Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 09: Study Date

Siang ini, Thalisa datang ke kampus dengan wajah yang begitu berseri-seri. Fakta bahwa dia dan Killa benar-benar menjadi pasangan saat ini membuatnya senang hingga ingin melompat ke langit ke-7.

Thalisa sadar kalau pertemuannya dan Killa masih terbilang sangat baru, tapi dia benar-benar sudah nyaman dengan kebersamaan mereka saat ini. Bahkan tanpa status, Killa menjadi sosok yang begitu sigap untuk melindungi, juga menjaganya.

Maka dari itu, tidak ada salahnya untuk menerima ajakan kencan dari Killa, kan? Toh, Thalisa juga sudah menyukai laki-laki itu sejak awal pertemuan mereka.

Kasihan Thalisa, dia menganggap hubungan ini serius dan mencurahkan seluruh perasaannya. Tanpa tahu kalau semua yang Killa lakukan untuknya tidak lebih dari bagian rencana balas dendam laki-laki itu.

"Gue udah jadian sama Killa." Thalisa membagikan kabar bahagia ini pada tiga temannya yang lain. Gadis itu tidak bermaksud untuk pamer, hanya saja dia tidak bisa menahan diri untuk menyimpan fakta itu sendirian.

"Serius? Secepat ini?" Rheanne merespons dengan penuh keterkejutan, yang dilakukan juga oleh kedua temannya yang lain.

Thalisa mengangguk, menahan pipinya untuk merona lebih banyak lagi. "Killa tuh so sweet banget tau. Sumpah!"

"Tapi apa emangnya nggak kecepatan, ya? Tiga minggu juga belum lewat, Tha." Jesslyn bertanya dengan ringisan. Kalau itu adalah Jeara atau Rheanne, maka dia tidak akan heran. Namun, dalam kasus ini pelakunya adalah Thalisa. Tentu saja, Jesslyn dibuat kebingungan. "Lo belum sepenuhnya kenal sama Killa."

"Jes!" Jeara menyela dengan merangkulkan tangannya di bahu Jesslyn. "Cinta itu nggak perlu lama. Jangankan 3 minggu, 3 jam juga bisa kalau orang yang lo temui itu emang jodoh lo."

"Ya, emang menurut lo, Killa itu jodohnya Thalisa?" Jesslyn bertanya skeptis. Entah kenapa, dia terlihat tidak senang sekarang.

"Jodoh atau bukan, yang penting Thalisa udah pernah macarin Killa yang dari ujung kaki sampai ujung kepala tuh auranya mahal semua!" Rheanne menimpali dengan berlebihan. Gadis itu hanya tidak bisa menahan pujiannya untuk Killa.

Andai saja bukan Thalisa yang menemukan Killa lebih dulu, Rheanne pasti akan dengan percaya diri mendekati laki-laki itu.

"Setuju sama Rheanne!" Jeara menimpali dengan berapi-api. "Jodoh atau bukan, yang penting senang-senang aja dulu. Iya, nggak, Tha?"

Thalisa hanya membalas dengan anggukan dan senyum. Dia sepenuhnya setuju dengan Rheanne dan Jeara, tapi tidak ingin menunjukkannya terlalu banyak karena tidak mau Jesslyn sampai tersinggung.

Jesslyn memutar malas bola matanya dan melepaskan tangan Jeara dari bahunya. "Terserah kalian deh. Kalau patah hati nggak usah nyari gue lagi! Nangis aja sendiri di sudut kamar mandi."

Jeara yang menyadari kekesalan Jesslyn segera memeluknya. Dia tidak boleh membiarkan Jesslyn marah lama-lama karena gadis itu adalah sumber solusi bagi masalah teman-temannya. Rheanne pun rela bangkit dari duduknya untuk memeluk Jesslyn.

"Tenang, Jes, nanti gue cariin pacar biar lo nggak jomblo lagi. Tinggal bilang aja lo mau yang spek kayak gimana," oceh Rheanne saat memeluk Jesslyn.

Demi Tuhan, Jesslyn mempertanyakan hubungan Killa dan Thalisa yang dipikirnya terlalu cepat bukan karena iri, melainkan dia mengkhawatirkan Thalisa. Jesslyn hanya takut kalau Thalisa akan terjebak dalam hubungan yang rumit seperti sebelumnya.

"Killa itu orang baik. Dia nggak akan nyakitin gue." Thalisa meyakinkan Jesslyn yang tubuhnya sedang dipeluk tanpa suara. Senyumnya benar-benar dia berikan untuk mengurangi kekhawatiran teman baiknya itu.

Jesslyn hanya bisa mendengkus sebal dan membiarkan tubuhnya dipeluk, serta menahan diri untuk marah atas celotehan-celotehan asal dari kedua temannya yang gila itu.

Di lain sisi, ada Killa yang tampak tidak fokus dengan kelasnya. Alih-alih memperhatikan materi yang diberikan, dia malah sibuk berpikir dan memutar pulpennya di sela-sela jari.

Laki-laki itu sedang memikirkan Thalisa. Tentu saja, memang siapa lagi yang akan membuat Killa berpikir keras kalau bukan gadis itu?

Alana? Tidak, tidak! Killa sudah bertekad untuk tidak memikirkan gadis itu di tengah rencana balas dendamnya. Toh juga, hubungan mereka sudah lama berakhir dan benar-benar tidak ada alasan untuk membicarakannya lagi.

"Ki!"

Panggilan itu disertai dengan senggolan kecil di lengan Killa, membuat laki-laki yang tengah melamun itu terkejut karena kesadarannya ditarik secara paksa. Melirik ke samping, rupanya Kairo adalah pelaku atas tindakan tidak sopan barusan.

"Kelasnya udah selesai. Mau sampai kapan lo diam di sini, hah?" Kairo memberi tahu dengan penuh penekanan. "Mau ternak telur lo di sini?"

Saat mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, memang benar kalau kelas sudah berakhir. Buktinya saja, dosen yang memberikan materi sudah tidak ada, para mahasiswa/i pun mulai meninggalkan kelas satu per satu. Hanya Killa yang tampak sibuk dengan dunia kecilnya sendiri.

"Gue perhatiin sejak awal kelas lo sama sekali nggak fokus. Kenapa sih?" Kairo bertanya ketika Killa memasukkan buku ke tas.

Killa menjawab dengan gelengan. "Nggak papa. Cuma lagi malas nyimak aja."

Kairo berdecak sebal. "Nggak usah main rahasia-rahasian deh! Lo pikir, gue kenal lo baru kemarin sore?"

Killa mendesis, kemudian berdiri dan mengambil langkah untuk meninggalkan Kairo. Ajaibnya, Kairo sama sekali tidak melayangkan protes saat ditinggal. Justru dia malah menyusul dengan langkah santai.

"Dua hari yang lalu gue ke Penta sama Thalisa. Di sana gue ketemu sama cowok yang ngejar-ngejar Thalisa."

Persis seperti yang Chandara katakan. Kalau Killa membutuhkan bantuan, laki-laki itu pasti akan membuka diri dengan sendirinya tanpa perlu paksaan yang keras.

Kairo mengerutkan alis bingung. "Ngejar-ngejar kayak Raven gitu?"

"Bukan." Killa membantah dengan gelengan. "Laki-laki yang di Penta malam itu lebih kayak pengen ngobrol sama Thalisa, bukan ngejar-ngejar kayak Raven yang nggak bisa move on."

"Oke, terus masalahnya di mana?"

Killa menoleh pada Kairo di sampingnya dengan wajah yang begitu serius. "Masalahnya adalah cowok itu manggil Thalisa dengan nama Eliza dan sebelumnya gue pernah liat cowok itu nyamperin Thalisa ke indekosnya, tapi sama Thalisa diusir. Terus Thalisa sendiri tuh keliatan kayak ketakutan pas liat cowok itu waktu di Penta."

Kairo mencerna dengan perlahan dan mencoba untuk memahami. "Terus lo udah coba tanya sama Thalisa itu cowok siapa?"

Killa menggeleng lemah. "Thalisa keliatan banget nggak mau bahas masalah itu. Pas gue tanya soal nama Eliza aja, dia kayak menghindar gitu."

"Jadi, ceritanya lo penasaran sama cowok yang nyamperin Thalisa itu?" Kairo bertanya dengan nada hati-hati.

Bohong kalau Killa mengatakan tidak penasaran, apalagi setelah melihat deretan pesan yang Sean kirimkan malam itu. Jelas ada sesuatu yang penting yang perlu diobrolkan. Sayangnya, Thalisa menolak untuk mencari tahu lebih banyak mengenai masa lalunya sendiri.

"Lo udah nyari tau latar belakangnya Thalisa, kan? Jangan sampai aja lo nyesal karena udah salah langkah, Ki." Kairo memperingati dengan nada tajam. Dia melakukannya bukan karena ingin terlihat benar, melainkan karena tidak ingin temannya itu sampai menyesal di kemudian hari.

Killa terdiam. Dia memang sudah memastikan kalau Thalisa adalah adiknya Sandara, tapi mengenai latar belakang gadis itu ... Killa tidak tahu terlalu banyak karena memang tidak banyak informasi yang Chandara berikan padanya.

Jadi, apakah Killa harus meminta Chandara untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang latar belakang Thalisa atau haruskah dia meminta untuk dicarikan informasi mengenai laki-laki yang mengejar Thalisa itu?

"Ki!" Kairo menegur keras kala Killa tampak sibuk dengan pikirannya dan mengabaikan seseorang di sampingnya.

Killa menoleh dengan sedikit terkejut. Matanya mengedip beberapa kali, sebelum akhirnya berdeham untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba tegang ini.

"Gue duluan. Udah janjian sama Thalisa soalnya." Killa segera menghindari Kairo karena tidak ingin ada pertanyaan apa pun lagi.

Namun, Kairo tidak membiarkan. Dia menahan pergelangan tangan Killa sebelum laki-laki itu pergi. "Soal Alana-"

"Kai, please!" Killa memotong dengan kesal. Wajahnya langsung merah menahan amarah. "Hubungan gue sama Alana udah selesai! Udah nggak ada yang perlu dibicarain lagi. Kalau lo emang teman gue, tolong jangan paksa gue untuk baikan sama Alana karena lo pasti tau gimana hancurnya gue waktu itu."

Kairo melepaskan tangannya yang menahan Killa, seakan-akan dia baru saja didorong. Padahal angin pun tidak ada saat ini, tapi Kairo seperti dipaksa mundur karena serangkaian kata dari Killa.

Tatapan Killa dipenuhi dengan protes tajam. Jangan sampai dia sudah bereaksi sekeras ini, tapi tidak dianggap serius. Laki-laki itu juga berharap kalau ini adalah kali terakhirnya dia dipaksa untuk berbaikan dengan Alana.

Kairo mengangkat tangannya, pertanda dia sudah tidak menahan Killa lagi dan mempersilakan laki-laki itu kalau memang ingin pergi menemui Thalisa.

Killa menatap Kairo selama 2 detik, sebelum akhirnya pergi tanpa mengatakan apa pun.

Hei, suasana hati Killa sudah cukup buruk saat ini dan dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk mengaturnya agar tidak terlihat kesal di hadapan Thalisa ketika mereka bertemu.

Namun, melihat keberadaan Sean di depan gedung fakultas Thalisa mampu meruntuhkan usaha Killa dalam membangun kembali suasana hatinya.

Killa turun dari motornya dan menghampiri Sean dengan langkah tegas. Dia tanpa ragu menunjukkan eksistensinya di depan Sean tanpa izin.

"Kalau tujuan lo datang ke sini bukan karena Thalisa, gue bakalan pergi dari hadapan lo. Tapi kalau lo di sini karena Thalisa, itu artinya lo harus berurusan sama gue." Killa langsung saja menyampaikan tujuannya tanpa ingin basa-basi.

Jujur saja, sebenarnya Sean terganggu dengan kehadiran Killa. Baik saat ini maupun malam itu. Laki-laki itu sudah cukup kesulitan untuk berbicara dengan Thalisa dan kehadiran Killa jelas hanya menjadi penghalang.

"Sorry, tapi gue nggak ada urusan sama lo." Sean membalas dengan keseriusan yang sama. "Urusan gue sama Eliza."

"Thalisa." Killa membenarkan penyebutan nama yang baru saja Sean katakan. "Namanya Thalisa, bukan Eliza. Jadi, gue pikir, lo pasti salah orang."

"Fine, Thalisa." Sean membenarkan caranya memanggil Thalisa seperti yang Killa inginkan. "Gue ada urusan sama Thalisa. Masalah pribadi."

"Gue nggak peduli itu masalah pribadi atau umum, tapi selama Thalisa nggak mau ketemu sama lo, itu artinya lo nggak boleh maksa dia, bahkan untuk sekadar ngobrol." Killa menegaskan. Wajahnya jelas menunjukkan kalau laki-laki itu serius dalam setiap katanya. "Jadi, tolong pergi dari sini dan jangan ganggu Thalisa lagi."

Sean mengembuskan napas kasar. Dia sudah menduga kalau menghadapi Killa memang tidak akan mudah. Namun, dia tetap harus berbicara pada Thalisa.

"Gue harus ngomong sama Thalisa. Ini penting." Sean menekankan katanya, bahkan matanya pun dibuat setajam mungkin untuk mengintimidasi lawan bicaranya.

"Sepenting apa memangnya?"

"Gue udah bilang kalau ini masalah pribadi. Jadi, cuma gue sama Thalisa yang boleh tau tentang hal ini." Sean kembali menekankan pernyataannya.

"Kalau gitu, gue nggak bisa bantu," balas Killa dengan bahu terangkat. "Karena nggak ada yang bisa gue bantu, mending lo pergi sebelum Thalisa liat lo dan mood-nya rusak hari ini." Killa meninggalkan senyumnya untuk Sean sebelum meninggalkan laki-laki itu.

"Tunggu!"

Langkah Killa terhenti, tubuhnya pun langsung berbalik untuk berhadapan dengan Sean lagi. Sepertinya, memang inilah yang Killa inginkan.

"Gue nggak bisa cerita banyak sama lo, tapi keselamatan Thalisa saat ini-mungkin-terancam."

"Terancam kenapa?" Killa bertanya dengan kerutan di keningnya.

Sean mengembuskan napas kasar. "Ayahnya Thalisa bukan orang baik. Laki-laki itu bajingan dan gue khawatir sama Thalisa."

"Oke, ayahnya Thalisa bajingan." Killa mengulang, mencoba untuk memastikan lebih dulu sebelum melanjutkan kalimatnya ketika tidak ada pembenaran apa pun. "Bajingan dalam hal apa?"

Sean menggeleng, meminta maaf dalam diam karena dia tidak bisa mengatakan lebih dari yang sudah dikatakannya. "Intinya, yang gue khawatirin sekarang adalah keselamatannya Thalisa."

"Lo nggak usah khawatir soal Thalisa karena gue yang akan jagain dia." Killa kembali mengulas senyumnya pada Sean. "Thalisa pacar gue. Jadi, dia juga tanggung jawab gue."

Sean membalas senyum Killa dengan sinis. "Lo bisa bilang kayak gini karena lo nggak tau bahaya apa yang ngincar nyawanya Thalisa saat ini."

"Terserah." Killa menyahut dingin. Laki-laki itu merasa sudah cukup mendapatkan informasi. Sekarang, yang perlu Killa cari tahu hanyalah latar belakang Thalisa.

Tanpa menunggu Sean pergi, Killa sudah lebih dulu melangkahkan kakinya. Laki-laki itu perlu menjemput Thalisa karena keduanya memiliki rencana untuk jalan-jalan ke skatepark lagi hari ini.

Dalam perjalanannya menjemput Thalisa, Killa menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan. Kini, waktunya untuk menerima balasan atas ketidaktahuan diri seorang Chandara Owen.

"Hai."

Suara itu datang dengan mengejutkan, dibarengi sentuhan di lengan yang nyaris memeluk Killa. Kalau ada seseorang yang berani melakukannya, maka orang itu pasti Thalisa.

"Hai." Killa membalas, memberikan senyumnya dan segera menyimpan handphone-nya di saku, kemudian menggenggam tangan Thalisa. "Udah beres kelas, kan?"

Thalisa mengangguk, tapi wajahnya tampak sedih. "Tapi kayaknya hari ini nggak bisa ke skatepark dulu deh. Soalnya gue baru ingat kalau besok tuh ada laporan praktik yang harus dikumpulin."

"Ya, nggak papa. Pergi ke skatepark-nya kapan-kapan aja kalau lo luang nanti," balas Killa memaklumi.

"Maaf, ya, Ki." Thalisa memohon maaf karena merasa telah mengecewakan Killa. Padahal ini akan jadi kencan pertama mereka, tapi dia malah harus membatalkannya karena tugas.

"Nggak papa, Cantik." Killa mengusap lembut kepala Thalisa dan memberikan senyumnya. "Skatepark-nya nggak bakalan ke mana-mana kalau kita nggak ke sana hari ini, tapi lo mungkin bisa ngulang semester depan kalau nggak ngumpulin laporan praktikum besok."

Hati Thalisa menghangat. Dia tahu kalau Killa tidak akan marah, tapi tidak menyangka kalau laki-laki itu akan memakluminya dengan cara yang begitu manis.

"Weekend deh, kita ke sana. Janji nggak bakalan ada laporan praktikum lagi." Thalisa mengangkat sebelah tangannya sebagai sumpah kecil.

Killa menanggapi dengan senyum yang begitu manis, matanya bahkan hilang karena merasa gemas. Kalau saja tidak sedang berada di kampus, mungkin Killa akan mencuri ciuman dari bibir Thalisa seperti sebelumnya.

Dikarenakan Thalisa tidak bisa pergi untuk kencan di luar, maka kencan hari ini dipindahkan saja ke apartemen Killa. Laki-laki itu menawarkan pada Thalisa untuk mengerjakan laporan praktikum di apartemennya saja agar gadis itu tidak terlalu bosan. Setidaknya, Killa pikir kehadirannya di tengah kesibukan Thalisa mengerjakan tugas bisa membantu gadis itu untuk lebih semangat.

Killa meletakkan banyak camilan untuk menemani Thalisa mengerjakan tugas. Sementara dia duduk di samping gadis itu dan memperhatikan tanpa terlihat bosan.

"Ki, kalau lo mau nonton, nonton aja nggak papa. Gue nggak keganggu sama suara TV kok," kata Thalisa saat merasa mungkin Killa akan bosan karena menunggunya mengerjakan tugas.

Killa menggeleng pelan, kemudian tersenyum. "Gue lebih suka nontonin lo ngerjain tugas daripada nonton TV."

Thalisa ingin merona, tapi menahannya dengan decakan sebal. Dia tidak boleh tampak murahan di hadapan Killa karena mudah terpengaruh atas hal-hal kecil seperti ini. Jadi, gadis itu memutuskan untuk kembali pada laptop dan referensi tugasnya.

Killa tertawa untuk alasan yang hanya diketahui olehnya, kemudian mengusap kepala Thalisa. Bersamaan dengan itu, handphone yang dia letakan di meja berdering karena ada panggilan masuk.

Parasit! Jangan Diangkat is calling ....

Faktanya, Killa mengangkat panggilan telepon tersebut tanpa membiarkan handphone-nya bergetar lebih dari 3x kali.

"Password apartemen lo ganti, ya? Gue nggak bisa masuk, Bangke!" Itu suara Chandara. Ya, dari cara Killa menyimpan kontak itu saja sudah ketahuan siapa pemilik nomornya.

Killa langsung menoleh ke arah pintu keluar dan menahan napas selama beberapa saat. Laki-laki itu memang baru saja mengganti password apartemennya-benar-benar baru 3 jam yang lalu sejak kedatangan Thalisa-untuk menghindari kejadian memalukan seperti saat itu karena kebiasaan buruk Chandara yang suka keluar masuk seenaknya di apartemen Killa.

"Tha, gue keluar bentar, ya. Tadi pagi ada titipan paket buat tetangga sebelah." Killa meminta izin untuk pergi keluar sebentar pada Thalisa setelah mematikan sambungan teleponnya, yang tentu saja semua itu hanyalah kebohongan.

Thalisa mengangguk mengizinkan.

Ketika membuka pintu apartemennya, Killa tahu kalau Chandara pasti akan melayangkan protes. Maka dari itu, dia langsung membungkam mulut Chandara dan membawanya sedikit menjauh.

"Sorry, Bang, tapi sementara ini lo nggak boleh main ke apartemen gue dulu." Killa melepaskan tangannya setelah menyampaikan maksudnya.

"Loh, kenapa? Apartemen lo tuh udah kayak apartemen gue sendiri, Ki," protes Chandara tidak terima.

Killa berdecak sebal. Kapan laki-laki di depannya ini bisa tahu diri dan bersikap seperti manusia pada umumnya?

"Gue nggak mau kejadian waktu itu keulang lagi, ya, Bang!" Killa menegaskan dengan berapi-api. "Lo yang bikin ulah, tapi gue sama Thalisa yang nanggung malu. Jadi, buat sementara ini lo nggak boleh main ke sini dulu, khususnya pas gue lagi nggak ada."

"Ki~" Chandara merengek dengan bahu melorot. Sungguh, apartemen Killa adalah tempat ternyaman bagi Chandara, bahkan lebih nyaman dari rumah kedua orang tuanya sendiri.

"Buat sementara ini lo ngungsi ke tempat Braga aja."

"Nggak mau, ah! Braga sama Kairo tuh jorok, Ki. Mereka jarang beres-beres. Nggak mau gue tidur di kandang ayam begitu." Chandara mengoceh tanpa melihat lebih dulu ke arah dirinya.

Alasannya senang tinggal bersama Killa adalah karena laki-laki itu tidak tahan melihat huniannya berantakan. Jadi, tidak peduli seheboh apa Chandara membuat kekacauan, tetap saja Killa yang akan membereskannya.

Namun, lain halnya kalau dia tinggal bersama Braga dan Kairo, yang kelakuannya tidak beda jauh dengan Chandara. Jika mereka tinggal bersama bahkan untuk waktu 3 hari, bisa-bisa sendok saja tidak dapat ditemukan di sana.

"Ya, makanya pulang ke rumah!" tukas Killa. Tiba-tiba saja emosinya meledak karena rengekan tidak tahu diri Chandara. "Lo tuh punya rumah, Bang. Tapi kok sukanya malah jadi parasit di tempat orang sih?!"

Chandara berdecak saat merasa Killa terlalu keras mengusirnya. "Lo kan tau kenapa gue nggak mau pulang ke rumah, Ki."

"Ya, kalau gitu beli unit sendiri kek, biar nggak ngerusuhin gue mulu. Lo pikir gue tinggal sendiri begini buat nyediain lo tempat?"

Melihat kemarahan Killa saat ini membuat Chandara menekuk wajahnya untuk mencari simpati. Killa pun tahu alasan Chandara tidak ingin membeli unit sendiri, meski memiliki uang. Namun untuk sementara ini, dia benar-benar tidak bisa membiarkan Chandara menjadi parasit di apartemennya.

"Sana pulang!" Killa mengusir dengan dorongan pelan di dada Chandara. "Gue lagi sama Thalisa sekarang. Jadi, jangan ganggu. Oke?" Kini, Killa melemparkan tangannya untuk mengusir Chandara dari hadapannya.

Killa sudah berbalik untuk meninggalkan Chandara, tapi dia memutar tubuhnya lagi. "Oh, iya, jangan lupa sama pesanan gue tadi siang," katanya mengingatkan. Kemudian meninggalkan Chandara yang mendengkus sebal.

Sebenarnya, Chandara bisa saja bersikeras masuk ke apartemen Killa saat ini, mengingat dia yang lelah sekali karena perjalanan panjang sebelumnya. Namun entah kenapa, kaki laki-laki itu tidak bisa melangkah untuk mengikuti Killa.

Chandara seperti sedang mempertimbangkan sesuatu dan mengembuskan napas dengan perlahan, mencoba untuk mengumpulkan remahan harga dirinya yang sedang berantakan.

"Udah ngantar paketnya?" Thalisa bertanya ketika Killa kembali duduk di sampingnya.

"Hah? Paket?" Sialnya, Killa lupa dengan kebohongan yang dia katakan tadi. Sampai akhirnya dia teringat dengan sendirinya saat melihat kerutan di kening Thalisa. "Oh! Paket tetangga tadi? Udah kok. Udah gue kasih."

Kehebohan Killa saat menjawabnya membuat Thalisa sedikit bingung, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi dan kembali pada tugasnya.

"Tha, suka pasta nggak?" Killa iseng bertanya setelah beberapa saat sebelumnya sibuk dengan handphone.

Thalisa menoleh sebagai bentuk kesopanan untuk menghargai orang yang sedang mengajaknya bicara. "Suka."

"Mau makan pasta nggak hari ini? Kalau mau, gue masakin."

Mata Thalisa melompat takjub. "Lo bisa masak?"

"Kalau pasta doang sih bisa," sahut Killa tanpa terdengar sombong.

"Kalau lo nggak keberatan, ya, gue nggak bakalan nolak." Thalisa tersenyum, menahan pipinya untuk merona karena takjub saat mengetahui fakta kalau Killa bisa memasak pasta-karena sejatinya Thalisa tidak bisa.

Inilah salah satu alasan juga kenapa Chandara menyukai apartemen Killa. Selain karena Killa orangnya rapi, Killa juga tidak malas untuk urusan masak. Jadi, perut Chandara tidak hanya selalu diisi dengan makanan cepat saji karena terkadang Killa suka melakukan eksperimen memasak kalau merasa bosan. Dan tentu saja, Chandara juga akan kebagian.

Saat Thalisa mengatakan dia tidak terganggu dengan suara TV, gadis itu sungguh bermaksud seperti itu. Ketika sedang mengerjakan tugas sendiri, Thalisa biasanya akan membiarkan televisinya menyala agar tidak terlalu sepi atau sekalian memutar musik kesukaan agar tingkat stresnya berkurang selagi kepalanya mendidih karena laporan praktikum yang tidak kunjung selesai.

Setelah berkutat dengan laporan praktiknya selama lebih dari 4 jam, Thalisa memutuskan untuk istirahat sebentar. Dia meregangkan tubuh dan membunyikan jari-jarinya yang sudah bekerja keras agar bisa relaks.

Dari arah dapur, Thalisa mendengar suara seperti sesuatu yang dicincang. Gadis itu penasaran seperti apa Killa jika berurusan dengan dapur. Jadi, dia memutuskan untuk memerhatikan dari jauh tanpa mengumumkan kehadirannya.

"Aw!" Killa mengaduh dan melepaskan pisau dari tangannya.

Rupanya, laki-laki itu tidak sengaja melukai jarinya ketika sedang memotong daun bawang. Alhasil ujung jarinya sedikit terpotong dan darah mengucur dari sana.

Thalisa yang melihatnya buru-buru menghampiri Killa dan melihat luka laki-laki itu. "Ki, lain kali hati-hati dong!" katanya mengingatkan, kemudian membawa Killa untuk mencuci luka itu dan menekan darahnya sampai habis. "Ngapain sih buru-buru kayak mau ketinggalan kereta gitu?"

Killa terkejut saat tangannya terluka, tapi lebih terkejut lagi ketika melihat perhatian Thalisa padanya. Gadis itu sungguh terlihat mengkhawatirkan Killa saat ini, padahal laki-laki itu hanya luka kecil. Alasannya mengaduh pun hanya karena terkejut, bukan karena sakit yang benar-benar tidak bisa ditahan.

"Kotak obat di mana?" Thalisa mengangkat pandangan ketika darah dari luka Killa sudah tidak ada.

"Ada di laci kedua sebelah kiri di kamar gue."

Thalisa mengangguk dan langsung saja pergi ke kamar Killa untuk mengambil kotak obat. Gadis itu tidak bisa membiarkan Killa terluka terlalu lama.

"Ki, lain kali hati-hati kalau lagi pegang benda tajam. Untung cuma kegores dikit. Gimana tadi kalau tangan lo kepotong?" Thalisa tampak khawatir, tapi tidak membuat omelannya hilang begitu saja.

Killa tertawa dengan sudut bibirnya. "Tha, ini tuh luka kecil. Nggak perlu diplester segala," katanya seraya mengangkat jari telunjuk yang kini sudah dibalut lukanya.

"Namanya luka, mau besar atau kecil, ya tetap aja luka, Ki," sahut Thalisa dengan penuh penekanan. "Jangan mentang-mentang kecil terus dibiarin gitu aja. Nanti kalau jadi infeksi gimana?"

"Bawel banget sih, pacar gue." Killa yang gemas langsung menjepit pipi Thalisa dengan tangannya yang lain.

"Bawel juga buat lo, Ki."

Killa menyambar bibir Thalisa karena terlalu gemas. Dia sungguh tidak menyangka, di balik sikap Thalisa yang terlihat tegas di luar, gadis itu ternyata memiliki sisi menggemaskan yang sulit sekali untuk Killa abaikan.

"Gemes banget gue, sumpah!" Killa menahan tawanya agar tidak pecah.

"Killa~" Thalisa merengek dan memukul pelan dada Killa karena mencuri ciuman darinya begitu saja.

"Gemes gue, Tha." Sekarang, Killa tertawa karena tidak bisa menahannya lagi. Reaksi yang diberikannya ini sungguh alami.

Thalisa berdecak sebal, tapi sebenarnya jantung gadis itu hampir-hampir meledak karena tindakan Killa barusan. Memang keduanya sudah berciuman lebih dari 3x, tapi kalau cara Killa menciumnya seperti tadi, ya, Thalisa terkejut juga.

"Hati-hati masaknya." Hanya itu yang Thalisa katakan untuk membalas ciuman sebelumnya, kemudian sibuk membereskan kotak obat yang sama sekali tidak berantakan. Justru dia malah yang membuat isinya berantakan.

Killa tidak tahu kenapa dia selalu ingin tertawa setiap kali Thalisa bertingkah menggemaskan seperti ini. Laki-laki itu hanya tidak bisa menahan diri untuk bereaksi.

Tapi maaf, Killa harus menyelesaikan masakannya kalau tidak ingin kelaparan dan sia-sia tangannya terluka. Jadi, Killa meminta izin pada Thalisa untuk meninggalkan gadis itu sebentar.

Ketika Thalisa mengatakan Killa adalah 'pacar impian', tentu gadis itu tidak asal bicara. Sebelum menjadi pacar saja, Thalisa sudah merasakan hal-hal yang tidak pernah dirasakannya saat dia bersama Raven. Ada begitu banyak hal yang Killa lakukan untuk Thalisa, di mana hal-hal itu menjadi hal pertama untuknya. Itu sebabnya dia tidak ragu untuk menjalin kasih dengan Killa meski pertemuan mereka masih terbilang sangat singkat.

Setelah memasak untuk Thalisa, kini Killa membantu mengerjakan laporan praktik gadis itu. Dia menggantikan jari-jari Thalisa yang sudah kelelahan saat ini dengan sukarela, sementara gadis itu tertidur di belakangnya karena kelelahan, juga kekenyangan.

Melihat Thalisa yang ketiduran, Killa berinisiatif untuk menyelimuti gadis itu agar tidurnya lebih nyenyak dan lanjut mengerjakan tugas Thalisa.

Thalisa yang memiliki tugas laporan praktikum, tapi Killa yang harus begadang sampai jam 3 pagi untuk menyelesaikannya. Untung saja laki-laki itu tidak sedang memiliki tugas. Jadi, dia bisa membantu Thalisa semampunya.

Lelah, Killa pun membaringkan tubuhnya di lantai setelah membereskan semuanya. Laki-laki itu terlalu malas untuk berjalan ke kamar. Lagi pula, Thalisa tidur di sofa saat ini. Rasanya sangat tidak etis kalau Killa tidur di kamarnya sendiri. Jadi, biarlah malam ini dia tidur hanya beralaskan karpet berbulunya-ditemani Thalisa.

********************

Usahanya seorang Killa buat dapetin hatinya Thalisa itu emang nggak main-main. Semua dia lakuin buat bikin Thalisa baper.

Di mana lagi coba nemu yang modelan Killa begitu 😭😭😭😭

22 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro