Chapter 11 - You Should Know That I Love You
Sepasang manik hazel milik Allison terlihat begitu cantik pagi itu. Pandanganya sedikit terhalang di antara beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah. Dalam diam ia merasakan sentuhan hangat di punggung dari balik selimutnya dan dia juga sadar bahwa ada orang lain di tempat tidur ini.
Semalam Allison tidak sendirian. Dia melakukan petualangan baru bersama Luke, sosok pria yang kini masih tertidur pulas di sisinya. Allison melakukan hal tersebut secara sadar dan mengetahui bahwa ini berbeda dari setiap petualangan bersama pria sebelumnya, meskipun tetap sama Allison-lah yang memimpin.
Tangan Allison bergerak pelan, menggeser lengan Luke agar menjauh dari punggungnya kemudian menatap sejenak ke arah wajah indah milik pria itu. Tidak ada penyesalan yang berarti, hanya saja Allison tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal tersebut secara normal atau mungkin lembut bersama Luke.
Tanpa membawa Luke ke ruangan red of pain, tanpa penandatanganan perjanjian kontrak, dan tanpa peraturan.
"Apa kau pikir bisa memperbaiki diriku?" bisik Allison kemudian beranjak dari tempat tidur—tanpa membangunkan Luke—pergi membersihkan diri dan berpikir sejenak mengenai ucapan pria itu mengenai dirinya kemarin.
Kau tidak tahu apa-apa mengenai diriku.
Sambil menunggu bathtub dipenuhi air hangat, Allison menikmati segelas anggur dan memandang ke luar jendela kaca berukuran besar. Memandang beberapa gedung yang lebih rendah dan sekelompok manusia berukuran kecil layaknya kumpulan semut.
Senyum Allison mengembang. Pikirannya membara mengenai keberhasilannya menguasai beberapa negara berkembang serta negara miskin dan melihat para manusia di bawah sana membuat Allison beranggapan bahwa mereka adalah negara-negara kekuasaannya. Namun, seketika senyum itu memudar seiring pandangan yang teralihkan pada balutan perban di bahu kanannya.
Balutan perban akibat sebuah pengkhianatan dan balas dendam kemudian bawahan yang sekarang masih tertidur di sana mengatakan hal aneh, tetapi menyentuh hingga membuat Allison terdiam.
"Hal itu hanya untuk orang-orang lemah," bisik Allison lagi, sambil meletakkan gelas kosong di atas meja bar kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk berendam dan menikmati aroma mawar kesukaannya.
***
Luke menyadari ketidakhadiraan Allison di sisinya dan secara tidak disengaja, tanpa sepengetahuan gadis itu, Luke memerhatikan Allison sedang berdiri menghadap jendela kaca berukuran besar sambil menikmati segelas anggur—dalam balutan bathrobe.
Entah bagaimana balutan bathrobe yang menurut kebanyakan perempuan tidak memiliki keindahan sama sekali, tampak begitu indah ketika dikenakan oleh Allison. Terutama ketika cahaya matahari pagi menyinari gadis itu.
Sejenak mengamati Allison dalam diam, selama itu pula Luke menyadari bahwa gadis tersebut membutuhkan kehangatan, kepercayaan, dan ketulusan. Maksudnya saat petualangan mereka semalam, secara tidak langsung Luke mengetahui sisi-sisi tersembunyi dalam diri Allison—ilmu psikologi yang masih bekerja bahkan ketika mereka berhasil mencapai puncak.
Aku menemukan sisi yang kau sembunyikan, tetapi bisakah kau percaya padaku dan membagi sisi tersebut.
Allison memang pemegang kendali malam itu. Namun, dari hal tersebut dia punya alasan. Ada amarah di dalam matanya dan semua itu padam ketika Luke mencium kening gadis itu secara lembut, memeluknya, dan mengusap rambut Allison hingga ia tertidur.
Bagaimanapun Allison adalah perempuan pada umumnya. Hanya saja yang membuat dia berbeda adalah kepintaran gadis itu dalam menyembunyikan kemudian memperlihatkan banyak ekspresi.
"Hingga saat ini aku melihatmu sebagai wanita terhormat dan hanya laki-laki terhormat yang pantas untukmu," bisik Luke sebelum ia bangkit dari tempat tidur Allison dan berniat untuk menyusulnya. Jujur saja, sejak saat itu perasaan yang telah lama hilang telah kembali Luke rasakan berkat kehadiran Allison, meskipun gadis itu sulit untuk dimengerti secara harfiah.
Allison sang dewi artemis dengan seribu ekspresi. Sekali lagi Luke menyebutkan label tersebut di benaknya dan kali ini tidak ada perasaan konyol yang menghampirinya seperti pertama kali ia melabeli Allison saat mereka bertemu di pesta pertunangan Benjamin.
***
Berendam dengan kondisi sebelah bahu yang terluka dan masih dalam proses penyembuhan sungguh membuat Allison cukup kesulitan untuk membenamkan tubuhnya ke dalam air hangat beraroma mawar. Ia tidak terkejut dengan ketidaknyamanan ini karena sebelum gadis itu menjadi sosok seperti sekarang, dia sudah pernah merasakan betapa perihnya air menyentuh kulit penuh luka—sangat menyakitkan hingga menangis pun percuma.
Allison memejamkan mata, menikmati sensasi hangat memijat seluruh tubuh dan aroma mawar memanjakan indra penciumannya. Namun, dalam diam gadis itu berpikir—menyesal—mengenai tindakan yang membuat Luke masuk terlalu jauh ke kehidupannya. Jujur saja, Allison tidak ingin kembali menjadi sosok lemah itu dan semalam ia hampir melakukannya di hadapan Luke, hanya karena pria tersebut mengatakan hal yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Perkataan sederhana. Namun, terdengar tulus bahkan tidak ada kebohongan dari setiap kata yang terlontar di bibir Luke.
Allison menyentuh perban yang membalut luka jahit hasil pekerjaan Luke kemudian bergumam, meyakini diri sendiri bahwa dia dilarang untuk melebihi batas yang hanya bisa menghancurkan dirinya sendiri.
"Allie, apa kau baik-baik saja?" Suara Luke terdengar dari balik pintu kaca tertutup embun hasil uap air hangat di kamar mandi.
"Stop," perintah Allison dengan nada tegas ketika ia sadar bahwa Luke ingin bergabung dengannya. "Tunggu di sana." Allison bangkit dari bathtub kemudian mengenakan bathrobe tanpa berniat merapikan gulungan rambutnya yang tampak sedikit basah terkena air.
"Hi," sapa Luke lembut dan sebuah senyum hangat menyambut Allison ketika gadis itu membuka pintu kaca kamar mandi.
Allison tidak merespon dan hanya mengisyaratkan Luke untuk mengikutinya.
Pertanda bahwa Allison telah kembali menjadi sosok sebenarnya dan yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi bagi Luke.
Tentu saja Luke menurut dan kembali mencoba untuk menyelami isi pikiran Allison serta perubahan sikapnya, hingga gadis itu duduk di sofa kulit berkualitas tinggi kemudian mengambil tas tangan berukuran sedang yang tergeletak di sana.
Allison mengeluarkan cek lalu menandatanginya, tanpa menulis nominal angka di sana. "Ambil dan tulis angka yang kau inginkan." Allison menyerahkan cek tersebut ke arah Luke, tanpa memedulikan bahwa ekspresi pria itu berubah. "Kau telah merawatku kemudian bekerja lebih dari semestinya." Merasa diabaikan Allison memutuskan untuk meletakkan kertas tersebut di atas meja kaca lalu segera bangkit dari tempatnya.
Sepuluh detik pertama, Allison tidak mendengar atau bahkan merasakan respon dari Luke ketika ia memberikan cek berisi tanda tangannya yang bisa pria itu isi dengan angka sesuai keinginannya.
Lima detik kedua, Allison masih tidak memedulikan kehadiran Luke dan memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya memilih pakaian yang akan ia gunakan untuk pergi ke tempat eksekusi.
Dan lima detik selanjutnya, semua berubah, bertepatan ketika Allison memutar tubuh menghadap ke arah Luke.
Luke tampak tersinggung dengan ekspresi yang tidak pernah dilihat Allison sebelumnya. Tangan kanannya memegang gumpalan lembaran cek sebagai pelampiasan kemarahannya. "Allie, What did you saw?" Dan secara menakjubkan Luke masih bisa berbicara normal seakan tidak terjadi apapun. "Jika kau hanya ingin melakukan hal ini, maka utuslah orang lain yang sama sekali tidak memedulikanmu dan hanya bersamamu karena kepentingan mereka."
Luke menarik napas sejenak lalu mengembuskannya. Ia menatap Allison dengan tatapan sendu seakan tidak percaya bahwa Allison memandangnya sama seperti orang-orang yang hanya memanfaatkan gadis itu. "Bukankah ini yang kau pikirkan mengenai orang-orang yang berbuat baik padamu? Allie, kau tidak sepenuhnya benar."
Allison tidak menunjukkan ekspresi apapun selain menatap Luke dengan datar. "Kembali ke kamarmu dan kita akan segera pergi. Akan kutambahkan bayarannya jika uang saja masih kurang untukmu," ungkap gadis itu, sambil mengambil gumpalan kertas di tangan kanan Luke lalu membuangnya di tempat sampah.
Dengan langkah anggun, Allison mengambil map cokelat berisi surat perjanjiannya bersama Luke di dalam laci nakas lalu memberikannya kepada pria itu sembari berujar, "Kau melanggar beberapa peraturan dan semua peraturan memiliki tingkat hukuman yang sesuai. Pelajari lalu bersiaplah untuk menerima ganjarannya."
"Allie, you should know that I love you," ucap Luke lirih. Sebenarnya ia tidak terluka dengan sikap Allison, tetapi rasa kecewa tiba-tiba menghampiri pria itu.
Luke sadar dia jatuh cinta pada sosok yang tidak bisa menganggap ketulusan seseorang sebagaimana mestinya karena Allison telah terlanjur tidak bisa memercayai orang lain.
Luke tahu semua ini memiliki keterkaitan dengan sisi yang tidak sengaja ia lihat pada diri Allison malam itu.
Seakan mengabaikan kehadiran Luke, tanpa rasa malu Allison membuka bathrobe-nya membiarkan pemandangan tersebut kembali tersaji di hadapan pria itu.
"Perasaan itu hanya untuk orang-orang lemah dan percayalah, perasaan yang kau sebut cinta akan melemahkanmu suatu saat nanti," ungkap Allison, membiarkan bathrobe itu masih tersangkut di kedua sikunya. "Kau butuh menyimak kembali peraturan dari perjanjian kita, Luke, karena kapan saja—"
Ucapan Allison terputus ketika Luke merobek amplop cokelat berisi surat perjanjian mereka berdua dan suara kertas yang disobek berhasil mengalihkan perhatian gadis itu.
Allison tercengang. Satu-satu sosok di bawah kendalinya hanya Luke yang berani merobek bahkan menentang banyak perjanjian di kertas itu dan hanya Luke yang menyadari sisi tersembunyi itu.
Allison menatap sepasang mata cokelat Luke, mencari tahu apa yang dipikirkan pria itu setelah merobek kertas perjanjian mereka. Tidak ada rasa takut atas kehilangan keluarga atau nyawa, bahkan tidak ada rasa penyesalan di sana. Allison hanya menemukan tatapan penuh kekecewaan, kehangatan, dan ketulusan melebur jadi satu.
Logika gadis itu kembali berkerja mengatakan bahwa semua itu hanya akan menjadi kelemahan besar. Siapa pun adalah musuhnya dan tidak ada satupun di dunia ini yang bisa dipercaya, selain dirinya sendiri.
"Aku tidak membutuhkan dan sedikit pun tidak merasa takut dengan peraturan di dalam kertas ini, Allie, karena kau tahu aku mempercayaimu dan sekali lagi, I love you so much it's drag me wherever you walk."
Luke menyerahkan sobekan amplop cokelat tersebut dan membiarkan Allison terus menatapnya. Ia tidak peduli dengan arti dari tatapan tersebut karena yang dia pedulikan sekarang adalah menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja sesuai prosedur tanpa mengingat kejadian ini.
________
TBC
Setelah melihat sikap Allir terhadap Luke, apa yang sekarang kalian pikirkan? Sakit hati kah? Marah kah? Atau suka sama sikap lemah lembut Luke yang sabarnya gak ketulungan?
Dimohon dengan sangat respon kalian ya. Terima kasih banyak karena sudah meluangkan waktu untuk membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro