Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 02: 3-3

"Bang, lo yakin dia orangnya?!"

Harusnya, saat ini Killa sudah berada di kampus untuk mengikuti kelasnya. Namun faktanya, laki-laki itu masih di apartemen dengan setumpuk informasi yang mengejutkan untuknya.

"Udah lo kroscek belum?" Killa bertanya dengan berapi-api. Keningnya terlihat berkerut tajam. "Gue nggak mau sampai salah orang loh, ya!"

"Udah gue pastiin, Ki. Itu cewek adiknya Sandara." Laki-laki yang menjadi lawan bicara Killa, yang saat ini sedang menjarah isi kulkas, Chandara, menjawab dengan penuh keyakinan.

Killa menjilat kasar bibirnya. Bagaimana mungkin gadis yang ditemui semalam adalah adik dari seseorang yang menyebabkan kematian kakaknya?

"Bang, kroscek sekali lagi deh. Kalik aja lo salah orang." Killa meminta, terdengar seperti memohon. Tampaknya dia tidak ingin kalau gadis yang ditemuinya semalam adalah target balas dendamnya.

"Apaan sih, Ki? Itu udah bener, ya!" Chandara menyahut jengkel. "Kemarin aja mintanya buru-buru. Giliran dikasih malah minta kroscak kroscek kroscak kroscek mulu. Sehat lo?"

Chandara tampak sebal, tapi tidak menghalangi niatnya untuk menjadikan kaus abu-abu yang dipakainya sebagai tempat untuk menampung hasil jarahannya pagi ini.

"Kenapa sih minta dipastiin lagi? Lo kenal sama itu cewek?" Chandara bertanya sambil melewati Killa dan berjalan menuju ruang tengah.

Killa berdecak seraya mengacak kasar rambutnya, lalu mengekori Chandara. "Kenal sih enggak, tapi—"

"Ya, udah, kalau gitu kenapa ribet banget?" Chandara menyela dengan berapi-api. "Tinggal lo deketin itu cewek, lo hancurin hidupnya, terus tinggalin. Balas dendam selesai!"

Wow~ Apa Killa sungguh berencana untuk balas dendam dengan cara mengerikan seperti itu? Di mana laki-laki itu meletakkan hatinya, hingga terbesit untuk menghancurkan kehidupan yang seorang gadis yang bahkan tidak dia kenal sama sekali.

Killa pasti sudah dibutakan oleh balas dendamnya.

"Itu kan rencana lo?" Chandara mengingatkan ketika Killa sibuk memikirkan sesuatu. Gigitan apelnya tampak begitu tajam, dengan pandangan yang menatap penuh kebingungan. Namun, diamnya Killa membuat pertanyaan melompat di atas kepala Chandara. "Lo berubah pikiran, Ki?"

"Gue nggak berubah pikiran!" Killa meralat tegas, mencoba untuk meyakinkan Chandara kalau tidak ada yang berubah dari rencananya.

"Terus kenapa?"

Killa mengembuskan napas kasar, lalu melemparkan gulungan kertas yang sudah kusut ke meja. "Gue ketemu sama itu cewek di kelab tadi malam."

Chandara menunjukkan keterkejutannya dengan mata membulat. "Terus kalian sempat ngobrol?"

"Gue nolongin dia yang kesusahan karena temannya mabuk." Killa menjawab ketus, terkesan seperti keberatan dengan fakta itu. "Dan hari ini kita janji ketemuan karena dia mau balikin duit taksi semalam."

Chandara mencoba untuk mencerna dengan gumam. "Terus di mana masalahnya? Gue pikir, rencana lo buat deketin adiknya Sandara baru aja dipermudah sama alam semesta. Jadi, kenapa tingkah lo malah aneh gini?"

"Gue nggak bertingkah aneh, Bang!" Bantah Killa berapi-api. "Gue cuma minta lo buat mastiin sekali lagi, bener atau enggak kalau Thalisa ini adiknya Sandara. Itu aja."

Selama memberikan sanggahannya, Killa sama sekali tidak menatap Chandara. Laki-laki itu sebisa mungkin menghindari lawan bicaranya.

"Ki, ini gue kasih tau duluan, ya, sebelum lo kena karma nantinya dan malah sekarat sendiri." Chandara mengingatkan dengan penuh keseriusan. Tatapannya tampak melunak, seakan-akan ingin menenangkan gelombang kebencian di hati Killa. "Mending lo lupain aja deh soal balas dendam itu. Nggak ada gunanya, Ki. Bang Rey nggak akan balik lagi sama kita."

"Bang Rey emang nggak bakalan balik, tapi seenggaknya dendam gue terbalaskan kalau adiknya Sandara hancur." Kini, Killa menatap Chandara sebagai lawan bicaranya dan membiarkan laki-laki itu melihat kemarahan yang membakar matanya. "Dia juga harus hancur kayak yang gue rasain 15 tahun lalu."

Chandara mengembuskan napas kasar, lalu menggeleng. Jujur saja, laki-laki itu tidak bisa membujuk Killa untuk melupakan masa lalu kelam itu.

"Intinya, gue nggak mau tanggung jawab kalau nantinya lo terjebak dalam permainan lo sendiri." Chandara mengingatkan dengan tegas. Jari telunjuknya bahkan mengacung tajam pada Killa. "Jangan bilang kalau gue nggak pernah ngingetin lo sebelum ini, ya!"

Killa menyingkirkan jari telunjuk Chandara dari hadapannya. Kalau saja tidak ingat siapa laki-laki itu, pasti Killa tidak akan ragu untuk mematahkan jari yang barusan kurang ajar terhadapnya.

"Kroscek sekali lagi." Killa meminta untuk terakhir kali, dengan suara yang penuh keseriusan. "Setelah itu, gue janji bakalan ngurus semuanya sendiri."

Chandara menarik kasar jarinya yang masih berada dalam genggaman Killa, lalu membuang pandangan. Laki-laki itu tidak memberikan jawaban dan malah mengalihkan fokusnya pada televisi di depan.

"Gue pegang kata-kata lo!" Chandara menoleh pada Killa dengan tatapan tajam yang penuh peringatan.

Killa mengangkat bahu, tanda kalau dia baru saja menyanggupi peringatan tegas Chandara. Kemudian, meninggalkan tamu tidak tahu diri itu.

Meski Killa sudah terlambat untuk mengikuti kelasnya pagi ini, tapi dia masih belum terlambat untuk bertemu Thalisa. Laki-laki itu harus memenuhi janji temunya selagi menunggu kepastian dari Chandara.

Namun, melihat ruangan yang Chandara tempati sudah dipenuhi dengan sampah membuat Killa menghentikan langkahnya dan mengembuskan napas kasar.

"Bang, lo tuh kalau numpang di sini tau diri dikit kenapa sih?! Bantu beres-beres kek, cuci piring atau ngepel kek. Jangan bisanya cuma ngeberantakin doang sama ngabisin isi kulkas gue!" Killa mengoceh panjang karena level ketidaktahuan diri seorang Chandara Owen yang sudah tidak bisa ditoleri lagi.

"Ba-cot." Chandara membalas tanpa suara dan sengaja memenggal katanya. Ini masih terlalu pagi untuk mendengarkan ocehan Killa yang tidak penting.

Killa menggerutu dengan tatapan tajam. Namun, tidak ada yang dia lakukan selain mengayunkan kakinya di atas kepala Chandara. Kalau saja Chandara bergerak sedikit, pasti kepalanya sudah menjadi korban dari keganasan kaki Killa.

Saat sampai di kampus, kelas pertama Killa belum selesai. Artinya, dia harus menunggu untuk bertemu dengan Thalisa.

Laki-laki itu terlihat duduk sendirian di kantin, tanpa ada yang menemani. Sebenarnya, dia bisa saja mencari teman-temannya yang lain, tapi Killa terlalu malas dan sedang ingin sendiri saja.

"Killa!"

Teriakan asing yang memanggilnya membuat sang empunya nama menoleh mencari sumber suara. Pandangannya cukup terkejut saat melihat Thalisa yang melambaikan tangan padanya.

Thalisa menghampiri Killa dengan wajah berseri-seri, lalu mengambil tempat di seberang. "Gue boleh duduk di sini, kan?"

"Lo udah duduk. Masa mau gue usir," sahut Killa dengan tawa kecilnya.

Thalisa tersenyum malu. "Tapi kenapa lo nggak masuk kelas? Katanya lo ada kelas pagi," tanyanya seraya melirik jam tangan yang masih menunjukkan pukul 11.12. "Udah selesai kelasnya?"

"Gue tadi telat. Jadinya sekalian aja nggak masuk." Killa menjawab jujur.

Thalisa membalas dengan anggukan, lalu mengambil sesuatu dari tasnya dan memberikannya pada Killa. "Uang taksi tadi malam."

Killa mempertimbangkan dengan desisan. Rasanya tidak pantas kalau dia menerima uang dari Thalisa karena itu bisa melukai harga dirinya sebagai seorang laki-laki sejati.

"Bayar pakai makan siang aja, boleh? Kebetulan gue nggak sempat sarapan karena kesiangan." Benar kalau Killa tidak sarapan pagi ini, tapi bohong kalau dia kesiangan.

Thalisa mengangguk setuju, lalu menyimpan kembali uangnya ke dalam tas. "Mau makan di mana?"

"Gue pengen makan bubur sih, tapi rumah makan pinggir jalan gitu." Killa meringis, tampak tidak yakin sebenarnya, tapi dia benar-benar ingin makan bubur saat ini. Meski matahari sudah di atas kepala. "Keberatan nggak?"

"Ayo! Kebetulan juga gue lagi pengen makan bubur," balas Thalisa menyanggupi. Dia bahkan berdiri lebih dulu karena terlalu bersemangat.

Menyadari Killa tertinggal di belakangnya, Thalisa segera menoleh untuk memastikan dan mendapati kalau laki-laki itu berjalan dengan agak tertatih. Langsung saja dia menghampiri Killa.

"Kaki lo kenapa?"

"Keseleo gara-gara kecelakaan minggu lalu," balas Killa apa adanya.

"Pasti jadi tambah sakit gara-gara gendong Jesslyn semalam, ya?" Thalisa memastikan dengan ringisan menahan tidak enak di wajahnya. Gadis itu merasa kalau apa yang terjadi pada Killa adalah salahnya.

"Bukan karena itu kok. Sebenarnya, udah nggak terlalu sakit, tapi semalam gue aja yang ceroboh kaki meja ditabrak," sanggah Killa untuk mengurangi rasa bersalah Thalisa.

"Kalau gitu, lo tunggu di sini aja deh. Gue ambil mobil dulu, nanti gue jemput."

"Nggak papa nih kalau lo yang nyetir?" Killa bertanya dengan tidak enak hati. "Maksud gue tadi kita naik taksi aja."

Thalisa tersenyum. "Santai. Anggap aja bayaran buat gendong Jesslyn tadi malam."

Killa mengangguk. Kalau memang Thalisa tidak keberatan menyetir untuknya, ya Killa tidak juga tidak masalah.

Warung bubur yang Killa maksud tidak terlalu jauh dari kampus mereka. Hanya perlu waktu 10 menit untuk sampai ke sana.

Thalisa tidak pernah makan di sana sebelumnya, tapi harus gadis itu akui kalau bubur yang dimakannya ini memiliki citra rasa yang luar bisa nikmat untuknya.

"Kok lo yang bayar sih?" Thalisa langsung melayangkan keluhan ketika Killa sudah lebih dulu membayar makanan mereka ketika akan keluar. "Kan harusnya gue."

"Lo beneran mikir kalau gue minta dibayarin buat makan siang?" Killa memastikan dengan wajah yang sedikit terkejut.

"Ya, iya." Thalisa tampak kebingungan sekarang. Kenapa laki-laki itu malah bertanya. Padahal dia sendiri yang mengatakan hal itu sebelumnya.

Killa hampir saja mencairkan tubuhnya menjadi bentuk gel karena kepolosan Thalisa.

"Maksud gue dibayar pakai makan siang tadi, lo nemenin gue makan. Bukannya bayarin makan," jelas Killa dengan gemas yang ditahan.

"Gue pikir ...." Thalisa terlalu malu untuk menyelesaikan kalimatnya. Jadilah dia membiarkannya hilang di udara.

"Emangnya gue cowok apaan minta dibayarin makan sama cewek yang baru dikenal semalam." Killa tertawa tidak habis pikir. Apa penampilannya terlihat seperti dia tidak memiliki uang untuk makan siang, hingga harus meminta seseorang untuk membayarkannya?

"Sorry." Thalisa memandang penuh sesal. Dia sungguh tidak bermaksud untuk memandang rendah Killa seperti itu.

"Ayo." Killa mengajak Thalisa untuk keluar setelah menerima kembalian dan membiarkan sisa tawanya terdengar sampai ke telinga gadis itu.

Kesalahpahaman kecil itu membuat Thalisa malu sampai ke ubun-ubun. Alhasil, dia bungkam dalam perjalanan kembali ke kampus dan membiarkan Killa duduk dengan nyaman di sampingnya.

"Lo sering ke Penta?" Killa tiba-tiba membuka obrolan untuk sekadar menghilangkan suasana canggung saat ini.

"Nggak sering juga, paling seminggu 3x."

"Itu namanya sering kalau seminggu sampai 3x." Killa menyahut gemas.

"Masih seringan Jeara sih kalau kata gue," sanggah Thalisa, mencoba untuk tidak merusak citranya di depan Killa. "Dia seminggu bisa sampai 5x atau 6x ke Penta, bahkan pernah 7 hari berturut-turut. Pokoknya Penta udah kayak rumah keduanya dia deh."

"Gila party banget teman lo." Killa merespons dengan penuh keterkejutan. Dia saja yang laki-laki tidak sesering itu pergi ke kelab.

"Dan asal lo tau aja, kalau dibandingkan sama minum atau pesta, gue lebih sering datang ke Penta buat jemput Jeara yang mabuk berat." Nah, sekarang Thalisa berhasil mengangkat kembali citranya yang nyaris rusak.

Killa tertawa kecil. Entah kenapa nada menggerutu yang terdengar sangat ditekan membuatnya tergelitik karena merasa Thalisa seperti ingin meyakinkannya.

"Lo jadi pengasuh mereka kalau lagi mabuk apa gimana sih? Tadi malam ngurusin Jesslyn, terus kalau Jeara mabuk juga lo yang jemput." Masih tersisa tawa di dalam suara Killa. Dia tidak bermaksud untuk menghina Thalisa. Laki-laki itu hanya merasa lucu saja karena Thalisa harus selalu berurusan dengan teman-temannya yang mabuk.

Thalisa membalas dengan embusan napas kasar. "Ya, gitu deh. Bisa dibilang gue ini babu yang kerjaannya ngurusin mereka kalau terlibat masalah ini itu."

"Lo salah kalau ngira lo dibabuin sama mereka," ralat Killa. Sikunya menempel di kaca jendela dan memerhatikan dengan intens. "Justru sebaliknya, lo itu yang paling bisa diandalin. Makanya mereka selalu minta bantuan lo."

Thalisa menoleh sebentar dengan alis berkerut, pertanda dia tidak percaya dengan apa yang Killa katakan.

"Contohnya aja sekarang deh, buktinya lo yang nyetir buat gue karena kaki gue keseleo. Itu artinya lo bisa diandalin." Killa menambahkan penjelasannya saat Thalisa tidak memberikannya kata apa pun sebagai respons.

Thalisa menggeleng dengan senyum yang ditahan. Gadis itu tidak ingin tersipu karena pujian barusan dan fokus hanya pada jalanan di depannya.

Sementara Killa tetap memberikan perhatiannya pada Thalisa, sampai gadis itu terganggu dengan tatapannya dan melayangkan protes ketika terhalang lampu merah.

"Kenapa sih, dari tadi ngeliatin gue mulu?" Thalisa terdengar gugup dalam protesnya. Matanya pun tidak berani untuk menatap langsung ke dalam mata Killa. "Ada sisa bubur di muka gue? Atau make up gue berantakan?"

Thalisa yang begitu panik langsung bercermin untuk mengecek kerapian make up-nya, padahal Killa belum mengatakan apa-apa.

"Nggak ada yang aneh kok. Cuma pengen natap lo aja," sahut Killa apa adanya. Dia tersenyum untuk membuat Thalisa tidak salah paham.

Thalisa berdecak sebal. Dia sudah panik sekali kalau ada sisa makanan yang menempel di wajahnya dan Killa diam-diam menertawakannya.

"Jalan. Lampunya udah hijau." Killa memberikan perintah, yang direspons Thalisa dengan bibir mengerucut karena disuruh seenaknya.

"Thanks karena udah ngantar gue balik ke kampus," kata Killa seraya melepaskan sabuk pengamannya. "Nanti kapan-kapan kalau lo butuh tumpangan, telepon gue aja. Jangan sungkan."

"Gue sih yang harusnya makasih sama lo karena udah ditolongin semalam, dibayarin taksinya, dan dibayarin makan juga hari ini." Thalisa mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. "Kita baru ketemu kurang dari 24 jam, tapi gue udah banyak utang aja sama lo."

Killa merespons dengan tawa. "Lo nyetirin gue bolak-balik gini aja udah cukup kok."

"Tapi tetap aja. Lo 3, gue 2," sanggah Thalisa kesal. Gadis itu merasa kalau mengantar Killa bolak-balik saja tidak cukup untuk membalas kebaikan semalam.

"Gini deh, biar skor kita 3-3, gimana kalau nanti lo antar gue pulang aja?" Killa memberikan saran agar Thalisa tidak merasa memiliki utang lagi padanya.

"Boleh. Kebetulan juga gue ada kuliah siang hari ini," kata Thalisa menyanggupi. "Telepon gue kalau lo udah selesai nanti."

Killa menyanggupi dengan senyum, kemudian pamit pada Thalisa untuk keluar duluan.

Setelah Killa keluar dan mengambil langkah menjauh darinya, Thalisa tidak langsung pergi, melainkan dia memperhatikan lebih dulu punggung Killa sampai tidak terlihat lagi olehnya.

"Bukan tipe gue sih, tapi charming banget." Thalisa menahan tawanya untuk tetap ada di dalam mulut dan tidak membiarkan dirinya merona terlalu banyak. Kemudian, segera melajukan mobil menuju gedung fakultasnya.

"Killa!"

Lagi-lagi sang pemilik nama menoleh ketika ada yang memanggilnya. Kali ini bukan suara asing, melainkan sebuah suara yang sudah sangat menempel di kepalanya.

Killa tidak menghampiri dan membiarkan sosok itu yang tidak lain adalah Braga, berlari ke arahnya.

"Gue tadi liat lo sama cewek di lampu merah dalam mobil Yaris. Itu beneran lo atau gue salah liat?" Rupanya, Braga datang untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi.

Killa membenarkan dengan anggukan, lalu melanjutkan langkahnya. "Bener kok, itu gue."

"Sama siapa? Kok gue nggak tau kalau lo dekat lagi dekat sama cewek?" Kini, pertanyaan Braga terdengar seperti keluhan tidak terima.

"Adiknya Sandara."

"Sandara?" Braga mengulangi dengan penuh keterkejutan. "Sandara pacarnya Bang Rey yang itu?"

Killa membalas dengan gumam singkat, tampak seperti tidak ingin membahas lebih jauh.

"Ini lo serius mau ngedekatin dia, Ki?" Braga memastikan dengan hati-hati. Masalah ini cukup sensitif untuk dibahas sambil berjalan seperti ini. Jadi, ada baiknya kalau Braga tidak sampai menyinggung Killa.

"Ya, lo pikir gue bercanda?" Killa bertanya balik dengan nada sinis dan ekspresi yang tiba-tiba saja berubah dingin. Padahal sebelumnya dia tampak berseri-seri saat bersama dengan Thalisa.

Braga mendesis. Dia tahu kalau gaya bercanda Killa tidak seperti itu, tapi bagaimanapun juga, rencana balas dendam Killa ini agak ekstrem.

"Kairo mana? Tumben nggak bareng sama lo." Killa mengubah topik pembicaraan saat Braga tidak memiliki kata untuk diberikan padanya.

"Hangover itu anak. Nggak ngampus dulu katanya," balas Braga apa adanya. "Pas gue tinggal aja masih molor di sofa."

Killa menggeleng prihatin. "Udah tau hari ini ada kuis. Malah mabuk dipentingin," ocehnya seolah-olah dia tidak membolos juga hari ini karena terlambat.

"Ngaca deh!" tukas Braga dengan penuh penekanan. "Gue tadi nanya sama teman sekelas lo, katanya lo nggak masuk di mata kuliah sebelumnya. Pergi ke mana lo sama adiknya si Sandara itu?"

"Gue telat gara-gara Bang Chandara datang tadi. Jadi, ya udah, nggak usah masuk aja sekalian."

"Terus sekarang Bang Chandara mana?"

"Jadi, parasit di apartemen gue," gerutu Killa tajam.

"Eh, tapi kok lo bisa sih ketemu sama adiknya si Sandara itu? Kapan dapat infonya?" Braga bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ya, gara-gara Bang Chandara datang bawa itu info gue jadinya telat, tapi ketemu sama itu cewek udah semalam di Penta." Kini, suara Killa terdengar tidak terlalu keras, tidak juga terlalu malas.

"Anjing! Baru kali ini gue liat alam ngerestuin orang buat balas dendam." Braga menyeletuk dengan berapi-api. "Ini bukti kalau memang dunia udah nggak baik-baik aja," tambahnya dengan gelengan prihatin.

"Najis!" Killa menoyor kepala Braga saat merasa omongan laki-laki itu terlalu menjijikkan untuk didengar olehnya. Kemudian berjalan duluan meninggalkan Braga yang melayangkan protes padanya.

***

Sesuai permintaan Thalisa, Killa menghubungi gadis itu saat kelasnya sudah selesai. Namun, tidak menelepon seperti yang Thalisa minta, Killa hanya mengirimkan pesan saja kalau-kalau gadis itu sedang sibuk sekarang.

Faktanya, Killa mendapatkan balasan tidak lebih dari 3 detik sejak pesannya terkirim. Membuat mata laki-laki itu membulat ketika mendapatkan balasan secepat ini.

"Ayo, pulang."

Killa mendapatkan tepukan ringan di bahunya ketika sibuk memberikan balasan untuk Thalisa sambil berjalan.

"Lo duluan aja. Gue pulang bareng sama adiknya Sandara," sahut Killa seraya menyimpan handphone-nya di saku.

"Lancar banget pendekatannya, Anjing!" Lagi-lagi Braga tidak bisa menahan diri untuk mengumpat.

Killa tidak membalas dan lagi-lagi meninggalkan Braga untuk pergi ke tempatnya dan Thalisa janjian untuk bertemu.

Hari ini, Killa membiarkan Thalisa menjadi sopir pribadinya, tapi berjanji kalau suatu hari nanti dialah yang akan mengantar jemput Thalisa.

"Suka main skateboard, ya?" Killa iseng bertanya ketika menyadari ada gantungan skateboard di kaca tengah mobil Thalisa.

Thalisa menoleh dan tersenyum malu. "Suka ngeliat orang main skate doang, tapi nggak bisa main."

Killa mengangguk dalam gumam. "Pernah ke skatepark nggak?"

Thalisa menggeleng pelan. Ada sedikit kekecewaan di wajahnya, tapi justru membuat dirinya terlihat menggemaskan karena mengerutkan hidung.

"Kalau ada waktu kosong, mau ikut gue ke skatepark? Kebetulan gue punya beberapa teman skater."

"Serius?" Thalisa menatap Killa dengan antusias, tapi hanya bertahan selama 2 detik karena dia harus kembali pada jalanan di depannya.

Killa mengangguk.

"Mau~" Thalisa menanggapi dengan nada yang begitu manja. Dia sudah lama sekali ingin melihat orang-orang bermain skateboard dari dekat, tapi tidak memiliki keberanian mendekati sekelompok skater itu.

"Nanti kabarin aja kalau lo ada waktu luang, ya," kata Killa.

Thalisa balas mengangguk. Gadis itu tampak begitu senang di balik kemudinya, meski sedang berhadapan dengan macetnya jalanan ibu kota.

"Mau mampir dulu nggak?" Killa menawarkan ketika Thalisa sudah mengantarnya pulang ke apartemen. "Lo mungkin capek karena habis macet-macetan tadi."

Memang benar kalau Thalisa lelah sekarang, lebih-lebih lagi tangannya. Namun, gadis itu tidak langsung menerima tawaran baik dari Killa.

"Lain kali aja mungkin," tolaknya halus.

Killa mengangguk, memahami penolakan Thalisa barusan. Justru memang ini yang diharapkannya. Kalau Thalisa menyetujui dengan mudah, itu akan membuat permainan Killa menjadi kurang menarik.

"Hati-hati di jalan, ya."

Thalisa menyanggupi dengan anggukan dan senyum atas perhatian kecil Killa barusan. Lalu, dia pamit untuk pulang.

Kalau sebelumnya Thalisa yang menatap punggung Killa, sekarang giliran Killa yang menatap mobil Thalisa. Laki-laki itu tidak mengatakan apa pun, tapi jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun, pemikiran itu Killa tahan untuk tetap berada di dalam kepalanya hingga malam datang.

Setelah mengompres pergelangan kakinya yang terkilir dengan air dingin, Killa mengempaskan tubuhnya ke kasur dan menatap selembar foto di tangannya.

Ada tiga orang di dalam foto itu. Satu orang laki-laki, satu orang gadis yang berusia awal 20-an dan seorang gadis kecil berusia kira-kira 4 tahun yang keduanya gandeng.

Laki-laki itu adalah Reynald, kakak satu-satunya yang Killa miliki. Lalu, gadis dengan rambut yang dicepol itu adalah Sandara dan sosok kecil yang keduanya gandeng sudah dipastikan adalah Thalisa.

"Bang, gue bakalan balas dendam atas kematian lo dengan penderitaan di hidupnya Thalisa." Killa berbicara dengan lembaran foto di tangannya. "Thalisa harus hancur di tangan gue, sama kayak lo yang hancur di tangan kakaknya Thalisa."

********

Sudahkah kalian menemukan celah untuk menghujat Killa? Pasti belum, kan? Sorry to say, tapi kalian akan aku ajak untuk nemenin Thalisa ngebucin Killa dulu. Sebelum nantinya kita hujat Killa rame-rame 🤣🤣🤣🤣

Btw, aku ada sedikit info. Jadi, ceritanya aku lagi ngadain giveaway kecil-kecilan untuk beberapa cerita aku yang ada versi PDF-nya. Untuk lengkapnya bisa dicek langsung di Instagram.

Dan btw lagi, apakah kewarasan kalian masih tersisa banyak setelah melihat solo stage Lisa hari ini? Jujur aja, gaes, diriku nyaris tidak bernyawa pas Lisa bawain Money. Akhirnya, akhirnya, AKHIRNYA! 😭😭😭😭

Setelah setahun digantung Money dapat kesempatan buat tampil di panggung. Udah mana dibuka sama pole dance, dikasih dance break pula. Kira-kira YG kesambet apa, ya? 🤣🤣🤣

15 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro