book 4; the story of a red leaf
b o o k 4
the story of a red leaf
-aku bengong selama tiga detik, ternyata chen yi ingin membantuku mengeringkan rambut.-
Summer Lemongrass (Macchiato)
.
.
.
pukul dua belas lebih sedikit.
bus itu hampir kosong. selain sang supir berpakaian biru yang bekerja di balik kemudi, hanya ada arabel dan dua penumpang lain yang sama-sama duduk sendirian di sisi bangku satunya. ada yang tersenyum-senyum menghadap layar ponsel, menahan kantuk, tapi arabel hanya bisa memandangi langit kota dengan perasaan muram.
setelah pertengkaran kecil (arabel menyebutnya begitu) dengan teman-teman tongkrongannya kemarin, arabel tidak muncul lagi di grup chat mereka. dan mungkin, hanya arabel di sini yang menganggap kalau mereka sedang bertengkar.
arabel menghela napas, memangku dagu, terus menatap ke luar sana. sepanjang waktu yang sebelumnya, suasana hatinya tidak juga membaik meski telah bercurhat pada sembarang orang pun.
abang-abang itu gak jelas banget.
ia memang sama sekali tak ingat rupa wajah si abang yang membawanya ke kafe. yang jelas sepertinya abang itu lebih tua sedikit, makanya arabel bilang abang.
semenjak masih libur begini, arabel lebih sering keluyuran di malam hari dan pulang pada tengah malamnya. beberapa kali sempat dimarahi memang. tapi perasaan tenang yang selalu arabel dapatkan ketika keluyuran itulah yang membuatnya bagai manusia tak tahu aturan.
hm, teringat soal si cowok perpus.
udah dua hari gue gak ketemu dia.
sempat ragu dengan imajinasinya sendiri, mungkin memang mereka bukan jodoh. tidak-tidak. arabel segera geleng-geleng kepala. ini baru dua hari, arabel masih ingin berjuang menggapai takdir-nya itu.
pencahayaan di dalam bis tidak begitu terang sehingga tidak bisa membuatmu membaca buku di sana. arabel merasa sia-sia telah menenteng novelnya di sepanjang perjalanan sampai ke dalam bis ini.
the story of a red leaf judulnya. kalau tidak salah itu bercerita tentang seorang kakek tua yang merasa hidupnya lebih bermakna ketika usianya menginjak 73 tahun. seperti daun maple di musim gugur, hanya menunggu takdir lebih cepat datang, ketika para malaikat bahkan tidak tega untuk merenggut jantungnya, semua penduduk desa tahu dan hanya si kakek seorang yang tidak tahu ... ia akan dihukum mati atas perbuatan masa lalunya yang tak si kakek sadari.
cerita yang mengundang air mata, memang.
bis berhenti pelan di halte ketiga yang arabel lalui. tidak ada yang turun, tetapi ada yang naik. mengetahui hal itu, arabel segera memasang mata lebar-lebar, kali saja si cowok takdirnya adalah salah satu dari mereka.
plis ada, ada, ada ....
"boleh duduk di sini?"
kepala masih terangkat, tubuh terdiam, bibir terkunci, arabel tidak mau memercayai ini. meski ia ingin, tapi harapan itu biasanya selalu membuat arabel kecewa, kan? arabel terus berharap. walau ia tahu, ia akan kecewa, pada akhirnya.
"hm?"
"eh, iya-iya, bo-boleh."
cowok itu tergelak, arabel melihatnya samar meski di sana suasananya masih cenderung gelap. dalam sekali gerakan, arabel bergeser ke samping, padahal tidak perlu dilakukan juga tidak apa, sebelah bangkunya memang sudah terbuka lebar.
"makasih."
arabel bisa mendengar sebuah senyuman di dalam suara itu, ia jadi malu sendiri. secepat inikah harapannya terkabul? bahkan sebelum dirinya lekas berdoa pada Tuhan.
kayaknya dia emang takdir gue deh.
.
.
.
pukul dua belas lebih seperempat.
baru saja, baru saja, baru saja hari kemarin, hampir genap 24 jam sejak ia merasakan jatuh cinta, mendengar cerita dari cewek yang membuatnya tertarik, ternyata, si cewek juga mencintai dia (hanya pemikiran viktor).
tahu-tahunya, saat baru saja berjalan di lorong bis mencari bangku yang enak diduduki, walau dalam keadaan agak gelap, viktor yakin, sangat yakin, di salah satu bangku bis di depan sana, mereka berdua, cowok-cewek, ceweknya adalah ... si cewek yang viktor taksir?
sialan.
kalau dugaan yang ini benar. viktor kelupaan menanyai nama si cewek, membuatnya merasa telah gagal dalam melakukan aksi pendekatan. hm, yah, tidak secara gamblang juga. yang viktor maksudkan adalah mengenal si cewek lebih dekat.
baru saja satu hari, harapannya serasa terjun jauh ke laut terdalam samudra pasifik.
tidak pasti kalau mereka adalah sepasang anu. tapi tetap saja viktor super kepikiran. ia baru tahu kalau memiliki perasaan ini ternyata akan bikin repot. mudah merasa cemburu dan khawatir, misalnya.
viktor berdiri, memutuskan untuk mendengar obrolan targetnya dari jarak dekat, bangku seberang.
"siapa nama lo, btw?"
kesempatan bagus, viktor tersenyum di balik bangku sana.
tapi si cewek tidak kunjung menyebut namanya juga, ia malah balik bertanya. "lo dululah yang kenalan."
yaelah.
cowok menyebalkan itu tergelak, "gue ...."
viktor tidak mendengarnya, memalingkan kepala ke jendela luar, alisnya sudah tertekuk dalam.
dari yang telinganya dengar, mereka cukup akrab mengobrol. padahal baru kenal juga.
baru kenal?
mereka baru kenal? lho. kenapa bisa mendadak kenalan gitu. ini tidak adil.
"waktu hari rabu kemaren, lo kok ada di perpus pas tengah malem, sih. lesehan baca buku, padahal di sana udah ada meja baca juga."
hah?
"waktu itu gue ada di sana juga. ngeliat gue gak lo? hahaha, itu pasti namanya jodoh, kan? ketemu berdua di situasi sepi kayak gitu."
buruk, semuanya buruk.
dua kali arabel salah sangka. dua kali, lho. pertama ia mengenali viktor sebagai cowok asing. dan sekarang kedua, ia mengenali cowok asing sebagai viktor.
sungguh ini tidak adil.
viktor menggeram, tangannya sampai terkepal dengan sendirinya.
ini gue, cowok yang harusnya lo kira jadi takdir lo. plis, kenalin gue.
dalam pikiran kacau, ia merasa tidak bisa mencerna obrolan mereka lagi. pandangannya tertuju ke luar dengan bayangan-bayangan pahit serta-merta menyerang khayalannya.
"jadi lo suka keluyuran tiap jam segini?"
"heemlah, pengen ketemu lo, sih." dibarengi dengan suara candaan.
dekat sekali. hanya mengobrol di kala senang. padahal siapa pula yang mendengar keluhannya kemarin? ah, jangan begitu. entar kedengarannya jadi tidak ikhlas dan seolah mengharapkan balasan. cowok sejati tidak begitu prinsipnya.
"gue sih suka nongkrong di-"
"sori ganggu."
viktor harus melakukan ini, berdiri menatap si cewek dari jauh dengan tampang percaya dirinya.
"lo udah baca the story of a red leaf? atau grandma's red apple, mungkin?"
si cewek kebingungan, tatapannya sampai berpindah-pindah dari cowok di sampingnya ke cowok di depannya, viktor. "maksudnya?"
"lo lagi nyari cowok yang waktu itu di perpus bareng lo jam dua belas malem?"
ini tindakan bodoh bukan, sih?
"sori aja, bukan dia," dihadapkanlah wajahnya pada si cowok di sebelah si cewek.
ini tindakan bodoh bukan, sih?
"sori ... tau, ah."
gak sekarang kayaknya.
.
.
.
13 chapter menuju ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro