You Or You -- 32
"Terima kasih," ucap Dinda yang kini kepalanya bersandar pada dada bidang suaminya. Keduanya tengah menikmati waktu berdua dibalik selimut. Malam pertama usai resepsi yang amat melelahkan.
"Untuk?" Dimainkan rambut istrinya yang menjuntai di sekitar dadanya.
"Semuanya."
"Akan aku lakukan semuanya meski tanpa kamu minta."
"Kenapa? Kenapa kamu mencintaiku, Ngga?" Mendongak menatap wajah suaminya yang tersenyum simpul.
"Tidak butuh alasan untuk bisa mencintai. Karena aku takut jika alasan itu hilang, aku tak tahu bagaimana tetap mencintaimu." Rangga mengecup kening Dinda lembut.
"Aku juga mencintaimu, Ngga, meski pertemuan kita yang amat menjengkelkan, tapi hanya padamu hati ini menjatuhkan pilihannya."
"Terima kasih lebih memilihku."
"Kuharap kita saling menguatkan. Kita tidak tahu rintangan apa yang akan menghadang nantinya, percayalah bahwa aku selalu berada di setiap sisimu, mendukung dan kamu pun begitu, Mas"
"Iya, ehm ... Mas ya?" Dinda yang menyadari panggilan sayang pada suaminya menjadi sedikit malu karena Rangga mencubit ujung hidungnya.
"Nggak boleh? Di masyarakat kami, Mas adalah panggilan sayang untuk pasangan yang dihormatinya. Karna kamu suamiku jadi manggil Mas. Boleh kan?" pinta Dinda yang diangguki suaminya.
***
Resepsi berikutnya diadakan di Jakarta, mengingat keluarga besar Rangga berdomisili di kota tersebut. Banyaknya tamu undangan membuat semua pihak kewalahan. Terlebih kedua mempelai yang kini tengah menikmati makan malam yang disediakan pihak hotel tempat acara resepsi berlangsung.
"Kenyang," seloroh Rangga sambil menepuk-nepuk perutnya. Dinda yang masih menyelesaikan minuman berwarna merah dengan biji selasih bertaburan hanya melirik suaminya sekilas.
"Mandi bareng yuk?" ajak Rangga yang membuat Dinda mendelik tajam.
"Sekali aja lah, mumpung di hotel ada bathup-nya." Rangga kini berbaring di ranjang karena begitu kekenyangan.
"Gak mau. Kalau berendam di situ ntar airnya jadi merah," alasan Dinda. Rangga mendengkus kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Semenjak akad nikah seminggu lalu memang Dinda belum benar-benar bersih. Namun tadi pagi saat bangun tidur ia tidak mendapati bercak kecoklatan atau bahkan hanya kuning saja yang tertinggal di celana dalamnya, dan itu membuktikan bahwa dirinya memang sudah selesai.
Setelah mengecek kembali dengan kapas, siang harinya sewaktu di hotel juga memang sudah bersih hingga baru saja ia lihat lagi saat sampai di kamar dan Rangga masih sibuk dengan temannya di luar.
Hatinya was-was menghadapi 'malam pertama' yang gagal saat itu. Di sisi lain ia merasa kasihan dengan suaminya yang setiap malan selalu menahan hasratnya. Dan sekarang saat haknya akan diberikan, Dinda merasa sedikit takut.
Apa yang ditakutkan? Tentu saja momok kesakitan saat pertama kali melakukanya. Dari cerita Mei yang bahkan dia sendiri belum berpengalaman, "Hati-hati sama saudaraku ya, Din. Yah memang dia belum pernah gituan sih, makanya perlu belajar dulu. Takutnya dia langsung main tancep aja. Kan sakit kamu ntar, Din," ucap Mei kala itu.
"Waduh."
"Kalau orang udah pengalaman kan gak begitu penasaran lagi. Mainnya juga lebih teratur. Nah kalo si dodol itu kan udah nahan berpuluh tahun. Siapa tahu hasrat terpendam yang ditahannya langsung meledak. Bikin dia beringas," ucap Mei berapi-api sambil mengeram dengan tangan yang hendak mencakar. Dinda bergidik ngeri dengan gambaran Mei.
"Jangan bikin aku takut dong Mei, selama ini dia kelihatan lembut kok," bela Dinda mengingat selama dua hari setelah ia menikah, Rangga terlihat begitu lembut saat mencium, membelai dan mencumbunya.
"Itu kan karena dia masih menahan diri, lampu merah masih menyala."
Kreekk!
Pintu terbuka menampilkan sosok Rangga yang hanya melilitkan handuk untuk menutupi pinggang hingga lutut. Menggerak-gerakan kepala ke kanan dan kiri membuat tetesan air meluncur ke segala arah. Dinda menelan ludah berkali-kali. Meskipun seminggu ini dia sudah menikah tapi pemandangan seperti ini jarang terjadi karena setelah menikah, mereka berdua dilarang pergi ke mana-mana sebelum "ngunduh mantu " hari ini. Selama seminggu mereka tinggal di Jogja. Tidak mungkin Rangga akan bertelanjang dada dan berhanduk ria di rumah mertuanya. Bisa dibilang tidak sopan. Dan selama tidur bersama pun, Rangga masih menggunakan singlet.
"Nggak Mandi?" tanya Rangga pada istrinya yang terpekur di tepi ranjang.
"Hem, kan nunggu kamu." Dinda beranjak dari duduknya kemudian berjalan menuju kamar mandi sedangkan Rangga masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk lain.
"Aku bisa minta tolong, nggak?" Setengan kepalanya ia julurkan dari balik pintu kamar mandi.
"Apa?"
"Beliin pantyliner, kamu tahu kan?" Rangga mengangguk karena beberapa hari lalu Dinda memintanya membeli pembalut dan saat di warung dekat rumah ia juga melihat jenis pembalut lain yang lebih tipis bernama pantyliner.
Sepeninggal Rangga, Dinda segera mandi sambil memegangi jantungnya. Dia merasa deg-degan karena malam ini mungkin saja suaminya akan meminta haknya. Tapi, Rangga belum tahu kalau dirinya sudah bersih, jadi bisa dibilang ini kejutan.
Ia berpikir apakah mengikuti saran Mei untuk memberikan kesan 'malam pertama' atau tidak. Masalahnya ia tidak begitu 'berani' jika harus menggoda suaminya.
Ia harus melakukanya. Sudah saatnya menunaikan kewajiban seorang istri. Akhirnya ia keluar dari kamar mandi. Diliriknya sebentar melihat Rangga belum pulang, membuat ia sedikit bernapas lega.
Dengan mengumpulkan keberanian, ia mulai mematikan lampu yang menerangi kamar hotel. Menyemprotkan parfum yang amat menggiurkan karena ini adalah salah satu kado dari Mei. Parfum keluaran terbaru milik perusahaan Paris ini terbilang lumayan menguras kantong.
Ia berbaring di ranjang dengan selimut menutupi tubuh polosnya.
Hingga suara pintu terbuka dan teriakan Rangga yang kebingungan karena lampu mati membuat Dinda menarik napas sedalam-dalamnya.
"Loh, Yang, kamu udah tidur? Kok lampunya dimatiin?" Rangga yang baru datang langsung meletakkan belanjaan di nakas. Karena tanpa sahutan, ia pikir istrinya sudah tidur mengingat acara hari ini memang sangat melelahkan.
Rangga menyalakan lampu tidur yang remang kemudian melirik istrinya yang tidur miring dengan selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Matanya terpejam menandakan ia sudah terlelap. Rangga tidak ingin mengganggu.
Dibukanya kaus yang tadi dikenakan kemudian celana jeans selututnya dan mengganti dengan celana boxer hitam. Tanpa mengenakan kaus singlet ia menyusul istrinya di ranjang.
Ketika disibaknya selimut yang menutupi tubuh Dinda, mata Rangga membelalak sempurna serta mulutnya masih menganga.
"Din...." Suaranya parau melihat pemandangan di depanya.
Dinda yang tidak tidur langsung membalikkan tubuh. Membuat Rangga megap-megap dibuatnya.
"Jadi, boleh sekarang?"
Hanya anggukan singkat, yang kemudian menjadi gerbang Rangga memasuki dunia baru. Dunia yang ditaburi sejuta bintang malam, taburan debur pasir dengan emosi yang bergulung-gulung dirasai keduanya. Untuk pertama kali.
***
Keduanya kini membaringkan tubuh sambil saling mendekap. Peluh sudah hilang, detak jantung pun sudah kembali stabil. Kini tinggal rasa lelah mendera.
"Makasih untuk kejutanya," ucap Rangga mengingat Dinda yang polos menyambutnya di ranjang tadi.
"Kejutan yang menyenangkan?"
"Sangat."
Kedua ujung hidung mereka saling menggesek hingga bibir mereka tak lagi berjarak. Belaian lidah masing-masing mengantar keduanya dalam rengkuhan malam.
Saat cinta harus memilih, percayalah hati tidak pernah salah. Rasakan pada siapa detak jantung semakin kencang, rasakan getar mana yang lebih terasa.
---End---
Desember 2015
Republis 2018
___________________
Terima kasih yang masih ngikutin veris republish ini. Buat reader baru, mungkin mau mengunjungi dia anak Rangga dan Dinda.
Ada cerita anak pertamanya Sila, Cassava VS Cheese dan anak keduanya Iko di Scout In Love dan About You.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro