Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 06: Another Guy

Kalau Thalisa berdebat dengan Raven, Killa tidak akan heran. Namun, ketika dia menjemput Thalisa pagi ini di indekos gadis itu, Killa melihat seorang laki-laki asing yang sepertinya mencoba untuk berbicara dengan Thalisa, tapi gadis itu menolak.

Laki-laki asing itu tidak kalah tampan dari Killa. Tubuhnya kurus tinggi, dengan wajah yang agak kecil dan tampak seperti blasteran. Killa pikir, usia laki-laki itu tidak terlalu jauh darinya.

Haruskah Killa turun dan menghampiri Thalisa atau haruskah dia membiarkan dan menunggu?

Tidak seperti Raven yang memang menyakiti Thalisa secara fisik ketika meminta waktu gadis itu, laki-laki yang bersama Thalisa saat ini tampak tidak agresif. Meski urat-urat di wajahnya hampir pecah karena berusaha meyakinkan lawan bicaranya.

Dari kejauhan, Killa melihat tangan Thalisa menunjuk pintu keluar. Sepertinya gadis itu sedang mencoba untuk mengusir laki-laki yang sedang berdebat dengannya.

Pada akhirnya, Killa memutuskan untuk menghampiri.

"Hai, Tha." Killa sengaja menyapa langsung tanpa memarkirkan motornya dengan sopan. Diam-diam dia mencoba untuk melihat jelas wajah sosok yang tengah berdebat dengan Thalisa. "Udah siap buat berangkat ke kampus, kan?"

Bahkan kedatangan Killa tidak bisa membuat Thalisa tersenyum pagi ini. Suasana hatinya sudah terlanjur rusak karena kehadiran laki-laki asing itu.

"Sekali lagi gue tekankan di sini." Thalisa sungguh menakan kata-katanya dengan sangat dalam sebagai bentuk peringatan. "Gue. Nggak. Kenal. Sama. Lo. Jadi, jangan ngaku-ngaku!"

Laki-laki asing itu tampak putus asa karena Thalisa yang tidak kunjung percaya. Padahal dia sudah mengeluarkan banyak tenaga untuk menjelaskan maksud kedatangannya pagi ini.

Tanpa ingin mendengar kata apa pun lagi dari mulut laki-laki asing itu, Thalisa segera melompat ke atas motor Killa.

Dalam perjalanan menuju kampus, isi kepala Killa terus memikirkan siapa laki-laki yang berdebat dengan Thalisa tadi. Namun, berhak kah dia untuk tahu? Mereka hanya pura-pura berkencan. Rasanya tidak etis kalau dia bertanya mengenai masalah pribadi gadis itu, meski Killa sangat penasaran sekarang.

Thalisa sendiri tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya dia masih kesal dengan apa yang terjadi barusan, hingga memutuskan untuk diam selama perjalanan.

"Ki, nanti lo balik sendiri nggak papa, ya. Soalnya gue mau jalan sama yang lain." Meski kesal bukan main, tapi Thalisa tidak membiarkan dirinya meluapkan kekesalan pada orang yang salah—walau ekspresinya masih terlihat kecut. "Makasih karena udah ngantar gue."

Killa tersenyum dalam anggukan ringan. "Lo nanti jalannya hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa kabarin gue."

Thalisa mengangguk tanpa senyum. "Gue masuk, ya, Ki."

Killa mengizinkan dengan anggukan yang lebih ringan dan membiarkan Thalisa mengambil langkah menjauhinya.

"Tha," panggil Killa.

Thalisa menoleh, menghentikan langkahnya juga, tapi tidak mengeluarkan kata untuk bertanya.

"Ada yang ketinggalan," kata Killa.

Thalisa tampak bingung. Langsung saja dia memeriksa segala sesuatu yang ada di tubuhnya untuk mencari tahu apa yang tertinggal.

"Emang apa yang ketinggalan?" tanya Thalisa karena tidak merasa telah meninggalkan apa pun.

"Senyum lo." Killa tersenyum lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana hati Thalisa yang sedang buruk saat ini. "Dari tadi gue nggak ngeliat lo senyum." Kini, Killa tampak cemberut untuk menarik perhatian Thalisa. "Masa pacarnya nggak dikasih senyum pagi ini? Mana bisa gue semangat kuliah, Tha."

Ajaibnya, Thalisa langsung melengkungkan senyumnya untuk Killa setelah laki-laki itu melayangkan protes. Gadis itu hanya tidak bisa menahan senyumnya saja ketika melihat Killa cemberut padanya, seakan-akan Thalisa sungguh membuatnya merajuk hari ini.

"Nah, gitu dong!" Killa bersuara dengan antusias saat mendapati Thalisa yang tersenyum padanya. "Kan kalau senyum gitu keliatannya jauh lebih cantik. Masa pacarnya Killa pagi-pagi udah cemberut aja."

Setiap kali Killa menyebut kata pacar di depan Thalisa, yang memang dimaksudkan untuk gadis itu, rasanya perut Thalisa seperti digelitik dengan brutal. Membuatnya tidak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk melengkungkan senyum yang lebih lebar, terlebih lagi ketika harus bertatapan langsung dengan Killa.

"Gue masuk, ya. Dah~" Thalisa melambaikan tangan pada Killa dan memberikan senyumnya untuk laki-laki itu agar tidak diprotes lagi.

Killa balas melambaikan tangannya, membalas senyum Thalisa juga dengan sangat manis, seolah-olah dia memang sedang jatuh cinta saat ini.

***

Biasanya, Thalisa jarang ingin pergi ke Penta karena enggan dijadikan babu untuk mengurus teman-temannya yang mabuk. Namun, hari ini adalah pengecualian karena dialah yang mengajak yang lain untuk pergi ke Penta.

Alasannya karena gadis itu sedang banyak pikiran. Ada sesuatu yang sangat mengganggunya, tapi belum bisa dia ceritakan pada siapa pun. Alhasil, alkohol dan musik yang keras adalah pelariannya saat ini.

Saking tidak inginnya Thalisa memikirkan masalahnya saat ini, gadis itu bertekad untuk teler malam ini. Dia berkali-kali menenggak sebotol rum yang dipesannya dan sudah menghabiskannya setengah tanpa membaginya pada siapa pun.

"Tha, tumben banget mau mabuk. Lagi ada masalah, ya?" Jesslyn yang kesadarannya masih penuh mencoba untuk memberikan sedikit perhatiannya pada Thalisa. Sejak tadi, dia terus saja melihat Thalisa menuangkan minumannya ke dalam gelas.

Thalisa yang mulai tipsy hanya membalas dengan tawa kecil. Gadis itu tidak ingin menjawab dengan benar karena dia sendiri tidak tahu apa masalahnya saat ini. Intinya, Thalisa hanya ingin melupakan kedatangan laki-laki asing yang kemarin menghampirinya, juga melupakan semua omong kosong yang dia dengar.

Tanpa mengindahkan kehadiran Jesslyn, Thalisa kembali menenggak rum-nya. Sementara Jesslyn menatap dalam diam. Gadis itu sudah berjanji pada dirinya untuk tidak mabuk lagi setelah malam itu. Bahkan jika dia ditawarkan uang 100 juta, Jesslyn tidak akan mau.

Thalisa turun ke lantai dansa, bergabung dengan Jeara dan Rheanne yang sudah lebih dulu menari seperti tidak ada hari esok. Tubuh Thalisa bergerak mengikuti irama lagu, dengan kesadaran yang tidak terlalu banyak. Dalam pikirannya, gadis itu hanya ingin menari, menari, menari, dan menari saja sampai dia lupa dengan kedatangan laki-laki asing yang mengaku sebagai Sean itu.

Nyatanya, tidak hanya Thalisa saja yang pergi ke Penta, tapi Killa dan teman-temannya juga. Keduanya sama sekali tidak janjian malam ini untuk bertemu. Semuanya murni kebetulan.

Sejak Killa menemukan Thalisa, laki-laki itu tidak pernah menginjakkan kakinya ke Penta dan baru malam ini dia turun ke lantai dansa lagi setelah sekian lama. Tubuhnya menari mengikuti irama lagu, dengan segelas minuman di tangannya.

"Wo~ Nari, Tha! Nari sampai lo lupa kalau besok ada ujian!" Jeara berseru di telinga Thalisa, yang disambut dengan sorakan dari Rheanne.

Sungguh, Thalisa benar-benar sudah kehilangan kendali dirinya. Dia yang biasanya masih sadar meskipun meminum alkohol, sekarang sama sekali tidak sadar. Bahkan ketika ada laki-laki yang mendekat dan ingin mengajaknya menari bersama, Thalisa sama sekali tidak menolak. Padahal biasanya dia tidak akan mau berinteraksi dengan laki-laki yang ditemuinya di kelab.

Namun, sekali lagi Thalisa tegaskan kalau malam ini adalah pengecualian!

Seorang laki-laki, tidak terlalu tampan, yang kira-kira usianya 30-an, dengan lancang meletakkan sebelah tangannya di pinggang Thalisa, sebelahnya lagi dia letakan di bahu gadis itu. Kalau dalam keadaan sadar, Thalisa pasti sudah melepaskan diri dan menampar laki-laki itu. Namun, karena kesadaran Thalisa saat ini tidak lebih dari 10%, maka yang bisa dilakukannya adalah menikmati sentuhan di tubuhnya.

Meski dalam keramaian dan kerlap-kerlip lampu, tapi Killa memiliki pandangan yang begitu jeli. Bahkan ketika dia asyik bersenang-senang, Killa masih bisa menangkap jelas sosok Thalisa yang sedang dijamah tubuhnya.

Killa mendekati, memperhatikan apakah gadis itu melakukannya secara sadar atau tidak.

Ketika lehernya dijelajahi dengan bibir dan tubuh bagian depannya dijamah, Thalisa melakukan penolakan kecil. Kesadarannya yang sangat sedikit membuat gadis itu tidak memiliki banyak tenaga untuk melawan. Dia hanya meracau sambil berusaha untuk menghindar.

Melihat kalau Thalisa jelas sedang dimanfaatkan, Killa dengan cepat menyingkirkan laki-laki kurang ajar yang tengah menjamah tubuh pacarnya.

"Dia pacar gue." Killa langsung saja mengatakannya tanpa ingin memaki atau membuat keributan. Tujuannya saat ini hanyalah mengamankan Thalisa.

Beruntung laki-laki yang menjamah Thalisa juga tidak mempermasalahkan ketika tubuhnya didorong. Kedua tangannya terangkat ke udara sebagai tanda kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, mengambil langkah mundur tanpa mengatakan apa pun.

Killa membalikkan tubuhnya untuk menghadap Thalisa. Wajahnya memerah menahan kesal saat ini.

"Tha, lo mabuk, ya?" Killa sudah melihatnya dengan jelas, tapi pertanyaan itu tetap saja terlontar dari mulutnya.

"Oh!" Thalisa berseru. Matanya berusaha untuk dibuka lebar-lebar agar bisa melihat sosok di depannya dengan lebih jelas. "Killa?"

Tangan Thalisa yang ingin menyentuh wajahnya Killa tahan di udara. Gadis itu benar-benar mabuk!

"Hehehe, Killa pacar gue." Thalisa tertawa, melupakan fakta kalau beberapa saat yang lalu tubuhnya dijamah oleh laki-laki yang tidak dia kenal. Kemudian bibirnya menyambar bibir Killa tanpa izin karena merasa senang bisa bertemu dengan sang pacar malam ini.

Killa terkejut, tapi tidak mengambil tindakan apa pun. Dia membiarkan bibir Thalisa menempel padanya selama beberapa saat, sebelum gadis itu menarik diri dengan membuat decapan yang begitu keras.

Killa menatap dalam diam, tidak tahu harus berkomentar apa atas sikap Thalisa barusan. Pandangannya segera mengedar, bermaksud untuk mencari Jesslyn—karena laki-laki itu pikir mereka mungkin datang bersama.

"Ngh, Ki~" Thalisa mendesah dan menyandarkan tubuhnya pada Killa, juga memeluk laki-laki itu dengan sebelah tangan.

Tangan Killa spontan melingkari pinggang Thalisa untuk menjaga keseimbangan tubuh gadis itu. "Tha, gue antar pulang, ya?" katanya menawarkan. "Lo udah mabuk banget. Berdiri aja udah nggak seimbang gini."

Merasa tidak terima dibilang mabuk, Thalisa langsung menegakkan tubuhnya. Namun, yang Killa katakan memang benar, Thalisa sudah mulai kesulitan untuk berdiri dengan kedua kakinya.

"Gue nggak mabuk, Ki!" tegas Thalisa. Suaranya terdengar goyah, begitu juga dengan tubuhnya. Namun, dia tetap bersikeras mengatakan tidak mabuk dengan menarik tangannya dari Killa, ingin membuktikan kalau dia tidak mabuk.

Sayangnya, Thalisa hanya bisa menyeimbangkan tubuh selama 2 detik. Setelahnya, gadis itu kembali kehilangan keseimbangan dan jatuh ke dalam pelukan Killa.

Thalisa pingsan!

Setelah mencium Killa, sekarang Thalisa malah pingsan. Di mana gadis itu meletakkan sopan santunnya, huh?

Killa yang tidak punya pilihan terpaksa menggendong Thalisa keluar dari kerumunan dan berusaha membangunkan gadis itu.

Berurusan dengan orang mabuk memang tidak gampang. Buktinya saja Killa dibuat kebingungan sekarang. Dia tidak tahu harus membawa Thalisa ke mana agar gadis itu bisa istirahat.

Ingin mencari teman Thalisa, tapi Killa saja tidak tahu siapa teman-teman gadis itu. Wajah Jesslyn yang dilihatnya malam itu juga sudah mulai terlupakan.

Karena tidak ada pilihan—benar-benar tidak ada—Killa terpaksa membawa Thalisa pulang ke apartemennya, alih-alih ke indekos gadis itu. Killa memang tahu di mana alamat Thalisa, tapi tidak tahu di lantai berapa gadis itu tinggal.

Jadi, lebih baik membawa Thalisa pulang ke apartemennya saja. Toh juga, jaraknya lebih dekat ke apartemen Killa daripada indekos Thalisa.

***

Pagi harinya, Thalisa merasa kalau tubuhnya seperti diremukkan. Seluruh tulangnya terasa seperti patah setiap kali dia bergerak. Belum lagi kepalanya yang terasa begitu berat dan berdenyut, membuatnya tidak sanggup untuk membuka mata dan hanya bisa mengerang.

Sekarang, Thalisa bertanya-tanya pada dirinya, apakah dia sedang berbaring di atas lantai dan tengah dijadikan tontonan? Karena seingatnya tadi malam—tidak, tidak, sebenarnya tidak ada yang Thalisa ingat! Gadis itu hanya ingat kalau dia menari seperti tidak akan bertemu matahari pagi. Sisanya, entah Thalisa simpan di mana memori tadi malam.

Sambil memijat kepala yang berdenyut nyeri, Thalisa mengambil waktunya untuk mengumpulkan fokus sejenak. Diam-diam dia memikirkan aroma ruangan yang terasa begitu enak untuk dihirup di pagi hari ketika kepalanya masih pening karena alkohol.

Ketika rasa pusingnya sudah mulai berkurang, kesadarannya pun mulai terkumpul sedikit demi sedikit, Thalisa memutuskan untuk bangun dengan perlahan. Dia tidak boleh membuat gerakan terkejut atau kesadarannya akan runtuh lagi.

Membuka mata, Thalisa mendapati kalau dia berada di kamar yang tidak pernah dilihatnya selama ini. Gadis itu terkejut dan langsung melompat turun. Untungnya saja dia masih memakai pakaian lengkap atau Thalisa akan berteriak histeris saat ini juga.

"Sial! Gue ada di kamar siapa?" Thalisa bertanya dengan kerutan kebingungan yang memenuhi wajahnya.

Gadis itu belum sempat mengedarkan pandangannya untuk meneliti seisi kamar karena pintu sudah lebih dulu terbuka. Membuat Thalisa spontan mengambil langkah mundur dan terjatuh di pinggir tempat tidur karena terkejut.

"Killa~" Thalisa merengek. Dia pasti akan pingsan kalau bukan Killa yang membuka pintu saat ini. "Lo ngagetin gue tau nggak. Gue pikir tadi gue dibawa sama orang asing."

Killa merespons dengan tawa kecil sambil mengambil langkah mendekati Thalisa. "Kalau gue nggak datang tadi malam sih, ya, mungkin aja lo bangunnya bukan di apartemen gue sekarang."

Mata Thalisa melompat keluar. Pipinya memanas ketika dia mencoba untuk mengingat apa yang terjadi semalam. Kenapa dia bisa bersama Killa pagi ini? Dan apa saja yang dilakukannya saat dia mabuk?

"Ki, ini gimana ceritanya gue bisa ada di apartemen lo?" Thalisa tidak bisa menahan diri untuk tidak meminta penjelasan saat ini juga.

"Lo beneran nggak ingat sama sekali, Tha?" Killa memastikan dengan nada skeptis. Bukannya tidak percaya, Killa hanya ingin memastikan saja agar tidak salah bicara nanti.

Thalisa menggeleng dengan penuh sesal.

"Semalam gue ngeliat lo mabuk berat di Penta, terus gue samperin dan setelahnya lo pingsan." Killa menjelaskan garis besarnya saja. Tanpa ingin mengatakan kalau tubuh gadis itu sempat dijamah oleh laki-laki kurang ajar. Killa hanya tidak ingin membuat Thalisa kehilangan wajah di depannya. Jadi, biarlah hal itu menjadi rahasianya saja. "Gue mau nyari teman-teman lo yang lain, tapi guenya nggak tau teman-teman lo yang mana. Jadi, mau nggak mau gue bawa lo ke sini."

Thalisa berusaha mencerna, mencoba untuk mengumpulkan ingatan yang begitu berantakan di dalam kepalanya.

"Selain mabuk, gue ada ngelakuin hal yang aneh-aneh nggak? Atau mungkin gue ada ngomong sesuatu sama lo?" Thalisa bertanya dengan wajah yang menahan ketakutan. Gadis itu takut kalau dia akan menemukan dirinya yang bertingkah aneh di hadapan Killa.

Killa mendesis, mempertimbangkan apakah dia harus mengatakan kalau Thalisa semalam menciumnya atau tidak.

"Hal aneh yang lo lakuin, ya?" Killa mengulang pertanyaan Thalisa untuk sekadar menggoda. Dia sengaja mendesis untuk mengulur waktu, sementara Thalisa menanti jawabannya gugup. "Nggak ada hal aneh yang lo lakuin sih."

Mendengar jawaban Killa, tentu hati Thalisa diliputi dengan rasa lega yang luar biasa. Dia sudah gemetaran membayangkan tindakan aneh yang dia lakukan saat mabuk semalam.

"Lo cuma nyium gue semalam dan gue pikir itu bukan tindakan yang aneh sama sekali."

Kali ini, mata Thalisa sungguh melompat keluar karena penuturan Killa. Rahangnya pun baru saja jatuh menyentuh lantai, dengan wajah memerah yang tampak kosong.

"G-gue nyium lo?" tanyanya terbata-bata.

Killa mengangguk tanpa ragu.

Pikiran Thalisa langsung kosong seketika. Dia tidak tahu harus mengatakan apa untuk menutupi tindakan memalukannya semalam.

"Santai aja, Tha. Pacar lo ini yang lo cium, bukan pacar orang lain." Killa mencoba untuk menghibur Thalisa dengan celotehannya, tanpa tahu kalau jantung gadis di depannya sedang melompat tidak keruan.

Untuk menekan rasa malunya, Thalisa harus mengepalkan tangan di samping tubuh dan tidak membiarkan Killa melihat pipinya yang merona.

Killa yang merasa terhibur karena pipi Thalisa yang merona segera mengusap kepala gadis itu. "Bersih-bersih, gih. Tadi gue udah beliin lo air kelapa muda buat ngilangin mabuk lo. Gue tunggu di luar, ya."

Lagi-lagi tindakan Killa membuat Thalisa menahan napasnya. Entah kenapa, tapi dia merasa kalau Killa kerap kali melakukan hal-hal ekstrem yang membuat jantung Thalisa kalang kabut. Yang diusap hanya rambutnya, tapi seluruh tubuh Thalisa yang merasakan efek sampingnya.

Ini benar-benar pertanda buruk!

Apa Thalisa benar-benar telah jatuh cinta pada Killa? Kalau iya, kenapa Thalisa bisa semudah ini jatuh cinta pada Killa? Bagaimana mungkin Thalisa jatuh cinta pada laki-laki yang ingin menghancurkan hidupnya?!

Pertahanan Thalisa benar-benar sangat lemah! Apa gunanya dia mengakhiri hubungan dengan Raven kalau pada akhirnya dia akan jauh lebih menderita lagi karena melabuhkan hati ke orang yang salah?

"Jantung, please, tau diri dikit." Thalisa memohon sambil meletakkan tangan tepat di jantungnya dan menutup mata seakan-akan dia sedang merapalkan doa. "Tolong kalau di depan Killa jangan suka lompat-lompat nggak keruan. Ingat, ada harga diri yang harus dijaga!"

Anggaplah Thalisa masih dalam pengaruh alkoholnya karena berceloteh sendiri. Tolong biarkan gadis itu gila sebentar sebelum menghadapi Killa setelah dia membersihkan diri.

Ketika Thalisa keluar dari kamar setelah membersihkan diri, dia mendapati Killa yang duduk manis di meja makan dengan air kelapa muda yang laki-laki itu bicarakan.

"Masih pusing nggak?" tanya Killa saat Thalisa mengambil duduk di seberangnya.

"Lumayan sih, tapi udah nggak seberat sebelumnya," balas Thalisa dengan ringisan.

"Kalau masih pusing istirahat di sini aja, Tha," kata Killa seraya mendorong mangkuk berisikan air kelapa ke arah Thalisa. "Gue bentar lagi mau ke kampus sih. Jadi, anggap aja rumah sendiri selagi gue ngampus."

Thalisa memang merasa sedikit lebih baik setelah mandi, tapi tetap saja tubuhnya masih terasa remuk. Dia perlu tidur sebentar lagi sebelum melakukan aktivitas hariannya.

"Lo lama nggak di kampusnya?" tanya Thalisa hati-hati.

"Hari ini cuma ada satu mata kuliah. Paling jam 2 nanti udah balik."

Thalisa mempertimbangkan sebelum akhirnya mengangguk. Gadis itu setuju untuk menetap sebentar di apartemen Killa selagi sang pemiliknya pergi menimba ilmu.

"Maaf, ya, Ki, kalau gue ngerepotin." Thalisa mengutarakan penyesalannya dengan tulus.

Killa menggeleng, menolak permintaan maaf Thalisa. Dia jelas tidak merasa direpotkan, yang ada laki-laki itu malah bersyukur karena dia semakin memiliki banyak alasan untuk sering bertemu dengan target balas dendamnya.

"Habisin air kelapanya," kata Killa ketika Thalisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk menatapnya daripada menghilangkan efek mabuknya.

***

Saat Killa pergi ke kampus, Thalisa menghabiskan waktunya untuk tidur. Gadis itu tidak ingat berapa banyak dia minum semalam, hingga efek mabuknya masih tidak kunjung hilang, bahkan setelah tengah hari bolong.

"Besok-besok nggak usah mabuk deh, Tha. Langsung aja lompat dari gedung!" Rupanya, Thalisa pun jengkel pada dirinya yang mabuk sampai seperti ini.

Merasa haus, Thalisa memutuskan untuk keluar dari kamar, sekaligus mencari jam dinding. Rupanya, dia tertidur selama hampir 2 jam dan sepertinya juga, Killa akan pulang sebentar lagi karena sekarang sudah jam 13.45.

Perhatian gadis itu sedikit teralihkan ketika ada sebuah suara yang datang dari dapur. Thalisa pikir, itu pasti Killa. Jadi, dia langsung saja pergi ke dapur untuk menghampiri.

Namun, siapa yang tahu kalau Thalisa justru akan melihat seorang laki-laki yang tidak dikenalnya berada di dapur hanya dengan celana dalam.

"KYAAAAA!" Thalisa spontan berteriak, membuat sosok lainnya terkejut karena teriakan mengejutkan barusan.

Chandara, laki-laki itu menoleh kalang kabut saat mendengar teriakan Thalisa dan ikut berteriak saat melihat Thalisa berdiri di depannya. Sebungkus mi instan yang baru saja diambilnya dari lemari dia gunakan untuk menutupi tubuh bagian bawahnya yang terekspos.

Thalisa yang panik dan bercampur dengan rasa malu, juga takut, langsung melarikan diri ke kamar. Jantungnya seperti meledak karena melihat seorang laki-laki yang nyaris bertelanjang di depannya.

Tubuh Thalisa langsung melorot ketika dia sudah mengunci pintu di balik punggungnya. Ini benar-benar pengalaman paling mengerikan di dalam hidupnya!

Kalau yang dilihatnya Killa, mungkin Thalisa tidak akan sampai melarikan diri seperti habis melihat orang jahat. Gadis itu pasti hanya akan membalikkan tubuh dan meminta maaf. Namun, karena orang yang dilihatnya adalah orang yang tidak dia kenal, pikiran Thalisa jelas menduga kalau Chandara adalah laki-laki mesum. Itulah kenapa dia melarikan diri.

Sementara pipi Chandara meledak dalam rasa malu ketika menyadari kalau gadis yang dilihatnya adalah Thalisa.

Killa sama sekali tidak mengatakan kalau dia akan membawa Thalisa ke apartemennya. Jadi, ketika Chandara datang tadi, laki-laki itu langsung saja bersikap seperti dialah pemilik tempat dan hanya dia satu-satunya yang ada di sana. Itulah kenapa dia berkeliaran di dapur hanya dengan celana dalam saja.

"Anjing, gue malu banget, Ki!" Chandara baru saja menceritakan bagaimana pertemuannya dan Thalisa setengah jam yang lalu, dengan pakaian yang lengkap.

Killa yang mendengar kecerobohan Chandara tidak tahan untuk memukul kepala laki-laki itu. "Goblok banget sih lo, Bang!" makinya berapi-api. "Makanya, kalau di tempat orang tuh biasain pakai baju. Jangan kayak monyet aja lo keliaran nggak pakai baju!"

"Ya, kan gue pikir nggak ada orang, Ki. Biasanya juga kalau ada lo, gue nggak bakalan keliaran pakai kancut doang." Chandara menggaruk pasrah kepalanya, masih malu karena kejadian tadi. "Tapi lo juga salah, ya, Ki! Kenapa lo nggak bilang kalau mau bawa cewek ke sini? Kalau gue tau ada cewek di sini, ya, gue nggak bakalan kancutan doang."

Lihatlah Chandara, laki-laki itu sudah salah, tapi bisa-bisanya malah memarahi Killa balik. Lagi pula, kenapa Killa harus memberi tahu Chandara kalau dia ingin membawa seorang gadis pulang ke apartemennya? Harusnya Chandaralah yang memberi tahu Killa kalau ingin datang. Bukannya main masuk saja seperti pencuri.

"Tau ah! Malas gue ngomong sama lo." Killa yang jengkel segera mendorong tubuh Chandara untuk menjauh darinya. Dia harus menemui Thalisa untuk meminta maaf atas ulah Chandara tadi.

"Tha, ini gue Killa." Laki-laki itu mengetuk pintu kamar yang Thalisa tempati.

Thalisa hampir melompat karena terkejut. Sejak mengunci diri, yang gadis itu lakukan hanya diam, tanpa melakukan apa pun. Bahkan saat bernapas pun dia melakukannya dengan hati-hati.

Demi Tuhan, Thalisa ingin sekali melupakan apa yang dilihatnya tadi!

"Tha, ayo, dong keluar." Killa membujuk sekali lagi. Walau tidak melihat apa yang Thalisa lakukan sekarang, tapi dia tahu kalau gadis itu pasti mendengarnya dengan kesadaran penuh. "Yang tadi itu teman gue, tapi sekarang udah gue suruh pulang kok."

Killa jelas baru saja berbohong. Faktanya Chandara berdiri beberapa langkah di belakangnya, tapi dia memberikan gerakan cepat yang meminta laki-laki itu untuk pergi sekarang juga.

Killa pikir, Thalisa pasti malu sekali saat ini. Jadi, ada baiknya kalau gadis itu tidak bertemu dengan Chandara dulu.

Diusir seperti itu sebenarnya menjatuhkan harga diri Chandara, tapi itu juga bukan kali pertamanya dia diusir. Ini sudah ratusan kali Killa mengusirnya. Namun, untuk pertama kalinya, Chandara setuju untuk pergi karena biasanya dia akan tetap menghuni apartemen Killa, meski dikatai parasit, benalu atau apa pun itu.

"Thali—" Killa bermaksud untuk membujuk Thalisa lagi ketika Chandara sudah pergi, tapi rupanya gadis itu sudah lebih dulu membuka kunci pintu.

Killa mengambil langkah mundur dan menunggu Thalisa untuk membuka pintu. "Hai," sapanya ketika Thalisa mengintip keluar. "Dia beneran udah pulang kok," katanya seolah tahu kalau Thalisa sedang memastikan keberadaan Chandara.

Thalisa berdeham dan memberanikan diri untuk membuka pintu lebih lebar dan berhadapan dengan Killa.

"Yang tadi itu Bang Chandara. Dia emang biasa keluar masuk apartemen gue, tapi gue lupa ngasih tau dia kalau ada lo di sini." Killa menjelaskan untuk mengurangi sedikit ketidaknyamanan Thalisa saat ini. "Sorry, ya, kalau dia tadi bikin lo kaget."

Thalisa hanya bisa mengangguk dan menahan malu saat menyadari kalau Chandara sudah menceritakan kejadian tadi pada Killa.

"Lo belum makan, kan? Ayo, makan dulu. Nanti baru gue antar pulang," kata Killa mencoba untuk mengalihkan sedikit perhatian Thalisa agar tidak terus mengingat tentang pertemuannya dan Chandara yang bisa dibilang sangatlah memalukan.

"Lo nggak makan, Ki?" Thalisa bertanya ketika hanya ada satu porsi makanan di meja saat ini.

"Tadi gue udah makan di kampus."

Thalisa mengangguk dan mulai menyantap makanannya.

Selama Thalisa makan, selama itu pula Killa menatapnya. Laki-laki itu sama sekali tidak keberatan saat dia hanya bisa melihat Thalisa makan, tanpa ikut menikmati. Justru dia lebih suka melihat Thalisa daripada menyantap makanan—kalau memang ada seporsi makanan di depannya.

"Tha, gue mandi bentar, ya. Gerah soalnya. Tadi di jalanan panas banget." Killa berceloteh saat Thalisa sudah selesai dengan makan siangnya. "Lo duduk aja dulu atau kalau mau nonton di ruang TV juga nggak papa."

Thalisa menyanggupi dengan anggukan. Dalam hatinya gadis itu bertanya-tanya, kenapa Killa tidak mandi selagi Thalisa makan?

Ketika Thalisa membereskan sisa makanannya dan mencuci piring kotornya atas kemauannya sendiri, handphone Killa yang tertinggal di meja berdering. Gadis itu refleks mengintip untuk melihat siapa yang menelepon, tapi sayangnya, nomor itu tidak tersimpan di dalam kontak Killa. Jadi, Thalisa membiarkan handphone itu berdering.

Sialnya, orang yang menelepon Killa siang ini tidak menyerah begitu saja. Setidaknya, Thalisa menghitung sudah 3x ponsel laki-laki itu mendapatkan panggilan masuk. Hatinya mulai gelisah sekarang. Gadis itu takut kalau telepon itu adalah telepon penting, tapi merasa tidak memiliki hak untuk menjawab panggilan yang bukan miliknya.

"Semoga bukan telepon penting deh," gumam Thalisa saat dia memutuskan untuk tidak mengangkat panggilan masuk di handphone Killa.

Ngomong-ngomong soal handphone, Thalisa tidak melihat handphone-nya sejak dia membuka mata. Gadis itu segera mencari di kamar yang dia tempati, tapi tidak menemukan barang-barangnya.

Thalisa sama sekali tidak menyalahkan Killa karena tidak membawakan serta barang-barangnya. Diurus ketika dia sedang mabuk saja gadis itu sudah sangat bersyukur.

Sambil menunggu Killa, Thalisa pun memutuskan untuk bersiap-siap pulang. Dia membasuh wajahnya yang sampai saat ini masih terasa sedikit berat.

"Sial!" Thalisa mengumpat ketika dia menyadari pakaiannya yang berbau seperti alkohol.

Bisa-bisanya dia baru sadar setelah berkali-kali berhadapan dengan Killa! Sekarang, gadis itu berpikir kalau Killa pasti ilfeel padanya. Satu-satunya yang bisa Thalisa lakukan saat ini hanyalah menebalkan wajahnya di depan Killa.

Ketika Thalisa keluar dari kamar yang ditempatinya, Killa terlihat sedang berdiri di samping meja makan dengan handphone di tangan. Kening laki-laki itu terlihat berkerut, sepertinya karena dia bingung atas panggilan yang masuk berkali-kali.

"Ki, tadi ada yang nelepon pas lo lagi mandi," kata Thalisa memberi tahu sambil melangkah mendekati Killa.

"Sempat lo angkat nggak?"

Thalisa menggeleng dengan ringisan. "Gue nggak berani."

Killa mengangguk sambil ber-oh ria. Laki-laki itu akui kalau dia penasaran siapa yang meneleponnya berkali-kali, tapi tidak berniat untuk menelepon balik. Jika memang telepon penting, pasti orang itu akan menelepon Killa lagi, kan?

Jadi, yang perlu Killa lakukan hanyalah menunggu. Kalau memang tidak ada telepon masuk dari nomor itu sampai malam datang, artinya telepon itu tidaklah penting.

"Mau pulang sekarang?" Killa bertanya pada Thalisa seraya memasukkan handphone ke saku jaket.

Thalisa mengangguk. Dia pun ingin buru-buru pulang karena merasa tidak bisa menahan bau alkohol di tubuhnya lebih lama lagi.

Biasanya, Killa hanya akan mengantar Thalisa sampai di depan gedung saja, tapi kali ini dia berkesempatan untuk masuk dan mengantar gadis itu sampai unit yang ditempatinya.

Namun, beberapa langkah sebelum mencapai pintu miliknya, Thalisa lebih dulu dikejutkan oleh kehadiran tiga temannya.

"Thalisa!" Rheanne berseru saat melihat Thalisa berjalan ke arahnya, dengan Killa yang mendampingi di sebelah.

"Lo semua ngapain di sini?" Thalisa bertanya dengan nada penuh kebingungan, juga keterkejutan yang tidak bisa ditahan.

"Thalisa, Berengsek!" Jeara mengumpat kesal saat Thalisa berdiri di hadapannya. "Lo ke mana aja sih? Kita dari pagi nyariin lo tau nggak?"

Thalisa memundurkan sedikit kepalanya untuk menghindari serangan umpatan Jeara.

"Kalau mau ONS tuh bilang sama kita, biar kitanya juga nggak panik nyariin lo yang tiba-tiba hilang!" Jeara menambahkan dengan berapi-api tanpa mempertimbangkan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Bener kata Jeara," timpal Rheanne berapi-api. "Kita pikir, lo diculik tau nggak!"

"Siapa yang ONS sih?!" Thalisa mendengkus tidak terima. Diam-diam pipinya merona saat menyadari keberadaan Killa di sekitarnya.

Pasti mereka salah paham karena melihat Thalisa yang datang bersama Killa saat ini. Gadis itu pasti berpikir kalau Thalisa pergi bersama Killa untuk bersenang-senang, alih-alih pingsan karena terlalu mabuk.

"Gue Killa. Thalisa semalam pingsan karena terlalu mabuk. Gue mau nyari kalian, tapi gue nggak tau sama sekali siapa aja teman-temannya Thalisa." Killa langsung turun tangan untuk memberikan penjelasan pada teman-teman Thalisa setelah memperkenalkan diri. "Jadinya, Thalisa gue bawa pulang ke tempat gue. Sorry karena udah bikin kalian khawatir karena nyariin Thalisa."

Merasa baru saja dibela, Thalisa menunjukkan wajah penuh kesombongan yang Jeara artikan ekspresi itu berbunyi, 'Tuh dengerin penjelasannya Killa. Gue mabuk sampai pingsan, bukannya ONS!' yang tampak begitu menyebalkan.

"Eh, bentar deh ..." Jesslyn yang sejak awal diam akhirnya membuka suara juga setelah lama sekali menatap Killa. "... lo Killa yang kata Thalisa gendong gue malam itu bukan sih? Yang gue mabuk di Penta?"

Killa membenarkan dengan anggukan. Kalau Jesslyn tidak bertanya, maka Killa sampai akhir tidak akan mengingat wajah gadis yang digendongnya malam itu.

"Makasih buat bantuannya malam itu." Jesslyn mengatakan rasa terima kasihnya dengan tulus, meski berhari-hari sudah terlewati. "Maaf karena baru bisa ngomong langsung sekarang."

"Santai aja. Malam itu gue juga yang salah karena nabrak lo sama Thalisa." Killa membalas dengan tenang.

Laki-laki itu tidak membutuhkan ucapan terima kasih Jesslyn karena dia sudah mendapatkan yang jauh lebih besar dari rasa terima kasih dari gadis yang malam itu digendongnya.

"Kalau gitu, gue balik, ya, Tha." Killa pamit pada Thalisa ketika tugasnya dirasa sudah selesai hari ini.

"Makasih, ya, Ki. Hati-hati di jalan."

Killa menyanggupi dengan anggukan. Laki-laki itu juga pamit pada teman-teman Thalisa yang lain sebelum dia mengambil langkah.

Thalisa segera diseret untuk masuk, kemudian didudukkan untuk diinterogasi, khususnya Rheanne yang tampak begitu ingin tahu.

"Lo serius nggak ngapa-ngapain sama Killa?" Nada bicara Rheanne terdengar penuh menyelidik. Dia tidak percaya kalau tidak ada yang terjadi antara Killa dan Thalisa semalam. "Lo kan mabuk berat. Mana tau lo ngapa-ngapain sama Killa, tapi nggak ingat dan Killa juga nggak bilang sama lo."

Kesal dengan keingintahuan Rheanne yang Thalisa pikir sudah sangat di luar batas wajar, langsung saja dia memukul kepala gadis itu. "Bisa nggak, kalau ngomong tuh dipikir dikit aja? Jangan apa-apa lo samain sama kebiasaan lo, Rhe."

Rheanne mendengkus. Wajahnya menekuk kesal karena sindiran tajam Thalisa.

Wajar kalau Thalisa kesal sekarang. Jika bukan karena Killa yang menolongnya semalam, Thalisa tidak tahu akan berada di mana dirinya saat ini karena kedua temannya yang gila party itu pasti tidak akan langsung menyadari dirinya yang hilang. Dan ketika kembali, dia malah dituduh yang macam-macam.

Siapa pun yang ada di posisi Thalisa pasti akan kesal juga, kan?

"Oh, iya, Tha, tadi ada yang nyariin lo di kampus. Namanya Sean." Jesslyn mencoba untuk menenangkan Thalisa yang sepertinya sedang kesal saat ini. "Kenalan lo, ya?"

"Sean?" Thalisa mengulang nama yang dia dengar beberapa detik yang lalu.

Jesslyn menangguk, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Dia tadi nitipin kartu namanya, terus juga minta lo buat nelepon dia secepatnya." Jesslyn memberikan kartu nama yang dititipkan padanya tadi pada Thalisa.

Thalisa merampas kasar kartu nama yang diberikan padanya hanya untuk membuat kertas itu menjadi empat bagian dan membuangnya ke lantai.

"Tha, lo lagi ada masalah, ya?" Jeara yang menyadari perubahan sikap Thalisa segera bertanya. "Beberapa hari ini lo sensitif banget. Kak Raven masih gangguin lo? Terus si Sean itu siapa?"

Thalisa mengembuskan napas kasar. Sepertinya dia harus menceritakan masalahnya pada yang lain jika tidak ingin pusing sendiri.

"Tha?" Jesslyn memanggil, bermaksud membujuk Thalisa untuk membagikan sedikit masalahnya.

"Tha, gue tau gue emang nggak berguna dan selalu ngomong ceplas-ceplos." Rheanne menyela setelah memutuskan untuk diam beberapa saat, menyadari juga kalau tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membantu. "Tapi lo juga tau kalau gue selalu bisa jadi pendengar yang baik."

Thalisa mengembuskan napas kasar sekali lagi, kemudian menjilat bibirnya. Gadis itu memantapkan diri untuk menceritakan masalah apa yang akhir-akhir ini mengganggunya.

"Gue sebenarnya bukan anak kandung dari orang tua gue. Gue cuma anak jalanan yang mereka angkat 14 tahun yang lalu."

***********

Tebak-tebakan visualnya libur lagi. Maybe sampai chapter 10/11 nanti. Untuk saat ini mari nikmati visualisasi yang sudah ada.

Kalian pasti belum menemukan percikan cinta di lapak ini, kan? Emang belum ada sih, tapi Thalisa udah kebakar duluan 🤣🤣🤣

06 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro