Chapter 02 - Luke Maxime
Song: Come Fly With Me - Frank Sinatra
Follow my Instagram @augustin.rh to know more about this story cause I like to share everything there and some secret about this
***
Pria sejati tidak akan membutuhkan seorang bodyguard atau driver yang akan selalu mendampingi ke mana pun mereka pergi karena seorang pria sejati selalu bisa melindungi diri sendiri. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Luke Maxime ketika ia baru saja sampai di pesta pertunangan mewah milik sahabatnya saat berada di Aleppo—Benjamin Franklin—pada tugas perdamaian dunia. Namun, dengan naungan lembaga yang berbeda.
Luke tidak menyangka bahwa sahabatnya ini adalah salah satu dari deretan keluarga terkaya di dunia. Hal yang wajar ketika beberapa hari lalu Luke mendapatkan undangan pertunangan lengkap dengan setelan tuxedo mahal serta semua akomodasi dan transportasi selama di Seattle.
"Kau menipuku dengan perangai kesederhanaanmu, Dude." Luke tersenyum kecil setelah menapakkan kaki pada karpet merah yang tergelar hingga menuju pintu rumah keluarga Franklin.
Gerbang selebar dua orang dewasa berhiaskan ribuan mawar putih dan cahaya lampu remang-remang pun tampak memanjakan mata Luke, bahkan tanpa sadar ia sempat berdecak kagum dengan konsep pesta yang menurutnya begitu menenangkan dan berkesan mewah.
Tidak jauh dari gerbang, ia juga melihat dua orang wanita cantik sedang memeriksa kartu undangan para tamu bahkan beberapa petugas kepolisian juga turut berjaga di luar pesta. Luke memaklumi hal tersebut karena tentu saja akan banyak sekali orang berpengaruh yang akan ia temui di sini.
"Mr. Luke Maxime," ucap seorang gadis berambut gelap, sambil mengembalikan kartu undangan serta menyematkan korsase bunga sebagai cendra mata di tuxedo Luke. "Welcome and enjoy the party."
Luke mengangguk sembari membalas senyum gadis itu kemudian melanjutkan langkahnya di antara para tamu yang lain.
Memasuki rumah keluarga Franklin, Luke langsung mendapatkan sambutan dari Benjamin yang tampak begitu tampan dengan setelan tuxedo putih. Tidak ketinggalan pula dua gelas berisi anggur Le Montrachet DRC 1978 milik Luke dan Benjamin terlihat saling bersentuhan sebelum mereka membuat obrolan-obrolan konyol khas lelaki.
"Aku sudah menduga bahwa kau akan cocok dengan tuxedo ini. Kau tahu, desainer adikku yang memilihkannya untukmu." Benjamin memukul punggung Luke, sambil tersenyum lebar seakan lupa bahwa beberapa hari lalu sempat terjadi perdebatan kecil antara dua pria tersebut mengenai paket kartu undangan pemberian Benjamin—saat itu Luke mendesak untuk mengembalikan barang-barang kiriman Benjamin dengan alasan tidak perlu berlebihan karena ia pasti akan datang. Namun, Benjamin malah bersikeras menolak usulan Luke.
"Di mana tunanganmu? Aku belum mengucapkan selamat dan mengatakan pada gadis itu agar bisa lebih sabar dalam menghadapi sifat kekanakanmu." Luke menatap dengan tatapan mengejek ke arah Benjamin kemudian menyesap sedikit anggur Le Montrachet DRC 1978 di gelasnya. "Oh, ayolah, apa kau takut tunanganmu akan jatuh cinta padaku?" Setelah menyadari sikap enggan dari Benjamin, refleks Luke tampak ingin menggoda pria tersebut melalui kisah masa lalu mengenai mantan kekasihnya, yaitu ketika mereka berdua bertugas bersama di Aleppo.
Seorang mantan kekasih, bermula dari cinta lokasi, tetapi berakhir tidak menyenangkan. Kath—mantan kekasih Benjamin—seorang perawat yang mana mereka berdua bertemu dalam satu lembaga kemanusiaan swasta, yaitu ICRC di konflik internal Aleppo—telah berhasil menipu Benjamin dengan seorang pria berkulit hitam dan bahkan memiliki anak—saat itu juga Benjamin benar-benar patah hati dan Luke yang mengetahui hal tersebut malah menertawakannya, sebab Benjamin mengatakan hal konyol bahwa pria berkulit hitam memang lebih maskulin dibanding pria berkulit putih.
Ucapan kekanakan yang sontak membuat Luke selalu menertawakannya.
"Berhentilah mengolokku, Luke. Itu sungguh bodoh dan aku menyesalinya, kau tidak tahu betapa ... damn it." Benjamin mengambil gelas anggur di tangan Luke lalu menghabiskannya. "Kau tahu, Diana adalah wanita anggun dan cantik yang pernah kutemui, jadi jangan sampai kau jatuh cinta padanya atau akan kujadikan kau sebagai bahan eksperimenku." Benjamin tidak berminat melanjutkan kisah masa lalunya bersama Kath karena tiba-tiba tatapan pria itu tertuju pada gadis cantik bergaun putih dengan hiasan beberapa butir batu berkilau di sekitar bahunya.
"Selera yang bagus, hanya saja sayang sekali karena dia ditakdirkan untuk jatuh cinta padamu, padahal kau masih begitu kekanakan."
Benjamin memicingkan mata. "Ya, ya, neraka akan berubah menjadi dingin jika kau menganggapku sebagai pria dewasa, Tuan Tentara. Kuakui kau memang sangat berkharisma bahkan ketika kau melepaskan baju angkatanmu, tapi aku juga punya hal memalukan tentang dirimu." Kali ini Benjamin menaikkan sebelah alisnya, sambil tersenyum lebar seakan memenangkan taruhan pacuan kuda senilai 4,5 juta Dollar.
"Aku tidak akan segan untuk membunuhmu, Ben." Hanya itu yang diucapkan oleh Luke dengan nada rendah seakan mengancam bahwa ia tidak sedang main-main. Namun, Benjamin tahu bahwa Luka hanya sekadar bercanda sama seperti dirinya.
Ditengah obrolan Luke dan Benjamin, tampak Diana menghampiri dan menepuk pundak tunangannya kemudian tidak lupa gadis pirang itu melemparkan sebuah senyuman untuk Luke.
"Oh, hi, Babe, ini Luke Maxime, sahabat sejak aku ditugaskan sebagai anggota medis ICRC di Aleppo." Benjaman memeluk pinggang Diana lalu mencium pipi gadis itu singkat.
Luke hanya mengedikkan bahu, memaklumi sepasang pria dan wanita yang sedang dimabuk asmara untuk bermesraan sejenak, sebelum menyadari bahwa ada orang lain bersama mereka.
"Hi, Luke. Diana, senang bertemu denganmu dan kuharap kau tidak keberatan jika aku memanggil nama depanmu karena ... kau sahabat Ben." Diana tersenyum manis, sambil menjabat tangan Luke, serta memberikan ciuman pipi sebagai bentuk sapaan hangat.
"No problem. Kau bahkan memperkenalkan diri dengan nama depanmu. Hanya saja kuperingatkan agar kau bisa lebih bersabar dalam menghadapi Ben."
Mendengar peringatan Luke, refleks Diana tertawa renyah lalu mencium bibir Benjamin. Ciuman penuh kasih di saat yang berbahagia untuk mereka berdua dan Luke merasa bahwa dirinya sedikit mengganggu. Namun, tidak disangka-sangak sesuatu telah mengalihkan perhatiannya.
Di meja bagian dessert, di antara kumpulan dua pria tampan dan tiga wanita cantik, tetapi hanya satu wanita yang menarik perhatian Luke. Untuk saat ini Luke akan memberikan julukan wanita cantik itu sebagai Dewi Artemis—konyol sekali menjuluki seseorang dengan nama demikian. Namun, ia tidak tahu harus bagaimana menyebut sosok tersebut—begitu cantik, suci, dan ramah.
Beberapa saat mengamati gadis itu, Luke merasa bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya, tetapi di waktu bersamaan, dia juga tidak bisa mengingat kejadian tersebut. Aneh sekali bagi Luke karena ia tahu bahwa dirinya memiliki daya ingat yang luar biasa.
"Allison! Apa kau tidak ingin mengucapkan kata-kata indah atau sekadar berpidato untuk hari pertunanganku?!"
Teriakan Benjamin hampir membuat beberapa tamu undangan menatap ke arah mereka: Luke, Diana, dan Benjamin—Allison juga karena siapa pun di pesta ini pasti mengenalnya—tindakan yang cukup memalukan serta kekanakan untuk seorang pria dewasa seperti Benjamin.
Secepat kilat Luke menatap ke arah Benjamin, ia tidak peduli dengan sikap memalukan pria itu barusan. Berbeda sekali dengan reaksi Diana yang langsung menyembunyikan wajahnya di pundak Benjamin—wanita itu tampak malu atas tingkah spontan tunangannya.
"Allison?" tanya Luke dengan nada berbisik.
Benjamin mengangguk, masih dengan senyum lebar tanpa rasa bersalah karena telah menarik perhatian dengan sikap kekanak-kanakannya. "Aku melihatmu menatapnya, jadi akan kukenalkan."
Allison melangkah anggun menghampiri Benjamin, Diana, dan Luke. Tidak ada yang tahu bahwa ia ingin sekali melenyapkan pria kekanak-kanakan di hadapannya ini. Namun, bukan Allison Franklin jika dia tidak bisa menyembunyikan kekesalan tersebut di depan umum dengan tetap tersenyum ramah nan bersahabat demi mempertahankan label yang telah ia peroleh.
Dewi kemanusiaan—label yang berhasil mengembangkan bisnis sampingannya menjadi lebih besar dan terus meluas hingga hampir ke seluruh dunia.
Luke menatap ke arah gadis bernama Allison yang sebelumnya ia beri julukan sebagai Dewi Artemis. Syukurlah, Luke tidak harus menggunakan julukan tersebut lebih lama lagi karena akan sangat memalukan jika seseorang mengetahui hal itu—Luke melabeli dirinya sebagai pria tidak romantis, sehingga memanggil dengan nama demikian membuatnya ingin muntah saat itu juga.
Gaun berwarna byzantium dengan hiasan beberapa manik di bagian dada dan membiarkan bahu serta punggung terbuka, tampak sangat indah dengan rambut dark blonde gadis bernama Allison. Sorot mata bersahabat, kebaikan, bahkan keramahannya begitu menyatu sempurna dalam bola mata hazel Allison.
Sejenak mengamati Allison, Luke menganggap bahwa hampir semua pria memperhatikan gadis yang sedang membisikkan sesuatu ke telinga Benjamin. Ia sadar bahwa rasa yang telah hilang kini kembali lagi. Namun, Luke masih berusaha mengingat wajah cantik itu karena dia yakin bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya, entah di mana—Luke tidak bisa mengingat dan mengutuk hal tersebut.
"Luke, dia adikku, Allison Franklin." Benjamin tertawa pelan lalu kembali melirik ke arah Allison. "Aneh rasanya menyebutkan nama keluarga sendiri, terutama di depan sahabat dekatku."
Sebuah cubitan pelan bersarang di pinggang Benjamin dan serangan tersebut berasal dari Diana yang sadar bahwa kekasihnya akan membuat suasana menjadi buruk sebentar lagi.
"Kau sudah merepotkan adikmu di tengah kesibukannya jadi jangan coba menggoda dia," bisik Diana tepat di telinga Benjamin.
Benjamin mengangguk lalu segera menatap ke arah Allison yang sedang menikmati martini-nya sambil memainkan ponsel dengan gerakan jari yang begitu cepat. "Dan Allie, dia Luke sahabatku sejak aku bertugas di Aleppo."
Allison tampak sedikit tidak peduli dengan keberadaan Benjamin, Diana, dan Luke. Namun, sesaat ia mengalihkan pandangan ke arah Luke sekadar untuk tersenyum kemudian mengatakan, "Hi, nice to meet you."
"Nice to meet you too, Miss. Franklin ...." Ucapan Luke menggantung ketika Allison kembali mengalihkan pandangan pada layar ponselnya yang tiba-tiba berdering.
Buru-buru Allison tersenyum, menampakkan ekspresi meminta maaf karena harus pergi meninggalkan mereka untuk menerima panggilan. "Sorry, emergency call, I have to go for some minutes." Allison mencium pipi Diana dan Benjamin kemudian segera bergegas ke tempat yang cukup sepi.
"Allie, pastikan kau tepat waktu saat acara dansa." Diana mengangkat tangan kanan ke samping bibir, berharap agar Allison bisa mendengar pesannya karena gadis itu sudah berjanji akan berada di sini hingga pesta usai.
"Aku seperti pernah melihat adikmu, maksudku wajahnya familier." Luke masih menatap punggung Allison yang semakin lama semakin menghilang.
Benjamin dan Diana hanya saling bertatapan seakan sedang berdialog melalui kontak mata mengenai sikap pria tampan di hadapan mereka—Luke.
"Mengapa tidak kau cari tahu sendiri, Luke?" Diana mengerling, sambil menebarkan senyum penuh arti ke arah Luke.
"Aku merestuimu, Dude dan pria sepertimu pasti bisa menarik perhatiannya." Benjamin menggenggam tangan Diana lalu mencium punggung tangan gadis itu. "Kita harus pergi untuk menyapa tamu lain, Babe ... dan Luke, kuharap kau akan berpartisipasi pada acara dansa sebentar lagi."
Luke hanya diam karena itu pilihan yang menurutnya terbaik. Ia tahu bahwa Benjamin dan Diana mengira bahwa dia sedang memerhatikan Allison. Namun, tidak sama sekali, Luke meyakini bahwa hal tersebut sekadar rasa penasaran sebab wajah Allison tampak familier.
Luke mengalihkan pandangan pada penyanyi orkestra mini yang sedang menyanyikan lagu Come Fly With Me dari Michael Buble. Ia tersenyum tipis kemudian beranjak dari tempatnya menuju meja bagian dessert setelah mendapatkan segelas wine putih dari salah satu pelayan dan bergabung dengan para tamu yang mungkin saja dia kenal atau mengetahui siapa Allison Franklin.
Luke tidak memungkiri bahwa rasa penasaran mengenai Allison Franklin begitu menyiksa batin karena entahlah, dia juga belum mau memahami atau mungkin mengakuinya. Pikiran seorang pria dewasa memang terlampau hati-hati dan rumit karena seperti itulah yang dirasakan Luke Maxime.
_______
FYI:
ICRC : Komite Palang Merah Internasional, Lembaga kemanusiaan swasta yang berbasis di Jenewa, Swiss.
Byzantium: Kalau saya menyebutkannya warna ungu malam, tapi agak pucat.
Langsung ya, selamat pagi.
Gimana chap hari ini? Suka gak sama sosok Luke? Well, doi gak badboy doi anak baik, moga kebaikan doi bisa menyentuh hati kalian.
Btw karakter merek dua cucok tak?
And next chap kalau ada adegan dansa gimana? Gua spoiler wkwkw
Moga tetap suka ya, silakan kasih reaksi kalian.
Sampai ketemu besok pagi. ^^
Dan terima kasih marlin cz udah meramaikan lapakku, semoga kamu suka ya. 😆😆😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro