Chapter 13 - Isle of Man
Mengorbankan satu orang untuk mendapatkan keuntungan lain bukanlah hal baru bagi Allison. Benar. Dia sudah terbiasa dengan semua ini dan tidak ada penyesalan sama sekali.
Di pemakaman, Allison tampak sedang berdiri dengan sebuket mawar putih di tangannya. Gadis itu tidak sendirian, melainkan didampingi Luke dan Taylor.
Kedua pria itu menatap Allison yang sedang menangis dalam diam dengan tatapan prihatin.
"Beristirahatlah dalam damai, Clarissa," bisik Allison, sambil mengusap tiang salib di pemakaman Clarissa kemudian meletakkan karangan mawar putih tersebut di tempat peristirahatan terakhir gadis itu.
Setidaknya Allison telah bersikap baik terhadap gadis itu—Clarissa Willson—korban perdagangan manusia yang dia beli karena mengetahui bahwa Clarissa memiliki potensi untuk dididik mengikuti pola pikir Allison. Namun, sangat disayangkan Clarissa tidak mampu melakukan survive terhadap diri sendiri dan memilih untuk bunuh diri.
Allison telah mengetahui hal ini akan terjadi, tetapi membiarkan keinginan Clarissa adalah yang terbaik.
Dan kematian Clarissa tidak hanya berlandaskan atas bunuh diri atau ketidakmampuan gadis itu melihat kekerasan di villa milik Allison demi mengenalkan dunia anarki sesungguhnya. Namun, karena beberapa tikus kecil telah melecehkan Clarissa ketika Allison tidak berada di Isle of Man.
Tikus-tikus kecil yang tidak akan lama lagi menjadi santapan kucing liar.
***
Dor! Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan terdengar di halaman belakang villa berukuran besar dan mewah milik Allison. Suara tembakan yang tidak mengenai sasaran sama sekali dan itu sungguh menyebalkan.
Dua hari telah berlalu dan menembak dengan jarak jauh serta objek yang bergerak, sungguh membuat Allison kesulitan hingga membuatnya sedikit emosi. Dia tidak punya banyak waktu untuk menunggu serta mempelajari hal ini lebih lama lagi.
"Masih belum mengenai target." Luke baru saja kembali dari tugasnya, mengayunkan batang pohon yang diikat tali kemudian memastikan bahwa salah satu peluru Allison berhasil mengenai target. Namun, hingga saat ini tidak ada satu peluru pun di sana.
"Berikan padaku. Akan kuperlihatkan caranya sekali lagi dan redam emosimu. Kau tampak tidak sabar sehingga konsentrasimu berkurang." Luke mengambil pistol di tangan Allison kemudian dengan menggunakan kedua tangan mengarahkan pistol tersebut ke depan. Sejenak, Luke berusaha membidik sasaran hingga akhirnya, pria itu menembak.
Seketika pergerakan batang pohon itu pun berubah menjadi tidak beraturan akibat terkena tembakan Luke.
"Gunakan ilmu perkiraan dan matematikamu, Nona." Luke memberikan kembali pistol tersebut kemudian memutuskan untuk memerhatikan sikap tubuh Allison dalam menembak.
"Aku tidak punya banyak waktu. Kau tahu bagaimana gadis itu meninggal dan mereka menganggapnya sebagai bunuh diri." Allison menampakkan kemarahan tersirat, tetapi juga kesedihan yang mendalam saat itu juga. Sebuah ekspresi kemarahan dan kesedihan yang menganggap seakan dunia tidak memiliki keadilan sama sekali.
Luke memahami keadaan tersebut. Namun, bukan berarti ia ikut menyalahkan pihak kepolisian akibat keputusan mereka yang mengatakan bahwa Clarissa tewas bunuh diri, karena memang ada saatnya, kasus tersebut harus ditutup jika barang bukti tidak ditemukan lagi.
Bergerak beberapa langkah, Luke meletakkan tangan kirinya di atas lengan Allison, memberikan isyarat agar berhenti sejenak kemudian memeluk gadis itu—berharap agar tindakannya bisa menenangkan Allison.
Empat hari bersama Allison telah membuat Luke semakin memahami perasaannya terhadap gadis itu. Namun, di waktu bersamaan dia juga tidak bisa berharap lebih karena untuk saat ini yang bisa dia lakukan hanyalah melindungi Allison.
Sosok dominan yang memiliki banyak musuh, meskipun orang-orang di sekelilingnya selalu terlihat tunduk di hadapan gadis itu.
Allison berhasil mengubah sedikit pemikiran Luke terhadap sifat dasar manusia. Hanya sedikit dan pria itu masih memegang teguh pemahamannya mengenai perubahan manusia menjadi lebih baik, seperti yang ia lakukan saat ini—memercayai Allison.
"Jangan sekacau ini. Aku tidak pernah melihatmu seperti sekarang dan percayalah, bahwa aku ada di sini, membantumu. Jika kau mengatakan bahwa aku memiliki kepentingan, maka aku akan menjawab bahwa kau benar karena kepentinganku adalah, Allison Franklin." Luke mencium pucuk kepala Allison dan membiarkan gadis itu kembali terisak.
Lebih tepatnya terisak pelan dan hanya Luke yang mengetahui hal ini.
Sayangnya, untuk kesekian kali bahkan hingga saat ini Luke tidak menyadari bahwa Allison sedang bersandiwara.
Allison tidak selemah itu untuk menangisi sebuah kematian. Bahkan sejak lama, tanpa sepengetahuan siapa pun, air mata gadis itu telah kering bagai tanah yang dalam keadaan tandus.
"Kau tidak lagi mengatakan bahwa aku sedang bersandiwara," ucap Allison masih dalam pelukan Luke.
"Aku bisa melihat kebenaran dari dalam matamu. Aku memperlajarimu, Allie." Luke memutuskan untuk melepaskan pelukannya ketika Allison mendorong tubuh pria itu secara perlahan.
"Sandiwaraku adalah bertingkah kuat untuk menundukkan dan mendapatkan apa yang kuinginkan." Allison kembali mengambil posisi menembaknya kemudian memberikan satu peluru pada batang pohon yang sudah tidak bergerak lagi.
Pernyataan yang akhir-akhir ini selalu didengar Luke setelah mereka berada di Isle of Man, terutama setelah Allison melihat pemakaman Clarissa. Suatu peristiwa yang akhirnya membawa Luke semakin dekat dengan Allison bahkan membuat gadis itu sedikit terbuka padanya.
Setidaknya terbuka mengenai ambisi dan alasan mengapa Allison melakukan sandiwara yang berlainan setiap kali bertemu dengan kelompok-kelompok berbeda.
"Tegakkan tubuhmu, relax, dan konsentrasi. Ingat gunakan perhitungan waktu yang cepat untuk menembakan peluru terhadap target yang bergerak." Luke menyentuh bahu Allison, memperbaiki sikap tubuh gadis itu kemudian kembali melangkah menuju batang pohon yang akan ia ayunkan sebagai target penembakan.
***
Ini hanya sandiwara dan hanya untuk sementara waktu. Kau mengenal dirimu dengan sangat baik, dan kau tahu tugasmu.
Membunuh tikus-tikus kecil beserta saksi mata. Ingat, tidak ada yang bisa dipercaya.
Allison mengamati punggung Luke yang bergerak semakin menjauhi darinya. Pria itu berbeda dan Allison mengetahui hal tersebut dengan sangat baik. Namun, pengalaman selalu mengharuskan gadis itu berpikir menggunakan logika.
Berpikir bahwa hidupnya tidak pernah aman bahkan bersama keluarga sekalipun.
Diam-diam, Allison mengarahkan pistol tersebut ke bagian kepala Luke. Sebenarnya ia sudah tidak sabar untuk pertunjukan besar itu. Namun, peluru sialan ini sama sekali belum menyentuh batang pohon yang digerakan Luke.
"Konsentrasi dan cepat selesaikan." Allison menutup mata sejenak, menghela napas panjang kemudian menarik pelatuk dan memfokuskan target sesuai petunjuk Luke.
Satu detik.
Dua detik.
... dan tiga ....
Dor! Dor! Dor!
Allison menarik napas dalam, setelah melihat targetnya bergerak acak—menandakan bahwa tembakan kali ini berhasil bersarang di sana dan itu artinya pertunjukan akan berlangsung besok.
Besok setelah ia mengetahui kinerja beberapa pekerja yang mengurusi masalah Justin dan Maximiller.
Allison tidak sabar mengenai kabar baik yang akan dia dengar dan peristiwa besar untuk menghormati kematian Clarissa Willson.
Kau akan kembali menemui mereka di neraka, Clarissa dan jadilah sosok kuat di sana karena aku membelimu untuk hal itu. Bukan hal bodoh yang telah kau lakukan saat ini.
Tanpa sadar Allison mengarahkan pistol bahkan menarik pelatuk ke arah Luke ketika pria itu berlari kecil menghampirinya dengan senyum semringah.
Kala itu dia merasa terancam karena kilasan masa lalu menghampirinya.
"Allie, kau baik-baik saja?" Luke tampak terkejut dengan sikap Allison yang tiba-tiba mengarahkan pistol ke arahnya. Namun, dia tidak khawatir jika gadis itu berniat untuk menembaknya. "Kau berhasil mengenai target. Ingat bagaimana cara menggunakan benda itu dan pastikan bahwa pelurumu masih ada."
Luke tersenyum ramah kemudian mengambil pistol Allison dan menembak ke bagian kepalanya sendiri.
Tidak ada darah dan tidak ada suara keras memekakkan telinga. Pistol tersebut telah kehabisan peluru dan Allison baru saja melakukan kecerobohan, memberikan toleransi terhadap keamanan dirinya yang berpotensi membuat musuh dengan mudah menghabisinya.
Kecerobohan tersebut tidak akan terjadi lagi.
"Aku ... merasa tidak aman. Sesuatu mengganggu pikiranku," bisik Allison ketika pandangan mereka bertemu dan Luke mengembalikan pistol tersebut di tangan gadis itu kemudian memeluknya sesaat.
"Kau aman bersamaku. Bukankah itu alasan kau menugaskanku, Allie?"
"Kau bisa saja membunuhku suatu saat nanti, Luke."
Tanpa sadar Luke merasakan sesuatu melukai hatinya ketika Allison mengatakan bahwa dia bisa saja membunuh gadis itu.
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Andai Allison tahu kenyataan sebenarnya bahwa dialah yang berpotensi besar dalam membunuh Luke, karena sifat gadis itu cenderung anarki.
"Hanya kau yang akan membunuhku. Simpanlah, dan ketika kau ingin menggunakan ini untuk membunuhku, maka pastikan bahwa kau masih memiliki peluru." Tatapan hangat, tanpa rasa takut pun kembali terpancar pada sepasang mata cokelat Luke. Terutama ketika pria itu masih mengunci pandangan Allison untuk menikmati sosok yang semakin lama semakin dia cintai.
Cinta itu melemahkan dan di waktu bersamaan mampu membuat siapa pun menjadi tidak takut dengan kematian.
Hanya jika kematian itu berasal dari tangan seseorang yang mereka cintai.
Seseorang yang akan merasa aman dan bahagia jika mereka mati.
"I'm sorry." Allison berbisik dan sesuatu yang lain kembali mengusik perasaannya.
Sesuatu yang sama, ketika Allison membiarkan Luke berada di tempat tidurnya.
Tanpa adanya tanda tangan kontrak, tanpa peraturan, dan tidak di ruang red of pain.
Allison memperlakukan Luke dengan cara yang berbeda, hanya karena perlakuan pria itu yang tidak seperti pria lainnya. Mereka dengan mudah tunduk di bawah kaki Allison, mereka dengan mudah menuruti semua perintah Allison, dan mereka dengan mudah menerima uang Allison, tetapi tidak dengan Luke.
Luke memang tunduk dibawah kekuasaan Allison, Luke menuruti semua keinginan Allison. Namun, Luke menolak uang pemberian Allison setelah pria tersebut telah melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya dia kerjakan dan setelah mereka melakukan hal itu.
Tidak ada sesuatu yang dikerjakan tanpa syarat dan perasaan tersebut hanya sebuah khayalan orang-orang lemah. Batin Allison kemudian tanpa mengatakan apapun pergi meninggalkan Luke yang hanya bisa memandang punggung gadis itu.
"Tidak ada waktu untuk hal ini dan sebentar lagi sandiwara akan berakhir. Kau memudahkanku, Luke."
________
TBC
Saya memang bukan author yang romantis, tetapi saya berusaha untuk memperlihatkan kisah bernuansa romantis yang tidak hanya berbicara tentang cinta dan momen2 indah. Di sini saya menceritakan kisah romantis penuh kesabaran, kepercayaan, dan pengertian.
Semoga cinta di antara kegelapan ini bisa sampai ke hati kalian. 😢
Yang berkenan silakan follow instagram @augustin.rh aku, ya karena aku bakal bikin kejutan buat pembaca aku di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro