13. Ranpo (part 1)
Flashback = italic
Karya ini hanya milik pembuatnya, saya hanya minjam karakternya.
Semua masa lalu dan cerita murni imajinasi dari Author.
Enjoy, vote, comment and..
Happy Reading
.
.
.
Author Pov
Flashback
"Ranpo-kun kau sedang apa?"
Ranpo yang pada saat itu berumur sembilan tahun hanya menatap sensei sekaligus ayah angkatnya dengan tatapan polos.
"Menyelesaikan ini." Ranpo menunjuk buku yang seharusnya digunakan oleh orang yang sudah berumur tujuh belas tahun.
"Kau mengerti?"
Ranpo mengangguk. "Mudah saja bagiku memecahkan teka-teki ini."
Fukuzawa Yukichi, sensei sekaligus ayah angkat Ranpo tampak sudah mengira bahwa anak ini memang jenius.
Jadi Fukuzawa hanya membiarkan Ranpo seperti itu setiap harinya, sampai dia bertanya-tanya apakah anak itu bosan atau tidak.
"Kau bosan?"
Ranpo yang pada saat itu sedang membaca buku ensiklopedianya menatap ayah angkatnya, dan mengangguk.
Fukuzawa tau cepat atau lambat anak angkatnya ini akan merasa bosan, dia juga butuh teman bicara.
Beberapa hari kemudian Fukuzawa memutuskan untuk membawa Ranpo ke sebuah rumah bergaya jepang kuno milik Natsume Souseki, senseinya.
Natsume tampak meneliti anak angkat yang di adopsi oleh muridnya dari jendela rumahnya, dia tampak serius menulis di buku yang baru dibelikan oleh Fukuzawa.
"Jadi itu anak kenalanmu?"
Fukuzawa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Natsume.
"Keluarga Edogawa sudah lama meninggal dan kemudian Ranpo tinggal dengan kakak dari ibunya yang sama sekali tidak memberikan kasih sayang kepadanya, dia memiliki otak yang jenius tapi bibinya dan ketiga anaknya memperlakukannya seperti orang aneh." Jelas Fukuzawa.
"Jadi kau memilih untuk mengadopsinya?"
Fukuzawa mengangguk lagi.
Natsume menghela nafas. "Kau tau, terkadang kau bisa sangat berbeda dengan Mori dan terkadang lagi kau bisa sangat sama dengannya." Perkataan Natsume membuat Fukuzawa terlihat tidak ingin disamakan.
"Karena kita mengangkat anak bukan berarti kita ini sama." Sanggahnya.
Natsume hanya terkekeh dan dia mengambil cerutunya untuk dia sesap lagi.
"Ketika aku melihat Dazai untuk pertama kalinya, aku tau bahwa anak yang diangkat oleh Mori itu sudah mempunyai bakat yang bahkan kita tidak ketahui." Natsume mulai bercerita mengenai Dazai yang diangkat oleh Mori dua tahun lalu.
"Ketika dia memegang pistol, walaupun masih terkesan acak dan terburu-buru, dia tampak sudah pernah memegangnya."
Dari cerita Natsume sepertinya Fukuzawa mengambil kesimpulan bahwa gurunya itu tertarik dengan anak yang bernama Dazai.
"Aku harap Ranpo juga memberikanku sebuah kejutan." Natsume mengerling keluar jendela tepatnya ke anak yang baru di angkat oleh Fukuzawa.
•••••••
Ranpo menatap pistol yang diberikan oleh Natsume yang saat ini sedang memperhatikan anak-anak seusia dirinya.
"Kau bisa menggunakannya?"
Ranpo menatap Natsume. "Bolehkah seorang anak kecil memegang pistol seperti ini?" Tanyanya polos. Natsume tertawa melihat kepolosan dari Ranpo. Itu hanyalah pistol mainan, walau begitu ketika seseorang terkena isi pistolnya akan terluka cukup dalam.
"Sekarang kau lihat," Natsume menunjuk seorang anak laki-laki yang sedang membidik pistolnya. "Dia seusiamu, dia sedang berlatih, sebaiknya kau bergabung dengannya." Perintah Natsume hanya bisa diangguki oleh Ranpo.
Ranpo menghampiri anak laki-laki berambut cokelat itu.
"Kau.."
Anak laki-laki itu menoleh dengan ekspresinya yang kelewat datar.
"Kau anak didiknya si pria hitam itukan?" Ranpo terlihat memastikan hal yang dia sudah ketahui. Anak laki-laki berambut cokelat itu masih menatap.
"Dan kau anaknya Fukuzawa-san."
Ranpo mengangguk. "Namaku Ranpo. Edogawa Ranpo."
Anak laki-laki itu terlihat tidak peduli tapi dia tetap mengatakan "Aku Dazai. Dazai Osamu."
Anak laki-laki yang bernama Dazai itu terlihat bersiap untuk menembak, dia mengarahkan pistolnya
Duk
Isi pistol itu tepat mengenai bagian tengah papan yang berwarna merah.
"Aku juga ingin mencobanya." Ranpo terlihat antusias, dia ingin mempraktekan apa yang sudah dibacanya.
Dazai bergeser untuk memperhatikan Ranpo yang bersiap-siap menembak. Dia meragukan anak berambut hitam itu.
Tak
Dazai terkejut ketika peluru itu terjatuh karena beradu dengan peluru yang ditembaknya tadi.
"Ahh sayang sekali"
Jelas Dazai tau bahwa anak itu tetap mengenai pelurunya yang berada ditengah. Itu artinya anak ini bukan anak yang sembarangan.
"Kau baru menggunakan pistol ini?" Tanya Dazai. Ranpo mengangguk. "Aku hanya belajar dari teori yang ada dibuku."
Sepertinya Dazai harus hati-hati dengan anak disebelahnya ini.
"Oi brengsek!"
Kedua anak laki-laki itu menoleh dan mendapati anak seusia mereka sedang berjalan menghampiri mereka berdua. Dazai yang sudah mengetahui siapa anak itu hanya menatap datar.
"Jaga bicaramu, Chuuya."
Chuuya merengut. "Kenapa kau di perbolehkan latihan disini dan aku tidak." Protesnya.
"Mungkin karena kau masih payah."
"Enak saja, aku calon pemimpin mafia tau."
Dazai terlihat tidak peduli dan itu membuat Chuuya kesal, ketika ingin memarahi Dazai, matanya tidak sengaja menatap Ranpo yang memandanginya dengan wajah yang menurut Chuuya menyebalkan.
"Kau siapa? Kenapa kau ada disini?"
"Aku Ranpo, aku disuruh oleh Natsume-sensei untuk kesini." Jawabnya.
Chuuya terlihat tidak suka. Dia menganggap bahwa Natsume itu tidak adil, masa hanya dua anak ini yang sepertinya di specialkan.
"Baiklah sekarang coba kau lawan aku."
"Untuk apa?" Ranpo bertanya dengan nadanya yang polos. "Untuk membuktikan siapa yang lebih kuat." Jawab Chuuya angkuh.
Dazai yang mendengar itu hanya menggeleng, tidak habis pikir dengan anak yang katanya akan menjadi partner in crimenya.
"Aku tidak mau, itu merepotkan."
Ranpo terlihat ingin pergi sebelum Chuuya mendorong tubuhnya, hingga menyebabkan Ranpo terjatuh dan Chuuya hanya menatap remeh serta menjulurkan lidahnya.
Karena Ranpo tidak ingin kalah dia akhirnya menendang kaki Chuuya hingga mengaduh kesakitan.
"Akh sakit."
Ranpo terkekeh, alhasil mereka saling kejar-kejaran membuat Dazai hanya bisa menghela nafas, dia tidak mau seperti itu.
Ketika dia ingin memulai lagi sesi menembaknya, tiba-tiba terdengar suara
Byurrr
Dazai menoleh dan mendapati kedua anak itu sudah ada di dalam kolam ikan milik Natsume-sensei.
"Akhh sialan kau"
Chuuya berdecak dengan kata-katanya yang tidak baik. Ranpo tertawa karena melihat ada daun di rambutnya Chuuya dan juga ikanpun berenang menjauhi mereka.
"Hei Dazai tolong aku."
Dazai melengos sama sekali tidak peduli akan teriakan Chuuya dan itu membuat Ranpo tertawa lagi.
Dengan kejengkelan yang sangat besar, Chuuya tiba-tiba seperti memikirkan sesuatu, dia berbisik kearah Ranpo, dan sang empu yang dibisikin mengangguk.
Sedangkan Dazai yang mencoba lagi untuk menembak sasarannya tiba-tiba ketika ingin menekan platuknya, dia merasakan tubuhnya melayang.
Chuuya dan Ranpo mengangkat Dazai secara bersamaan, Dazai memberontak. "Kalian!"
Karena Dazai sama sekali tidak ada persiapan untuk diserang seperti itu akhirnya ketika Chuuya dan Ranpo menghempasnya dia terjatuh.
Byuurr
Chuuya tertawa dengan keras.
"Rasakan kau---"
Byuurr
Ranpo mendorong Chuuya hingga dia masuk ke kolam lagi. Kali ini gantian Ranpo yang tertawa.
"Sialan kau!"
Ketika Chuuya ingin membalas tiba-tiba kakinya terpeleset dan dia jatuh lagi mengakibatkan bukan hanya Ranpo tapi Dazai juga tertawa.
Suara tawa mereka disaksikan oleh ikan-ikan yang berenang disudut kolam merasa takut akan ancaman yang akan menimpa mereka lagi.
Dilain sisi Natsume yang melihat dari jauh hanya menggelengkan kepalanya, dia tau bahwa mau bagaimanapun anak-anak itu di didik, mereka tetaplah anak kecil yang polos.
•••••
"Hatchim"
Chuuya bersin. Dia mengigil dengan sangat tidak elitnya.
"Ini teh hangatnya." Seorang gadis yang berumur sekitar belasan tahun meletakkan teh dihadapan tiga anak laki-laki yang terlihat kedinginan, mereka langsung meminumnya.
"Pasti ini kerjaanmu deh Chuuya!"
Gadis itu menatap pemuda berambut senja itu dengan tajam. Yang ditatap hanya melengos. "Aku kesal sih dengan mereka, masa Natsume itu, mengijinkan mereka untuk berlatih sedangkan aku beda." Chuuya mengadu, gadis itu langsung memukul kepala Chuuya. "Panggil dengan sebutan yang lebih sopan, bocah."
Chuuya berdehem, dia menyesap tehnya lagi. Gadis itu hanya menggeleng, dia menatap Dazai dan Ranpo yang sedari tadi hanya diam, bahkan gadis itu ragu apakah kedua anak itu merasa dingin atau tidak.
"Kalian kedinginan?" Tanya gadis itu yang langsung dijawab gelengan oleh keduanya. Chuuya mencibir. "Gimana mau kedinginan kalau hati mereka sudah dingin."
Gadis itu hanya tersenyum menanggapi ucapan Chuuya yang sudah tajam padahal masih kecil.
"Ah iya, namamu Ranpo ya?" Tiba-tiba gadis itu teringat bahwa dia belum memperkenalkan diri dengan baik kepada anak angkatnya Fukuzawa.
Ranpo yang dipanggil hanya mengangguk.
"Kita belum kenalan dengan benar. Namaku Yosano Akiko, aku cucu Natsume-ojiichan. Kau bisa panggil aku Yosano-onee-chan." Yosano tersenyum ramah mau tidak mau Ranpo juga ikut tersenyum.
"Ah ya aku baru masak omurice, kalian harus coba."
Dan ketika Yosano menyiapkan omurice dihadapan tiga anak itu, yang harus Ranpo tau ketika mencoba satu sendok, dia langsung suka dan jatuh hati. Dengan omuricenya tentu saja.
Empat tahun berlalu hingga tanpa sadar Ranpo sudah berumur tiga belas tahun, tiap hari dia selalu berlatih bersama Dazai dan Chuuya, dan dia juga semakin dekat dengan Yosano, seperti saat ini ketika selesai berlatih pasti dia menghampiri Yosano yang sedang memasak di dapur.
"Yosano aku ingin makan telur buatanmu"
"Panggil onee-chan"
"Gamau"
Yosano menghela nafas. "Kau jadi tertular tidak sopan ya seperti Chuuya, padahal kau dulu imut-imut." Kata Yosano terkekeh.
Ranpo cemberut. "Itukan dulu."
"Dulu atau sekarang sama saja." Yosano mengerling kearah Ranpo yang masih cemberut.
"Yosano?"
"Oneechan"
Ranpo mendecih. "Yosano-oneechan"
"Ya Ranpo-kun?"
"Menurutmu bisakah aku menjadi penerus sachou?"
Yosano yang mendengar itu kemudian berbalik, sebelumnya dia mematikan kompor karena makanannya sudah matang.
"Tentu saja, kenapa? Kau tidak yakin?" Tanya Yosano. Ranpo mengangguk.
"Ternyata seorang Ranpo bisa tidak percaya diri ya." Yosano tertawa membuat Ranpo cemberut. "Aku serius."
"Oke maaf."
Kemudian Yosano menatap Ranpo dengan pandangan yang lembut. "Coba sekarang kau ingat, siapa yang mencoba mengerjakan tugas SMAku dulu?"
Ranpo mengernyit. "Aku." Yosano mengangguk. "Terus apa hubungannya?" Ranpo bertanya karena tidak paham maksud Yosano.
"Tentu saja ada, kau saja bisa mengerjakan soal yang seharusnya dikerjakan oleh orang yang berumur tujuh belas tahun, dan kau? Kaukan waktu itu baru sembilan tahun." Jelas Yosano yang masih ditatap oleh Ranpo.
"Jadi aku pikir kau sudah siap, karena kau memiliki otak yang cerdas, itu salah satu kriteria pemimpinkan?" Yosano menaik turunkan alisnya dan Ranpo terlihat berpikir.
"Lagipula Natsume-Ojiichan dan Fukuzawa-san juga sudah setuju." Lanjut Yosano lagi sambil meletakkan telur ke piring.
Ranpo yang melihat itu langsung mencoba mengambil telur tersebut tapi langsung ditepis oleh Yosano.
"Bagaimana? Jadi sekarang kau sudah tidak pesimis?"
Ranpo terlihat berpikir. "Mungkin." Jawabnya sambil mengangkat bahu.
Yosano menatap sebal bocah di depannya ini, lalu dia lanjut mengambil makanan yang lain untuk diletakkan di piring.
"Yosano"
"Onee-chan." Ralat Yosano.
Ranpo berdecih. "Kalau aku sudah jadi ketua, kau masih bisa memasakkanku makanan inikan?" Pertanyaan Ranpo sukses membuat Yosano tertawa.
"Astaga Ranpo-kun, aku ini bukan pembantumu lho." Yosano masih terkekeh. "Kalau kau ingin makan masakkanku, kau harus punya istri yang bisa masak sepertiku." Jelas Yosano masih tertawa pelan, memikirkan kepolosan Ranpo yang masih tidak hilang.
"Kalau gitu Yosano yang jadi istriku saja"
Yosano langsung terbatuk, dia menatap Ranpo yang terlihat serius. Dalam hati dia berpikir apakah mungkin bocah didepannya ini sedang melamarnya. Tapi setelah melihat mata dan umur bocah ini Yosano langsung kembali pada kenyataan.
"Dengar ya Ranpo, kau harus cari istri yang seumur denganmu oke? Aku tidak bisa."
"Memangnya kenapa?"
"Pokoknya tidak boleh."
Ranpo memajukan bibirnya. "Kalau gitu aku gamau jadi ketua."
Yosano menghela nafas. Dia menatap anak berusia tiga belas tahun itu dengan tatapan yang lembut. "Bagaimana kalau, aku akan membuatkanmu makanan ketika jadi ketua nanti?"
Ranpo menatap Yosano. "Tidak jadi istri?" Yosano langsung menggeleng. "Kan yang penting Ranpo selalu dapat makanan yang enak." Yosano mengerling sambil tersenyum.
Sedikit ragu tapi ketika melihat senyuman Yosano, dia mengangkat jari kelingkingnya. "Janji?" Yosano yang melihat itu tersenyum makin lebar. Janji.
Janji yang terkesan kekanakkan itu tanpa sadar menaburkan luka yang mendalam untuk anak yang baru berusia tiga belas tahun.
Janji yang tidak pernah terpenuhi.
To be contiuned
Hallo semua.. kembali lagi dengan saya. Ini masih flashback ya dan chap depan juga masih flashback dan membahas masa lalu Ranpo. See you next chap
Salam ikemen
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro