Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10: Killa Is the Reason


Holaaaaa, balik lagi di lapaknya Killa dan Thalisa. Apakah ada yang rindu momen menggemaskan mereka?

Sebenarnya momen menggemaskan mereka itu buanyaaaaaak bangeeeeeet gaes. Tapi ya gitu, akunya ngaret banget updatenya ckckckckc.

Diharapkan untuk bersabar ya kalau mau liat Killa galau brutal nanti 🤭

Happy reading ~


Pagi datang tanpa seizin Thalisa. Gadis itu mengira bahwa tugasnya belum selesai. Jadi, dia terbangun dengan penuh keterkejutan dan mata yang melompat keluar.

"Sial! Tugas gue." Thalisa memekik, bahkan sebelum dia membuka mata. Kening yang tidak berdosa menjadi korban atas kepanikannya.

Tanpa ingin mengumpulkan kesadarannya dulu dan membuka mata, langsung saja Thalisa menginjakkan kakinya ke lantai. Namun, alih-alih lantai, justru Killalah yang diinjaknya.

Hantaman yang mengejutkan di dadanya membuat Killa melompat keluar dari alam bawah sadarnya. Thalisa pun berteriak karena ikut terkejut.

"Killa! Lo ngapain di bawah sana?" Pertanyaan Thalisa terdengar seperti protes, alih-alih permintaan maaf.

Thalisa kacau sekali pagi ini. Dia seperti baru saja ketinggalan kereta untuk mengejar dunianya, membuat gadis itu panik bukan main.

Killa mengusap dadanya yang terinjak Thalisa dengan wajah meringis, seraya mengambil posisi setengah duduk saat nyawanya masih setengah terkumpul.

Setelah beberapa detik berlalu, barulah Thalisa menyadari kesalahannya karena telah menginjak Killa dengan tidak sopannya.

"Ki, maaf, gue nggak sengaja. Tadi panik soalnya." Thalisa memohon maaf sambil ikut mengusap dada Killa. Berharap rasa sakit yang disebabkan kakinya akan segera hilang. "Lagian, ngapain tidur di bawah sih, Ki?"

Killa mengusap wajahnya lebih dulu sebelum menjawab Thalisa. Bahkan ketika dadanya baru terinjak, Killa tetap saja ingin merespons dengan tawa. Hei, sebenarnya apa yang terjadi pada Killa? Kenapa dia jadi seperti ini?!

"Lo semalam ketiduran, Tha. Mau gue antar ke kamar, takutnya lo bangun. Jadi, ya udah, gue ikut tidur di sini jagain lo." Killa menjelaskan sambil menahan tangan Thalisa yang mengusap dadanya.

Bagaimana Thalisa tidak jatuh cinta kalau Killa bersikap seperti ini padanya?! Gadis mana pun pasti akan langsung jatuh cinta, bahkan pada detik pertama, kan?

"Terus kenapa nggak bangungin gue sih, Ki? Kan lo tau tugas gue belum selesai." Kali ini, suara Thalisa terdengar seperti protes kecil. Gadis itu berterima kasih karena Killa rela tidur di lantai demi menjaganya, tapi menyesal karena tugasnya belum diselesaikan karena lebih dulu tertidur.

"Udah gue selesaiin kok, Tha." Kini, Killa menggunakan tangannya untuk mengusap kepala Thalisa guna mengurangi kekhawatiran gadis itu. "Gue nggak yakin sama hasilnya sih, tapi lumayanlah daripada nggak ngumpul tugas sama sekali."

"Serius udah lo selesaiin, Ki?"

Killa mengangguk.

Thalisa langsung memeriksa tugasnya semalam dan benar saja, laporan praktik yang baru dia kerjakan setengah, kini sudah selesai semua. Bahkan kesimpulan dan daftar pustakanya sudah disusun dengan rapi.

"Tinggal lo ketik kata pengantarnya aja, Tha."

Thalisa menoleh. Wajahnya tampak luntur karena semua kulit-kulitnya seperti mengendur. Namun, Thalisa tidak sampai menangis pagi ini. Daripada menangis, Thalisa lebih memilih untuk memeluk Killa saja sebagai bentuk terima kasihnya.

"Killa, makasih banget. Ya, ampun. Demi Tuhan! Kalau nggak ada lo, gue pasti bakalan ngulang semester depan." Thalisa memeluknya dengan begitu erat, bahkan nyaris naik ke pangkuan Killa. "Makasih. Makasih. Makasih. Pokoknya makasih, Killa. Lo emang penyelamat hidup gue!"

Lagi-lagi Killa dibuat gemas dengan tingkah Thalisa pagi ini. Tangannya secara spontan merengkuh Thalisa ke dalam pelukannya dan mengusap punggung gadis itu.

"Sama-sama, Tha."

Thalisa mengeratkan pelukannya selama 2 detik, kemudian melepasnya untuk menuliskan kata pengantar. Hampir kesepuluh jari Thalisa menari di atas keyboard untuk menyelesaikan laporan praktiknya.

"Ki, nanti bisa antar gue pulang pakai motor aja nggak biar cepat?" Thalisa bertanya, tapi fokusnya tetap pada layar di depan. "Kalau pakai mobil takutnya nanti kelamaan di jalan."

Ya, Killa kadang-kadang menjemput Thalisa dengan mobil, kadang juga dengan motor. Tergantung suasana hati laki-laki itu di 10 menit sebelum dia menjemput Thalisa.

"Laporan praktiknya kelas pertama, ya?"

Thalisa membalas dengan gumam, masih tanpa memberikan atensinya pada Killa.

"Jam berapa?"

"Setengah sembilan."

Killa memeriksa jam di handphone-nya. Setidaknya, Thalisa memiliki waktu hampir 1 jam setengah sebelum kelas pertamanya dimulai.

"Gimana kalau lo mandi di sini aja? Nanti urusan laprak lo, biar gue yang urus. Selesai lo mandi, nanti gue antar balik."

Selesai!

Thalisa menekan tombol 'enter' dengan begitu keras ketika kata pengantarnya sudah selesai dia tulis. Kemudian menoleh pada Killa.

"Serius nggak papa kalau lo yang ngurusin tugas gue?" Thalisa bertanya dengan tidak enak hati. Dia sungguh sudah merepotkan Killa sejak kemarin.

"Kan tinggal di-print sama jilid. Di depan ada fotokopian kok," balas Killa menenangkan.

"Thanks, ya, Ki." Kalau saja Thalisa tidak punya malu, dia pasti sudah memeluk Killa dan mencium laki-laki itu tepat di bibir sebagai bentuk terima kasih. Untungnya saja gadis itu masih memiliki semua kewarasannya saat ini.

Killa mengangguk dan memberikan senyumnya untuk Thalisa. Kemudian menyuruh gadis itu untuk segera mandi selagi dia mencetak tugas itu.

Untungnya juga, fotokopian yang Killa maksud sudah buka. Jika tidak, laki-laki itu akan mendobrak paksa agar tugas laporan Thalisa bisa dijilid hari ini.

"Tha, tugas lo—"

Ketika kembali ke apartemen untuk memberi tahu Thalisa kalau tugas laporan gadis itu sudah selesai, Killa dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang tidak dia harapkan akan duduk di dalam apartemennya.

Alana.

Dia mengulas senyum kaku pada Killa ketika laki-laki itu datang dan berniat memberi tahu Thalisa. Senyum penuh kebanggaan yang semula Killa maksudkan untuk Thalisa lenyap begitu saja karena kehadiran Alana.

Sekarang, wajahnya tampak marah saat mendapati fakta bahwa orang yang paling tidak ingin dia temui justru malah berada di apartemennya.

"Thalisa." Killa memanggil, sebisa mungkin tidak menunjukkan rasa kesalnya. "Tha."

Thalisa datang dari arah dapur dengan membawakan minuman untuk Alana. Wajah gadis itu benar-benar menunjukkan rasa bersalahnya pada Killa karena sudah bersikap selancang ini dengan membiarkan seseorang masuk, tanpa izin sang pemilik tempat.

Setelah meletakkan minuman untuk Alana, seolah dia yang memiliki tempat bertamunya gadis itu, Thalisa langsung membawa Killa untuk menjauh dari pandangan Alana dan menjelaskan semuanya.

"Ki, maaf. Maaf banget. Gue nggak bermaksud lancang karena nerima tamu sembarangan. Tadi tuh waktu dia datang, gue mau nelepon lo buat tanya masalah ini, tapi ternyata lo nggak bawa handphone. Mau gue biarin dia di luar, gue kasian, Ki. Makanya gue ajak masuk aja. Please, please, maafin gue." Thalisa menjelaskan semuanya, bahkan hampir menyatukan kedua tangan di depan dada karena merasa begitu bersalah atas sikap lancangnya.

"Dia ada ngomong sesuatu sama lo?" Killa mengabaikan semua penjelasan Thalisa yang diterima sepenuhnya.

"Nggak ada. Dia tadi cuma nanya lo ada atau enggak, terus gue bilang lo lagi di fotokopian."

Killa mengangguk dengan senyum yang begitu datar. "Udah selesai siap-siap, kan? Ayo, gue antar lo pulang buat ganti baju."

"Nggak mau ngobrol dulu sama dia?" Thalisa bertanya dengan ragu. Entah kenapa dia merasa tidak pantas untuk menanyakannya, meski  sudah resmi menjadi pacar Killa. "Kasian loh kalau langsung ditinggal pergi."

"Kan gue nggak nyuruh dia datang, Tha." Killa membalas dengan nada yang sedikit ketus. Wajahnya pun mulai terlihat masam sekarang.

Thalisa mengembuskan napas pelan dan menggenggam lembut tangan Killa. "Sebentar aja, Ki. Seenggaknya tanya kenapa dia datang nyariin lo hari ini."

Killa yang sebelumnya tidak pernah kesal pada Thalisa, sekarang justru memperlihatkan ekspresi tidak senangnya pada gadis itu karena merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.

Namun, Thalisa menanggapi dengan bijak. Dia mengusap pipi Killa untuk sekadar mengurangi rasa kesal sang pacar pagi ini. "Gue tunggu di lobi, ya."

"Nggak! Kita keluar bareng."

Thalisa tidak membantah dan mengangguk sebagai tanda setuju. Keduanya menghampiri Alana dengan tangan Killa yang tidak ingin melepaskan Thalisa.

"Gue kasih lo waktu 10 detik buat jelasin tujuan kedatangan lo ke sini." Killa masih dengan sikap dinginnya pada Alana. Dia benar-benar tidak berniat untuk bersikap baik pada gadis yang sudah meninggalkannya itu.

Thalisa yang berada di samping Killa hanya bisa menahan napas saat mendengarnya. Dia sungguh tidak tahu kalau Killa bisa bersikap sangat dingin pada seseorang, terlebih lagi sosok yang dulunya—mungkin—sangat berharga untuk laki-laki itu.

"Bisa kita bicara berdua aja, Ki?" Alana meminta dengan penuh permohonan. Bukannya dia tidak menghargai Thalisa, tapi apa yang ingin dia sampaikan benar-benar bersifat pribadi.

"Thalisa pacar gue dan gue nggak mau dia cemburu karena gue ngobrol berduaan aja sama lo."

Sungguh, mendengar nada dingin dari Killa membuat perut Thalisa dipelintir seketika. Faktanya, laki-laki itu sungguh mengerikan ketika hatinya sudah dilukai. Bahkan suaranya saja bisa dengan sendirinya membuat orang lain ketakutan, tidak terkecuali Thalisa.

Thalisa melepaskan tangannya dari Killa dan mengulas senyum pada Alana. "Kalau lo mau ngobrol sama Killa nggak papa kok. Gue bisa nunggu di lobi."

"Tha!" Killa melayangkan protes karena keputusan sepihak Thalisa.

"Ki, nggak baik ngehindari masalah kayak gini," kata Thalisa seolah dia tidak pernah menghindari Sean. Gadis itu harusnya berkaca dulu sebelum berbicara. "Mending lo selesaiin dulu. Masih ada waktu kok sebelum kelas pertama gue. Please."

Killa menutup matanya sejenak untuk mengambil napas, kemudian menyatakan persetujuannya untuk memberikan Alana kesempatan berbicara padanya.

"Tunggu gue di lobi dan jangan ke mana-mana!" Killa memperingati dengan tegas.

Thalisa menyanggupi dengan anggukan dan mengambil barang-barangnya di meja. Namun, saat dia hendak pamit pada Killa, laki-laki itu malah menarik dan menciumnya di bibir, tepat di depan Alana.

Thalisa malu! Rasanya dia ingin menghilang saja dari bumi dan menjadi debu di Mars. Demi Tuhan, apa yang ada di dalam pikiran Killa saat laki-laki itu mencium Thalisa di depan mantan pacarnya?!

Sebelum Thalisa jatuh terduduk karena tidak bisa mempertahankan tulang-tulangnya yang mulai mencair, langsung saja dia keluar dari apartemen Killa tanpa mengatakan apa pun lagi. Dia benar-benar bersyukur karena berhasil keluar dari apartemen Killa tanpa kehilangan seluruh persendiannya.

"Gue kasih lo waktu 10 detik buat jelasin semuanya." Killa masih menggunakan nada dingin pada Alana.

"Alasan kenapa aku ninggalin kamu 3 tahun yang lalu adalah karena aku sakit kanker stadium 3, Ki." Alana berhasil mengatakan kebenaran yang selama ini disimpannya, bahkan ketika 5 detik belum berlalu. "Aku ninggalin kamu lebih awal karena aku pikir hidup aku nggak akan lama lagi. Aku nggak mau kamu sedih di hari kematian aku nanti. Jadi, aku pergi lebih awal biar kamu bisa ngelupain aku lebih cepat."

Sepuluh detiknya yang Killa berikan pada sang mantan pacar menjadi 10 detik paling menyedihkan di sepanjang hidupnya. Laki-laki itu bahkan menahan napas sejak awal ketika Alana mulai membuka mulut untuk bicara. Meski bersikap dingin, tapi siapa yang tahu kalau jantung Killa menunggu dengan gelisah saat-saat seperti ini.

Namun, respons yang Killa berikan sungguh di luar dugaan, bahkan untuk laki-laki itu sendiri.

"Alasan lo basi, Al!" Killa mendecih, tampak tidak sedikit pun menunjukkan rasa simpatinya. "Kalau tujuannya lo emang mau bikin gue benci dan ngelupain lo, terus kenapa sekarang lo balik? Kenapa lo datang di saat gue punya tujuan hidup yang lain?"

"Karena aku masih cinta sama kamu, Ki."

Killa menggeleng dengan decihan sinis. Matanya mulai terasa panas, tapi tidak sampai berkaca-kaca seolah-olah dia sungguh sedih sekarang.

"Kalau lo cinta sama gue, Al, lo nggak akan ninggalin gue dengan cara kayak gitu. Kalau lo cinta sama gue, lo akan terus ada di sisi gue sampai akhir hidup lo. Tapi apa yang lo lakuin ke gue, Al?!" Suara Killa meninggi di akhir kalimat, membuat air matanya tidak jadi menetes. "Lo ninggalin gue gitu aja! Lo hapus semua sosial media lo dan lo ngeblokir nomor gue! Gue bahkan harus ngemis sama teman-teman lo cuma untuk tau kalau lo di Aussie sana udah punya pacar baru, tanpa lo pernah ngasih tau gue ke mana dan kenapa lo pergi!"

Killa memuntahkan kemarahannya yang tidak dia sangka akan keluar juga pada akhirnya—jika saja Alana tidak memaksanya. Di balik sikap dinginnya, tentu laki-laki itu menyimpan perasaan yang lain untuk sang mantan.

"Itu yang lo sebut cinta, Al?" Killa berbisik, tampak agak kelelahan setelah banyak berteriak ketika dia bahkan belum sarapan. "Lo sakit jiwa kalau bilang semua itu lo lakuin supaya gue bisa ngelupain lo ketika lo mati nanti!"

Alana tidak berdaya atas kemarahan Killa pagi ini. Semua itu memang salahnya. Harusnya ketika dia di diagnosa memiliki kanker, yang dilakukannya adalah membicarakannya dengan Killa secara baik-baik dan menyerahkan semua keputusan pada laki-laki itu. Bukan malah mengambil sikap sok mementingkan perasaan Killa, kalau pada akhirnya dialah yang memberikan luka paling dalam.

"Lo tau sesayang apa gue sama lo saat itu. Lo tau seberapa takutnya gue kehilangan lo. Dan lo yang paling tau kalau cuma lo satu-satunya cewek yang gue harapin akan jadi pendamping di hidup gue." Killa tidak menangis, tapi hatinya sungguh sakit sekarang karena keegoisan gadis di depannya. "Tapi apa yang lo lakuin ke gue, Al? Lo ngehancurin semuanya! Harapan masa depan dan hati gue! Semuanya lo hancurin cuma dengan satu jentikan jari."

"Dan setelah semua yang lo lakuin ke gue, lo balik ke gue dan bilang lo masih cinta sama gue?" Killa tertawa dengan gelengan, padahal Alana sedang menangis di depannya. "Lo berengsek, Al!"

"LO PIKIR LO SIAPA BISA PERGI DAN DATANG SESUKA LO KE KEHIDUPAN GUE?!" Killa berteriak. Tentu ini adalah teriakan pertamanya untuk Alana sepanjang mereka saling mengenal. "Sekali lo pergi dari gue, itu artinya nggak akan ada tempat untuk kembali setelahnya."

Maksud kedatangan Alana pagi ini adalah memperbaiki hubungannya dan Killa, tapi yang terjadi saat ini jelas bukan pertanda kalau hubungan mereka akan membaik setelah Alana mengatakan kebenarannya.

"Jadi, please, Al. Please~" Killa memohon dengan penuh penekanan. Emosi di dalam dirinya mati-matian untuk ditahan. "Please, tinggalin gue kayak 3 tahun lalu. Pergi dari hidup gue seolah-olah lo nggak butuh gue untuk ada di samping lo dan gue juga akan ngelakuin hal yang sama."

"Satu kesempatan aja, Ki. Aku mohon." Alana meminta belas kasihan. Dia tahu tindakan impulsifnya salah, tapi bisakah dia diberikan kesempatan untuk memperbaikinya?

"Kesempatan apa, Al? Gue udah nggak cinta sama lo, bahkan gue udah anggap lo bener-bener mati, terlepas dari penyakit yang lo derita." Killa membalas dengan bisikan yang terdengar parau. Bukan karena hatinya kembali dipatahkan, tapi karena dia terlalu lega untuk mengeluarkan kemarahan yang ditahannya selama ini. "Sorry, Al, tapi kanker lo bukan alasan untuk nyakitin gue."

"Tapi kamu adalah alasan kenapa aku berdiri di sini sekarang. Kamu alasan kenapa aku bisa semangat untuk kemoterapi, Ki." Alana mengutarakannya dengan linangan air mata. Dia sungguh masih sangat mencintai Killa. "Aku sembuh buat kamu, Ki. Aku berjuang mati-matian untuk sembuh supaya kita bisa bareng untuk waktu yang lama, Ki."

"Harusnya lo bilang hal itu ke gue 3 tahun yang lalu, Al. Bukan sekarang di saat tujuan gue bukan lagi lo." Senyum Killa terlihat pahit, meski hanya ujung bibirnya yang terangkat.

Laki-laki itu menundukkan kepalanya yang tiba-tiba saja pening. Kenapa pembicaraan ini mendadak jadi rumit seperti ini? Tiga menit bahkan sudah berlalu sekarang.

"Lupain gue, Al. Karena gue juga udah ngelupain lo sejak lo ninggalin gue." Killa mengangkat kembali kepalanya menatap langsung ke dalam mata Alana. "Dan simpan semua maaf, rasa bersalah, atau perasaan apa pun yang lo punya untuk gue. Karena bagi gue, lo udah bener-bener mati, Al."

Hati Killa sungguh sekeras batu saat ini. Melihat gadis yang pernah sangat dicintainya menangis setelah mengatakan alasan kepergiannya 3 tahun lalu, bahkan tidak mampu membuatnya memaafkan. Laki-laki itu tidak akan memberikan kesempatan pada orang yang sudah menyakitinya dengan sangat kejam.

"Jadi, gue harap ini adalah kali terakhir lo muncul di hadapan gue." Killa menambahkan dengan permohonan yang terdengar dingin.

Alana menutup mata ketika harapannya untuk kembali bersama Killa benar-benar tidak ada. Rasa sakit yang diberikannya pada Killa ternyata jauh lebih besar dari cinta laki-laki itu untuknya, membuat pintu maaf tertutup rapat tanpa celah.

Mungkin Killa terlihat kejam karena tidak berusaha untuk mengerti posisi Alana, tapi dia tidak benar-benar kejam karena tidak mengusir Alana yang sedang menangis saat ini. Justru dialah yang pergi lebih dulu dan membiarkan Alana menangis sendirian.

Jangan berani-beraninya menghakimi Killa kalau tidak pernah ada di posisi laki-laki itu! Setiap orang memiliki toleransi untuk memaafkan dan apa yang Alana lakukan pada Killa jelas tidak bisa laki-laki itu maafkan, apa pun alasannya!

***********

Killa ini sebenernya sad boy, gaes. Jadi jangan dihakimi. Cukup pukpuk saja pundaknya dengan penuh kasih sayang ❤️❤️❤️❤️

Dadah~

25 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro