Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 04 - Talking

Song: Sleepwalking - Bring Me The Horizon

Don't forget to follow my instagram @augustin.rh cause I'll share some secret and fact there. Also you can request something about this story and I'll post there. See you soon, happy reading ^^ 

*** 

Pagi-pagi sekali, Allison memutuskan untuk kembali ke New York dengan menggunakan helikopter pribadi, akibat kesalahan kecil di kawasan Timur Tengah yang hampir membuat namanya menyeruak ke media massa sebagai salah satu pebisnis Amerika Serikat pendukung Iran dalam konflik Yaman, padahal secara resmi perusahaannya berada di bawah naungan pemerintah telah memberikan dukungan berupa logistik kepada pemerintah Yaman dan menjadi rekan Arab Saudi. Kesalahan yang hampir membuat nama Allison Franklin berubah sebagai seorang pengkhianat dan label sebagai dewi kemanusiaan di mata dunia pun akan turut menghilang, jika masalah tersebut terkuak ke media massa.

Di kursi berwarna putih, Allison menyandarkan tubuh lalu mengembuskan napas. Ia sedikit lelah. Namun, juga menikmatinya karena bagi gadis itu menjalankan bisnis kemanusian demi memberikan bantuan tidak harus melihat pihak mana yang akan mereka tolong. Manusia berhak menerima keadilan dan di sinilah perusahaan Allison bekerja membantu siapa saja yang pantas dan ingin menyelamatkan negara, sehingga Yaman yang dalam hal ini adalah salah satu negara penerima dampak Arab Spring, berhasil menjadi pilihan Allison untuk menyalurkan kemurahan hatinya.

Sayangnya, Allison tidak menyangka, bahwa masih ada orang-orang yang menyalahgunakan atau mencoba menjebak perusahaannya dengan diam-diam menyerahkan dana besar atas nama salah satu rekan bisnis yang memiliki keterkaitan erat dengan Allison untuk memfasilitasi pemberontakan Houti, padahal sudah jelas bahwa perusahaan gadis itu telah menyalurkan bantuan atas nama Pemerintah Amerika Serikat.

Menghancurkan nama orang lain dengan mengabarkan berita tidak benar adalah tindakan manusia rendah. Batin Allison, sembari mengusap kening akibat rasa lelah yang menghampirinya, terutama setelah ia menerima kabar buruk tersebut.

"Mengatakan bahwa seorang Allison Franklin memiliki peran dalam penjualan senjata kepada para pemberontak Houti, sementara sudah jelas dia memberikan bantuan kepada Pemerintah Yaman. Jesus! Jiwa bisnisku tidak semunafik itu, meski kenyataannya beberapa pebisnis melakukan hal demikian." Allison memang tidak memungkiri kenyataan bahwa manusia, terutama para pebisnis akan menjadi buta jika telah mendewakan kekuasaan dan keuntungan karena secara naluri, mereka memiliki pemikiran apabila membuat kedua belah pihak terus bertikai, maka pintu keuntungan berlipat ganda pun senantiasa terbuka. Alih-alih sebagian dari pebisnis munafik akan berujar, bantuan tersebut sebagai bentuk perlindungan kemanusian, padahal tidak demikian sebab secara diam-diam mereka juga berperan dalam penjualan senjata sekaligus berusaha memperkuat pengaruh di negara berkonflik, melalui topeng malaikat.

Allison memang sangat realistis dalam memainkan panggung sandiwara kehidupan dan bisnis, tetapi bukan berarti dia akan ikut serta dalam pengkhianatan tersebut karena sebenarnya gadis itu sangat berhati-hati dalam bertindak serta menjaga nama baik sebagai Dewi Kemanusiaan.

"Seperti itulah dunia berbicara dan yang terkuat akan berkuasa. Musuh bisa menjadi teman, teman bisa menjadi musuh. Perumpamaan termanis untuk saat ini," ujar Allison, sambil menyesap kopi.

Allison tersenyum miring, bahkan senantiasa terpacu untuk mengalahkan mereka setiap kali mengingat strategi licik dari para pebisnis haus kekayaan dan kekuasaan dalam meraup keuntungan maksimal melalui konflik. Namun, sayangnya hingga saat ini Allison masih mengalami kesulitan dalam memberikan bantuan kemanusiaan ke Yaman akibat keterbatasan akses di laut, udara, dan darat, terutama bandara internasional Sana'a yang kini dikuasi oleh pemberontak Houti. Sejak awal gadis itu bisa menebak bahwa semua ini adalah hasil dari permainan para pebisnis kotor.

Membuka laman google, Allison mencari artikel mengenai pemberitaan internasional dan mengklik salah satunya kemudian membaca dengan ekspresi tak terbaca, "Dewan Keamanan PBB mengancam akan mengajukan gugatan mengenai kejahatan perang yang dilakukan Arab Saudi di Yaman." Seketika Allison tertawa kecil setelah membaca deretan kalimat tersebut. Ia mengetahui bahwa hal tersebut sangatlah mustahil karena Arab Saudi memiliki pengaruh dalam bantuan finansial di PBB, terlebih Amerika Serikat yang berdiri di belakang Arab Saudi adalah negara anggota tetap di Dewan Keamanan PBB.

"Naif sekali, bukankah kalian sadar bahwa tidak mungkin melakukan hal tersebut karena yang bisa kalian lakukan hanyalah sekadar bantuan kemanusiaan, itu pun jika kalian berhasil membuka akses di bandara Sana'a." Allison menutup laman tersebut kemudian mengalihkan perhatian pada email yang dikirim dari salah satu pekerjanya di Iran—seseorang yang dengan ceroboh hampir membuat nama Allison Franklin terekspos ke media sebagai pengkhianat negara dan lembaga kemanusiaan. Namun, saat itu juga wajah Allison menegang sehingga buru-buru ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

"Yes, Miss."

"Wells Graham. Lima menit, empat puluh delapan jam." Terdengar nada dingin pada suara Allison untuk seseorang di seberang sana dan dalam hitungan detik orang tersebut langsung menyetujui perintah Allison.

Panggilan terputus dan saat itu juga data riwayat panggilan tidak terdeteksi, begitulah Allison menjaga nama baiknya. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan kesalahan sekecil apa pun, sehingga melenyapkan adalah jalan terbaik, selagi memang sudah tidak dibutuhkan. Begitu pula dengan pria malang bernama Wells Graham yang sisa hidupnya hanya tersisa empat puluh delapan jam akibat kecerobohan dalam menjalankan tugas di Brazil, hingga harus tertangkap oleh petugas perbatasan.

Tanpa menunggu lama Allison segera mengambil tasnya kemudian melangkah pergi sekadar menenangkan pikiran, akibat permasalahan di Iran dan Wells Graham yang hampir menghancurkan namanya.

"Sungguh tidak bisa diandalkan. Kirimkan data Wells Graham kurang dari lima menit," perintah Allison tanpa memandang Amanda yang terkesiap karena permintaan yang begitu tiba-tiba.

"Yes, Miss." Buru-buru Amanda membuka file confidential perusahaan dan mencari data milik Wells Graham kemudian mengirimkannya pada salah satu pekerja Allison yang bertugas sebagai eksekutor. Setiap kali melakukan hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Amanda selalu merasa bersalah karena secara tidak langsung ia juga terlibat dalam rencana pembunuhan.

Amanda mengembuskan napas dan seakan teringat sesuatu, ia segera berucap sebelum Allison pergi jauh meninggalkan kantor. "Miss Franklin, Anda memiliki jadwal wawancara bersama majalah perempuan dan anak dua jam lagi."

"Aku mengerti. Siapkan ruangan." Tanpa menatap ke arah Amanda, Allison kembali melangkah. Namun, tertahan karena Amanda memanggilnya lagi.

"Miss Franklin, apa Anda serius mengenai hal ini? Maggie adalah salah satu pekerja terbaik ...." Ucapan Amanda menggantung ketika Allison memutar tubuh dengan tangan di atas dada—tatapan gadis itu semakin menegas membuat siapa pun akan terintimidasi.

"Apa aku pernah terlihat tidak serius? Kau mengenalku, Amanda Jhonson." Allison mengenakan sunglasses-nya kemudian pergi menuju lift, meninggalkan Amanda dalam kondisi terdiam atas jawaban yang diberikan Allison.

***

Luke baru saja sampai di Franklin's Corporation, ia tidak menyangka bahwa adiknya—Maggie, telah bekerja di sini selama setahun tanpa sepengetahuan pria itu dan hari ini, Luke harus menemui sang adik untuk memperingatkan bahwa tidak seharusnya Maggie bekerja di sini.

Sebenarnya, Luke lebih suka jika Maggie bekerja di kantor Paman Sam karena menjadi pekerja di tempat keluarga sendiri akan membuat Luke mudah memantau atau menjaga Maggie. Bagaimanapun, pria itu masih menganggap Maggie seperti anak kecil, meski usianya telah mencapai dua puluh lima tahun.

Pintu lift terbuka dan mata Luke langsung terarah pada gadis berambut dark blonde—ia sudah tahu bahwa gadis itu adalah Allison, meskipun pembawaannya telah berubah menjadi sosok pemimpin tegas dan mendominasi.

"Senang bertemu denganmu lagi, Allie," sapa Luke ketika Allison melangkah keluar lift—sengaja menggunakan nama depan agar gadis itu menyadari keberadaannya.

"Jaga sopan santunmu." Hanya itu yang diucapkan Allison tanpa menoleh dan sibuk dengan ponsel tertempel di telinganya.

Luke mengembuskan napas karena Allison mengira dirinya sebagai salah satu karyawan perusahaan. Menyedihkan, kata yang tepat untuk mengatakan kondisi ini. Setelah beberapa saat memandang punggung gadis cantik itu akhirnya Luke tersadar kembali tentang tujuannya datang ke tempat ini, sehingga tanpa membuang waktu ia segera memasuki lift kemudian menekan angka sepuluh—lantai tempat Maggie berada.

"Setidaknya kau harus melihat lawan bicaramu, Allie." Luke tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala perlahan setelah mengingat bagaimana ekspresi Allison di acara dansa, pesta pertunangan Benjamin—sangat berbeda dengan hari ini—mungkin akan berubah lagi jika Luke benar-benar masuk ke kehidupan gadis itu.

Entah ini keberuntungan atau tidak, jika ada yang mencintai seseorang dengan beberapa kepribadian.

***

Tidak perlu ruang VIP jika Allison berkunjung ke kafe Ledburry, karena siapa pun tentu sudah terbiasa dengan kehadirannya di sini. Sebuah kafe dekat Franklin's Corporation yang sebagian sahamnya adalah milik Allison—bisnis sampingan—itulah dipikiran Allison ketika ia memilih menanamkan modal pada bisnis kecil seperti ini—kecil dalam ukuran Allison. Namun, cukup besar bagi masyarakat umum.

Allison mengembuskan napas, sambil mengusap cangkir mocha latte sekadar menghangatkan kedua tangan yang terasa dingin. Ekspresi gadis itu berubah, tampak sangat bersahabat hingga membuat siapa pun akan merasa nyaman untuk menegur atau melayaninya. Begitu berbeda dengan mimik Allison saat ia berada di kantor dan menghadapi para pekerjanya.

"Miss Franklin, anak saya adalah penggemar Anda. Jika tidak keberatan, boleh saya meminta untuk foto bersama?" Seorang wanita paruh baya menegur Allison yang sedang membaca majalah—tanpa memperlihatkan ekspresi canggung karena sedang berhadapan dengan sosok terkenal dan berpengaruh di mata internasional.

Allison tersenyum kemudian mengangguk. "Tentu, mendekatlah agar aku bisa memelukmu, Sweety."

Sambil memeluk gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun, mereka berdua menatap ke arah kamera ponsel kemudian tersenyum lebar. Beberapa gambar diambil oleh sang ibu dan tidak lupa Allison juga mengambil kamera digital di dalam tas tangannya kemudian meminta salah seorang pelayan untuk mengambil foto mereka bertiga.

Tentu pemandangan tersebut menghasilkan decak kagum para pengunjung, maupun karyawan kafe Ledburry. Mereka saling mengatakan bahwa Allison memang tipe gadis rendah hati, berjiwa sosial, dan ramah. Sungguh sosok idaman yang akan dicintai masyarakat atau bahkan dunia.

"Sedang beramah-tamah dengan para fans, Miss Franklin?" tanya seseorang yang berhasil mengalihkan perhatian Allison ketika gadis itu sedang memandang ke arah jendela mengikuti kepergian ibu dan anak tersebut.

"Mr. Maxime." Ekspresi hangat terpancar dari wajah Allison. "Tidak kusangka akan bertemu denganmu lagi. Apa kau sedang ada keperluan di sekitar sini?" Sambil menyesap mocha latte-nya, Allison mencuri pandang ke arah Luke yang dia tahu tidak berhenti menatapnya.

Tatapan seakan sedang menyelidik. Namun, berusaha untuk disembunyikan—Allison tahu itu terutama setelah ia membaca daftar riwayat Luke.

"Boleh aku memanggilmu Allie, karena kau tahu ...." Luke memutuskan untuk tidak melanjutkan kalimatnya dan menunggu tanggapan Allison.

"Silakan, kau adalah sahabat Benjamin. Aku akan memanggilmu Luke, jika itu membuatmu nyaman." Allison memutuskan untuk berbicara normal—belum waktunya untuk melakukan negosiasi demi mendapatkan Luke sekarang. Namun, Allison sudah memiliki kartu as dalam hal ini dan dia akan menggunakan kartu tersebut di saat yang tepat.

Luke menyesap kopi ketika pelayan meletakkan kopi pesanannya di atas meja lalu dengan nada ramah ia berkata, "Tidakkah kau lelah dengan semua ini, Allie? Maksudku, hari ini kau tampak berbeda."

"Sungguh?" Tawa pelan terdengar dari bibir Allison. "Kupikir hanya perasaanmu saja, Luke. Apa kau tidak bekerja?" Kali ini Allison mencoba memancing kejujuran pria di hadapannya.

"Yeah, mungkin dan mengenai pekerjaan, aku sedang dalam masa libur." Luke memainkan jari-jarinya di atas meja, membuat Allison mengamati jemari tersebut lalu kembali menatap pria itu. "Kau memang wanita yang berbeda, Allie."

Allison mencondongkan tubuhnya, memperdekat jarak mereka berdua seakan ingin menggoda Luke. "Apa yang kau pikirkan tentangku, Luke? Kupikir kau telah mengenalku sebagai dewi kemanusiaan. Kau bilang, kita bahkan pernah bertemu di Afrika Barat, bukan?"

Pertanyaan jebakan, itulah yang dipikirkan keduanya karena setiap perkataan dari Luke akan dinilai oleh Allison, begitu pula dengan Luke. Ia mengetahui bahwa jika jawabannya membuat Allison merasa tidak nyaman maka, mungkin saja Allison tidak akan bersikap manis seperti sekarang—diam-diam Luke memahami bagaimana cara berpikir kaum realis, terutama saat mereka dalam keadaan tidak aman.

Biasanya kaum realis akan memberikan pertanyaan terselubung untuk menilai, apakah hal tersebut sebagai suatu ancaman atau tidak lalu memutuskan tindakan apa yang harus mereka lakukan demi menjaga keamanan diri.

Luke mengembuskan napas, menyesap kopinya lagi lalu tersenyum. "Semua orang akan setuju jika aku mengatakan kau cantik. Media juga akan setuju jika aku mengatakan kau berjiwa sosial karena dengan mudah memberikan dana besar untuk menolong sesama. Namun, aku tidak tahu apakah ada yang setuju jika aku mengatakan bahwa semuanya adalah sandiwara karena kau memiliki kepentingan di sana?" Luke menaikkan sebelah alisnya setelah melihat ekspresi Allison yang tidak menunjukkan rasa cemas sedikit pun.

Gadis ini benar-benar pemain handal. Artikel-artikel penuh tipuan dan tidak banyak yang menyadari sandiwaranya.

Mereka berdua saling bertatapan untuk beberapa saat, hingga akhirnya Allison tersenyum dan menikmati kembali mocha latte-nya. "Aku tidak mengerti mengapa kau selalu mengatakan bahwa aku sedang melakukan sandiwara, tapi hal itu membuatku tertarik dan ingin mengenalmu lebih dekat, Luke."

Tidak ada yang tahu, bahwa Allison sekali lagi merasa tertarik karena mungkin saja Luke melakukan analisis terhadap pekerjaannya dan sewaktu-waktu akan menggiring dirinya ke ranah hukum. Allison menggenggam ponsel, sambil sesekali membaca raut wajah Luke mencoba mencari tahu sejauh apa tingkat ancaman yang akan ditimbulkan pria ini.

"Kau tertarik dan bisa saja ini menjadi ancaman bagiku, Allie. Satu saranku jika kau ingin mendengarnya." Luke berhenti sejenak, sekadar untuk menatap mata Allison dengan penuh kasih. "Bersikap tuluslah, kau tahu bahwa manusia hidup saling berdampingan dan pemikiran realis tidak akan membawa kedamaian."

Kau telah melampaui batas untuk menganalisis diriku, Luke. Ekspresi hangat dan bersahabat terpancar pada diri Allison. Gadis itu mengulurkan tangannya—mengajak Luke untuk berjabat tangan.

"Kau salah menilaiku, Luke. Selama ini yang kulakukan adalah tulus karena aku tidak menyukai penderitaan. Aku harus segera kembali dan kuharap kita akan bertemu lagi senang berbincang denganmu," kata Allison sambil melepaskan genggaman dan mengambil tas tangannya.

"Ya, pasti." Luke tersenyum ramah. "Mau kuantar?"

Basa-basi. Itulah yang dipikirkan Allison sehingga dengan nada lembut gadis itu menolak tawaran Luke lalu pergi meninggalkan kafe.

Kau telah melampaui batas, Mr. Maxime. Batin Allison, ketika ia berada di luar kafe Ledburry kemudian setelah yakin bahwa situasi di sekitarnya aman, gadis itu mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Check your email. Make sure you do it well." Perintah itu Allison katakan dengan penuh penekanan. Seringai keji bahkan mulai terbentuk seiring dengan langkahnya meninggalkan area kafe dan membaur dengan para pejalan kaki untuk kembali menuju kantor.

_________
TBC

Pembacaku yg tercinta, terhormat dan tersayang, sebagai salah satu bentu dukungan kalian please berikan tanggapan kalian berupa vote dan komen. Terima kasih. 😆😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro