book 6; a glass that will break
b o o k 6
a glass that will break
-dia tidak akan gagal di hadapan gilbert blythe-anak lelaki itu tidak akan pernah bisa menertawakannya, tak akan, tak akan pernah!-
Anne of Green Gables (Lucy Maud Montgomery)
.
.
.
pukul dua belas lebih dua puluh menit.
arabel ingin melotot tak percaya, tapi itu hanya akan membuatnya terasa menyedihkan, dan terlihat seperti cewek umum. maksudnya, arabel juga cewek umum. cuman buat cowok satu ini, arabel harus tampil beda.
cowok itu nanyain apa arabel bakal langsung pulang atau enggak. mau nganterin pulang, ngajak nongkrong bareng, atau cuma basa-basi? arabel pengennya sih opsi yang kedua.
"kok nanya gitu?" waduh, arabel malah menunjukkan kepenasarannya. spontan, ia pun langsung menutup mulutnya dengan perasaan kaget.
si cowok jadi tambah canggung. "ya enggak apa-apa. bahaya jam segini cewek masih keluyuran di luar."
"udah biasa."
"suka ke mana aja emang?"
arabel berpikir, sudah tenggelam dalam obrolan ringan. "banyak, sih," jawabnya. "ke kafe bareng temen, perpus. tapi seringnya sih, cari suasana aja. mumpung masih libur sekolah."
enggak sepenuhnya salah. pernah kan waktu itu arabel jam segini sedang berada di perpustakaan?
"lo sendiri?" arabel mencoba untuk bersikap akrab.
si cowok lama menjawab. "ya, sama, sih. intinya cuma cari suasana aja. tapi tiap hari pasti ke perpus. baca buku di sana."
"hee. lo mirip sama cowok yang kemaren gue temuin di bis, ya."
cowok itu menoleh. "siapa?" raut wajahnya tampak tidak nyaman jikalau arabel memang sedang berkhayal.
arabel lalu tertawa, guna menyembunyikan kegugupan. "itu ... ya, biasalah." tiba-tiba ia kehilangan jawaban yang paling bagus. "bukan-bukan."
bodoh.
pandangannya tertunduk, hatinya terasa tertusuk satu buah panah yang menghancurkan harga dirinya saat itu juga. menyedihkan.
apaan sih, gue. kenapa gue seolah berusaha bikin tuh cowok suka sama gue? seolah gue gak lagi suka sama siapa-siapa aja. padahal ....
"cowok yang lo kira dia takdir lo?"
kedua mata arabel terbuka, namun masih menunduk.
"yakin, dia takdir lo?"
nada bicaranya menusuk, seolah ia mengatakannya dengan sebelah mulut terangkat. kenapa jadi begini keadaannya? apa sekarang arabel sudah dicap sebagai cewek gak bener?
beberapa saat berikutnya, mereka cuma diem aja, padahal di situ udaranya lumayan dingin. sampai seorang petugas kedai donat membuka pintu dari belakang tempat berdirinya arabel. mau tidak mau, arabel menyingkir, lebih dekat lagi ke cowok itu.
oh, sumpah. kalau semua percakapan ini hanya akan membuat citranya payah (walau itu terhadap orang tak dikenal pun), lebih baik arabel memulai bacaan barunya saja.
a glass that will break. yah, kurang lebih seperti ini kisahnya. seseorang yang terlalu berharap, kepada semua orang, yang akhirnya, ia sendiri yang terluka. sendiri. sendiri.
arabel sudah ingin menangis. tangannya yang memegang plastik donat sampai bergetar, bukan karena terhembus angin malam.
sepertinya si cowok menyadari itu. "gue belum beres ngomong."
eh? masih berlanjutkah ini percakapan? arabel kira semuanya sudah berakhir buruk.
melalui telinga kanannya, arabel dapat mendengar suara sepatu yang digerakkan sedikit, berputar arah menujunya. "gue boleh ngomong sesuatu gak? ya walau kayaknya lo gak akan percaya ini."
meski begitu, masih dengan kepesimisannya yang memuncak, arabel sama sekali tidak mau berharap apa-apa.
"kalau gue bilang, bukan dia cowok takdir lo, tapi gue ... lo percaya gak?"
.
.
.
pukul dua belas lebih tiga puluh tiga menit.
viktor sedikit tidak percaya ia mengatakannya juga. yah, bukan semacam kalimat pernyataan rasa suka juga, sih. eh benar tidak? atau perkiraan viktor yang salah?
eh.
jangan-jangan ....
viktor merasa jantungnya deg-degan bukan main, merasa telah salah mengucapkan maksud. memang sih ia kesal karena dirinya telah salah dikenali. tapi apa ucapan barusan berarti menyinggung hal lain? seolah viktor telah menyatakan itu?
yah, gawat.
si cewek yang daritadi sudah kelihatan tegangnya, lantas mulai mengangkat pandangan, perlahan balas menatap viktor. viktor auto memalingkan wajah, menyembunyikan perasaan malu yang tidak ingin ia akui.
"lo ngomong apa?"
"lupain deh."
"oke gue juga cerita."
viktor tidak pernah menduganya.
si cewek mengambil napas panjang, sudah kembali menatap ke depan. "sebenernya gue udah suka sama satu cowok yang ... hm, gue ketemu dia di perpus, hari rabu kemaren kalo gak salah. jam seginianlah, dan waktu itu di sana cuma ada kita bedua doang pengunjungnya. gue ... cuma dengan gitu aja, iya sori, gue emang cewek geeran. gue, gue, gue nganggep kalo dia itu takdir gue."
suaranya dari awal keras, makin ke tengah makin kecil. dan pas di akhir, volumenya jadi meninggi, sampai udah kayak teriak.
"gue berusaha nyari dia mulu besoknya dan besoknya. ketemu deh akhirnya kemaren di bis. tapi gak tau deh, beda aja gitu perasaan gue-nya. seolah gue ngerasa kalau bukan dia cowok yang selama ini gue cari."
"emang bukan."
"dan lo."
gila aja. padahal viktor udah ngomong gitu juga, masih belum kelar ternyata ngomongnya.
"pas tadi gue ngeliat lo masuk sini, gue ... salah gak sih ngumbar rahasia cewek kayak gini ke cowok?" ia mendadak bertanya.
viktor kaget, tapi ia menjawab. "enggak juga, tuh."
"oke," cepat sekali ia menjawab. "gue gak mau jadi cewek muna yang punya dua wajah, atau buaya atau apa. gue ngerasa gue udah gak punya harga diri lagi di hadapan lo. dahlah, maybe kita gak bakal ketemu lagi. tapi gue cuma mau bilang ...."
deg-degan lagilah itu viktor.
"gue ngarep. gue sangat ngarep. kalau cowok yang selama ini gue cari, cowok yang waktu itu gue temuin di perpustakaan jam dua belas, cowok yang gue kira dia jodoh gue, dia takdir gue, gue ngarepnya itu ... lo."
hebat! hebat sekali!
selain kemampuan hebat si cewek yang berterus terang akan semua yang ia rasakan, walau dengan sedikit rasa malu, viktor juga bukan main malunya!
wajahnya sampai merah ke kuping, lantas menoleh ke samping, menyembunyikan ekspresi.
apa ini?
agak sulit dipercaya. padahal niatnya, memang viktor yang ingin mengutarakan rahasianya selama ini, kalau dialah sebenarnya si cowok yang cewek itu maksud. viktor adalah takdir si cewek yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya!
tapi malah keduluan?
haha, hebat sekali.
memang jodoh.
tidak terbiasa dengan semua ini, viktor berusaha mengontrol emosinya dengan tersenyum lebar, bersikap menang akan keadaan.
"lo kepengen gue jadi takdir lo?" viktor nanya ke si cewek.
"ya itu kepengen gue, gak tau kalau kata Tuhan."
"ampun, gue gak pernah ngebucin. sori, ya, gue juga mau jujur."
"eh?"
"sebenernya ... cowok yang selama ini lo cari, ya emang bener gue."
ah, kalau gini caranya, gue gak bisa ngelepasin dia.
.
.
.
11 chapter menuju ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro