4. White Prince
Hujan telah berhenti beberapa menit yang lalu. Seorang gadis berambut ruby, mengenakan gaun putih, terlihat berlari ke sumber bunyi lonceng yang terdengar di telinganya.
"Ahhh ... Dasar ouji payah! Kenapa memberikanku sebuah gaun besar begini sini?! Aku jadi susah berlari--- HIYAAAA aku menginjak becek jadi kotor semua wehhh!!!" serunya heboh sendiri
Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau begitu, kita mundur beberapa menit sebelum insiden lari-lari gaje ini.
Sebelumnya ...
Dichan tidak sengaja melihat pintu ruangan yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati Dichan melihat ke dalam dan tidak sengaja melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Bukankah itu ... boneka singa putih?"
Dichan terlihat melihat keadaan di ruangan tersebut sebelum masuk ke dalam sana.
Di ruangan tersebut terlihat banyak sekali boneka hewan dalam berbagai ukuran, terpajang setiap sudut.
"Banyak sekali bonekanya." Dichan mengangkat boneka siang putih yang menjadi pusat perhatiannya tadi.
"Cantik sekali boneka ini, apa kubawa saja, yah?" guman Dichan sambil memperhatikan boneka singa putih tersebut.
"Hmm ... rasanya seperti ada yang kurang," Dichan melihat sekeliling, dan menemukan sebuah kotak kaca yang di dalamnya terdapat sebuah mahkota kecil. Kotak kaca tersebut terletak di dekat jendela dalam keadaan tertutup rapat.
Tanpa merasa bersalah sama sekali, Dichan mengambil mahkota kecil tersebut dan memasangkan mahkota tersebut di atas kepala boneka singa putih.
"Wah, ternyata cocok. Singa putih ini mengingatkanku pada si ouji," tutur Dichan dan seketika itu pula muncul sebuah asap yang mengelilingi tubuh sang singa putih.
Spontan, Dichan melepaskan bonekannya dan jalan mundur ke belakang hingga jatuh terduduk.
Kedua matanya membulat sempurna kala mendapati postur tubuh tinggi, berambut putih, bermata biru, dan yang paling penting dia berdiri dalam keadaan tanpa busana. Iya, TAN-PA BU-SA-NA. Membuat Dichan menjerit gaje sambil menutup matanya.
"MY EYESSSS!! DEMI PONI CETAR KENTY, KESUCIAN MATAKU JANGAN MATIIII!!!"
Sementara pria yang di depannya terlihat bingung sesaat. Namun behitu ia melihat tubuhnya sendiri, barulah dia sadar.
Tanpa merasa bersoda--eh, berdosanya sang pria malah tertawa ringan sambil berucap, "Maaf, maaaf, aku sudah mengagetkanmu dan melihat keadaanku seperti ini."
"Kalau gitu, pakai bajumu! Jangan menodai kesucian mataku!" seru Dichan yang masih menutup matanya
Terlihat sang pria melihat sekitar dan kembali berucap, "Hmm ... Tidak ada baju ganti di sini. Tapi aku bisa pakai baju yang kau pakai itu."
"Hah?! Da-n membirkanku telanjang, begitu?!"
"Tentu saja aku tidak akan membiarkan my cinderella tidak memakai baju," balasnya dan dalam satu petikan jari, baju yang Dichan pakai berubah menjadi gaun putih sementara baju yang dikenakan Dichan tadi kini sudah melekat di badan sang pria.
"Sekarang, buka matamu. Sudah tidak apa-apa."
"Yakin?"
"Yakin ..."
"Serius?"
"Sangat serius."
"Kalau bohong hidungmu bakal panjang, loh."
"Haha ... Aku bukan pinokiko."
"Pinokio."
"Itu nama cucunya."
"Masa?"
Sang pria kembali tertawa dan berjongkok di depan Dichan.
"Sudah tidak apa-apa, bukalah matamu," tuturnya sambil memegang tangan Dichan yanh sedang menutupi matanya.
Dengan sedikit ragu, Dichan menurunkan tangannya dan membuka matanya. Terlihat baju yang dikenakannya sudah berpindah ke badan sang pria.
"I-itu ..." Dichan melihat tubuhnya sendiri yang kini berbalut dengan gaun putih. "Ba-bagaimana bisa?!"
"Terima kasih, yah, kau sudah melepaskan kutukannya."
"Kutukan?"
"Iya, aku dan semua pria yang ada di negeriku dikutuk oleh wanita tua itu dan putrinya."
"Lalu ... Bagaimana dengan para wanita?"
"Para wanita di sini juga dikutuk menjadi pohon."
Dichan meneguk silvanya dengan kasar, ia tidak bisa membanyakan dirinya bakal dikutuk jadi pohon. "Ah ... Untung saja aku tidak dikutuk."
"Berkatmu, aku bisa lepas dari kutukan karena kau memasangkan mahkota ini padaku. Aku akan mengabulkan apapun keinginanmu my cinderella," ujarnya sambil mencium tangan Dichan
"To-tolong jangan begini ..." cicit Dichan sambil menarik kembali tangannya.
Terdengar suara lonceng bergema, membuat Dichan teringat pada tujuan awalnya, yaitu menghentikan pernikahan antara Lette dan Kazuna.
"OH IYA! pernikahnya! Aku harus menghentikannya," ucap Dichan dengan panik sambil bangun dari posisinya.
"Apa dia kekasihmu?"
"Iya, BU-BUKAN! dia hanya ... Err leader ah ... teman ... mungkin? Dan aku tidak bisa membiarkan Lette menikahinya, kami harus kembali ke dunia kami."
"Kalau begitu, mungkin mawar itu bisa menolongmu," ucap pria itu sambil menoleh ke sebuah lemari tertutup.
"Mawar?" Dichan menghampiri lemari yang dilihat sang pria dan membukanya.
Terlihat sekuntum mawar hitam di dalam bas bunga. Dichan mengambilnya. "Untuk apa mawar ini?"
"Kau akan tahu, jika kau memperlihatkannya pada mereka."
"Kalau begitu aku pergi dulu," ucap Dichan langsung berlari keluar sambil mengangkat gaunnya.
Dichan berlari keluar rumah sambil melihat sekeliling. "Di mana tempat mereka menyelengarakan pernikahannya?!"
Hujan telah berhenti. Dichan kembali mendengar suara lonceng. Dengan susah payah ia pun berlari menuju asal suara lonceng tersebut.
"Ahhh ... Dasar ouji payah! Kenapa memberikanku sebuah gaun besar begini sini?! Aku jadi susah berlari--- HIYAAAA aku menginjak becek jadi kotor semua wehhh ... Ah, bodo amat dengan bajunya, menyelamatkan Kazu lebih penting. Rasanya aku ingin melepaskan gaun ini ... Tapi masa aku tidak pakai baju?!" omel Dichan panjang lebar sambil berlari.
Tibalah, Dichan di sebuah bangunan hitam yang megah. Dengan rasa capek, lelah, letih, namun kesal karena gaun yang dikenakannya begitu besar dan merepotkan, membuatnya tanpa babibu menendang pintu besar tersebut hingga terbuka.
"Hentikan pernikahan ini! Hosh ... Aku ... da-tang mengambil pengantin priaku yang dicuri!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro