kau lakukan padanya hingga ia bisa muntah?" Kali ini ia menghampiri sang anak dan membawanya ke pelukan hangat.
"Aku bahkan baru memulai ritualnya, Sheren." Penyihir itu terlihat kembali santai di tempat duduknya semula.
Belum sempat ibunya Shirenia—Sheren— kembali membuka mulut, anaknya sudah lebih dulu memotong.
"Bu, ayo pulang. Aku tidak mau di sini." Nadanya terdengar sangat lemas dan membuat Sheren semakin khawatir.
"Ritual macam apa hingga anakku seperti ini? Sudahlah. Jika aku tahu akan seperti ini, aku tidak akan membawanya kemari.... Shirenia ayo pulang, Sayang." Sheren memapah anaknya pelan tanpa menghiraukan lagi Winky yang menatap penuh arti.
"Pergilah, suatu saat kau pasti akan kemari lagi." Ucapan itu terdengar seperti sumpah yang sudah pasti akan terpenuhi. Shirenia kembali menoleh sekilas sebelum benar-benar keluar dari sana. Dia jelas mendengar ucapan terakhir penyihir aneh itu.
Shirenia kembali bergidik ngeri begitu ingatannya memutar lagi kejadian beberapa jam lalu. Apalagi saat Winky mengatakan ia akan ke sana lagi. For god sake! Shirenia pasti sudah gila sungguhan jika pergi ke sana lagi.
Shirenia menguap kantuk. Ah sepertinya ia akan langsung tidur saja dengan harapan besok perasaannya lebih baik.
***
"Shirenia."
"Bangunlah, Sayang."
Shirenia membuka kedua matanya saat merasakan tepukan halus di pipi. Ia langsung mendapati ibunya duduk menatapnya lamat-lamat.
"Syukurlah kau sudah bangun," ucap Sheren lega.
Shirenia terduduk dengan mata kantuknya, walau begitu ia tetap memutar arah pandangnya ke jam dinding dan melotot saat tahu ini masih jam enam pagi.
"Ibu, kenapa membangunkanku pagi sekali?" tanyanya. Ia menatap curiga ibunya. Sejak kejadian kemarin, ia jadi sedikit sensitif setiap kali ibunya bersikap seperti ini. Berbeda dan lebih perhatian lagi.
"Ibu akan membawamu ke teman ibu," bisik ibunya. Shirenia lekas menoleh dan menggeleng.
"Tidak, Bu. Jangan lagi," mohonnya. Ia tentu tidak bodoh untuk kembali menderita seperti kemarin.
"Tapi kau butuh diobati, Sayang. Jangan khawatir ibu tidak akan membawamu pada penyihir, kali ini teman ibu seorang psikolog."
Deg.
"Jadi, ibu pikir aku gila?" tanya Shirenia langsung pada intinya.
Sheren menggeleng gelagapan. "Bukan begitu, Sayang. Dengarkan ibu dulu—"
"Tidak, Bu. Kali ini ibu yang harus mendengarkan aku." Shirenia memegang kedua tangan ibunya mencoba meyakinkan ibunya bahwa apa yang dia katakan selanjutnya adalah kebenaran.
Sheren akhirnya mengalah dan terdiam memberikan anaknya kesempatan berbicara.
"Pertama-tama, percayalah padaku. Aku baik-baik saja, Ibu. Aku tahu ini agak sulit dipahami, tapi aku tidak berbicara sendirian. Aku bersama seseorang. Percuma saja ibu membawaku ke psikolog sekalipun, hasilnya akan negatif. Tolong jangan memaksaku lagi, aku tidak mau mempermalukan ibu nantinya...." Shirenia menjelaskan sesingkat mungkin.
"Apa maksudmu? Siapa yang kau ajak bicara?" tanya Sheren.
"Untuk saat ini, aku tidak bisa menjelaskannya, Bu. Terlalu rumit." Shirenia menggigit bibirnya kebingungan. Dia sendiri tidak mengerti tentang semua ini. Terlalu tidak masuk akal untuk diungkapkan, dia tidak bisa menemukan kata yang tepat.
"Tapi kau tidak bohong pada ibu, 'kan?" tanya Sheren lagi. Dia memilih untuk mempercayai anaknya saja sementara ini, lagipula anaknya sudah hampir menangis. Mana tega dia memaksa anaknya ke psikolog, walau bagaimanapun dia sangat tidak ingin Shirenia menangis.
Shirenia menggeleng tegas. "Percayalah padaku, Bu...." Setelah itu ibunya mengangguk paham dan tidak pernah lagi memaksanya berobat atau apapun itu. Sheren hanya mengamati anaknya diam-diam dengan perasaan cemas. Tak ada yang bisa ia perbuat karena anaknya pasti akan menolak tindakan dirinya yang mencoba mengobatinya.
Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah mempercayai anaknya.
***
Netra coklat gelap menoleh mengamati kekasihnya yang tengah memejamkan mata menikmati suasana. Kini mereka berdua sedang tidur di atap rumah Shirenia yang terbuka mempertontonkan langit malam dengan sedikit bintang.
"Kau tidur?" tanyanya. Shirenia sontak membuka kelopak matanya dan menatap Shaquille di sampingnya.
"Aku tidak bisa tidur dalam keadaan seperti ini," bisiknya. Akhir-akhir ini Shirenia memang kesulitan tidur karena memikirkan jalan keluar dari segala hal aneh yang ia alami. Sedangkan hingga kini tak ada petunjuk apapun kecuali apa yang Shaquille pernah katakan sebelumnya. Dan ia belum sepenuhnya mengerti, otak jeniusnya seperti tak berguna jika berhadapan dengan keanehan Shaquille.
"Jangan terlalu memaksakan otakmu berpikir keras, Sayang. Itu tidak baik untuk kesehatan," tegur Shaquille. Padahal dia jelas tahu masalah apa yang dihadapi Shirenia sekarang. Dan semua itu berisi tentangnya.
"Kau tahu apa yang aku pikirkan bukan?" tanya Shirenia retoris. Shaquille tidak menjawab dan kembali menolehkan wajahnya menghadap langit malam.
"Kau ini sebenarnya apa? Darimana kau berasal? Ah, aku hampir menyerah memikirkannya karena aku pikir tak masalah meski orang lain menganggap aku gila, asal kau bersamaku. Namun, nyatanya aku tidak bisa jika ibuku terus-menerus menunjukkan ekspresi cemas setiap berhadapan denganku. Apa yang harus aku lakukan, Shaqi?" Shirenia terdengar putus asa dengan semua masalahnya saat ini.
"Aku sudah pernah mengatakannya padamu, Shire. Aku ini sesuatu yang kau pikirkan dan kau yakini. Karena itulah aku ada, singkatnya aku hidup dalam ingatan orang-orang yang mengingatku."
Tiba-tiba Shirenia menoleh padanya.
"Tunggu dulu. Jadi maksudnya semakin banyak yang mengetahui dan mengenalmu maka semakin banyak yang mengingatmu, begitu?" tanya Shirenia setelah mampu menyimpulkan ucapan Shaquille barusan.
Shaquille hanya menoleh diam tak menjawab. Tapi melalui tatapannya Shirenia tahu pria itu mengiyakan.
"Bagus. Kalau begitu sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan," ujarnya dengan keyakinan yang bulat.
"Sebenarnya...." Shaquille menggantung kalimatnya seolah mencari kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan pada gadisnya.
"Buku itu bisa mewujudkan keinginan dalam tiga kali menulis. Tapi sayangnya kau sudah menggunakan semua kesempatan itu, 'kan?" Shirenia terdiam mengingat berapa kali dia menulis di sana. Jika di hitung memang sudah tiga kali.
Yang terakhir adalah saat ia berkata mencintai Shaquille apapun keadaannya. Artinya kesempatan dia memang sudah habis.
"Kenapa kau baru memberitahuku?" tanya Shirenia dengan wajah kesal.
"Maaf, aku tidak tahu karena kau tidak bertanya." Shaquille kembali menatap langit sebelum melanjutkan.
"Tapi kau masih bisa menggambar diriku lagi dan menunjukkan pada orang lain untuk meyakinkan mereka bahwa aku ada. Hanya itu satu-satunya cara agar aku tetap hidup."
"Artinya jika aku gagal, m-maka kau ... akan," bisik Shirenia tak sanggup melanjutkan. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Melihat hal itu Shaquille membawa Shirenia ke dalam pelukannya memberikan gadis itu kekuatan sekaligus keyakinan.
Setelah itu mereka berpelukan berbagi kehangatan tanpa suara, karena udara mulai berubah suhu. Ini sudah mendekati akhir tahun, artinya musim dingin akan segera menyambut. Shirenia menyembunyikan wajahnya di dada Shaquille seolah mencari kekuatan dari kekasihnya.
"Kau pasti bisa, percayalah pada dirimu sendiri, Sayang."
Entahlah. Ia sendiri tidak yakin, apa ia mampu membuat orang lain mempercayai apa yang ia percayai?
***
To be continue.
A/n: huhu syedih. Jangan mati dong Shaqi:((
Berjuanglah Shire.
TDWC - Day 7
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro