03. Permintaan
"SYUKURLAH kau sudah sadar."
Acha terhenyak dari duduknya, dan menutup mulut tak percaya. "JADI INI BUKAN MIMPI?!"
Kemudian Acha menepuk-nepuk keras kedua pipinya, PLAK! Dan itu terasa sakit. "Sumpah, gue nggak nyangka kalau ini semua nyata... Hiks... Kenapa nasib gue gini amat?! Kenapa gue bisa kembali lagi ke masa lalu...? Kenapa gue bisa ngalamin yang namanya time travel?"
Air matanya sudah tak bisa ditahan lagi, Acha menangis terisak. Menundukkan kepalanya, sambil memeluk lutut.
Sontak hal itu membuat Jayanegara yang baru saja masuk ke dalam kamarnya merasa khawatir akan keadaan Acha. Kemudian tanpa basa-basi lagi, Jayanegara menghampiri Acha dan duduk di sebelahnya.
"Demi Sang Hyang Widhi, bidadariku... Kenapa kau menangis?" tanya Jayanegara, air mukanya jelas menampakkan sebuah kekhawatiran teramat dalam.
"Hiks... hiks... Diam lo, gue nggak mau bicara sama lo lagi! Hiks... Gue takut, hiks... Gue ada di mana...? Apa benar ini di Majapahit? Hiks..." suara Acha terdengar melemah dan serak, tidak seperti tadi yang selalu berteriak-teriak.
Jujur saja, saat ini dia merasa ketakutan. Semua hal yang ada di masa ini sangat berbeda dengan yang ada di masa depan. Apalagi, dia juga tidak kenal siapapun. Jayanegara? Acha masih belum bisa mempercayainya.
Jayanegara yang senantiasa duduk di sebelah Acha semakin dibuat heran dengan tingkah gadis itu. Tangisan Acha semakin keras memenuhi ruangan.
"Bidadari cantik, kenapa kau menangis?"
"G-gue takut... Hiks..."
"Takut? Kau takut kepadaku?"
Acha mengangguk sebagai jawaban. Dia tak mengatakan apa-apa lagi selain tangisannya yang tak kunjung mereda.
Jayanegara lantas mendekat, ia rengkuh tubuh Acha dan memeluknya seperti beberapa waktu lalu. "Sudahlah, kau jangan takut. Aku bukanlah seorang penjahat, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah kepadaku. Jadi, hentikanlah tangisanmu itu wahai bidadari cantik. "
Diusapnya puncak kepala Acha dengan penuh lemah lembut, Acha yang masih berada dalam pelukan sang raja pun merasakan jika hatinya menghangat.
"Nggak ada salahnya juga gue untuk percaya sama dia, toh kayaknya dia emang bukan orang jahat." batin Acha, yang mulai mempercayai sosok Jayanegara.
"Tidak ada yang perlu kau takutkan, aku akan pastikan kau selalu aman." ujar Jayanegara, dan dalam peluknya Acha mengangguk pelan.
Tangisnya yang sudah reda, lantas Acha melepaskan pelukan Jayanegara. "Terima kasih, tadi lo udah nolongin gue yang jatuh ke danau kan?" Acha menarik sudut bibirnya, tersenyum kecil.
Jayanegara menatap lekat ke arah Acha, "Terima kasih untuk apa? Maaf, bisakah kau untuk tidak menggunakan bahasamu yang aneh itu, bidadari cantik?"
Senyum Acha hilang seketika, digantikan oleh tatapan kesalnya terhadap Jayanegara. "Jangan bilang kalau bahasa gue aneh! Mungkin di masa ini memang terdengar aneh, tapi di masa gue nggak aneh. Oh iya, gue kan sekarang nggak lagi ada di tahun 2020. Yaudah deh, gue pake bahasa formal aja walaupun ntar kek google translate."
Acha menghela napas, bersiap untuk mengubah gaya bicaranya. "Jadi, aku sangat berterimakasih kepadamu karena kau telah menolong diriku yang tadi sempat terjatuh dari langit. Aku jadi merasa tidak sedap hati karena telah merepotkanmu."
Untung saja Acha sudah terbiasa menggunakan bahasa seperti ini saat bertugas memeriksa pasien. Yakali saat memeriksa Acha bilang gini ke pasiennya, "Eh, lo cepet sini gue mau periksa keadaan lo." atau selain itu, "Gue udah tulis resep obat yang kudu lo tebus di apotek. Semoga lo cepet sembuh." kalau seperti itu sih, pasiennya auto kabur. Kalau tidak, Acha akan terkena report sebagai dokter yang tidak sopan dan kurang ajar terhadap pasien.
Jayanegara tersenyum sumringah, "Tidak perlu berterimakasih, bidadari cantik. Aku tulus menolongmu, akan tetapi jika kau masih merasa tidak sedap hati, aku punya satu permintaan kepadamu."
Entah kenapa Acha agak curiga dengan Jayanegara. Jangan sampai ia meminta Acha melakukan hal yang tidak-tidak. Dengan ragu Acha bertanya, "Permintaan apa?!"
"Aku ingin membuat sebuah perjanjian."
Acha menaikkan satu alisnya, "Apa? Perjanjian apa?"
"Sebelum aku menjelaskan, aku akan menanyakan satu hal kepadamu." ujar Jayanegara yang membuat Acha semakin penasaran.
"Humph! Yasudah, apa pertanyaannya?"
"Wahai bidadari cantik, apakah kau warga Majapahit dan punya tempat tiggal di sekitar istana? Ataukah kau memang seorang bidadari yang turun dari kahyangan?"
Acha menepuk dahi, dan terdiam sejenak. "Ehm, aku bukan warga Majapahit, aku tidak punya tempat tinggal. Dan juga, sudah kujelaskan sejak awal jika aku bukan seorang bidadari!"
Jayanegara mengangguk paham, "Kau sungguh tidak punya tempat tinggal?"
"Iya, aku tidak punya! Aku tidak tahu mengapa aku bisa berada di sini! Aku sangat bingung!" jujur Acha, dia mengungkapkan kebingungannya saat ini.
"Kebetulan sekali, kalau begitu kau tinggal saja di istanaku ini."
Ucapan Jayanegara tersebut sukses membuat Acha merasa bersyukur, "Terima kasー"
Kata-kata Acha terhenti seketika saat Jayanegara menyela ucapannya, " Permintaan dan perjanjian yang akan kukatakan kepadamu yaitu, selama kau tinggal di sini, kau harus menuruti segala perintahku. Tanpa ada penolakan."
Acha sukses membelalakkan matanya, "APA?! Tapiー"
Jayanegara kembali menyela, "Tidak ada tapi-tapian, tidak ada penolakan!?"
Dengan menghela napas berat, dan dengan setengah hati Acha pun mengangguk mengiyakan. "Baiklah-baiklah, aku terima perjanjian ini. Namun, aku juga ingin mengajukan satu perjanjian kepadamu."
"Apa itu?" tanya Jayanegara.
"Jangan pernah kau melarangku untuk melakuan suatu hal yang kuinginkan, jangan pernah mengaturku sesuka hatimu!"
"Tapiー"
"Tidak ada tapi-tapian, tidak ada penolakan!" Acha memotong ucapan Jayanegara persis seperti saat Jayanegara memotong ucapannya tadi.
"Yasudah, terserah kau saja." Jayanegara kemudian mengangguk.
"Oke, kalau kayak gini kan jadi simbiosis mutualisme."
Jayanegara mengerutkan dahi, "Apa katamu? Aku tidak mengerti? Sim-simbio itu apa?"
Acha yang melihat Jayanegara kebingungan pun tertawa kecil, "Hahaha! Bukan sim-simbio tapi, simbiosis mutualisme. Yang artinya saling menguntungkan!"
Jayanegara yang mendengar penjelasan Acha pun mengangguk paham, "Itu pasti merupakan salah satu bahasa yang ada di daerah asalmu, ya?"
Lagi-lagi, Acha dibuat tertawa dengan tingkah Jayanegara. Sudah tahu ini ada di 701 tahun di masa lalu, dan Acha malah menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh orang pada masa itu.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Jayanegara yang merasa heran dengan tingkah Acha.
Acha tersenyum tipis lantas menggeleng, "Hmm, tidak apa-apa. Aku hanya ingin tertawa saja."
"Kalau kau tertawa dan tersenyum seperti itu, wajahmu jadi semakin cantik. Dan juga, manis..." puji Jayanegara terhadap Acha.
"Sungguh?"
"Tentu saja... Aku baru melihat gadis secantik dirimu di dunia ini." Jayanegara kembali muji Acha.
"Sudahlah, jangan bahas ini lagi." sahut Acha yang sudah muak dengan gombalan Jayanegara, dan raja itu mengangguk.
"Ngomong-ngomong, kau belum memberitahu siapa namamu, bidadari cantik." ujar Jayanegara setelah beberapa saat hening di antara keduanya.
"Oh iya namaku Dyah Acha Girinata, panggil saja Acha. Siapa namamu?" Acha mulai menampakkan senyuman ramah kepada sang raja, dan mengulurkan tangannya.
Sedangkan Jayanegara kebingungan kenapa Acha mengulurkan tangannya, "Nama yang cantik, sama seperti orangnya. Namaku Jayanegara, bukankah tadi sudah kukatakan? Dan, kenapa kau mengulurkan tanganmu?"
"Salam kenal, Jay." Acha menarik lengan Jayanegara dan menjabatnya. "Di masa-ku, orang-orang berjabat tangan seperti ini saat berkenalan."
Ada rasa terkejut sekaligus senang saat tangan lembut Acha menjabat tangannya. "Oh, begitu. Baiklah, salam kenal juga."
Mereka berdua saling melempar senyum. Kemudian, Acha mulai kembali membuka suara.
"Jay, kenapa di sini gelap ya? Memangnya sudah malam?" tanya Acha, pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan dengan cahaya remang-remang dari lilin.
Jayanegara mengangguk, "Iya, ini sudah malam."
Acha membuka mulutnya lebar, ia sangat terkejut. "Apa? Astaga... Lalu bukankah tadi saat kau menolongku yang terjatuh, masih siang hari?"
"Tadi memang masih siang hari, akan tetapi kau pingsan lagi sangat lama. Dan kau baru sadarkan di malam hari." perjelas Jayanegara.
Acha berdecak, "Aduh! Bagaimana bisa aku pingsan selama itu?! Apa aku merepotkanmu?"
"Tidak, kau sama sekali tidak merepotkanku, Acha."
"Yasudahlah..."
"Acha, apakah kau laー" ucapan Jayanegara terhenti saat sebuah suara terdengar.
Krucuk krucuk...
"Acha, apakah kau lapar?" tanya Jayanegara, melanjutkan pertanyaan yang sempat tertunda.
Acha, nyengir dan mengangguk. "Seperti yang kau dengar tadi, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya sedang kelaparan."
"Kalau begitu tunggu sebentar, aku akan memanggil dayang⁸ istana utuk mengambilkan makanan untukmu." Jayanegara beranjak dari duduknya, kemudian ia memerintahkan prajurit yang berjaga di luar kamarnya memanggil dayang istana membawakan makanan untuk Acha.
Tak lama kemudian, tiga orang dayang datang dan menyajikan makanan disebuah meja yang terletak di tengah kamar. Dayang-dayang itu lantas berlalu pergi setelah diperintahkan oleh Jayanegara.
"Acha..." panggil Jayanegara dan Acha pun menoleh.
"Iya?"
Jayanegara melambaikan tangannya ke arah Acha, "Mari makan bersama. Bukankah kau lapar?"
Sebenarnya Acha tidak pernah makan malam-malam seperti ini. Namun karena dia sangat merasa lapar, dia pun menghampiri Jayanegara dan duduk bersebrangan dengannya.
Acha terkejut bukan main, saat melihat begitu banyak hidangan yang tersaji di hadapannya.
"Makanlah, Acha... Namun sayang sekali tidak ada Jukut Harsyan⁹. Mungkin lain kali kau bisa merasakan kenikmatan Jukut Harsyan." ujar Jayanegara, dan melahap makanannya.
"Jukut Harsyan?"
"Acha, kau tidak tahu Jukut Harsyan?"
Acha menggeleng, "Tidak, aku tidak tahu. Namanya pun terdengar asing di telingaku."
"Akan aku jelaskan, Jukut Harsyan adalah makanan khas Majapahit. Jika kau belum pernah merasakan kenikmatan makanan itu, kau belum bisa disebut orang Majapahit."
"Oh, begitu..."
"Iya, lain kali akan aku sajikan Jukut Harsyan untukmu."
Makan malam itu berlangsung dengan khidmat, ternyata masakan jaman dulu tidak kalah lezatnya. Apalagi, rempah-rempahnya sangat terasa lezat di lidah.
Setelah makan malam selesai, Jayanegara dan Acha kembali berbincang-bincang.
"Kau ingat kan kita punya perjanjian?" ucap Jayanegara sambil meneguk segelas air
"Tentu saja aku ingat, memangnya kenapa?"
"Aku ingin meminta satu permintaan kepadamu dan kau tidak boleh menolak."
"Iya iya... Aku tidak akan menolak,"
"Kalau begitu, besok temani aku untuk pergi berjalan-jalan ke pasar. Aku akan mengenalkan wilayah Majapahit kepadamu."
Author Note :
Hallo! Kembali lagi bersama aku, Lily!
Akhirnya bisa update tepat waktu!
Makasih juga buat hanikamita yang udah nunggu dengan sabar:")
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Jangan lupa untuk selalu vote, comment, follow dan share!
Maaf kalo ada typo dan ceritanya nggak jelas TT
__________
#FORYOURINFORMATION
⁸ = Arti kata 'dayang' di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “Gadis pelayan di istana”.
⁹ = Jukut harsyan adalah hidangan khas di zaman Majapahit. Hidangan ini terdiri dari sup yang terbuat dari daging bebek dan batang pisang muda. Ada kemenyan dalam masakan ini, serta campuran rempah, dan bumbu lainnya. Kemudian, terdapat lambang unik dalam masakan. Misalnya, 1 ruas kencur artinya Yudhistia. Lalu, 4 lengkuas artinya Bima. Sementara itu, 3 ruas kunyit melambangkan Arjuna.
Jukut Harsyan :
__________
Follow;
Wattpad: lysprecieux
Instagram: @lyxmintchoco
© lysprecieux
Sabtu, 18 Juli 2020 18:48 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro