You Or You -- 8
Dinda mengerjapkan matanya menatap langit kamar yang terasa berbeda dengan yang ia lihat setiap hari. Mengernyitkan kening, mencoba berpikir dan mengingat hingga suara pintu yang tebuka menyadarkan pikirannya.
Denis masuk ke dalam kamar dan dilihatnya Dinda sudah bangun.
"Sudah bangun?" tanya Denis seraya mendekat ke arah Dinda tidur.
Segera saja Dinda yang menyadari di mana dia sekarang, buru-buru duduk. "Eh, iya," jawab Dinda malu mendapati dirinya yang bangun tidur ditatap Denis.
"Mau pulang ke rumah atau langsung ke sekolah?"
"Pulang saja. Aku harus ganti seragam. Ini kan baju kemaren." Sambil menunjuk bajunya.
"Ya sudah. Kamu sarapan dulu, aku sudah buatkan. Kamar mandi di sebelah sana dan aku tunggu di bawah," tutur Denis sambil menampilkan seulas senyum yang ditanggapi Dinda dengan anggukan.
Selepas Denis menutup pintu, Dinda bergegas menuju kamar mandi yang tadi ditunjukkan oleh Denis. Selesai mandi dengan masih memakai baju kemaren, dilangkahkan kakinya menuju ruang makan. Di sana, Denis sudah duduk menunggu memakai setelan kerja. Langkah Dinda yang terdengar membuat Denis segera menyilahkan duduk berhadapan dengannya.
"Aku tidak punya asisten rumah tangga. Hanya ini yang bisa kubuat untuk sarapan," ungkap Denis sambil menyodorkan setangkup roti berselai coklat.
"Aku makan apa saja nggak masalah kok hehehe," kekeh Dinda.
Selesai dengan roti tawar berselai cokelat, Denis mengantar Dinda pulang. Suasana pagi Ibu kota yang penuh sesak mewarnai perjalanan mereka. Sesampai di rumah, Denis bersikeras menunggu untuk mengantar Dinda ke sekolah. Meskipun Dinda mengatakan tidak usah namun apalah daya saat Denis malah bersantai duduk di teras rumah sambil membaca koran yang dibelinya saat perjalanan tadi.
Tak butuh waktu lama untuk Dinda berganti pakaian, mengambil tas dan merapikan kembali penampilannya di depan cermin, kemudian menghampiri Denis yang tengah menunggunya di luar.
"Sudah? Ayo kita berangkat!" Denis melipat korannya dan segera menuju mobil, membukakan pintu untuk Dinda. Sesaat sebelum Dinda benar-benar masuk, dilihatnya Rangga tengah memanasi motor di teras rumah.
Kejadian pagi yang sempat membuat jantungnya seakan melompat-lompat masih teringat jelas di ingatan Dinda. Sekilas Rangga menatap ke arah mobil atau lebih tepatnya kearah Dinda, meskipun ia sudah masuk ke dalam mobil.
♡♡♡
"Din, pulang jam berapa?" tanya Eri, teman satu sekolah Dinda.
"Bentar lagi masih ada RPP yang harus aku ketik," jawab Dinda tanpa menoleh karena pandangannya masih tertuju pada komputer inventaris sekolah yang tengah digunakannya.
"Ya udah aku pulang dulu, nanti kuncinya kasih ke Pak Dirman saja." Eri pun meninggalkan Dinda yang masih sibuk dengan RPP.
Dinda merasa lapar, saat perutnya dirasa sudah keroncongan. Tadi pagi ia hanya menikmati roti tawar dari Denis.
Drrttt...
Denis : Sudah pulang?
Dinda : Belum. Masih ada kerjaan.
Denis : Sampai jam berapa?
Diliriknya jam dinding berbentuk bulat yang terpasang di atas pintu kantornya.
Dinda : Sebentar lagi. Setengah jam mungkin.
Lama tak ada balasan dari Denis, membuat Dinda semakin larut bersama layar komputer dan buku di samping keyboard.
Drrrtttt.
Denis : Aku di depan. Kamu sudah pulang?
Ah Denis... kenapa sudah di sini saja.
Mengerti dengan pesan Denis, Dinda yang memang tengah bersiap pulang segera membereskan mejanya, mengunci pintu kantor dan menyerahkan ke Pak Dirman, tukang kebun yang bertugas menjaga sekolah. Rumahnya masih dalam lingkup sekolah.
Dihampiri Denis yang melambai ke arahnya dengan senyum yang tak pernah pudar dari keduanya.
"Kok sudah di sini?"
"Jemput kamu, ayo!" Dibukakan pintu untuk Dinda, Selalu seperti itu.
"Kita ke mana?"
"Makan siang, pasti lapar kan?" Diusap lembut rambut Dinda yang membuat gadis itu seperti tersengat aliran listrik dan seketika pipinya memerah.
"Eh, oh iya aku lapar. Kamu cuma ganjal perutku sama roti yang tipis!" protes Dinda yang disambut tawa dari Denis.
"Maaf ya, aku nggak bisa masak. Sekarang mau makan apa saja aku turutin," tawar Denis sembari melirik wajah berbinar Dinda begitu mendengar kata makanan.
"Beneran?" tanya Dinda seakan meminta penegasan dengan tawaran Denis. Dimiringkan tubuhnya menghadap Denis yang tengah menyetir.
"Iya." Dicubitnya hidung Dinda gemas sambil terkekeh melihat ekspresinya. Sedangkan Dinda mengusap hidung yang terasa panas hingga seluruh wajahnya.
♡♡♡
Malam yang disinari bulan sabit membuat Rangga mengurungkan niatnya menemui seseorang.
"........."
"Aku tidak bisa"
"........"
"Belum saatnya"
"........"
Klik..
Suara telepon memutus percakapan Rangga dengan seseorang di ujung sana.
Kembali ia menatap bulan sabit dari teras depan rumah sembari tangannya dengan lincah memetik gitar penuh nada tanpa nyanyian.
Perasaannya tengah di ambang pilihan. Memilih sebuah keputusan yang telah ia ambil beberapa bulan lalu. Dan sekarang pilihan itu seperti debt kolektor yang mengejar Rangga untuk segera dilunasi.
"Orang galau nggak usah berisik!"seru suara dari sebelah rumahnya, membuat Rangga menghentikan petikan gitar dan menoleh ke arah suara.
Dari sebelah rumah, Dinda berdiri bersedekap menghadap Rangga.
"Kenapa?" tanya Rangga malas.
Merasa ucapan Dinda tak dipahami membuatnya berjalan menghampiri OB tetangganya yang tengah duduk sambil memeluk gitar.
Kedua tangan gadis itu berkacak pinggang dan menatap kesal pada Rangga yang seakan cuek.
"Kamu berisik tau nggak sih! Dari tadi genjreng-genjreng nggak jelas!" gerutu Dinda di hadapan Rangga.
"Yang lain nggak ada yang protes!" enteng Rangga menanggapi Dinda yang mendelik sebal
"Hei, telingaku masih normal. Mungkin yang lain nggak normal, makanya nggak ada yang protes!"
"Sepertinya suara kamu yang bikin berisik sekarang." Tanpa diduga, Rangga beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu. Membukanya dan masuk tanpa perduli Dinda yang masih sebal di teras.
Huh... cowok gak jelas. Bisa-bisanya aku ditinggal begini. Nggak sopan banget.
Langkah Dinda hendak kembali ke rumah, namun suara gitar kembali terdengar bahkan semakin kencang. Sengaja petikan gitar Rangga dibuat untuk mengiringi lagu rock.
Diurungkan niat Dinda untuk kembali ke rumah, mengingat ia begitu terganggu dengan suara gitar Rangga karena ia harus konsentrasi dengan pembuatan RPP nya. Sebenarnya suara petikan Rangga sangat indah jika ia saat itu tidak sedang dalam keadaan butuh konsentrasi penuh.
Dinda kembali ingin memperingati Rangga dengan mengetuk pintu rumahnya. Merasa tak akan didengar hanya dengan mengetuk pintu, Dinda iseng membuka handel pintu dan ya, terbuka. Dilihatnya Rangga masih asyik memainkan gitar yang suaranya semakin kencang.
Dinda berjalan mendekati Rangga yang tengah duduk di depan televisi hendak merebut gitar tersebut. Alih-alih merebut justru ketika tangan Dinda hendak meraih ujung gitar, tangan Rangga lebih dahulu meraihnya. Menarik tangan Dinda hingga membuat gadis yang tak siap dengan reaksi Rangga terjatuh menubruk gitar Rangga yang masih dalam pelukan. Disingkirkan gitar itu agar tubuh Dinda leluasa dalam pelukannya.
Pandangan mereka menyatu. Seakan semua kata yang hendak terlontar hanya berhenti di tenggorokan saja. Dinda menelan ludah gugup. Jantungnya seakan kembali seperti saat mereka pernah dalam posisi seperti ini
Wajah Rangga semakin mendekat. Dinda yang takut dan gugup hanya diam meski benda kenyal yang sempat menyentuh bibirnya beberapa hari lalu sekarang tengah menempel dan lama kelamaan semakin bergerak.
Mata Rangga memejam sambil menikmati bibir ranum milik Dinda. Menyecap dan memagutnya dengan lembut. Dinda yang bingung dengan keadaan hanya diam dan ikut memejamkan matanya. Menikmati setiap sentuhan di bibirnya. Pagutan Rangga begitu lembut tanpa paksaan, tanpa amarah.
Saat bibir Dinda hendak membuka, Rangga melepaskan pagutannya. Dinda sontak membuka mata, padahal ia tak ingin berhenti.
"Maaf jika mengganggu tidurmu karena suara gitar ini. Tapi, kamu lebih cantik kalau diam begini." Seringai Rangga yang membuat pipi Dinda memanas. Ditundukkan wajah menahan malu pada laki-laki di hadapanya.
"Kamu mau aku pangku semalaman?" tanya Rangga menggoda. Dinda yang baru sadar jika posisinya tengah duduk di pangkuan Rangga, buru-buru berdiri. Namun karena gugup malah ia terjatuh di karpet dengan bantal yang menyangga pantatnya.
Rangga tertawa melihat aksi Dinda, bahkan tatapan kesal Dinda semakin menjadi karena Rangga menertawakanya.
Tawa Rangga berhenti. Dengan cepat ia membantu Dinda berdiri.
"Makanya kalo jalan hati-hati, maen loncat aja !" ledek Rangga membuat Dinda geram.
"Kenapa sih kamu seenaknya aja nyosor? Berasa jadi cewek gampangan aja."
"Bibirmu manis," puji Rangga yang dilempari bantal oleh Dinda.
"Kamu itu cowok lancang yang udah ngambil ciuman pertamaku. Mana nggak minta maaf lagi !" cerocos Dinda masih dengan aksinya menimpuk Rangga dengan bantal berkali-kali, membuat laki-laki itu menghindar terus menerus dengan serangan Dinda yang semakin membabi buta.
"Beneran itu ciuman pertamamu? Wah, beruntung banget diriku!" seru Rangga semakin merasa menang.
"Pokoknya kamu harus minta maaf karena kelancanganmu itu"
"Aduh ... ampun ... udah dong, Din ... sakit nih!" Dinda yang masih kalap menimpuki Rangga menambah timpukannya dengan bantal lagi.
"Kalo kamu nggak berhenti, aku bakalan cium lagi!" ancam Rangga yang membuat Dinda seketika menghentikan timpukannya.
"Dasar tukang ancam!"
"Hehehe ... mau dicium aja takut. Kemaren sama tadi kok kayaknya enak-enak aja, malah minta lagi," goda Rangga yang kini membuat Dinda tergagap, seakan membenarkan jika ia menikmati ciuman Rangga bahkan tak ingin melepaskan cecapannya
"I ... itu aku khilaf dan terdesak keadaan," bela Dinda seakan malu mengakui.
"Udah ah, aku mau pulang." Tanpa melihat atau mendengar jawaban Rangga, Dinda segera melesat pulang ke rumahnya. Sesampai di kamar, diusap bibirnya yang tadi berpagut dengan bibir Rangga. Ciuman itu masih terasa begitu nikmat. Tak salah jika ia merasa menginginkan kembali dan enggan melepaskan.
---------------------------------
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro