Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 08: Officially Dating

Lagi-lagi Thalisa terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri pagi ini. Rasa pusingnya tidak separah sebelumnya, tapi tetap saja Thalisa butuh waktu untuk mengumpulkan kesadarannya.

Anehnya, Thalisa tidak terkejut ketika dia terbangun bukan di kamarnya, melainkan kamar yang ditempatinya beberapa hari lalu.

"Lo semalam bikin ulah apa lagi, Tha?" Thalisa bertanya pada dirinya sambil mengusap wajah. Lagi-lagi tidak ada ingatan yang tersisa saat dia mabuk.

Melirik ke samping, gadis itu mendapati tas dan handphone-nya di meja. Pasti Killa yang membawakan barang-barangnya.

Demi Tuhan, rasa terima kasih saja tidak akan pernah cukup atas semua bantuan yang Killa berikan untuknya selama ini.

Kira-kira, balas budi seperti apa yang harus Thalisa lakukan untuk membayar semua kebaikan Killa padanya?

Pintu terbuka tiba-tiba, membuat Thalisa mengangkat pandangan dengan terkejut, tapi segera tersenyum tipis saat melihat Killa berdiri di sana.

"Udah bangun?"

Thalisa mengangguk dengan kedipan menahan malu. "Barusan."

"Mau sarapan sekarang atau nanti?" Killa bertanya seraya mengambil langkah untuk menghampiri Thalisa.

"Mau bilang makasih dulu sih sama lo karena lagi-lagi harus repot ngurusin gue yang teler." Thalisa tersenyum dengan tawa, tapi semuanya dia lakukan hanya untuk menekan rasa malu yang membanjiri tubuhnya.

"Kayaknya gue udah mulai terbiasa ngurus orang mabuk deh," sahut Killa dengan tawa kecil. "Tapi khusus ngurusin lo doang. Kalau yang lain sih, gue malas, ya."

Thalisa yang tidak bisa menahan rasa malunya lebih lama memutuskan untuk menyembunyikan kepalanya di dalam selimut.

"Killa~ Maafin gue." Thalisa merengek, bermaksud untuk memohon maaf karena terus saja merepotkan laki-laki itu. "Demi Tuhan, Ki, gue nggak ada maksud sama sekali buat ngerepotin lo. Harusnya lo tinggal aja gue tadi malam."

Killa tertawa gemas karena tingkah Thalisa dan tidak bisa menahan diri untuk mengusap kepala gadis itu dari luar selimut. "Gimana bisa gue ninggalin pacar gue yang lagi mabuk di kelab? Kalau ada apa-apa sama lo, gue juga yang repot, Tha."

Lagi-lagi Thalisa harus merelakan jantungnya untuk melorot ke perut karena tindakan Killa. Gadis itu masih tidak bosan untuk berdoa pada Tuhan agar jantungnya tidak meledak dalam waktu dekat.

"Gue jadi pacar bohongan lo aja nyusahin, Ki. Kalau jadi pacar beneran pasti bakalan jadi beban hidup lo."

Killa tertawa geli. Menurutnya, apa yang Thalisa katakan barusan benar-benar menggelitik perutnya, hingga laki-laki itu lupa kalau gadis menggemaskan di depannya ini adalah seseorang yang harus dia hancurkan hidupnya suatu saat nanti.

"Kalau kata gue sih, lo malah ringan banget, Tha. Pas gue gendong lo semalam aja rasanya kayak gendong sekarung kapas, bukan manusia." Killa menyahut dengan nada riang.

Thalisa mengeluarkan kepalanya dari selimut saat Killa malah mengajaknya bercanda. "Ki, gue serius!"

"Gue juga serius, Tha. Lo tuh terlalu ringan untuk ukuran anak kuliahan tau."

Thalisa mendengkus. Dia tidak tahu ini pujian atau hinaan, tapi yang jelas dia sebal sekarang.

Tidak ada kata lagi yang Thalisa keluarkan setelah Killa membahas mengenai berat tubuhnya yang terlampau ringan. Gadis itu tidak tersinggung, dia hanya merasa tidak senang saja tanpa alasan yang jelas.

"Sana mandi dulu, biar badan lo agak enakan." Killa mengusap kepala Thalisa untuk mengambil perhatian gadis itu. "Nanti gue siapin baju gantinya."

Thalisa menengadah untuk menatap Killa di atasnya. Bisakah laki-laki di depannya ini berhenti membuat jantung Thalisa menguji kekuatannya? Sungguh, Thalisa lelah menahan detakan yang begitu kuat setiap kali Killa memperlakukannya seperti mereka pasangan yang sesungguhnya.

Killa meninggalkan Thalisa dengan senyum di wajahnya ketika merasa sudah cukup menggoda gadis itu pagi ini. Dia bisa melanjutkan godaannya nanti.

Thalisa yang masih ingin merapalkan mantra agar jantungnya diberikan kekuatan terpaksa menoleh ke arah handphone-nya saat mendengar dering yang menandakan adanya pesan masuk.

Saat melihat pemberitahuan di handphone-nya, Thalisa terkejut saat melihat banyaknya panggilan masuk dan pesan yang Sean kirimkan padanya semalam. Rupanya, laki-laki itu memang sangat gigih untuk bisa berbicara dengannya.

Jadi, haruskah Thalisa menyisihkan sedikit waktunya untuk berbicara dengan Sean? Tapi siapkah Thalisa untuk menghadapi kebenaran masa lalunya?

Tidak! Sepertinya menghindari Sean jauh lebih baik daripada terlibat dengan laki-laki itu. Jadi, Thalisa memutuskan untuk mengabaikan pesan, juga panggilan dari Sean dan menganggapnya tidak pernah ada.

Tiga kali datang berkunjung ke apartemen Killa membuat Thalisa akrab dengan tempat itu secara alami. Harus Thalisa akui kalau Killa menjaga tempat tinggalnya untuk tetap bersih, bahkan lebih bersih dari tempat tinggal Thalisa yang notabenenya adalah seorang gadis.

Dan itu semua karena ketidakhadiran Chandara. Kalau saja laki-laki itu ada di sini, pasti apartemen Killa akan terlihat seperti kandang ayam karena terlalu berantakan.

"Bajunya kegedean, ya, Tha?" Killa bertanya dengan tawa kecil yang terdengar ringan.

Laki-laki itu memberikan Thalisa kaus lengan panjang miliknya yang sudah lama tidak dia pakai. Begitu juga dengan celana olahraganya. Dia pikir, pakaiannya akan muat di tubuh Thalisa, tapi ternyata tetap kebesaran untuk gadis itu.

"Mending kegedean sih, daripada kekecilan." Thalisa membalas dengan kekehan tawa, menunjukkan pada Killa kalau pakaian yang kebesaran bukan masalah untuknya.

"Oh, ya, barang-barang lo nggak ada yang ketinggalan, kan?" Killa memastikan ketika Thalisa mengambil duduk di seberangnya.

"Aman kok. Nggak ada yang ketinggalan."

"Bagus deh. Takutnya ada barang penting yang ketinggalan di Penta."

Demi Tuhan, jantung Thalisa bisa saja berhenti berdetak lebih cepat dari yang seharusnya kalau Killa terus-terusan memberikan perhatian padanya.

Ini terlalu banyak untuk Thalisa! Gadis itu perlu waktu untuk membiasakan diri.

"Ki, lo ada jadwal kuliah hari ini?" Thalisa bertanya untuk sekadar mengalihkan perhatian.

Killa meringis sambil menggaruk pelipisnya. "Ada kelas pagi sebenarnya. Cuma gue bolos karena tadi masih agak pusing."

"Lo pasti bolos karena nunggu gue bangun, ya?" tebak Thalisa dengan penuh keyakinan.

Killa tidak akan masuk ke kamar tadi kalau tidak bermaksud untuk memeriksa apakah Thalisa sudah bangun atau belum.

"Bukan karena lo kok, Tha. Emang gue beneran pusing tadi pagi, makanya bolos." Killa terpaksa mengatakan kebohongan untuk kesekian kalinya pada Thalisa. "Lo sendiri ada kelas hari ini?"

"Kelas gue jam 1 siang nanti sih."

Killa melirik jam tangannya. "Masih 3 jam lagi, Tha. Santai aja dulu di sini. Nanti gue antar ke kampus."

Thalisa menolak dengan gelengan tegas. "Nggak usah, Ki. Gue nanti berangkat sendiri aja. Lo udah terlalu repot ngurusin gue dari semalam. Masa iya harus ngantar gue ke kampus juga. Lama-lama lo kayak pesuruh gue, bukan pacar."

Killa bergumam dan menopangkan dagunya. "Pacar, ya?"

Thalisa mengatupkan bibirnya sebentar. "Pacar bohongan— maksud gue."

"Tapi semalam lo udah setuju buat jadi pacar beneran gue sih, Tha," kata Killa mengingatkan.

"Hah?"

Killa mengangguk untuk menjawab kebingungan Thalisa. "Tadi malam, waktu gue gendong lo, gue tanya sama lo 'mau nggak jadi pacar beneran gue'. Terus lo jawab mau."

"Hah?!" Kebingungan Thalisa menjadi berlipat ganda sekarang.

"Gue nggak masalah kalau lo lupa waktu lo nyium gue, tapi gue bakalan sedih banget sih, kalau lo sampai lupa waktu lo setuju buat jadi pacar beneran gue." Killa hampir cemberut saat mengatakannya. Dia seolah-olah akan sangat kecewa kalau Thalisa benar-benar melupakan pembicaraan singkat semalam.

"Killa, lo pasti lagi ngerjain gue, kan?" Thalisa menuduh dengan berapi-api. Dia sungguh tidak percaya kalau Killa menanyakan hal seperti itu padanya semalam.

"Emang muka gue kayak tipe orang yang suka bercanda tanpa liat sikon, ya, Tha?" Killa bertanya balik, meminta pendapat Thalisa seolah masalah ini benar-benar sangat penting.

Thalisa spontan menggeleng, tapi bukan itu maksudnya. Sekarang, dia tidak tahu harus memercayai apa. Haruskah dia percaya pada ingatannya yang tidak ada di dalam kepala saat ini atau haruskah dia percaya pada Killa—meski kedengarannya laki-laki itu hanya berbicara omong kosong?

"Sorry, Ki, tapi gue bener-bener nggak ingat apa pun soal semalam." Thalisa meminta maaf dengan penuh sesal. Dia sungguh tidak ingat apa pun setelah berada di bawah pengaruh alkohol. Gadis itu bahkan tidak sadar kalau dia bertemu Sean semalam.

Killa cemberut, menunjukkan pada Thalisa kalau dia benar-benar kecewa pada gadis itu. Tingkah Killa saat ini terlihat seperti dia baru saja dipermainkan perasaannya oleh Thalisa.

"Ya, udah lupain aja, Tha." Killa tidak mengulas senyum sedikit pun karena merasa kecewa. "Anggap aja emang nggak ada yang gue omongin tadi malam."

Killa yang tampak sangat kecewa segera berdiri dari duduknya, meninggalkan Thalisa yang tampak kebingungan.

Hei, Thalisa pikir, dia baru saja menyakiti perasaan Killa karena pernyataannya yang mengaku tidak mengingat apa pun.

Namun, Thalisa yang tidak ingin Killa sedih karenanya segera mengejar laki-laki itu dan memeluknya dari belakang.

"Ki, maafin gue." Thalisa memohon sambil memeluk erat Killa di depannya. "Gue yang salah karena nggak ingat sama apa yang terjadi semalam di antara kita. Harusnya gue nggak ngelupain hal sepenting itu."

Pipi Killa memerah karena tindakan Thalisa saat ini. Laki-laki itu tidak menyangka kalau Thalisa akan membujuknya sampai seperti ini. Pelukan saat ini bahkan lebih mengejutkan dari saat Thalisa mencuri ciuman darinya untuk kali pertama.

"Please, maafin gue, Ki." Thalisa kembali mengatakan penyesalannya, berharap laki-laki yang dipeluknya ini akan memaafkannya. "Gue janji, ke depannya nanti gue nggak bakalan lupa tentang hal-hal semacam ini. Apa pun yang berhubungan sama lo, gue janji nggak akan pernah lupa."

"Tapi lo beneran nggak ingat sama sekali, Tha?" Killa bertanya lagi, memastikan apakah ada ingatan yang mungkin terselip di dalam kepala gadis itu. "Sedikit pun?"

Dengan berat hati, Thalisa membenarkan dalam gumam. "Maaf, Ki," bisiknya. "Gue kalau udah mabuk, beneran nggak ingat apa-apa."

Killa membalikkan tubuhnya dengan cepat, tapi tidak benar-benar melepaskan diri. "Itu berarti lo nggak boleh mabuk sendiri, Tha!" tegasnya berapi-api. "Bahaya kalau lo mabuk sendiri dan nggak ingat apa-apa. Kalau ada yang macam-macam sama lo gimana?"

Thalisa mengedip terkejut, kemudian mengatupkan bibirnya sesaat. "Ya, makanya gue ngajak lo semalam, Ki."

Killa mengembuskan napas kasar. Gadis di depannya jelas baru saja mengatakan secara tidak langsung kalau dia telah memanfaatkan Killa. Namun anehnya, Killa tidak merasa keberatan sama sekali. Justru laki-laki itu senang karena ketergantungan Thalisa padanya yang mulai terlihat.

"Besok-besok, kalau lo mau mabuk jangan lupa ajak gue. Minimal bilang ke gue, biar bisa gue jemput." Killa menegaskan dengan berapi-api.

Thalisa mengangguk dengan gumam. Pelukannya pada Killa melonggar perlahan, bermaksud untuk mengambil langkah mundur karena sepertinya keintiman ini harus segera diakhiri.

"Udah nggak marah lagi, kan sama gue?" Thalisa bertanya hati-hati. Setelah menjatuhkan harga dirinya seperti tadi, harusnya dia sudah mendapatkan maaf dari Killa karena melupakan apa yang terjadi semalam.

Killa memainkan bibirnya untuk menggoda Thalisa, berpura-pura berpikir apakah dia sudah memaafkan gadis itu atau tidak.

"Maunya sih marah, ya, karena gue ngerasa kayak nggak diakui sebagai pacar." Killa menjawab dengan setengah nada yang penuh dengan indikasi keberatan. "Tapi karena lo lucu dan berusaha banget buat minta maaf sama gue, jadi ya udah, kali ini gue maafin."

Mata Thalisa berbinar cerah, dengan pipi yang tampak merona dan sudut bibir yang ingin mengukir senyum.

"Ingat, ya, cuma kali ini aja gue ngasih toleransi sama lo. Besok-besok kalau ada kejadian kayak gini lagi, gue bakalan marah yang bener-bener marah sama lo. Pokoknya sampai berhari-hari deh, berbulan-bulan kalau perlu biar lo nggak lupa lagi." Killa menambahkan dengan kalimat panjang yang terdengar begitu posesif, membuat pipi Thalisa semakin terbakar.

"Ya, kalau gue lupa tinggal lo ingatin dong, Ki," balas Thalisa tidak mau kalah. Gadis itu cengengesan seperti bocah 5 tahun yang kesenangan karena diberi permen.

"Ngingetin lo tentang apa?" Killa menantang, melingkarkan tangannya di pinggang Thalisa agar kembali mendekat padanya.

"Ngingetin apa pun tentang kita yang nggak sengaja gue lupain karena mabuk."

"Termasuk ngingetin lo tentang ini?"

Ini yang Killa maksud adalah ciuman mereka semalam. Laki-laki itu mencium Thalisa tepat di bibir, persis seperti yang Thalisa lakukan padanya semalam.

Thalisa terkejut sampai tidak bereaksi apa pun. Tubuhnya membeku kala Killa mulai melumat bibirnya. Di antara tiga ciuman yang Thalisa berikan ke Killa, tidak ada satu pun yang dia ingat. Jadi, Thalisa menganggap kalau ini adalah ciuman pertama mereka.

Killa menyudahi ciumannya pada detik kesepuluh. Bukan karena marah tidak mendapatkan balasan, melainkan karena dia merasa sudah mengingatkan Thalisa.

"Tiga kali lo nyium gue, Tha." Killa mengingatkan dengan tawa kecil. "Tapi kayaknya tiga-tiganya juga lo lupain."

"Sebanyak itu gue nyium lo?"

Killa mengangguk dengan penuh keyakinan. "Gue nggak perlu bohong kalau cuma mau nyium lo."

Thalisa diam-diam membenarkan. Laki-laki seperti Killa tidak mungkin berbohong hanya demi untuk mencium seorang gadis. Bahkan tanpa kebohongan apa pun, Killa pasti bisa mendapatkan ciuman dari gadis mana pun yang dia inginkan.

"Maaf buat tiga ciuman sebelumnya, tapi gue pastiin kalau yang barusan nggak akan gue lupain," kata Thalisa sungguh-sungguh. Bibirnya pun melengkungkan senyum sebagai bentuk kesungguhan.

Killa mengangguk. "Ada baiknya emang nggak lo lupain. Karena kalau lo lupa, mungkin lo harus ekstra ngebujuk gue biar gue nggak marah lagi."

"Oh~ Jadi, seorang Shaquille Hartigan yang ganteng ini mudah ngambek, ya?" Thalisa menggoda dengan nada riang yang dibuat seimut mungkin. "Berapa sih umurnya sampai masih suka ngambek gini, hmm? Lima tahun, ya?"

Killa yang gemas dengan tingkah Thalisa bermaksud untuk mencium gadis itu lagi, tapi Thalisa menghindar dengan menjauhkan kepalanya.

"Siapa bilang lo boleh nyium gue lagi?" Thalisa menggunakan nada mengintimidasi pada Killa, terdengar seperti perintah.

"Nyium pacar sendiri nggak boleh?" balas Killa dengan nada protes.

"Boleh sih, tapi kan—" Thalisa menahan jawabannya dan berusaha menghindar karena Killa yang lagi-lagi mencoba untuk menyerang bibirnya.

Killa menatap penuh pertimbangan. Lihatlah gadis di depannya ini. Sebelumnya, Thalisalah yang selalu mencium Killa, tapi kenapa sekarang gadis itu malah menghindar? Apa Thalisa malu?

Persetan dengan malu atau tidak, tapi yang jelas Killa kembali mencari pasangan bibirnya. Enak saja gadis itu bisa menciumnya kapan pun dia mau, sementara Killa tidak boleh. Tentu Killa tidak akan membiarkan ketidakadilan itu!

Thalisa pun pasrah ketika Killa berhasil mendarat di bibirnya, tapi tidak benar-benar terpaksa juga karena dia menikmatinya. Ups.

Tidak seperti sebelumnya di mana dia hanya diam saja. Kali ini, Thalisa memberanikan untuk membalas dan mengimbangi permainan Killa.

Hei, sepertinya Thalisa ingat dengan sensasi yang mengalir di bawah pembuluh darahnya. Ini adalah sensasi yang sama ketika dia mencium Killa di lantai dansa. Thalisa memang tidak ingat terlalu banyak, tapi dia tidak akan melupakan sensasi panas yang menggelitik perutnya semalam.

Sebelum Thalisa kehilangan kendali dirinya lebih banyak lagi, dia buru-buru menarik diri dari Killa. "Lapar~" keluhnya dengan nada manja.

Killa melepaskan pelukannya pada Thalisa dan membiarkan gadis itu mengambil tempat duduk untuk sarapan pagi ini, setelah mengecup keningnya sekali.

Jujur saja, Thalisa lapar sekali sekarang. Ciumannya dan Killa memang cukup intens, tapi bukan berarti dia akan langsung kenyang, kan? Justru ciuman itu membuatnya makin lapar.

"Uhm, Tha, kayaknya semalam lo mimpi buruk deh." Killa mengatakannya dengan hati-hati dan mempertimbangkan Thalisa yang sedang mengunyah sarapannya.

"Gue mimpi buruk?" Thalisa bertanya balik. Sepertinya, dia juga tidak ingat dengan hal yang satu ini.

Killa membenarkan dengan ragu. "Lo nyebut-nyebut nama 'Eliza' gitu."

"Eliza?" Thalisa mengulang lagi, memastikan apakah dia salah mendengar atau tidak. "Lo yakin gue nyebut nama itu?"

Killa mengangguk dalam gumam. "Iya, lo berkali-kali nyebut nama Eliza semalam pas lagi setengah sadar."

Thalisa merasa kalau itu adalah hal yang mustahil untuk dia lakukan. Mungkin memang benar kalau ada banyak hal yang bisa dilakukannya ketika sedang mabuk, tapi untuk menyebutkan nama itu ... sepertinya mustahil.

Namun, kalau Thalisa tidak mengatakannya saat dia sedang mabuk, dari mana Killa tahu tentang Eliza? Itulah yang Thalisa pikirkan. Gadis itu sungguh tidak ingat tentang pertemuannya dan Sean semalam.

"Kalau boleh tau, Eliza siapa lo, Tha? Saudara?" Pertanyaan itu Killa lontarkan dengan sesopan mungkin.

Thalisa menggeleng setelah berhasil mengendalikan diri dari rasa terkejutnya. "Bukan siapa-siapa kok, Ki. Gue cuma sembarangan nyebut nama aja. Lo kan tau kalau gue mabuk gimana." Akhir kalimatnya Thalisa tambahkan tawa untuk sekadar mengurangi ketegangan saat ini.

Killa membalas dengan anggukan kecil. Sepertinya, Thalisa masih berusaha untuk menyembunyikannya, bahkan dari Killa. Membuat laki-laki itu tidak bisa memaksa Thalisa untuk menjawabnya.

Semuanya memang membutuhkan waktu dan yang Killa harus lakukan saat ini hanyalah menunggu Thalisa, sampai gadis itu benar-benar jatuh hati dan memercayainya dengan sangat dalam.

*********************

Killa pas SMA pasti ikut teater. Makanya jago banget kalau urusan akting asdfghjkl

Udah gitu suka playing victim. Red flag sekali laki-laki yang satu ini 😤😤😤

21 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro