UNWANTED HUSBAND (SEVEN)
Seperti janjinya pada Crystal semalam, Yoona tidak menunda-nunda waktu untuk mengakhiri pernikahannya dengan Donghae. Sore itu, setelah menjenguk kakeknya di rumah sakit, Yoona pergi ke kantor Donghae di lantai tiga. Dia berjalan dengan penuh percaya diri di sepanjang lorong panjang yang sunyi. Tidak banyak pembesuk yang berkeliaran di lorong sore itu karena jam besuk sudah hampir habis. Tapi Yoona memiliki alasan yang kuat mengapa dia masih berada di sana. Para suster yang berjaga di nurse station sama sekali tidak menegurnya seperti yang ia kira. Mereka cenderung acuh tak acuh dan sibuk bermain ponsel ketika Yoona lewat di depan mereka.
"Itu dia ruangannya."
Yoona berniat mengetuknya, tapi pintu itu telah terbuka dan menciptakan celah kecil seukuran wajahnya. Yoona langsung mendorong pintu itu terbuka tanpa berpikir bahwa Donghae mungkin sedang bersama seseorang. Kekasihnya mungkin, atau tunangannya. Dan mereka sedang berciuman!
"Oh, maaf. Aku... Aku tidak tahu jika..."
Yoona berbalik dengan cepat, memunggungi Donghae dan kekasihnya yang sedang berdiri di dekat meja. Dia mengutuk kebodohannya dalam hati berulang-ulang. Hal yang terekam jelas di benaknya adalah wanita itu kesal karena kegiatanna diinterupsi, tapi Yoona tidak tahu bagaimana tanggapan Donghae karena dia tidak berani menoleh ke arahnya.
"Kau benar-benar tidak sopan. Seharusnya kau mengetuk pintu terlebihdahulu dan tidak masuk sembarangan ke ruangan orang lain."
"Yuri, it's ok."
Suara Donghae datang dalam ketenangan. Dia tampak tidak masalah dengan interupsi itu. Yoona sedikit lega karena setidaknya Donghae tidak segalak kekasihnya.
"Aku minta maaf. Kupikir tidak ada siapapun di sini karena pintunya terbuka," Yoona berbicara melalui bahunya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Yoona? Kupikir kau sedang bersama kakekmu."
"Yeah, aku sudah selesai mengunjungi Grandpa. Aku ingin berbicara denganmu."
Yoona masih berdiri memunggungi Donghae dan tidak sedikitpun dia berani berbalik ke belakang. Dia khawatir akan menemukan tatapan penuh kebencian milik wanita itu dan mereka akan menjadi semakin canggung.
"Kurasa kau sedang sibuk. Aku akan kembali lain waktu."
Yoona buru-buru melangkah keluar, tapi di dekat pintu, pergelangannya dicekal oleh Donghae dan pundaknya diputar menghadap ke arahnya.
"Aku tidak sedang sibuk."
Mereka berdiri sangat dekat. Wajah Donghae sedikit menunduk ke arahnya dan aroma mint yang sangat segar menguar dari bibirnya yang berlumuran saliva dan berkilauan dengan seksi. Yoona mengutuk kebodohannya karena tidak bisa mengalihkan matanya dari bibir Donghae, yang mungkin, baru saja dikulum oleh kekasihnya dan menjadi sedikit lebih kenyal. Seperti jelly, batin Yoona.
"Kita memang harus bicara. Now."
"Donghae, bukankah kita akan makan malam?"
"Aku minta maaf, Yuri. Aku memiliki urusan penting dengan istriku."
Ouch!
Yoona mengerang dalam hati. Betapa canggungnya itu. Seorang istri dan seorang kekasih berada di dalam ruangan yang sama. Dan parahnya, sang istri baru saja memergoki sang suami berciuman dengan sang kekasih. Itu benar-benar kejadian yang langka dan aneh karena sang istri bahkan tidak marah dengan hal itu.
"Pulanglah, Yuri."
"Baiklah. Telepon aku nanti malam. Aku akan terjaga sepanjang malam untuk menunggu teleponmu."
Yuri meraih pundak Donghae dan menyentaknya ke belakang. Dia akan mencium bibir Donghae, tapi Donghae memiringkan kepalanya hingga Yuri hanya bisa mencium rahangnya.
"Hati-hati di jalan."
Yoona bisa menangkap tatapan kebencian yang diarahkan padanya. Tapi Yoona menolak dipersalahkan atas apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah melarang Donghae untuk berhubungan dengan wanita manapun, jadi bukan salahnya jika wanita itu tidak bisa mendapatkan ciuman dari Donghae.
"Well, silahkan duduk. Kau mau minum sesuatu?"
"Water is fine. Jika kau punya."
"Aku punya banyak air mineral."
Donghae membuka kulkas di sudut ruangan dan mengeluarkan sebotol air mineral dan sekaleng bir untuknya. Yoona menatapnya dengan alis terangkat heran.
"What?"
"Kukira seorang dokter hanya mengonsumsi yang sehat."
"Bir minuman yang sehat."
Donghae membuka kaleng birnya dan membiarkan uap menari-nari di udara selama sedetik sebelum menyesap isinya pelan.
Yoona memperhatikan gerakan jakun Donghae yang seksi saat cairan bir itu meluncur ke tenggorokannya. Tanpa sadar Yoona menelan ludah gugup dan dia buru-buru meraih air mineralnya sendiri untuk mengalihkan pikirannya yang sangat sangat kacau.
"Bagaimana kondisi kakekmu?"
"Mengejutkannya, Grandpa terlihat sangat sehat dan bersemangat daripada kemarin saat pertama kali aku datang."
"Itu memang mengejutkan," Donghae mengangguk menyetujui.
Dia berjalan memutari mejanya dan duduk di singgasananya.
"Tadi pagi aku datang ke kamarnya untuk mengeceknya. Marc tampak lebih sehat. Dan itu pertama kalinya sejak tiga tahun yang lalu. Aku melihat secercah harapan di matanya yang selama ini bersinar dengan redup."
"Maksudmu kakekku selama ini tidak memiliki semangat hidup?"
"Semacam itu. Untuk beberapa pasien, kondisi psikologis bisa menjadi faktor yang mematikan. Dan hal itu biasanya yang tidak bisa kami, para dokter tangani, karena hal itu berasal dari dalam diri mereka sendiri. Pagi ini aku melihat kakekmu dalam suasana hati yang bagus. Dia menyapaku tanpa masker oksigen dan dia tidak terengah-egah seperti saat pertama kali dirawat di sini."
"Itu progress yang bagus. Aku berharap Grandpa akan pulih secepatnya. Aku masih membutuhkannya."
Kemudian suasana diantara mereka menjadi hening. Mereka kehabisan topik untuk dibicarakan. Donghae tampaknya sengaja tidak menanggapi dengan berlebihan karena dia ingin melihat bagaimana Yoona akan membawa topik tentang pernikahan mereka ke permukaan setelah insiden yang sangat canggung beberapa menit yang lalu.
"Well, aku tidak akan berbasa-basi lagi. Kita harus membicarakan tentang hubungan pernikahan kita."
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Tentu saja tentang perceraian."
Wow
Donghae bersiul dalam hati. Yoona ternyata memang tidak suka berbasa-basi tentang hal itu.
"Kenapa kau ingin bercerai? Kau akan menikah dengan kekasihmu?"
"Apakah kau tidak?"
"Aku tidak berencana untuk menikahi siapapun saat ini."
"Tapi kau pasti ingin berkencan dengan bebas bersama kekasihmu tanpa dibayang-bayangi status pernikahan kita."
Donghae tak menjawab. Dia membiarkan Yoona terus berbicara dan dia akan menjadi pendengar yang baik.
"Sejujurnya, aku merasa terbebani dengan status pernikahan kita. Itu membuatku—"
"Merasa seperti pendosa saat bercinta dengan pria lain?" Donghae memotong kata-katanya dengan skeptis.
Yoona mengepalkan tangannya di atas pangkuannya, mencoba tidak terprovokasi.
"Aku merasa itu tidak benar. Kita membohongi Grandpa dengan pernikahan palsu itu."
"Lalu apa yang akan kau katakan pada kakekmu setelah kita berpisah? Dia yang menginginkan pernikahan ini dan dia memiliki penyakit jantung yang benar-benar mengancam jiwanya."
"Itu benar, kondisi kesehatan Grandpa memang penting, tapi aku akan mencari cara untuk memberitahu Grandpa perlahan-lahan. Aku bisa menggunakan alasan bahwa kita tidak cocok bersama. Setelah tiga tahun, masing-masing dari kita tidak pernah merasakan percikan apapun. Jadi lebih baik kita berpisah."
"Kita tidak pernah merasakan percikan apapun karena kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk menciptakan percikan itu."
Yoona menyipitkan matanya curiga. "Apa maksudmu dengan itu?"
"Bukankah jelas? Tiga tahun dan kita tidak pernah saling bertemu. Aku bahkan ragu kau menganggap keberadaanku cukup penting di hidupmu."
"Jangan tersinggung, tapi kau bukan siapa-siapa untukku. Aku tidak bisa menganggapmu sebagai seseorang yang penting bagiku."
"Aku adalah suamimu."
"Yeah, benar. Kau membuatku bertanya-tanya, apa motivasimu menikahiku tiga tahun yang lalu? Kau bahkan tidak mengenalku sama sekali."
"Bukankah sudah jelas? Aku melakukannya karena Marc."
"Itu juga yang kulakukan selama ini. Aku melakukannya karena kakekku. Bukankah sudah jelas bahwa masing-masing dari kita tidak saling mencintai dan tidak mengharapkan semua ini berlangsung selamanya. Jadi, mari kita bercerai. Simple dan mudah."
No, itu tidak simple dan mudah sama sekali, batin Donghae kesal.
Wanita itu melukai harga dirinya dan egonya. Dia seperti seorang pria yang kalah sebelum berperang. Seharusnya Yoona memberinya kesempatan untuk membuktikan kualitasnya sebelum mengambil kesimpulan bahwa dia pria yang kurang menarik dan tidak berharga dibandingkan dengan semua pria yang ia temui selama ini.
"Aku yakin perceraian tidak akan sesederhana dan semudah itu. Pengadilan akan meminta alasan yang logis dan bukti-bukti mengapa kita menginginkan perceraian."
"Kita bisa memberi mereka bukti bahwa kita tidak cocok satu sama lain."
"Seperti katamu, kita bahkan tidak pernah saling bersinggungan. Mereka akan langsung melihat bahwa niat kita palsu dan mereka mungkin tidak akan mengabulkan permohonan cerai kita."
"I don't get it. Bisa kau persingkat penjelasanmu?"
"Apa yang ingin kukatakan adalah kita tidak bisa bercerai sampai setidaknya kita mencoba menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Jangan salah sangka padaku," Donghae menyangkal tatapan menuduh Yoona.
"Maksudmu kau ingin menjalani pernikahan denganku, sementara kau juga berkencan dengan kekasihmu? Huh, big no."
"Kenapa? Kau bahkan juga berkencan dengan seseorang selama di LA. Aku tidak yakin kau tetap setia pada selembar piagam pernikahan itu. Aku tidak percaya kau setia pada sumpahmu karena kita bahkan tidak pernah mengambil sumpah pernikahan."
"Bagiku itu tetap tidak masuk akal. Aku ingin mengajukan perceraian besok ke pengadilan."
"Kalau begitu kau bisa mencobanya. Dan lihat apa yang akan dikatakan oleh staff pengadilan tentang pengajuan perceraianmu."
"Kenapa kau tampak tidak ingin bercerai dariku?" Yoona menggebrak meja.
Itu menjadi kebiasaan barunya semenjak dia berurusan dengan Donghae. Pria itu terlalu menyebalkan dan selalu membuatnya kehilangan kendali selama di sekitarnya.
"Aku bukannya tidak ingin bercerai darimu, wife," Donghae mendorong tubuhnya ke depan dan mencondongkan wajahnya mendekati wajah Yoona yang merah padam.
"Aku hanya ingin menyelamatkanmu sebelum kau dipermalukan oleh para bangsat itu, wife," bisik Donghae sensual dan menyebalkan.
-00-
Pagi itu Yoona terbangun masih dalam kekesalan terhadap Donghae. Pria itu bukan hanya menyebalkan, tapi dia juga mempermainkannya dengan kata-katanya yang ambigu sebelum Yoona memutuskan untuk keluar meninggalkan kantornya. Pembicaraan mereka kemarin gagal dan bahkan buntu. Yoona tidak tahu kenapa Donghae tidak membuat semua itu mudah bagi mereka berdua dan justru menggunakan alasan aneh tentang staff pengadilan yang mungkin akan mempersulit proses perceraian mereka.
Saat sarapan, Yoona telah merenungkan segalanya. Dia bertekad untuk menjauhkan pikirannya dari semua hal yang telah dikatakan Donghae padanya dan dia akan bergerak lurus untuk mengurus perceraiannya.
Setelah Sarapan Yoona menelpon pengacarannya dan membuat janji temu dengannya besok saat makan siang. Vania dengan senang hati akan membantunya mengurus proses perceraiannya dengan Donghae setelah Yoona menceritakan beberapa hal yang menjadi highlight mengapa mereka harus bercerai. Dan setelah berbicara dengan Vania sepanjang pagi, Yoona cukup lega karena Vania kedengarannya akan membantunya hingga dia benar-benar bisa terbebas dari suami palsunya.
"Selamat pagi."
"Pagi."
Yoona berhenti di dekat nurse station di lantai lima. Dia baru saja akan pergi ke ruangan kakeknya dan tidak menyangka akan disapa oleh seorang suster karena selama ini mereka tidak pernah mengatakan apapun padanya setiap kali dia datang untuk menjenguk kakeknya.
"Ms. Im?"
"Ya, aku Im Yoona, cucu Marc Im. Apa kakekku baik-baik saja?"
Seketika Yoona dilingkupi perasaan khawatir. Ruangan kakeknya hanya sekitar lima langkah lagi dan pintu ruangan kakeknya terbuka lebar. Seorang petugas kebersihan terlihat keluar dari kamar kakeknya dengan tumpukan selimut dan seprai kotor. Yoona tidak berharap untuk mendapatkan kabar buruk pagi itu.
"Jangan khawtir, Mr. Im baik-baik saja. Malah pagi ini Mr. Im telah dipindahkan ke ruang rawat VVIP di lantai tiga karena kondisinya menunjukan progress yang bagus. Dokter Lee memintaku untuk menginformasikannya padamu jika kau datang pagi ini."
"Dokter Lee? Kenapa dia tidak menelponku untuk menginformasikan tentang hal itu secara langsung?"
Dammit. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan, Donghae?
"Maaf, aku khawatir aku tidak dalam kapasitas untuk menanyakan hal itu padanya. Aku hanya diminta untuk memberitahumu bahwa Mr. Im sekarang berada di lantai tiga, kamar nomor dua setelah kau keluar dari lift."
"Ok. Terimakasih. Aku akan turun sekarang juga."
Yoona terus mengutuk Donghae dan kebrengsekannya selama dia berada di dalam lift. Mood baiknya rusak begitu saja oleh Donghae. Bahkan sebelum mereka saling bertatap muka. Yoona tidak berharap dia akan bertemu Donghae di ruang perawatan kakeknya yang baru karena dia benar-benar tidak dalam mood yang bagus untuk menanggapi kebrengsekannya
Tiba di lantai tiga, Yoona segera pergi menuju kamar nomor dua sesuai dengan instruksi yang dikatakan oleh sang suster. Dia mendorong pintu itu terbuka tanpa repot-repot mengetuknya. Hal pertama yang ia lihat adalah tubuh tegap Donghae yang memblokir seluruh pandangannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku baru saja memeriksa pasienku."
"Kenapa kau berdiri di depan pintu?"
"Aku baru saja akan keluar dan kau membuka pintunya."
"Kalau begitu silahkan keluar karena aku ingin menjenguk kakekku."
Yoona cukup waras untuk menekan suaranya serendah mungkin agar kakeknya tidak bisa mendengar suaranya saat berbicara dengan Donghae. Kakeknya mungkin akan kecewa jika tahu bahwa hubungan cucunya dan suami palsunya tidak berjalan baik-baik saja.
"Apakah itu Yoona?"
"Yes, Grandpa. Aku di sini."
"Kebetulan sekali kau di sini bersama Donghae. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua."
Yoona dan Donghae saling bertukar tatapan datar. Yoona memberi isyarat pada Donghae agar kembali masuk ke dalam kamar perawatan kakeknya. Yoona menguarkan ancaman melalui tatapan matanya agar Donghae tidak macam-macam di depan kakeknya.
"Hai, Grandpa. Senang melihatmu semakin sehat dan membaik."
Yoona memeluk kakeknya dan mengecup kedua pipi keriputnya dengan lembut. Yoona kemudian berjalan mundur dan menoleh ke arah Rose untuk berterimakasih padanya karena telah merawat kakeknya dengan baik selama dia tidak berada di sisi kakeknya.
"Kenapa kau ingin bicara dengan kami, Marc?"
"Baiklah, aku tidak akan bertele-tele karena aku tahu pasien-pasienmu yang lain telah menunggumu. Jadi aku ingin kalian pergi ke Maldives hari Jumat besok."
"Lusa?" Yoona mengerutkan keningnya. "Kenapa kami harus pergi ke Maldives, Grandpa?"
"Nah, aku baru akan mengatakannya. Kau sepertinya sangat antusias, Yoong."
Yoona mendengus dalam hati. Dia melirik Donghae dengan skeptis dan menunjukan melalui tatapan matanya bahwa dia tidak antusias sama sekali untuk pergi ke Maldives bersamanya.
"Cucu sahabatku, Jessica, akan menikah di Maldives. Kau ingat dengan Jessica kan? Dulu kalian berteman baik sebelum Jessica pindah ke London."
"Ya, aku ingat dia. Gadis dengan rambut merah dan bintik-bintik di pipinya. Dia sangat baik dan manis."
"Harrold mengundangku ke pesta itu, tapi aku khawatir aku tidak akan bisa datang karena kondisiku. Dan Jessica juga ingin kau hadir di sana. Jadi aku ingin Donghae menggantikanku untuk hadir di pesta itu bersamamu."
"Kapan pesta pernikahannya akan dilangsungkan?"
Yoona tak percaya bahwa Donghae sama sekali tidak menolak rencana itu, alih-alih Donghae menunjukan minat di depan kakeknya untuk pergi ke Maldives.
"Sebenarnya itu bukan pesta pernikahan biasa. Pesta itu dilaksanakan selama dua minggu penuh di Maldives. Kukira mereka sengaja ingin memanjakan para tamu mereka dengan hospitality yang terbaik."
"Dua minggu? Jadi kami harus berada di Maldives selama dua minggu?"
"Itu yang kubaca dalam itinerary yang diselipkan di dalam kartu undangan. Why? Kau harus ke sana dan menghadiri pesta itu untuk temanmu."
"Ta-tapi..."
"Jangan kecewakan mereka, Yoong. Harold adalah sahabat baikku. Aku ingin kau datang mewakiliku untuk bertemu Harrold dan keluarganya."
Yoona melirik Donghae, berusaha mengirim sinyal SOS agar setidaknya Donghae mengatakan sesuatu untuk menolak permintaan kakeknya. Yoona yakin jika Donghae yang menyatakan keberatannya, kakeknya akan mendengarkan dan tidak akan memaksa mereka untuk pergi ke Maldives. Tapi setelah beberapa detik, Yoona tidak melihat tanda-tanda bahwa Donghae akan menyatakan keberatannya terhadap rencana pergi ke Maldives. Donghae jutru datang dengan sebuah jawaban yang sangat mengejutkannya.
"Jika memang itu yang kau inginkan, aku akan pergi ke Maldives bersama Yoona."
"Great. Aku akan memberitahu Harrold bahwa kalian akan berangkat hari Jumat. Aku sudah mengatur tiket penerbangan untuk kalian."
"What? Kapan Grandpa melakukannya?"
Marc menyeringai. Sesuatu yang mengejutkan Yoona, bahkan juga Donghae karena Marc ternyata belum kehilangan sisi liciknya setelah terbaring sakit selama bertahun-tahun.
"Aku punya Rose yang membantuku untuk mengatur segalanya."
Yoona refleks menoleh untuk meminta penjelasan lebih lanjut dari wanita paruh baya itu.
"Aku tidak melakukan apapun," Rose berkata dengan canggung.
"Aku hanya membantu untuk menelpon Mr.Faughan dan dia yang mengatur segalanya."
Arnold Faughan adalah tangan kanan Marc Im di kantor. Yoona sudah lama tidak bertemu pria itu sejak kakeknya sakit karena Arnold memutuskan untuk membatasi kunjungannya ke rumah dan tidak membebani Marc Im dengan masalah-masalah tentang pekerjaan yang berpotensi akan memperburuk kondisinya.
"Semuanya sudah clear. Kalau begitu aku akan kembali bekerja."
"Kau boleh kembali bekerja. Terimakasih, Donghae, kau sudah menjaga Yoona untukku."
"Sama-sama."
Yoona melihat punggung Donghae yang perlahan-lahan bergerak menjauh. Dia hanya memberi waktu pada otaknya selama beberapa detik untuk berpikir sebelum memutuskan untuk mengejar Donghae yang sedang dalam perjalanan menuju lift.
"Dokter Lee, tunggu."
Mendengar namanya dipanggil, Donghae berhenti. Dia menoleh sekilas sambil memasukan tangannya ke dalam saku lab coatnya dengan angkuh.
"Kita perlu bicara."
"Apa kau ingin tahu apa yang akan kubawa untuk perjalanan ke Maldives?"
"Haha, funny," Yoona mencemooh.
"Kenapa kau menyetujui permintaan Grandpa untuk pergi ke Maldives?"
"Kenapa aku harus tidak menyetujuinya?"
Yoona menggeram. Dia benar-benar ingin meninju wajah dinginnya yang sok polos itu.
"Tentu saja kau harus menolaknya. Bukankah kita akan bercerai? Besok aku akan bertemu dengan pengacaraku untuk membicarakan tentang perceraian kita."
"Seriously? Kau akan membicarakan perceraian dengan pengacaramu tanpa suamimu?"
"Berhenti bersikap seolah-olah pernikahan ini penting bagimu. Kau tidak perlu ada dalam pertemuan besok karena aku hanya akan membutuhkanmu untuk menandatangani dokumen-dokumen itu setelah pengacaraku memproses segalanya."
"Itu memang praktis, tapi aku benar-benar ingin terlibat jika kau mulai mengambil langkah untuk mengajukan perceraian. Kau menyakiti egoku."
"Aku hanya tidak ingin mengganggu waktumu. Aku tahu kau sangat sibuk dengan pasien-pasienmu."
"Aku bisa mengaturnya."
"So, jika kau ingin semua prosesnya berjalan lancar, kau harus memberitahu Grandpa bahwa kau tidak bisa pergi ke Maldives untuk menghadiri pernikahan itu. Aku yakin, Grandpa akan mendengarkanmu dan tidak akan memaksa kita berdua untuk hadir di acara itu."
"Itu bertentangan dengan prinsipku. Aku tidak biasanya menarik kembali kata-kataku."
"Arrgghh..."
Yoona tiba-tiba melakukan tindakan impulsif dengan mendorong Donghae ke dinding dan menyembunyikan mereka berdua di balik pilar. Yoona benar-benar marah hingga dia ingin mencabik-cabik wajah Donghae.
"Apa sih sebenarnya yang kau inginkan? Kau membuatku muak."
Donghae mencengkeram pergelangan tangan Yoona dengan ketat dan menyentaknya lepas dari dadanya.
"Apa yang kuinginkan adalah membuktikan padamu bahwa aku bukan sampah yang bisa kau injak-injak dan kau buang sesuka hatimu. Beri aku dua minggu untuk membuktikan bahwa aku cukup berharga untuk menjadi suamimu."
"Apa yang sedang kau bicarakan?" Yoona tampak linglung. Dia masih tidak mengerti mengapa Donghae membutuhkan waktu dua minggu dan mengapa dia harus membuktikan kualitasnya padanya?
"Aku sedang membicarakan ini."
Tiba-tiba Yoona merasakan dorongan di tengkuknya dan sedetik kemudian bibirnya telah menempel di bibir Donghae yang kenyal. Dia terkesiap terkejut. Tapi otaknya blur. Semua yang dia rasakan adalah bibir kenyal Donghae dan kelembutannya dalam menciumnya.
Yoona tersesat dalam ciuman itu. Dia melihat Donghae memejamkan mata saat bibirnya mulai bergerak untuk melumat bibirnya.
Astaga, ini salah. Ini tidak seharusnya terjadi. Aku tidak seharusnya menikmati hal ini.
Otaknya terus mengatakan hal itu dan menyuruhnya untuk berhenti, tapi kedua tangannya justru mengepal dengan kaku di sisi kanan-kiri tubuh Donghae, alih-alih bergerak untuk mendorong dadanya menjauh.
"Ini hanya permulaan," bisik Donghae serak dan dalam di depan bibirnya.
Dammit. Yoona membeku di tempatnya. Kedua matanya hanya terpaku pada bibir Donghae yang berkilauan dan basah. Dia tidak bisa menemukan sesuatu di otaknya untuk dikatakan pada Donghae. Kenyataannya seluruh tubuhnya berglenyar saat itu. Dan bibirnya adalah bagian dari tubuhnya yang berdenyut paling hebat.
"Kupastikan kau akan mendapatkan lebih banyak ketika kita berada di Maldives. See you soon, wife."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro