3
“Kakak Ailin baru bangun?” tanya Iva dengan mata berbinar-binar seolah-olah bangun telat adalah hal yang baru baginya.
Aileen, yang masih memakai baju tidur, mengangguk. “Ada masalah apa?” tanya Aileen.
“Paman belum pulang. Dan Iva tidak punya kunci rumah. Jadi Iva memutuskan untuk mengunjungi Kakak Ailin!” jawab Iva dengan antusias.
“Iva pulang sendirian lagi?” tanya Aileen lagi.
Iva mengangguk, terdiam, lalu menggeleng.
“Jadi yang mana yang benar?” tanya Aileen sambil melihat ke sekitar. Tidak ada orang.
“Kemarin Iva bilang Iva ingin pulang sendiri ke paman,” jawab Iva.
“Dan pamanmu setuju?” tanya Aileen, entah kenapa ragu dengan edukasi Edwin kepada Iva.
Iva mengangguk, “Tapi paman bilang Iva akan diikuti oleh ‘ekor’ apa maksudnya ya? Dan juga, paman bilang jika paman lupa menjemput Iva lagi, Iva boleh pergi ke rumah Kakak Ailin,” jelasnya.
Aileen terlonjak ketika mendengar kata ‘ekor’ keluar dari mulut gadis kecil di depannya. Aileen menjadi lebih ragu terhadap Edwin.
Aileen hanya diam dan membukakan pintu, membiarkan Iva masuk, lalu menutupnya dengan perasaan aneh.
...kenapa aku merasa di awasi? Uhh... ini terasa agak horor...
“Woaaah! Rumah kak Ailin jadi bagus!” ucap Iva sambil mengagumi ruang tengahnya Aileen.
Iva kemudian meletakkan ranselnya di atas lantai lalu berjalan melihat-lihat barang dan hiasan yang Aileen pasang dengan susah payah malam kemarin.
“Ah! Ada kucing!” seru Iva sambil menunjuk sebuah patung kucing belang tiga yang mengenakan kalung koin emas.
“Namanya Maneki Neko,” ucap Aileen sambil berjalan menuju dapur, berniat untuk mengambil air minum untuk Iva.
“Man... um. Kucing.” Ucap Iva sambil mengelus kepala patung kucing tadi.
Aileen hanya tertawa mendengarnya.
“Kak Ailin,” panggil Iva sambil menatap Aileen dengan alis yang hampir menyatu dan dahi yang mengkerut. “Kak Ailin, mandi,” ucapnya.
“Apa aku bau?” tanya Aileen.
Iva mengangguk-angguk sambil menutupi hidungnya.
“Kalau begitu tunggu di sini. Jika Iva bosan, nyalakan saja TVnya,” ucap Aileen sambil berjalan menaiki tangga.
Iva lalu mengangguk dan duduk di atas sofa. Dia lalu menyalakan TV menggunakan remote yang tergeletak di atas meja.
Beberapa menit kemudian, Aileen kembali ke lantai satu menggunakan baju sehari-harinya.
“Apa yang Iva tonton?” tanya Aileen kepada Iva yang fokus menonton TV di depannya sampai-sampai tak berkedip.
“Kartun,” jawab Iva singkat.
Ting-tong Ting-tong
“Sebentar...” ucap Aileen sambil berjalan menghampiri pintu depan.
Aileen membuka pintu dan melihat Edwin yang tersenyum kepadanya, dan Aurelia yang menatap Edwin dengan aneh.
‘Hei, sahabat. Dia pacarmu?’ kira-kira begitulah arti tatapan Aurelia ketika Aileen bertatapan dengannya.
Aileen mengerutkan keningnya. Dia lalu menunjuk Aurelia dan berucap, “Kau, kenapa...”
“Kenapa aku di sini? Siapa yang tidur sampai pukul 1 siang sampai-sampai dia tidak mendengar nada dering dari ponselnya sendiri?” potong Aurelia.
“Uh-huh?”
“Minggir,” ucap Aurelia sambil mendorong Aileen dari pintu dan masuk ke dalam rumah Aileen seperti dia pemilik rumah itu.
Aileen hanya menatap Aurelia dengan aneh.
Hm. Mungkin datang bulan, pikirnya.
“Pacar Anda cantik ya,” ucap Edwin tiba-tiba.
Aileen yang mendengar itu langsung menoleh ke arahnya dengan cepat sambil memasang wajah seperti melihat hantu, “Huh? Siapa? Dia? Nenek tua tadi?” ucapnya.
“Tuan muda, nenek tua ini bisa mendengarmu,” sahut Aurelia dari dalam rumah.
“Kyaa!! Aileen! Anakuh!” teriak Aurelia tiba-tiba. “Aileen! Sejak kapan kau punya anak?!” lanjutnya.
Aileen menghela nafas, “Edwin, silakan masuk. Iva sedang menonton kartun,” ucapnya sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketika Aileen dan Edwin sampai di ruang tengah, Aurelia sedang menatap Iva dengan lekat sambil berjongkok di hadapannya.
Aurelia kemudian menoleh dan menatap ke arah Edwin, lalu kembali menatap Iva, kembali ke Edwin, lalu ke Iva.
Dan akhirnya, dia menatap Aileen dengan tangan yang menutup mulutnya, “Aileen, k-kau... sejak kapan kau melahirkan?..”
Aurelia lalu mengangkat kedua tangannya dan berucap, “A-.. a-a-apa ibu dan kakakmu tahu tentang hal ini?” dengan ekspresi ketakutan di wajahnya.
Edwin yang berdiri di samping Aileen hanya berucap, “Hoo...” seolah-olah semua ini menarik baginya.
Aurelia menarik nafas dengan tajam tiba-tiba. “Tunggu, Aileen. Kau... anak ini... huh... Aileen, kau nikah muda?..” ucapnya.
“Pfft!” ujar Edwin, dia lalu membalikkan badannya. Aileen melihat bahunya bergetar.
Sementara kemarahan Aileen sudah berada di puncaknya, jadi yang dia lakukan hanya...
Buk!
Meninju manja kepala sahabatnya.
“Tutup mulutmu,” ucapnya sambil melotot dengan tangan yang terkepal ke atas.
“Kakak, siapa nona ini?” tanya gadis kecil yang diduga sebagai anaknya Aileen.
“Ah, dia neneknya nenekku,” jawab Aileen sambil tersenyum.
“?” Iva hanya menelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan ucapan Aileen. Perempuan di depannya masih kelihatan muda, tapi dia adalah neneknya nenek Aileen?
“Ah! Paman!” ucap Iva ketika dia melihat Edwin yang sedang menyapu air matanya.
“Eh? Kakak? Paman?!” ucap Aurelia setelah selesai mengurut kepalanya yang berdenyut setelah dipukul oleh sahabatnya.
“Sudah sadar sekarang, Nona?” ucap Aileen sambil tersenyum manis ke Aurelia.
“Eh? Eh? Jadi dia bukan suamimu?!” ucap Aurelia dengan tatapan kecewa dan terkejut sambil menunjuk ke arah Edwin yang kembali terkekeh.
“Halo. Saya Edwin, tetangga Aileen,” sapa Edwin sambil menahan tawanya.
“Ah... halo. Saya Aurelia, sahabat Aileen...” ucap Aurelia dengan lirih.
Krrrrkk
Suara perut Iva seketika mengalihkan perhatian tiga orang dewasa di ruangan itu. Mereka bertiga menatap Iva.
Krrrrkk
Aileen, Edwin, dan Iva lalu menatap Aurelia.
“Ah, ahahahah,” ujar Aurelia dengan canggung.
Aileen menghela nafas, “Duduk. Kalian bertiga,” ucapnya.
“Mau ke mana kau?” tanya Aurelia yang dengan patuh duduk di sofa.
“Memberi makan kalian semua,” jawab Aileen singkat sebelum menghilang ke arah dapur.
“Oh,” ujar Aurelia. Dia lalu menatap Edwin dan berucap, “Selamat, kau bagian dari peliharaannya sekarang!” sambil mengacungkan jempolnya.
Edwin lalu menanggapi, “Berapa peliharaan yang dia punya?”
“Sejauh ini hanya anak ini, aku, dan kau,” ujar Aurelia. Dia kemudian melanjutkan, “Kemungkinan dia menyembunyikan yang lain sangat besar.”
“Kakak Ailin punya peliharaan? Mana? Iva ingin melihatnya!” ucap Iva yang sudah selesai menonton kartunnya.
Edwin lalu menanggapi, “Ya, paman juga ingin melihat mereka,” dengan senyuman.
“Begitu juga denganku,” timpal Aurelia.
🏡🏝🏡
Aileen memperhatikan tiga orang di meja makan meletakkan sendok dan garpu mereka satu persatu.
“Kenyang?” tanyanya.
Iva mengangguk.
“Hm. Bro, bagi sedikit kemampuan memasakmu,” ucap Aurelia.
“Terima kasih Aileen. Masakanmu enak ya,” ucap Edwin sambil tersenyum, seolah-olah orang yang tadinya menolak makan siang di rumah Aileen hilang tanpa jejak.
“Kalau begitu, Iva. Ayo pulang,” ucap Edwin sambil menggendong Iva yang mengelap wajahnya dengan tisu.
Aileen lalu mengantar mereka berdua pergi.
“Sampai jumpa lagi, Aileen,” ucap Edwin sebelum dia keluar dari vila milik Aileen.
“Dadah, Kakak Ailin!” ujar Iva sambil melambaikan tangannya.
.
.
.
.
Hai hai!
Terima kasih telah membaca.
Silahkan vote dan komen jika ada kesalahan ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro