Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Voice


https://youtu.be/ZdfMml2YVAA

Note: Haii guysss...

jadi kali ini selain mau repost FF aku, aku juga mau share video super keren yang melatarbelakangi aku nulis FF ini... hehhee

so, jangan lupa tonton juga yaa vid nyaa XD

Happy Reading ^^


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seorang wanita muda dengan rambut coklatnya yang berkibar tampak berjalan tersendat-sendat sambil meraba udara kosong dengan tongkatnya. Sesekali langkah kakinya terhenti karena tongkat almuniumnya menabrak sesuatu benda padat dan mengharuskannya untuk bergeser beberapa meter ke arah kanan. Sambil menghela nafas pelan, wanita itu berdiri di tepi jalan bersama dengan para pejalan kaki lain yang akan menyeberang. Meskipun kedua matanya belum buta sepenuhnya, tapi ia tidak bisa melihat benda-benda di depannya dengan jelas, Yoona hanya mampu melihat benda-benda itu samar-samar sambil merabanya untuk memperjelas bentuk dari benda tersebut.

Dua puluh detik kemudian, lampu merah yang berada tepat di atas kepalanya berganti menjadi hijau. Semua pejalan kaki yang berada di sampingnya langsung berdesak-desakan untuk menyeberang tanpa mempedulikan kondisi Yoona yang tak bisa melihat. Bagi mereka hidup di kota besar seperti ini tidak ada perlakuan khusus. Dan hal itu juga terjadi pada Yoona. Meskipun ia buta, ia tetap saja terlihat sama dimata orang lain. Tidak ada yang peduli padanya, hanya segelintir orang yang terkadang merasa iba padanya dan akhirnya memutuskan untuk membantunya berjalan atau menyeberang di tengah hiruk pikuk kota Seoul seperti ini. Yoona terus menunggu dengan sabar sambil mencoba untuk melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit ke depan. Hari ini ia harus bekerja di toko bunga agar ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hidup sebatang kara sejak ia memutuskan untuk keluar dari panti asuhan benar-benar sulit. Dulu ketika ia belum mendapatkan pekerjaan, setiap hari harus ia berjalan kesana kemari tak tentu arah hanya untuk mencari sebuah lowongan pekerjaan yang mau menerima orang buta sepertinya. Tak jarang orang-orang yang ditemuinya justru membentaknya karena ia buta dan mereka sama sekali tidak mau mempekerjakan orang buta. Padahal meskipun ia buta, ia dapat melakukan semua pekerjaan dengan baik. Ia memiliki insting yang kuat, sehingga ia tidak pernah melakukan kesalahan atau bertindak ceroboh karena kekurangannya itu. Lalu, hari-hari panjang penuh kesedihan itu akhirnya berlalu. Ketika suatu hari ia tengah berjalan sendiri di tengah terik matahari yang begitu panas, seorang wanita paruh baya tiba-tiba menghampirinya sambil memberikan sebuah roti isi padanya. Merasa bingung, Yoona pun tetap menerima roti isi itu sambil menahan lengan wanita paruh baya itu. Lalu, Yoona memberanikan diri untuk bertanya apakah wanita itu memiliki sebuah pekerjaan untuknya, karena saat itu ia benar-benar membutuhkan sebuah pekerjaan untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Selama ini ia tinggal di sebuah rumah petak kecil yang berada di kampung kumuh. Rumah itu ia beli dari hasil tabungan yang ia kumpulkan sejak ia tinggal di panti asuhan. Tapi, semakin lama uang tabungan itu semakin menipis karena Yoona harus membeli berbagai macam barang untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Belum lagi jika ia jatuh sakit, ia harus mengambil uang tabungan itu untuk pergi ke dokter dan membeli obat. Sebenarnya keputusan untuk hidup mandiri di luar panti asuhan memang sulit, tapi ia tidak mau terus menerus menyusahkan ibu panti karena semua teman-teman sebayanya telah diadopsi oleh keluarga-keluarga kaya, sedangkan dirinya tidak akan pernah diadopsi oleh siapapun karena ia buta. Lalu dengan sedikit memohon-mohon pada wanita paruh baya itu, akhirnya Yoona medapatkan pekerjaan sebagai perangkai bunga di tokonya. Meskipun saat itu nyonya Han, panggilan akrab wanita baya itu, merasa ragu dengan hasil kinerja Yoona, tapi setelah melihat sebuah buket yang begitu cantik hasil rangkaian rangkaian tangan Yoona, akhirnya nyonya Han benar-benar mengijinkan Yoona untuk bekerja di toko bunganya. Kini setelah satu tahun bekerja dengan nyonya Han, perlahan-lahan kehidupan Yoona mulai membaik. Kini ia dapat menabung sedikit demi sedikit untuk biaya operasi matanya. Meskipun ia tidak tahu, kapan uang itu akan benar-benar terkumpul untuk biaya operasinya, tapi setidaknya ia telah berusaha untuk mengumpulkan pundi-pundi uang itu sedikit demi sedikit agar ia dapat mengoperasikan kedua matanya dan melihat indahnya dunia lagi.

Tring

Yoona mendorong pintu kaca di depannya sambil tetap meraba-raba udara kosong di depannya. Wangi aneka bunga yang harum langsung menyeruak ke dalam indera penciuman wanita itu ketika ia telah berada di dalam toko bunga milik nyonya Han. Suara nyonya Han yang memanggilnya dari halaman belakang terdengar begitu nyaring dan membuat Yoona segera melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa untuk menemui wanita paruh baya itu. Ia yakin, pasti nyonya Han sedang membutuhkan bantuannya, karena nyonya Han tidak biasanya memanggil-manggil dengan nada keras seperti itu jika ia tidak sedang membutuhkan bantuan..

"Bibi, ada apa? Apa bibi membutuhkan sesuatu?" Tanya Yoona sambil berjalan mendekat ke arah nyonya Han. Wanita paruh baya itu dengan cepat langsung menarik tangan Yoona dan mendudukan Yoona dengan paksa di sebelahnya. Raut wajahnya tampak begitu serius dan juga panik. Entah apa yang saat ini sedang nyonya Han pikirkan, yang jelas ia terlihat begitu panik dan juga gugup.

"Yoona, kita harus cepat. Aku mendapatkan pesanan sepuluh buket bunga untuk acara pembukaan sebuah butik, tapi aku baru menyelesaikan lima. Kau harus membantuku untuk merangkai bunga-bunga ini Yoona, dan setelah ini kau juga harus mengantarkannya ke alamat yang sudah dituliskan wanita tadi di buku alamat. Apa kau bisa membantuku?" Tanya nyonya Han tergesa-gesa. Yoona mengangguk mantap sambil tersenyum gembira di sebelah nyonya Han. Biasanya jika ia dapat melakukan semua tugas-tugasnya dengan baik, nyonya Han akan memberinya bonus yang jumlahnya cukup lumayan untuk ia masukan ke dalam tabungannya. Oleh karena itu ia selalu merasa bersemangat saat nyonya Han mendapatkan banyak pesanan bunga seperti ini. Selain itu, terkadang orang-orang yang memesan buket bunga juga akan memberikannya tambahan uang sebagai bayaran atas jasa Yoona yang telah mengantarkan pesanan bunga mereka dengan selamat. Yooa kemudian segera meraih bunga-bunga yang berserakan di depannya untuk dirangkai. Sesekali Yoona harus mendekatkan bunga itu tepat di depan matanya untuk melihat kondisi bunga yang saat ini dipegangnya. Ia tidak mau membuat buket dengan bunga yang cacat, karena itu akan mengecewakan pelanggannya, sehingga Yoona selalu mengamatinya dengan teliti sebelum ia memulai merangkai bunga-bunga itu menjadi sebuah buket yang begitu indah dan juga cantik.

"Yoona, jangan lupa tancapkan bungan lili berwarna merah muda di bagian tengah buket karena wanita itu sangat menyukai bunga lili."

Yoona mengangguk pelan sambil tetap fokus pada kegiatan merangkai bunganya. Tangan-tangan lentiknya yang terampil tampak begitu luwes merangkai setiap tangkai bunga itu agar dapat membentuk sebuah buket bunga yang cantik.

Kira-kira satu jam kemudian, Yoona telah berhasil menyelesaikan buket-buket bunganya dengan indah. Nyonya Han kemudian memanggilkan taksi untuk Yoona dan membantu Yoona untuk menata buket-buket itu ke dalam taksi.

"Yoona, jangan lupa untuk meminta sisa dari pembayaran bunga-bunga itu, dan ini uang untuk membayar taksi." Pesan nyonya Han pada Yoona. Yoona menganggukan kepalanya mengerti, dan setelah itu nyonya Han segera menutup pintu taksi itu dengan keras sambil melambaikan tangannya pada Yoona.

"Hati-hati di jalan." Teriak nyonya Han nyaring saat taksi itu mulai melaju pelan, membawa Yoona ke alamat tujuan yang telah disebutkan oleh nyonya Han sebelumnya.

-00-

"Halo, sudah kukatakan jika hari ini aku tidak bisa memimpin rapat karena aku harus menghadiri acara pembukaan butik milik kekasihku. Atur kembali jadwalku dan minta para investor itu untuk mengundurnya hingga besok." Marah seorang pria dengan jas mahal sambil berjalan tergesa-gesa menuju kedalam sebuah gedung yang begitu ramai. Beberapa pria berpakaian bodyguard langsung membungkukan tubuhnya hormat ketika Lee Donghae dengan gagah berjalan melewati mereka sambil tetap menjepit ponselnya dengan gusar.

"Bbaik tuan, saya akan membicarakannya lagi dengan para investor." Ucap asistennya takut-takut sebelum Donghae memutuskan sambungan telepon itu dengan gusar sambil menyelipkan benda persegi itu kedalam saku celananya.

"Oppa."

Suara teriakan sang kekasih yang begitu nyaring terdengar dari balik panggungnya dan menggema di sepanjang loby. Wanita cantik ber-eyes smile itu kemudian menghampiri sang kekasih sambil bergelung manja di dalam pelukan hangat pria tampan tersebut.

"Akhirnya oppa datang, kukira oppa tidak akan datang karena oppa sangat sibuk akhir-akhir ini." Ucap Tiffany gembira. Lee Donghae tersenyum lembut pada kekasihnya sambil mecium ringan pipi Tiffany yang tampak semakin merona setelah pria itu mendaratkan sebuah kecupan di sana. Kerlap kerlip lampu blitz yang begitu menyilaukan mata langsung membanjiri pasangan serasi itu ketika mereka dengan terang-terangan menunjukan kemesraan mereka di depan umum. Tiffany kemudian menarik tangan Donghae menuju kebelakang panggung untuk melihat gaun-gaun hasil rancangannya yang hari ini akan dikenakan oleh model-model terkenal untuk berjalan di atas catwalk mini siang hari ini.

"Oppa, aku sangat bahagia, akhirnya aku dapat mewujudkan cita-cita terbesarku. Tidak sia-sia selama ini aku belajar ilmu design di Paris karena sekarang aku dapat menerapkan semua ilmu itu dalam membuat gaun." Ucap Tiffany bangga. Lee Donghae tersenyum hangat pada kekasihnya dan memberikan usapan lembut di atas kepala sang kekasih sebagai rasa sayang dan bangganya pada kekasihnya yang cantik. Sudah lebih dari lima tahun ia menjalin kasih dengan Tiffany, dan semua itu tidak dilaluinya dengan mudah. Awal pertemuan mereka terjadi saat mereka sama-sama menempuh jenjang pendidikan di sebuah senior high school yang sama. Lalu hubungan mereka terus berlanjut, namun dengan konsekuensi mereka hanya dapat berhubungan melalui ponsel atau skype karena Lee Donghae saat itu memutuskan untuk berkuliah di Harvard, sedangkan Tiffany memutuskan untuk berkuliah di Paris karena ia sangat ingin menjadi seorang designer. Liku-liku selama mereka menjalin hubungan jarak jauh juga cukup pelik, dan tak jarang hal itu sempat membuat hubungan yang mereka jalin bertahun-tahun hampir hancur. Namun, dengan sikap dewasa yang mereka miliki, mereka dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut sedikit demi sedikit dan pada akhirnya permasalahan tersebut justru membuat mereka semakin dewasa untuk menyikapi berbagai permasalahan yang akan datang silih berganti menyapa kehidupan mereka.

"Kau adalah wanita berbakat, butik ini pasti akan semakin berkembang dan menjadi butik yang terkenal suatu saat nanti. Apa setelah ini kau akan memberikan sambutan?"

"Tentu. Oh ya Tuhan, aku lupa jika aku sudah memesan bunga. Oppa, tolong kau lihat apakah bunga-bunga yang kupesan telah sampai. Dan.. aku memesan sebuket bunga yang paling istimewa untuk kau berikan padaku setelah aku selesai mengucapkan sambutan. Kita harus terlihat romantis di depan para wartawan itu oppa." Kekeh Tiffany dengan tawa geli. Lee Donghae tersenyum kecil menanggapi ucapan kekasihnya, dan setelah itu ia langsung bergegas keluar untuk melihat bunga-bunga yang telah dipesan Tiffany. Dengan senyum misterius, Donghae kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam saku jasnya. Hari ini selain sebagai hari pembukaan butik baru milik Tiffany, Donghae juga akan melamar Tiffany di depan seluruh tamu undangan yang hadir. Rasanya usia mereka telah cukup matang untuk melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius. Apalagi kedua orangtua Donghae sudah meminta putranya tersebut untuk segera melamar Tiffany, karena menurut mereka Tiffany adalah sosok menantu yang sangat sesuai dengan kriteria mereka. Dan mereka tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menjadikan Tiffany sebagai menantu mereka, sehingga sejak satu minggu yang lalu ibunya sudah menelfonnya berkali-kali dari Kanada agar ia cepat-cepat melamar Tiffany dan menentukan tanggal pernikahan mereka. Ck, orangtua memang selalu terburu-buru.

Ditengah hiruk pikuk orang-orang yang sedang berjejal-jejalan di pintu masuk, Lee Donghae melihat seorang gadis dengan dress sederhana yang tengah membawa sebuket bunga sambil membawa sebuah tongkat untuk membantunya berjalan. Dengan heran, Lee Donghae terus mengamati wanita itu sambil memandang tak habis pikir pada orang-orang yang begitu acuh terhadap wanita buta itu.

"Hey, siapa wanita buta itu? Kenapa ia hanya berdiri di sana?" Tanya Donghae pada salah satu bodyguard yang kebetulan berjalan melewatinya. Mendengar suara Donghae yang sedang memanggilnya, bodyguard tersebut refleks segera menghentikan langkahnya dan membungkuk hormat pada Donghae untuk memberikan jawaban.

"Wanita tersebut adalah pengantar bunga, ia mengantarkan bunga-bunga pesanan nona Tiffany dan saat ini ia sedang menunggu nona Tiffany untuk melunasi sisa pembayaran bunga." Ucap bodyguard itu menjelaskan. Hampir saja bodyguard itu akan berjalan pergi untuk menghampiri Tiffany, tapi langkahnya segera terhenti setelah Donghae menahannya dan mengatakan jika ia yang akan mengurus bunga-bunga itu.

"Baiklah, aku yang akan menangani bunga-bunga itu. Kau, lanjutkan pekerjaanmu." Perintah Donghae tegas. Setelah itu Donghae segera berjalan tenang menghampiri Yoona yang tampak terlihat gelisah sambil mengetuk-etukan kakinya ke atas lantai dengan bosan. Beberapa wanita yang melewatinya beberapa kali memberikan tatapan mencemooh secara terang-terangan karena melihat penampilan Yoona yang begitu sederhana di tengah-tengah suasana glamour yang tersaji di hadapan mereka.

"Permisi, apa kau pengantar bunga?"

Mendengar suara seorang pria di sebelahnya, Yoona segera menggerakan tongkatnya untuk mencari tahu dimana keberadaan sang lawan bicara. Akan sangat tidak sopan baginya jika ia berbicara pada pria itu tanpa menghadapkan tubuhnya pada pria itu, meskipun ia memang buta dan orang tersebut kemungkinan akan memakluminya.

"Ya, saya ke sini untuk mengantarkan bunga-bungan pesanan nona Tiffany. Maaf, apakah saya telah menghadap ke arah yang benar?" Tanya Yoona tanpa sungkan sambil tetap menggerakan tongkatnya. Merasa iba, akhirnya Donghae berinisiatif untuk menarik tangan wanita itu agar sedikit membalikan tubuhnya ke arah kiri karena saat ini ia tengah berdiri tepat di samping kiri wanita itu.

"Maaf, aku berada di sini." Ucap Donghae sopan. Yoona tersenyum malu pada Donghae sambil menyodorkan sebuket bunga yang dipesan oleh Tiffany. Bunga yang dipegang oleh Yoona saat ini adalah bunga khusus yang akan dibawa oleh Donghae nanti, sedangkan bunga-bunga yang lain masih berada di dalam taksi untuk nanti dibawakan oleh sang supir taksi.

"Ini adalah bunga khusus yang dipesan oleh nona Tiffany. Bunga yang lainnya masih berada di dalam taksi dan sebentar lagi akan dibawa masuk oleh supir taksi. Dan ini tanda terima bunganya serta nota kekurangan pembayaran bunga." Ucap Yoona sambil memberikan beberapa lembar kertas pada Donghae. Ia kemudian menandatangi tanda terima itu, dan mengeluaran beberapa lembar uang untuk membayar kekurangan pesanan bunga. Tak lupa, Donghae juga memberikan bonus pada Yoona sebagai tanda terimakasih karena wanita itu telah mengantarkan bunga-bunga milik kekasihnya dengan selamat. Selain itu, ia juga merasa puas dengan buket bunga yang dikirimkan oleh Yoona, karena semua bunga-bunga yang dirangkai di sana begitu cantik dan juga sangat sesuai dengan Tiffany.

"Ini uang untuk membayar buket-buket bunga itu. Dan ini adalah bonus untukmu karena kau telah mengantarkan bunga-bunga ini tepat waktu."

"Oh, terimakasih banyak tuan. Semoga anda menyukai buket-buket bunga kami dan kami berharap tuan akan menjadi langganan toko bunga kami nantinya." Ucap Yoona senang sambil menyelipkan uang-uang itu ke dalam saku bajunya. Dalam hati Yoona bersyukur karena hari ini ia dapat menambah jumlah tabungannya dengan uang pemberian dari pelanggannya hari ini. Jika ia terus menerus mendapat pesanan bunga, maka tidak menutup kemungkinan jika ia dapat segera melakukan operasi untuk kedua matanya yang hampir mengalami kebutaan penuh.

"Aku pasti akan memesan bunga lagi saat pesta pernikahanku. Kalau begitu aku permisi."

"Tuan, tunggu sebentar."

Donghae mengurungkan niatnya untuk segera pergi sambil menatap Yoona penuh tanda tanya. Ia pikir urusannya dengan wanita itu telah selesai, tapi kenapa tiba-tiba ia menghentikan langkahnya.

"Apa masih ada hal lain?"

"Oh tidak, saya hanya ingin bertanya, apakah ini acara peragaan busana? Saya mendengar orang-orang terus membicarakan hal itu, sehingga saya merasa penasaran dan saya ingin sekali melihatnya." Ucap Yoona tampak antusias. Mendengar hal itu, Donghae hanya mampu mengernyit bingung sambil menatap wanita di depannya dengan heran.

Bukankah dia buta? Bagaimana mungkin....

"Saya menderita low vission, jadi saya masih bisa melihat sedikit. Yah, meskipun itu hanya terlihat seperti bayangan." Ucap Yoona ringan seakan-akan ia dapat membaca pikiran Donghae.

"Oh, kukira kau sepenuhnya... buta." Ucap Donghae sedikit tidak enak. Ia kemudian menjelaskan pada Yoona jika butik ini adalah milik kekasihnya dan hari ini kekasihnya memang akan menampilkan peragaan busana untuk koleksi busana rancangannya musim ini. Lalu, Donghae mengantar Yoona untuk mendapatkan tempat duduk. Hati kecilnya merasa iba melihat Yoona yang begitu ceria di tengah keterbatasan yang ia miliki. Padahal sejak tadi orang-orang disekitarnya sibuk mencemooh penampilan Yoona yang sangat biasa, bahkan bisa dibilang jika Yoona sangat tidak pantas untuk hadir di acara berkelas seperti ini.

"Nah, kau bisa duduk di sini. Semoga kau menikmati acaranya."

Yoona menganggukan kepalanya ringan sambil menggumamkan terimakasih pada pria baik hati yang hari ini begitu banyak menolongnya. Tapi sayangnya ia lupa untuk menanyakan siapa nama pria baik hati, karena sejak tadi pria itu sama sekali tidak menyebutkan namanya dan hanya menyebutkan jika ia adalah kekasih dari Tiffany, pemilik butik ini.

-00-

Sepenjang acara berlangsung, Yoona terus menikmatinya dengan sukacita. Meskipun ia memang tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi mendengarkan suara dentuman musik dan juga suara hiruk pikuk disekitarnya yang begitu meriah sudah dapat membuat Yoona merasa bahagia. Sebagai seorang manusa, ia memang sering menuntut lebih dalam doanya. Tapi, ia menyadari jika ada akalnya ia tidak bisa meminta segalanya pada Tuhan, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menerima apapun yang telah diberikan Tuhan padanya. Toh ia masih memiliki alat indera yang lain, jadi ia tidak perlu terlalu menratapi nasib kedua matanya yang cacat karena serangan perampok saat ia masih berusia lima tahun. Malam itu ibu dan ayahnya baru saja kembali dari rumah neneknya di desa. Karena neneknya sakit, mereka berdua pulang sedikit larut malam. Yoona kecil yang saat itu berada di rumah bersama bibi Kim mendengar suara deru mobil milik kedua orangtuanya di halaman, memutuskan untuk menemui kedua orangtuanya di bawah, karena ia sangat merindukan mereka. Tapi, tanpa sepengetahuan penghuni rumah itu, ternyata sekawanan perampok sedang sibuk mengumpulkan barang-barang berharga yang berada di rumah itu. Saat kedua orangtua Yoona masuk ke dalam rumah, mereka terkejut dengan sosok sekawanan perampok yang begitu mengerikan itu. Dengan sigap ayah Yoona segera menghubungi polisi untuk melaporkan kejadian perampokan di rumahnya. Tapi, nahas, perampok itu justru menembak ayah Yoona terlebihdahulu sebelum ayah Yoona berhasil menghubungi polisi. Melihat suaminya telah terkapar tak berdaya, nyonya Im menjadi histeris dan langsung berteriak-teriak memanggil bantuan pada tetangga-tetangganya. Karena panik, akhirnya perampok itu memutuskan untuk menembak nyonya Im juga agar wanita itu tidak terus berteriak dan membangunkan seluruh tetangganya yang sedang tertidur. Yoona yang melihat semua kejadian itu hanya mampu menangis tersedu-sedu di lantai atas tanpa peduli pada dua orang perampok yang mulai bergerak ke atas untuk melenyapkannya juga. Lalu, saat dua perampok itu sudah berada di dekatnya, Yoona kecil segera berlari menuju kamarnya untuk bersembunyi. Tapi langkah kakinya yang tak beraturan itu membuatnya jatuh terjungkal dan kedua matanya membentur pinggiran kursi. Melihat Yoona yang bersimbah darah, kedua perampok itu menjadi panik dan segera berlalu pergi tanpa menolong Yoona yang menangis tersedu-sedu karena kedua matanya terasa perih. Sejak saat itu, Yoona mengalami kerusakan kornea dan tidak dapat melihat dengan jelas. Awalnya ia masih bisa melihat, meskipun terkadang apa yang ia lihat menjadi kabur atau ia hanya dapat melihat hanya sebatas lima meter dari tempatnya berdiri. Namun, semakin lama, kerusakan korneanya semakin parah. Dokter telah menyarankan pada Yoona untuk melakukan operasi cangkok kornea. Tapi, karena adanya keterbatasan biaya, akhirnya Yoona harus bertahan dengan kedua matanya yang semakin lama semakin meredup itu.

Prok prok prok

Suara riuh tepuk tangan berhasil mengejutkan Yoona dari lamunan panjang masa lalunya. Wanita itu kemudian semakin mempertajam indera pendengarnya agar ia dapat mendengarkan sambutan yang sedang diberikan oleh Tiffany. Ketika mendengar suara Tiffany untuk pertama kalinya, Yoona sudah dapat membayangkan jika Tiffany adalah sosok wanita cantik yang anggun dan juga berpendidikan, karena setiap kata yang dilontarkan Tiffany semuanya terangkai dengan begitu indah dan Tiffany juga mengucapkannya dengan pelafalan yang baik. Namun, tiba-tiba saja Yoona teringat pada nyonya Han yang saat ini sedang menjaga toko sendirian. Karena terlalu antusias menyaksikan acara pembukaan butik baru milik Tiffany, Yoona menjadi lupa waktu dan juga melupakan tugas-tugasnya. Dengan terburu-buru, Yoona mulai melewati satu persatu tamu undangan yang hadir di sana sambil terlebihdahulu meminta maaf pada mereka karena telah mengganggu kenyamanan mereka. Samar-samar ketika Yoona akan berjalan keluar butik tersebut, Yoona masih dapat mendengar suara MC yang sedang berteriak heboh menyambut kedatangan Lee Donghae yang akan naik menuju panggung untuk menyerahkan buket bunga khusus untuk Tiffany.

"Siang ini aku membawa bunga istimewa untuk kekasihku dan juga aku akan melamarnya di depan kalian semua."

Suara riuh tepuk tangan dan siulan menggoda langsung menggema di seluruh penjuru ruangan itu dengan heboh. Yoona yang mendengar hal itu hanya dapat tersenyum tipis sambil meratapi nasibnya yang tidak akan pernah mendapatkan perlakuan seistimewa itu dari pria manapun karena tidak akan ada seorang pria pun yang mau mendekati seorang gadis buta sepertinya. Lalu, tanpa menunggu-nunggu lagi, Yoona segera berjalan menuju taksi kuning yang sejak tadi telah menunggunya.

"Andai saja Tuhan memberiku kesempatan untuk menjadi seperti Tiffany." Batin Yoona lesu sambil menatap kosong pada pemandangan luar yang tampak bergerak konstan, mengikuti laju taksi yang ditumpanginya.

-00-

"Tiffany, maukah kau menikah denganku, menjadi pendamping hidupku di kala sedih dan susah, serta menjadi ibu dari anak-anakku kelak?"

Tiffany menutup mulutnya tak percaya sambil menatap takjub pada Donghae yang saat ini sedang bersimpuh di depannya sambil menyodorkan sebuah cincin berlian berwarna putih yang terlihat begitu cantik. Suara-suara para hadirin yang saling bersahut-sahutan, meneriakinya untuk segera menerima cincin itu dan menerima Donghae sebagai calon suaminya. Tapi, ia tidak ingin terlalu terburu-buru, ia ingin menikmati momen ini sedikit lebih lama, karena momen itu sudah pasti tidak akan terjadi dua kali. Meskipun Donghae bisa mengulangnya, tapi rasanya pasti tidak akan pernah sama seperti saat ini.

"Oppa, ya Tuhan. Ini sangat indah." Bisik Tiffany parau sambil menarik tangan Donghae untuk berdiri. Pria itu kemudian berdiri, dan menyeka bulir-bulir air mata yang telah menganak sungai itu dengan ibu jarinya yang besar. Tiffany kemudian memeluknya sambil menganggukan kepalanya dua kali sebagai jawaban atas lamarannya sebelumnya. Lagipula, ia tidak mungkin akan menolak Donghae, karena Donghae adalah satu-satunya pria yang sangat dicintainya selama ini.

"Aku mau oppa. Aku mau menjadi isterimu."

Suara riuh sorak sorai para undangan mengiringi suasana bahagia yang melingkupi dua orang anak manusia yang saat ini sedang berbagi kehangatan bersama dengan berpelukan satu sama lain. Sembari memeluk tubuh kekasihnya, Donghae berbisik pelan di telinga Tiffany dengan merdu.

"Sayang, aku bahagia."

"Aku lebih bahagia darimu oppa. Emm, aku benar-benar sudah tidak sabar untuk menjadi isterimu."

"Aku janji aku akan menjadi suami terbaik untukmu." Bisik Donghae penuh janji di telinga Tiffany. Hari itu adalah hari yang penuh bahagia bagi pasangan Donghae dan Tiffany. Semua orang langsung berebut untuk menyalami Tiffany dan Donghae sebagai bentuk rasa bahagia mereka atas kebahagiaan pasangan serasi itu. Lalu, di akhir acara Tiffany mengumumkan pada semua orang jika malam ini ia akan menggelar sebuah pesat makan malam di sebuah restoran Jepan yang terletak tak jauh dari butiknya. Ia merasa ingin membagi kebahagiaannya hari ini pada semua orang. Ia ingin semua orang tahu jika ia sedang bahagia dan ia ingin orang lain juga bahagia atas kebahagiaannya.

-00-

Malam harinya Yoona tampak sedang memakan malamnya sendiri dengan penuh keheningan. Suara dentingan sumpit yang beradu dengan permukaan piring membuat suasana sepi disekitarnya menjadi lebih hidup. Malam ini para tetangganya tidak seberisik biasanya. Entah karena mereka terlalu lelah dengan aktivitas mereka hari ini atau karena mereka memang sedang tidak ingin ribut, Yoona tidak tahu. Hidup di perkampungan kumuh seperti ini membuat Yoona selalu mendengar suara-suara ribut tetangganya yang sedang bertengkar atau suara tangis balita yang begitu kencang di malam atau pagi hari. Yang jelas, perkampungan ini begitu berisik. Tapi, Yoona tak punya pilihan lain selain membeli rumah ini karena harga jualnya yang murah. Bahkan, ia tergolong sangat beruntung saat itu karena ia dapat bertemu dengan tuan Shin, pemilik dari rumah petak ini. Tuan Shin adalah seorang pria baik hati pemilik tempat pengumpulan barang-barang bekas. Sebagian tetanggaya yang tinggal di sini adalah para pemulung yang bekerja pada tuan Shin. Beberapa anak yang putus sekolahpun biasanya lebih memilih untuk bekerja pada tuan Shin karena tuan Shin sangat baik hati. Ia selalu menolong tetangganya yang membutuhkan bantuan dengan ikhlas, sehingga banyak warga yang merasa memiliki hutang budi pada tuan Shin. Dan mereka yang tidak bisa membalas pertolongan yang diberikan oleh tuan Shin dengan uang, memilih utuk memberikan tenaganya secara cuma-cuma untuk membalas semua jasa tuan Shin padanya. Namun, Yoona sendiri tidak terlalu sering berurusan dengan tuan Shin. Setelah rumah itu menjadi miliknya, tuan Shin tidak pernah muncul lagi di hadapannya. Hanya terkadang Yoona mendengar suara tuan Shin yang sedang menyapanya ketika ia berjalan melewati rumahnya. Dan menurut Yoona pria itu memang baik. Hanya sayangnya, menurut para tetangganya, tuan Shin sama sekali tidak memiliki keluarga, sehingga terkadang mereka bergitu prihatin jika tuan Shin tiba-tiba jatuh sakit dan tidak ada yang mengurusnya.

"Huh."

Yoona menghela napasnya pelan. Berada di dunia yang gelap ini sendiri membuat Yoona lebih sering menyibukan pikirannya dengan memikirkan orang lain. Padahal jika dipikir-pikir, kehidupannya juga tidak jauh berbeda dengan tuan Shin. Ia hidup sebatang kara dan tidak memiliki apa-apa. Bahkan ia buta dan sama sekali tidak memiliki sesuatu untuk menolong orang lain. Terkadang ia merasa kesal dengan hidupnya sendiri yang tidak berguna untuk orang lain, dan justru merepotkan orang lain. Tapi, apa yang harus ia perbuat? Andai saja Tuhan memberikannya kesempatan untuk menjadi berguna dan menjadi berarti untuk orang lain, maka ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bersumpah akan melakukannya dengan sebaik-baiknya.

"Tuhan terimakasih atas berkah makanan yang telah kau berikan hari ini. Semoga esok akan menjadi hari yang indah untukku. Amin." Doa Yoona sebelum ia membereskan semua peralatan makannya dan pergi tidur.

-00-

"Tiffany, kami turut bahagia atas pertunangan kalian. Kami sangat menunggu undangan pernikahan kalian." Ucap Taeyeon dan Sunny sambil memeluk Tiffany bergantian. Tiffany pun langsung membalas pelukan hangat dari kedua sahabatnya itu dengan antusias.

"Terimakasih. Pasti kalian adalah orang pertama yang akan kuundang saat pesta pernikahanku nanti." Janji Tiffany sungguh-sungguh. Setelah melepaskan pelukannya pada Sunny, Donghae langsung merangkul pinggang Tiffany mesra sambil mengucapkan terimakasih pada kedua sahabat baik Tiffany yang telah menyempatkan diri untuk datang ke acara makan malam mereka hari ini.

"Sampai jumpa, semoga Tuhan memberkati kalian berdua." Pamit Taeyeon sambil melambaikan tangan pada pasangan Tiffany dan Donghae yang tampak begitu mesra di tengah-tegah ballroom restoran.

Sepeninggal mereka, kedua pasangan itu tampak berselfie ria dengan Tiffany yang terus mengarahkan kameranya pada sang kekasih yang tampak enggan untuk berfoto. Tapi, karena Tiffany terus memaksanya untuk berfoto, akhirnya Donghae memilih mengalah dengan mengikuti kemauan sang kekasih dengan bergaya apa adanya di sebelah sang kekasih sambil merangkul bahu Tiffany mesra.

"Apa itu sudah cukup? Kau akan mempermalukanku dihadapan klien-klienku jika mereka melihatnya di internet besok." Keluh Donghae dengan ekspresi lucu. Namun Tiffany justru menanggapinya santai sambil mengupload semua hasil jepretannya hari ini ke dalam akun sosial medianya.

"Sekali-sekali kau harus terlihat konyol oppa. Mereka pasti merasa bosan dengan wajahmu yang kaku dan datar itu saat di perusahaan atau saat sedang memimpin rapat. Lagipula ini dapat menjadi kenangan yang indah untuk kita." Timpal Tiffany ringan. Donghae akhirnya hanya mampu mengendikan bahunya acuh sambil mengacak-acak rambut Tiffany ringan. Sejak dulu hingga sekarang, ia pasti selalu tidak berkutik dengan berbagai macam permintaan Tiffany. Wanita itu selalu saja memiliki seribu satu cara untuk membujuknya agar ia mau luluh dengan permintaan kekasih cantiknya itu. Tak heran jika selama ini Tiffany adalah pihak yang paling mendominasi dalam hubungan mereka. Dan menurut Donghae itu sama sekali tidak masalah untuknya. Asalkan Tiffany bahagia, ia pasti akan melakukan apapun untuk Tiffany.

"Oppa, aku lelah. Ayo kita pulang sekarang." Ajak Tiffany sambil menguap berkali-kali. Donghae mengangguk setuju dan segera menggandeng tangan Tiffany untuk keluar dari restoran jepang tersebut. Namun, saat di parkiran Tiffany memutuskan untuk pulang ke apartemennya sendiri karena hari ini ia membawa mobil. Meskipun awalnya Donghae tidak setuju, tapi pada akhirnya pria itu luluh juga dengan bujukan Tiffany. Lagipula wanita itu beralasan, jika mobilnya ditinggal di restoran ini, keesokan paginya ia akan repot sendiri karena ia tidak bisa pergi ke butiknya dan harus menunggu Donghae untuk menjemputnya, padahal ia sangat tahu jika Lee Donghae adalah pria paling sibuk dan sangat gila kerja.

"Sampai jumpa oppa. Aku akan segera menghubungimu jika aku sudah tiba di apartemenku."

Tiffany melambaikan tangannya beberapa kali pada Donghae sebelum ia melajukan mobilnya keluar dari area parkir.

Selama di perjalanan, Tiffany terus memutar lagu-lagu favoritnya untuk mengusir rasa bosan dan rasa kantuknya. Berkali-kali Tiffany menguap sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Saan ini waktu telah menunjukan pukul sebelas malam. Tiffany kemudians sedikit mempercepat laju mobilnya agar ia dapat segera tiba di apartemennya. Rasanya kedua matanya sudah tidak mampu untuk diajak kompromi lagi. Saat berada di persimpangan jalan, hampir saja Tiffany akan memejamkan matanya jika ia tidak mendengar suara klakson mobil yang begitu nyaring dari arah kanan karena mobilnya hampir menabrak mobil milik pengendara lain. Tiffany kemudian sedikit melakukan perenggangan untuk wajahnya. Ia menggerak-gerakan wajahnya ke kanan dan ke kiri sambil bernyanyi sekeras-kerasnya agar ia tidak tertidur saat mengemudi. Namun, karena jalanan di depannya semakin lama semakin sepi, Tiffany menjadi bosan dan tanpa sadar ia memejamkan matanya untuk beberapa detik.

Tiiinnnn

Suara klakson mobil yang begitu nyaring membuat Tiffany segera tersadar dan langsung membanting setirnya ke kiri. Dan bersamaan dengan itu, sebuah bus dari arah berlawanan sedang melaju dengan cukup kencang, sehingga kecelakaan itu tidak dapat dihindari. Mobil berwarna merah muda yang dikendarai oleh Tiffany tampak ringsek dan mengeluarkan asap tipis. Seluruh penumpang bis yang selamat segera berlari keluar untuk menyelematkan diri dan melihat keadaan sang pengemudi mobil. Namun, saat mereka hendak mengeluarkan Tiffany dari dalam mobil, tiba-tiba mobil itu meledak dan langsung membakar hangus seluruh badan mobil. Seorang penumpang yang melihat kejadian itu segera menghubungi polisi dan juga pemadam kebakaran. Tapi, saat mereka datang, semuanya telah terlambat. Tiffany telah pergi. Ia meninggal dalam kecelakaan nahas itu.

-00-

1 Tahun kemudian~

Lee Donghae menatap nanar pada video yang ia rekam saat hari pertunangannya dengan Tiffany satu tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin ia menyematkan cincin berlian itu di jari lentik Tiffany, tapi kini Tiffany telah pergi meninggalkannya. Wanita itu pergi dengan sangat tragis karena kecelakaan dengan tubuhnya sebagian besar sudah hangus terbakar saat tim medis membawanya ke rumah sakit untuk dilakukan otopsi. Bahkan, saat itu ia merasa tidak sanggup melihat jasad Tiffany untuk yang terakhir kalinya, karena ia tidak tahan melihat keadaan Tiffany yang sangat mengerikan seperti itu. Padahal selama ini Tiffany selalu merawat kulitnya dengan rajin agar kulitnya senantiasa lembut dan bersinar. Namun, di akhir hidupnya, ia justru harus pergi dengan kulit yang sudah hangus dan mengelupas. Dengan kasar, Donghae menghapus bulir-bulir air mata yang mengalir menuruni pipinya. Meskipun ini sudah satu tahun sejak kepergian Tiffany, tapi ia sama sekali belum bisa melupakan sosok wanita itu dalam hidupnya. Hidupnya pun menjadi kacau setelah kepergian Tiffany. Ia merasa tidak memiliki semangat hidup dan tujuan hidup karena salah satu alasannya untuk hidup di dunia ini adalah untuk Tiffany. Dan sekarang setelah Tiffany pergi, ia merasa tidak memiliki tujuan hidup lagi. Kehidupan yang dijalaninya setahun ini hanya merupakan sebuah tuntutan yang harus ia penuhi, bukan jenis kehidupan yang seharusnya ia nikmati setiap detiknya.

"Oppa, lihat kemari. Waa, aku terlihat lebih gendut sekarang."

Suara Tiffany yang begitu heboh di dalam video itu berhasil membuat hati Donghae merasa perih. Sebenarnya ia tidak ingin melihat video itu lagi. Tapi, hanya video itulah yang dapat mengobati rasa rindunya pada Tiffany, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain memutar video itu berkali-kali setelah ia pulang dari kantor.

"Tiffany, kenapa kau tega meninggalkanku?" Gumam Donghae pelan dengan nada penuh kesakitan dalam setiap katanya.

-00-

Yoona berjalan pelan sambil mengarahkan tongkatnya ke sembarang arah. Malam ini ia pulang terlalu larut lagi. Semenjak ia diterima bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah kedai, Yoona menjadi semakin sibuk dan sering pulang larut malam. Sebenarnya nyonya Han telah menasehatinya supaya tidak terlalu menvorsir tenaganya untuk bekerja, tapi Yoona tetap bersikeras untuk mengambil lowongan pekerjaa itu, karena jumlah gaji yang didapatnya dari pekerjaan mencuci piring dapat menambah pundi-pundi uang yang dapat ia kumpulkan untuk biaya operasi matanya. Kini uang tabungan itu telah terkumpul sebagian. Kira-kira ia hanya perlu menabung selama satu tahun lagi agar ia dapat melakukan operasi mata. Apalagi seminggu yang lalu saat ia memeriksakan matanya ke rumah sakit, dokter mengatakan jika kondisi kedua matanya sudah semakin parah. Dan dokter menyarankan Yoona untuk segera melakukan operasi, karena kebetulan rumah sakit itu sedang memiliki persediaan kornea mata untuknya. Tapi, sayangnya Yoona tidak bisa melakukan banyak, ia belum memiliki uang untuk membayar biaya operasinya, sehingga ia tidak dapat melakukan apapun selain tetap bekerja dan menunggu hingga uang-uang itu terkumpul semua.

Desir halus angin malam semakin membuat Yoona merapatkan jaket tipisnya yang sama sekali tidak dapat menghalau rasa dingin yang menusuk tulang itu. Sembari tetap berjalan, Yoona mulai meraba-raba udara kosong di depannya untuk mencari tiang lampu penyeberangan. Yoona kemudian memajukan sedikit langkahnya ke depan dan ia mulai dapat merasakan tiang lampu itu berada di depannya. Sembari menunggu lampu merah itu berubah menjadi hijau, Yoona mulai mengamati suasana di sekitarnya yang hanya tampak seperti bayangan hitam. Tiba-tiba Yoona merasakan seseorang tengah menepuk pundaknya dengan keras. Orang yang menepuk pundaknya itu meracau tak jelas sambil menarik Yoona untuk mendekat padanya. Merasa terancam, Yoona memutuskan untuk berteriak dan segera berlari.

"Tttoolong, jangan ganggu aku." Teriak Yoona ketakutan. Wanita itu terus berlari ke depan tanpa mempedulikan suara klakson mobil yang saling bersahut-sahutan memperingatkannya. Di tengah jalan Yoona merasa sebuah mobil dengan lampu yang begitu terang menyorot wajahnya hingga ia tak mampu bergerak dan hanya terpaku di tempat. Kilasan bayang-bayang saat rumahnya di rampok dan saat kedua orangtuanya meninggal langsung melintas di benakn Yoona, dan membuat Yoona hanya terpaku di tempat.

Tiinnnn tiin

Suara klakson mobil dan para pejalan kaki yang melihat keberadaan Yoona di tengah jalan langsung meneriakinya agar ia segera menyingkir. Tapi, untuk beberapa saat Yoona tak dapat menggerakan kakinya karena ia terlalu syok dan takut. Tak berapa lama, sebuah tangan besar tiba-tiba menarik tangannya dan membawanya untuk menepi di pinggir jalan. Dengan langkah lemas, Yoona hanya mengikuti langkah kaki penyelamatnya tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya seorang pria padanya. Suara pria itu terdengar begitu datar dan tak bersahabat. Namun, meskipun begitu Yoona cukup merasa berterimakasih pada pria itu karena ia telah menyelematkannya yang hampir saja tertabrak mobil.

"Ttterimakasih tuan. Pppria mabuk itu mmengejarku." Ucap Yoona terbata-bata. Kedua lututnya masih terasa bergetar karena ia belum pernah mengalami kejadian semengerikan ini. Biasanya jika ia pulang kelewat malam, tidak ada seorang pun yang mengganggunya seperti malam ini, karena mereka semua tentu tidak mau melirik wanita buta sepertinya.

"Dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang." Ucap pria itu lagi sambil mengamati ekspresi wajah Yoona yang masih terlihat takut. Dilihatnya setiap inci tubuh Yoona untuk meneliti kondisi Yoona saat ini, apakah wanita itu terluka atau tidak. Tapi, setelah beberapa kali ia melihat tubuh Yoona dari ujung kepala hingga ujung kaki, ternyata Yoona sama sekali tidak terluka. Wanita itu benar-benar hanya syok dan juga gemetar karena kejadian tak terduga yang baru saja menimpanya.

"Aaa aku tinggal di daerah Doojong." Jawab Yoona terbata-bata. Donghae lantas mengernyitkan dahinya sambil memikirkan daerah yang disebutkan oleh Yoona.

"Bukankah itu perkampungan kumuh yang hari ini sudah digusur oleh pemerintah?" Batin Donghae heran. Siang ini ia melihat berita di televisi jika penggusuran kampung itu membuat para warga yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana menjadi histeris dan tidak terima. Tapi, pada akhirnya mereka memilih untuk menurut dan saat ini menurut kabar mereka akan dipindahkan ke sebuah tempat penampungan untuk para tuna wisma. Donghae lalu melirik Yoona sekali lagi sambil bertanya pada wanita itu.

"Bukankah tempat itu sudah digusur oleh pemerintah siang ini?"

"Digusur? Bbbagaimana mungkin? Kenapa aku tidak tahu?" Tanya Yoona mulai panik. Seluruh uang dan barang-barangnya masih berada di sana. Jika perkampungan itu digusur, lalu bagaiamna dengan hidupnya setelah ini? Bahkan sekarang ia hanya membawa uang sepuluh ribu won di dalam saku bajunya. Dan ia yakin ia tidak akan bisa bertahan hidup hanya dengan uang sepuluh ribu won itu.

"Kupikir pemerintah memang melakukannya secara mendadak. Tapi, pemerintah telah memberikan waktu selama dua jam untuk mengumpulkan semua barang-barang milik mereka. Apa kau tidak tahu?"

"Aku... aku tidak tahu. Seharian ini aku sibuk bekerja. Kalau begitu aku harus segera pulang. Aku harus melihat keadaan rumahku sekarang." Ucap Yoona panik dan segera berjalan pergi dengan setengah berlari. Namun, Donghae segera mencekal tangannya dan menyuruh Yoona untuk berhenti.

"Aku akan mengantarmu." Ucap Donghae tegas dan segera menarik tangan Yoona menuju mobilnya.

Selama di perjalanan, Donghae terus memperhatikan Yoona dengan iba. Wanita itu tidak seharusnya menanggung beban seberat itu. Tapi apa yang menrutnya baik, belum tentu Tuhan juga menganggapnya baik. Begitu juga dengan kemtian Tiffany. Ia yakin Tuhan sedang merencanakan sesuatu untuknya. Meskipun hal itu harus dilaluinya dengan hati berdarah.

"Tuan.. apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Sepertinya suara anda tidak terlalu asing."

Donghae menolehkan kepalanya sekilas pada Yoona sambil mengendikan bahunya tidak tahu. Selama setahun ini ia hidup seperti seorang mayat hidup, dan ia sama sekali tidak memilki waktu hanya untuk sekedar menghafalkan wajah setiap orang yang berlalu lalang di dalam hidupnya.

"Entahlah, aku tidak tahu." Jawab Donghae apa adanya. Yoona hanya mengangguk paham sambil menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Rasanya ia seperti pernah mendengar suara baritton itu, tapi ia sendiri merasa tidak terlalu yakin dengan pendengarannya sendiri, karena mungkin saja pendengarannya memang salah.

"Suara anda terdengar begitu familiar di telinga saya."

"Benarkah? Mungkin kita memang pernah bertemu sebelumnya. Siapa namamu?"

"Saya Yoona, Im Yoona." Jawab Yoona pelan. Donghae menganggukan kepalanya paham sambil membelokan setir mobilnya ke sebuah gang sempit yang tampak begitu gelap. Ia kemudian menghentikan mobilnya di tepi gang tersebut, karena ia sudah tidak dapat melajukan mobilnya lebih dalam lagi.

"Kita turun di sini. Dimana rumahmu?"

"Di ujung gang, rumah bercat kuning." Jawab Yoona sambil menggerakan tongkatnya ke depan. Suara gesekan tongkat dengan jalan becek di depan Yoona, membuat suara di dalam gang sempit tersebut menjadi semakin mencekam dan mengerikan. Donghae tampak memandang nanar pada rumah-rumah milik warga yang telah rata dengan tanah. Ternata pemerintah memang tidak main-main dengan ucapan mereka. Tiba-tiba Yoona berhenti melangkan sambil terisak-isak pelan. Meskipun ia tidak dapat melihat dengan jelas, tapi ia dapat melihat bayangan rumahnya yang telah rata dengan tanah. Rumah yang ia beli dengan susah payah, kini telah hancur dan tidak dapat ditempati lagi. Sembari menangis, Yoona terduduk sedih di atas tanah sambil menelungkupkan kepalanya di atas lutut. Kini semua harapannya telah hancur. Ia tidak akan bisa mengoperasikan kedua matanya karena semua uangnya telah tertimbun bersama dengan barang-barangnya yang lain di dalam puing-puing reruntuhan rumahnya.

"Nona, apa kau baik-baik saja?"

Rasanya Lee Donghae ingin meruntuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya telah menanyakan hal itu pada Yoona. Sudah jelas jika wanita itu tidak dalam keadaan baik-baik saja, tapi dengan bodohnya ia masih menanyakan hal itu padanya.

"Aku.. sudah tidak memiliki apapun lagi. Uang dan semua barang-barangku berada di dalam rumah itu."

Yoona terus menangis tersedu-sedu di depan puing-puing rumahnya dengan menyedihkan. Sedangkan, Donghae yang berdiri di belakangnya hanya mampu berdiri kikuk karena ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Di sisi lain ia merasa iba, namun di sisi lain ia juga tidak memiliki solusi apapun untuk wanita malang yang masih setia menangis di bawah kakinya.

"Nona, bagaimana jika malam ini kau tinggal di rumahku? Setidaknya kau bisa berpikir sejenak di rumahku untuk malam ini." Ucap Donghae akhirnya. Yoona menoleh pelan dengan mata sembab ke arah Donghae. Ia kemudian beranjak untuk berdiri dan berjalan mendekat ke arah Donghae. Tanpa diduga, Yoona langsung memeluk Donghae dengan erat sambil menggumamkan terimakasih berkali-kali pada pria itu, yang entah mengapa mampu membuat hati Donghae merasa menghangat. Wanita itu, terdengar begitu tulus saat mengucapkan terimakasih padanya, dan selama ini ia jarang menerima ungkapan terimakasih yang begitu tulus, seperti yang dikatakan oleh Yoona.

"Terimakasih tuan, terimakasih banyak. Aku tidak akan melupakan kebaikan hati tuan." Ucap Yoona berkali-kali, disertai dengan rasa syukur yang tak terkira.

-00-

Tanpa mereka duga, malam itu adalah awal dimana hubungan mereka akan dimulai. Hubungan yang awalnya sebatas karena rasa iba, kini terus berkembang menjadi hubungan saling peduli antara satu sama lain. Sudah satu bulan lebih Yoona tinggal di rumah Donghae. Selama itu, Yoona tetap bekerja sebagai perangkai bunga di toko milik nyonya Han dan juga bekerja sebegai tukang cuci piring di kedai ramyun. Awalnya Donghae sempat berpikir untuk melarang Yoona bekerja, tapi kemudian ia sadar akan statusnya yang bukan siapa-siapa Yoona, sehingga ia tidak berhak untuk melarang wanita itu bekerja. Selain itu, Yoona juga bersikeras akan membayar semua kebaikan Donghae selama ini dengan uang yang ia kumpulkan dari hasil bekerja di toko bunga dan di kedai ramyun. Meskipun ia sendiri tidak tahu, kapan uang itu benar-benar akan terkumpul untuk membayar Donghae, mengingat pekerjaanya itu tidak bisa membuatnya menghasilkan banyak uang sebanyak yang sering dikeluarkan Donghae untuknya.

"Oppa, aku sudah selesai memasak makan malam. Kau ingin makan malam sekarang?" Tanya Yoona di suatu malam ketika Donghae sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas kantornya. Melihat wajah Yoona yang sedang menyembul dari balik pintu ruangannya, Donghae segera bangkit sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal dan kaku.

"Apa yang kau masak hari ini?"

"Hanya sebuah makanan sederhana. Ayo, oppa harus melihatnya sendiri." Ucap Yoona antusias. Wanita itu kemudian segera berjalan mendahului Donghae dengan bantuan tongkat alumuniumnya seperti biasa. Dulu, saat Yoona baru saja tinggal di rumahnya, Donghae merasa terganggu dan begitu risih dengan suara ketukan tongkat Yoona yang cukup nyaring itu, tapi seiring dengan berjalannya waktu, ia dapat beradaptasi dengan itu semua dan mulai dapat memahami Yoona. Satu hal yang membuat Donghae sangat nyaman berada di samping Yoona, wanita itu selalu bisa menempatkan dirinya dalam situasi apapun. Jika ia merasa sedih dan sedang merindukan Tiffany, maka Yoona akan datang padanya sambil menguatkan dirinya dengan cerita-cerita sedih masa lalunya yang berhasil membuatnya melupakan semua kesedihannya, dan justru membuat dirinya menjadi lebih bersyukur dengan apa yang dimiliknya saat ini. Meskipun Yoona buta secara fisik, tapi ia memiliki mata hati yang tajam. Ia dapat memahami perasaan orang-orang disekitarnya dan juga membuat orang-orang merasa lebih berarti di dunia ini. Dan karena hal itu, Donghae merasa selalu membutuhkan Yoona di sisinya dan tidak ingin Yoona pergi dari hidupnya.

"Oppa, aku memasak semua ini untukmu, sekaligus sebagai pesta perpisahan karena besok aku akan pindah dari rumahmu. Bibi Han menawariku untuk tinggal bersamanya, jadi aku memutuskan untuk mengambil tawaran itu."

Seketika Donghae merasa tidak bisa berdiri dengan benar. Baru saja ia ingin meminta Yoona agar terus tinggal di rumahnya, tapi wanita itu justru telah mendahuluinya seperti ini. Ia tidak mau kehilangan Yoona.

"Kenapa mendadak? Kau tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya?" Tanya Donghae terkesan datar. Yoona menggigit bibir baawahnya gugup sambil mendudukan dirinya di depan meja makan. Sebenarnya ia telah memikirkan hal ini jauh-jauh hari, tapi ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengatakannya pada Donghae karena Donghae selalu sibuk, dan juga selalu meratapi kesedihannya sendiri sambil melihat video-video tentang Tiffany. Selama ini, Yoona selalu mendengar suara-suara berisik dari kamar Donghae disertai aura kesedihan pekat disekitar pria itu. Ia kemudian menjadi merasa tidak enak, karena ia merasa seperti orang baru yang dengan seenaknya masuk ke dalam kehidupan Donghae dan bertingkah seakan-akan ia adalah pemilik rumah ini. Ia tidak ingin merepotkan Donghae terlalu jauh. Yoona lantas berjalan gontai menuju kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Entah mengapa malam ini hatinya begitu sesak dan terluka. Ia tidak suka melihat Donghae yang berubah dingin kepadanya. Ia hanya ingin Donghae tetap bersikap biasa padanya, sama seperti dulu ketika mereka baru saja bertemu.

-00-

Keesokan harinya Yoona merasa suasana diantara dirinya dan Donghae terasa canggung. Ia yang sudah bangun sejak pagi-pagi buta untuk menyiapkan menu sarapan di dapur terlihat kikuk ketika Donghae mulai berjalan mendekat kearah dapur. Berkali-kali ia meremas tangannya dan mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan membasahi kerongkongannya dengan air. Namun hal itu sama sekali tidak berguna untuknya karena ia tetap saja merasa gugup ketika ia merasakan kehadiran Donghae di sebelahnya.

"Selamat pagi." Sapa Donghae santai sambil menuangkan air putih ke dalam gelasnya.

"Sse selamat pagi." Jawab Yoona terbata-bata sambil berjalan menjauh menuju meja makan. Donghae yang menyadari tingkah aneh Yoona hanya menatap Yoona datar dan memilih untuk tidak membahasnya. Ia tahu jika wanita itu masih merasa bersalah padanya karena percakapan mereka kemarin. Tapi hal itu memang benar adanya karena ia tidak suka saat wanita itu mulai membahas tentang kepergiaanya dari rumah ini. Entah kenapa ia tidak rela jika Yoona harus pergi, harus meninggalkannya lagi dengan kehampaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Sejak Tiffany pergi meninggalkannya, ia tidak bisa lagi merasakan indahnya dunia. Namun setelah Yoona datang, ia merasa semuanya mulai berubah. Ia merasa perasaanya tidak lagi hampa dan ia merasa hidupnya lebih berarti karena ia memiliki seseorang yang ingin ia lindungi.

Krieett

Yoona refleks mendongakan kepalanya ketika ia mendengar suara kursi di depannya yang terdorong pelan. Wanita itu dengan wajah kaku mencoba tersenyum kearah Donghae yang sebenarnya sudah tidak bisa ia lihat lagi wajahnya. Kedua matanya kini sudah mengalami kebutaan sempurna. Ia tidak bisa lagi melihat wajah samar Donghae seperti dulu karena ia terlambat untuk datang ke rumah sakit sesuai janjinya dengan dokter Jang beberapa hari yang lalu dan membuat donor kornea yang telah disiapkan untuknya digunakan oleh orang lain.

"Apa yang kau masak hari ini?"

"Sup ayam dan nasi. Oppa.. maafkan aku." Ucap Yoona lirih. Donghae menatap Yoona datar dan menyendok makannya dalam diam. Ia sebenarnya tidak butuh kata maaf dari wanita itu, ia hanya butuh wanita itu berada di sisinya.

"Oppa, kenapa kau hanya diam?" Tanya Yoona lirih dengan air mata yang mulai menggenang di dalam mata beningnya. Namun lagi-lagi Donghae hanya diam. Ia tidak mengeluarkan suara sedikipun dan hanya memakan makanan yang telah dimasak Yoona secara perlahan.

"Oppa aku... aku tidak akan pergi dari sini. Maafkan aku. Tapi tolong jangan mendiamiku seperti ini." Isak Yoona terdengar parau. Perlahan-lahan Donghae berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat kearah tubuh rapuh Yoona yang bergetar. Pria itu tiba-tiba memeluk Yoona dari belakang hingga membuat Yoona tersentak kaget dan hampir mendorong tubuh Donghae ke belakang. Namun dengan gigih Donghae tetap mempertahankan posisi mereka dan terdiam cukup lama dalam posisi itu.

"Jangan pergi. Aku membutuhkanmu di sini Yoong."

"Aa aku tidak akan pergi oppa. Tolong lepaskan aku." Ucap Yoona gugup. Donghae lantas melepaskan dekapannya dari tubuh Yoona dan kembali ke tempat duduknya. Setelah memeluk Yoona entah kenapa perasaanya menjadi ringan. Dan seketika ia teringat pada Tiffany. Dulu ia juga merasakan hal yang sama ketika bersama Tiffany.

Mungkinkah aku mulai menyukainya?

Donghae menatap Yoona dalam sambil memikirkan semua perasaanya yang mulai terasa berubah sejak kedatangan Yoona. Namun ia tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan karena rasanya hal itu sangat mustahil. Sejak awal melihat Yoona, ia merasa sangat iba pada wanita itu. Dalam keadaan buta ia harus berjuang mencari uang demi bertahan hidup dan berobat untuk mengoperasi matanya. Belum lagi keadaan rumahnya yang sangat memperihatinkan membuat Donghae tidak tega dan memutuskan untuk membawa Yoona ke rumahnya, menganggap Yoona sebagai adiknya dan membuat wanita itu menjadi temannya yang bisa menjauhkannya dari kehampaan yang terus membelenggunya sejak kepergian Tiffany.

"Bagaimana kondisi matamu sekarang?"

Tiba-tiba Donghae menanyakan topik yang sedikit mengganggu Yoona akhir-akhir ini.

"Buruk. Aku mengalami kebutaan total."

Donghae terlihat kaget mendengar jawaban dari Yoona dan merasa bersalah disaat yang bersamaan. Ia tidak tahu jika kedua mata Yoona akan mengalami kebutaan total karena seingatnya beberapa hari yang lalu Yoona masih terlihat baik-baik saja dengan kondisi matanya.

"Apa kau tidak pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya?" Tanya Donghae datar. Sedetik kemudian Donghae meruntuki nada bicaranya karena hal itu membuat wajah Yoona semakin mendung di depannya. Ia tidak bermaksud menyakiti wanita itu. Ia hanya... entahlah, ia tidak tahu dengan perasaanya sendiri. Ia jelas-jelas merasa sedih pada kondisi wanita itu, tapi ia hanya tidak bisa mengungkapkannya.

"Aku terlambat memeriksakan mataku ke rumah sakit, dan donor kornea yang seharusnya digunakan untukku telah digunakan oleh orang lain."

"Tidak apa-apa, kau bisa menunggu donor kornea yang lain nanti." Ucap Donghae lembut sambil mengelus punggung tangan Yoona. Yoona mengangguk kecil dan mencoba tersenyum di depan Donghae dengan senyuman manisnya.

"Oppa, apa kau... merindukan Tiffany?"

Yoona bertanya dengan ragu sambil menunjukan wajah tidak enaknya di depan Donghae. Sepanjang malam ia mendengar suara berisik dari kamar Donghae yang ditimbulkan dari video-video masa lalu pria itu bersama kekasihnya. Melihat hal itu membuat Yoona sedih karena pria itu masih menyimpan kesedihannya pada sang kekasih yang telah pergi, namun ia tidak pernah membagi kesedihan itu padanya.

"Itu bukan urusanmu." Jawab Donghae datar. Lagi-lagi Donghae berubah menjadi sosok pria dingin yang sangat kasar. Seketika Yoona menundukan wajahnya dan menekuni kembali sarapannya yang sempat tertunda. Ia pikir selama ini Donghae telah menganggapnya bagian dari keluarganya. Tapi ternyata ia salah. Ia tetaplah orang asing dalam kehidupan Donghae yang tidak akan pernah mendapatkan kedudukan istimewa di mata Donghae. Sayangnya terkadang ia tak tahu diri dan menginginkan hal lebih dari sekedar hubungan ini. Ia ingin menjadi bagian dari diri Lee Donghae dan membuat pria itu melupakan kesedihannya pada sang kekasih yang sudah lama pergi.

"Jangan terlalu memikirkanku. Pikirkan saja kesehatanmu sendiri. Jangan memaksakan diri untuk bekerja, pergilah ke rumah sakit hari ini."

Setelah mengucapkan hal itu Donghae segera pergi ke kamarnya dan meninggalkan Yoona sendiri dengan berbagai macam perasaan yang berkecamuk di hatinya. Wanita itu merasa sangat bersalah karena telah mengorek kembali luka lama yang sudah ditutup Donghae rapat-rapat. Ia lalu menghembuskan napasnya kecil dan beranjak berdiri untuk membereskan piring-piring kotor di meja makan.

-00-

Malam semakin larut. Donghae terhenyak sendiri di kantornya sambil memikirkan perasaanya yang aneh dan juga Yoona. Pagi ini sebelum ia berangkat ke kantor, ia sempat melihat Yoona sedang mengusap air matanya di ruang tengah. Entah karena apa wanita itu menangis, namun perasaanya dengan kuat mengatakan jika penyebab dari kesedihan wanita itu adalah dirinya. Pagi ini ia jelas bersikap tidak ramah pada wanita itu seperti pagi-pagi sebelumnya. Semenjak Yoona mengatakan akan pergi, ia menjadi uring-uringan dan hatinya dilanda kewaspadaan yang sangat mengerikan. Ia masih takut Yoona akan meninggalkannya meskipun wanita itu berjanji akan tetap berada di sisinya. Tapi siapa yang bisa menjamin jika suatu saat Yoona tidak akan pergi meninggalkannya? Mereka berdua hanyalah sepaang orang asing yang dipertemukan karena ketidaksengajaan. Tetap saja suatu saat Yoona akan menjalankan kehidupannya sendiri bersama orang yang dicintainya dan memiliki keluarga yang bahagia.

Keluarga...

Satu kalimat itu tiba-tiba melintas di benak Donghae dan membuat hatinya sesak. Bahkan sejak kepergian Tiffany ia tidak lagi memikirkan sebuah ikatan yang dinamakan keluarga karena baginya kesempatan itu sudah lama pupus semenjak Tiffanya meninggal. Tapi ia tidak rela jika Yoona suatu saat akan pergi dan membentuk keluarganya sendiri.

Donghae lalu beranjak dari duduknya dan segera menyambar jas yang tersampir di kursi keberasarannya. Malam ini ia akan mengatakan pada Yoona jika ia ingin wanita itu menjadi bagian dari keluarganya. Keluarga yang tidak akan pernah pergi kemanapun dan hanya terus berada di sisinya hingga ia tidak lagi bernapas di dunia.

"Kurasa aku memang mulai menyukai Yoona."

Donghae bergumam sendiri dengan wajah sumringah ketika mobil yang dikendarainya mulai berjalan meninggalkan halaman kantornya yang luas. Pemikirannya sejak tadi membuatnya mengambil kesimpulan jika ia memang menyukai Yoona. Tidak mungkin hatinya akan terus merasa terganggu jika ia tidak menyukai Yoona. Sudah jelas selama ini ia memang menyukai Yoona, hanya saja ia tidak pernah menghiraukannya. Selama ini ia terlalu larut dalam kesedihannya karena ditinggalkan Tiffany hingga ia tidak menyadari perasaanya sendiri yang mulai berubah menyukai Yoona. Lagipula Yoona adalah wanita yang cantik. Sisi lembutnya berhasil membuatnya selalu nyaman setiap berada di dekat wanita itu. Belum lagi wajah polosnya yang sangat menggemaskan, membuatnya selalu betah memandangi wajah Yoona dari kejauhan. Ahh.. sekarang ia benar-benar tidak sabar untuk segera pulang ke rumah dan memberikan pelukan yang sangat erat pada Yoona. Ia akan mengatakan pada wanita itu jika ia menyukainya dan ia ingin menjadikan wanita itu sebagai keluarganya.

Tiiinnnn

Donghae menginjak pedal remnya terkejut dan langsung menghentikan mobilnya mendadak ketika tiba-tiba sebuah bus melintas di depannya dengan kecepatan tinggi. Dengan gusar ia mengumpat pelan pada pengemudi bus ceroboh yang hampir membuatnya celaka. Hampir saja nyawanya melayang karena sebuah kesalahan yang tidak diperbuatnya. Ia pun kembali menginjak pedal gasnya untuk melanjutkan perjalananya, namun tiba-tiba sebuah hantaman keras menghantam bagian belakang mobilnya. Ia yang terkejut karena hantaman itu refleks menginjak pedal gasnya kuat-kuat dan membuatnya kehilangan kendali atas mobilnya. Mobil yang dikemudikannya melesat maju dengan kecepatan penuh, menabrak apapun yang menjadi penghalang jalannya hingga pada akhirnya mobil itu ringsek di atas trotoar dengan keadaan miring yang cukup mengenaskan. Sang penumpang yang masih terjepit diantara badan mobil dan setir kemudi mencoba berteriak, meminta tolong pada siapapun untuk menyelamatkan nyawanya yang berada di ujung tanduk. Sayangnya setelah itu ia merasa kesadarannya mulai menipis. Rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya membuatnya tidak bisa lagi mempertahankan kesadarannya dan perlahan-lahan membuatnya menutup kedua matanya dengan damai.

Suasana malam yang sebelumnya sepi, tiba-tiba berubah mencekam setelah terjadi sebuah kecelakaan yang tak pernah diduga sebelumnya. Kecelakaan beruntun yang terjadi akibat sebuah mobil yang berhenti mendadak membuat sebagian pengguna jalan langsung berlari untuk menyelamatkan sang pengemudi yang masih terjebak di dalam mobil. Suara sirine polisi dan ambulan semakin terdengar dramatis meramaikan aksi penyelamatan yang diwarnai dengan kericuhan karena tubuh sang pengemudi yang terlihat sudah koyak di dalam mobil.

-00-

"Hahh... hosh hosh hosh!"

Yoona tersentak kaget dari mimpi buruknya dan segera bangun dari posisi tidurnya. Suara sirine yang terdengar begitu berisik di luar rumah Donghae membuatnya merasa was-was dan segera berjalan menuju jendela untuk mengintip apa yang sedang terjadi. Sayangnya hanya kegelapan yang tersaji di depannya selain suara sirine yang terus meraung-raung melewati jalanan di depannya. Ia pun memutuskan untuk turun dan membasahi kerongkongannya dengan segelas air. Mimpi buruk yang datang ke dalam tidurnya berhasil membuatnya terjaga dan tidak bisa lagi tidur karena ketakutan. Di dalam mimpinya ia melihat kedua orangtuanya dan juga Donghae perlahan-lahan menjauh darinya. Mereka semua pergi dari kehidupannya dan meninggalkannya sendiri yang sibuk meraung-raung memanggil mereka semua untuk kembali. Entah apa arti dari mimpi itu, Yoona tak ingin memikirkannya. Yang ia inginkan saat ini adalah menenangkan perasaanya yang terasa was-was dan membasahi kerongkongannya yang cukup tercekat akibat mimpi buruk yang telah mengusik ketentraman tidurnya.

Ting Tong

Yoona mengernyitkan keningnya heran dan segera berjalan menuju pintu depan sambil menyeret tongkat kayunya. Suara ketukan tongkat kayu yang berirama terdengar begitu kontras dengan suara bel rumah Donghae yang terus menerus dibunyikan dengan brutal hingga rasanya Yoona ingin membentak siapapun yang telah berlaku tidak sopan dan mengganggu ketenangannya malam ini.

"Sebentar." Teriak Yoona sedikit keras sambil memutar kunci logam yang menggantung di slot kunci. Dalam sekali tarikan ia berhasil membuka pintu itu lebar-lebar dan membuat dua orang tamu yang berdiri di depannya mengernyit heran.

"Apa benar ini rumah tuan Lee Donghae?"

"Ya benar, maaf ada perlu apa anda datang malam-malam seperti ini?" Tanya Yoona heran. Setitik perasaan takut tiba-tiba menyusup ke hatinya ketika pria yang mengetuk pintu rumah Donghae itu tak kunjung mengatakan apapun dan justru berbisik-bisik mengenai keadaanya yang buta.

"Tuan, apa anda masih di sana?"

Yoona terlihat geram karena pria itu tak kunjung mengatakan maksud tujuannya datang ke rumah Donghae hanya karena melihatnya buta. Memang ia tidak bisa melihat bagaimana rupa dari tamu yang berkunjung ke rumah Donghae malam-malam seperti ini. Tapi ia bisa merasakan jika tamu itu datang karena memiliki tujuan penting.

"Maaf, kami hanya ingin mengabarkan jika tuan Lee mengalami kecelakaan."

Tiba-tiba jantung Yoona terasa diremas dan secara spontan ia berpegangan pada daun pintu di depannya karena kedua kakinya yang terasa lemas seketika. Kabar yang dibawa oleh pria di depannya berhasil membuat dunianya terasa berputar dan membuatnya pening. Tapi cepat-cepat ia mengembalikan kesadarannya dan mencoba untuk mengontrol dirinya agar tidak jatuh pingsan di depan tamu yang tidak dikenalnya itu.

"Ssi siapa kalian?" Tanya Yoona tergagap. Dua tamu itu saling berpandangan dan dengan tegas mengatakan jika mereka adalah polisi lalu lintas yang menangani kecelakaan yang menimpa Donghae.

"Saat ini keadaan tuan Lee cukup kritis di rumah sakit. Apakah anda bisa ikut kami sebagai salah satu anggota keluarga dari tuan Lee?"

"Tte tentu. Tunggu sebentar."

Yoona segera berlari menuju kamarnya dan menyambar jaket miliknya yang tergantung di belakang pintu. Perasaan takut dan was-was terus menghantuinya hingga beberapa kali ia terantuk kursi karena tidak bisa mengendalikan laju larinya yang memburu.

"Ayo kita pergi tuan. Tolong antarkan aku pada Donghae oppa."

Mereka bertiga lantas berjalan tergesa-gesa menuju mobil patroli yang terparkir di depan rumah Donghae. Suara sirine yang terdengar nyaring ketika mobil itu perlahan-lahan melaju meninggalkan rumah Donghae dan membuat hati Yoona terasa semakin diremas. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Donghae. Apalagi ia baru saja bermimpi buruk mengenai Donghae yang akan pergi meninggalkannya bersama kedua orangtuanya. Ia tidak mau kehilangan Donghae. Ia menyukai pria itu. Dan ia juga belum sempat membalas kebaikan pria itu selama ini. Ia lalu memohon pada Tuhan agar menyelamatkan Donghae dan memberikan kesempatan padanya untuk membalas semua kebaikan Donghae yang belum pernah ia lakukan selama ini.

-00-

Empat hari di rumah sakit, Yoona merasa tubuhnya cukup lelah. Namun ia tetap harus berada di sana untuk membantu Donghae mengurus dirinya yang mengalami patah tulang kaki dan beberapa tulang rusuk sebelah kanannya. Kini mereka berdua terlihat begitu kompak dan saling melengkapi satu sama lain. Jika Yoona tidak memiliki mata, maka Donghae yang akan menjadi mata untuk Yoona. Sedangkan Yoona yang akan menjadi kaki untuk Donghae selama Donghae harus berada di atas kursi roda akibat kecelakaan yang dialaminya.

"Oppa saatnya makan."

Yoona meraba-raba meja kecil di sebelahnya dan mulai mengangkat sepiring nasi yang telah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Dengan enggan Donghae mendudukan sedikit tubuhnya dan bersiap menerima setiap suapan nasi yang akan diberikan Yoona padanya.

"Aku merindukan masakanmu." Ucap Donghae pelan ketika makanan itu sudah berada di dalam mulutnya. Berada di rumah sakit selama empat hari dan terus menerus mendapatkan makanan rumah sakit yang terasa hambar membuatnya jengah. Ia ingin memakan masakan Yoona yang lezat dan segera terbebas dari kursi roda yang membelenggunya.

"Kau sedang sakit oppa, jangan menginginkan hal-hal yang aneh-aneh. Lagipula makanan rumah sakit sudah sesuai dengan kondisi tubuhmu yang memang sangat memerlukan asupan gizi yang sehat. Bersabarlah, jika kau sembuh nanti aku akan memasakan makanan apapun yang kau inginkan."

"Janji?"

"Hmm.. aku janji."

Yoona mengangguk antusias dan tersenyum cerah di depan Donghae. Sebersit perasaan hangatpun perlahan-lahan juga ikut menyusup ke dalam hati Donghae setelah ia melihat senyum Yoona yang manis di depannya. Apalagi wanita itu selalu menemaninya sejak ia sakit, menyempurnakan kecacatan yang dialaminya akibat kecelakaan nahas itu.

"Yoona, apa kau ingin melihat lagi?"

"Apa? Tentu saja, tapi aku harus sabar karena belum ada donor kornea yang tersedia untukku." Jawab Yoona apa adanya. Donghae tertegun dan menatap Yoona dalam. Ia kemudian menatap kedua kakinya yang ditutup gips dan juga tubuhnya yang harus menggunakan penyangga akibat patah tulang rusuk yang dialaminya. Ia cacat. Meskipun dokter mengatakan jika semua itu bisa disembuhkan tapi tetap saja ia akan cacat. Setidaknya hingga berbulan-bulan yang akan datang ia akan terus menggunakan kursi roda dan akan tergantung pada Yoona. Rasanya tidak ada gunanya lagi ia hidup. Memang sebuah keajaiban ia bisa tetap selamat dan melewati masa kritisnya dengan cepat setelah dokter melakukan tindakan. Tapi hidup dengan banyak alat-alat yang menempel di tubuhnya membuat ia frustrasi dan juga sress. Ia tidak terbiasa dengan semua kekurangan yang ia miliki saat ini. Baginya sekarng ia hanyalah seorang pria tak berguna yang sangat menyusahkan.

"Oppa, kenapa diam? Ayo makan lagi."

Yoona menahan sendoknya di udara ketika Donghae tak kunjung menyambut makanan yang diberikannya. Ia kemudian meletakan sendok itu lagi ke dalam piring dan membelai wajah Donghae dengan lembut.

"Ada apa? Ceritakan padaku." Ucap Yoona lembut. Donghae tersenyum tipis dan membawa telapak tangan Yoona ke bibirnya dan mengecupnya dengan lembut.

"Tidak apa-apa. Hanya bosan." Jawab Donghae terdengar meragukan. Namun Yoona berusaha mengenyahkan semua prasangka buruk yang memenuhi pikirannya dengan memikirkan hal-hal menyenangkan yang bisa ia lakukan bersama Donghae selama Donghae sakit.

"Oppa, apa kau ingin jalan-jalan? Aku akan mendorong kursi rodamu ke taman." Tawar Yoona bersemangat. Melihat Yoona yang begitu ceria dan dapat menjalani hari-harinya dengan tegar membuat Donghae iri. Padahal jika dibandingkan dengan Yoona, penderitaannya sama sekali tidak sebanding. Yoona, wanita itu kehilangan fungsi penglihatannya disaat kedua orangtuanya telah meninggal dan ia tidak memiliki siapapun untuk mengeluh. Seharusnya ia bisa bekajar dari ketegaran yang diciptakan oleh Yoona. Sayangnya itu benar-benar tidak mudah. Menerima apa yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam hidupnya benar-benar sulit. Apalagi selama ini ia telah terbiasa dengan kemudahan yang diberikan Tuhan padanya, ia tidak bisa melewati cobaan ini dengan mudah. Ia tidak bisa menjadi seperti Yoona yang bisa tegar menghadapi kepahitan hidup yang terasa begitu getir baginya. Ia ingin memberikan hadiah untuk Yoona. Untuk ketegaran yang selama ini dilakukan oleh wanita itu. Dan untuk rasa terimakasih karena wanita itu telah menemaninya selama ini. Menyelamatkannya dari kehampaan yang selama ini membelenggu jiwanya.

"Baiklah. Buat aku terhibur hari ini."

-00-

"Dokter, apa ini nyata?"

Yoona tersenyum sumringah ketika siang ini dokter Jang mengatakan padanya jika ia telah mendapatkan seorang pendonor yang akan memberikan kornea mata padanya. Dokter paruh baya itu tersenyum senang melihat Yoona dan menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

"Jadwal operasimu adalah lusa. Kau harus benar-benar sehat sebelum melakukan operasi. Jangan terlalu lelah." Pesan dokter Jang pada Yoona. Yoona mengangguk mengiyakan dan segera pamit undur diri untuk kembali ke kamar rawat Donghae. Hari ini ia akan memberitahu Donghae jika ia sebentar lagi dapat melihat wajah rupawan pria itu dan melihat semua keindahan yang selama ini hanya terlihat hitam di matanya.

"Oppa!"

Yoona berteriak dari ambang pintu dan langsung mengejutkan Donghae yang sedang membaca buku. Pria bermata teduh itu menatap Yoona heran dan segera menyuruh Yoona masuk ke dalam kamarnya.

"Oppa, aku punya kabar gembira." Ucap Yoona semangat. Ia terlihat sudah tidak sabar untuk mengatakan kabar gembira yang didapatkannya dari dokter Jang hingga ia hampir saja tersungkur karena tersandung kursi.

"Hati-hati Yoong. Kau hampir saja melukai dirimu sendiri." Tegur Donghae khawatir. Ia lalu membantu Yoona menyingkirkan kursi kayu yang sedikit menghalangi tongkat panjang milik Yoona.

"Jadi ada apa? Kau terlihat sangat bahagia."

"Oppa!! Aku mendapatkan donor kornea." Ucap Yoona girang. Wanita itu melompat-lompat senang di depan Donghae dan membuat Donghae terbahak karena tingkah kekanakan Yoona.

"Hey, kau bisa jatuh dan menimpa kakiku yang patah." Peringat Donghae ketika melihat yang terus melompat-lompat tanpa mengindahkan keadaan di sekitarna. Seketika Yoona berhenti melompat dan langsung mencari kursi kosong untuk ia duduk.

"Oppa aku benar-benar bahagia. Akhirnya setelah sekian lama aku menunggu, aku bisa mendapatkan donor kornea itu juga."

"Syukurlah kalau begitu. Setelah ini kau bisa melihat wajah tampanku dengan mata bulatmu yang jernih."

"Kau benar. Sudah sejak lama aku ingin melihat wajah tampanmu ini oppa."

Yoona membelai wajah Donghae dan tersenyum sumringah di depan Donghae. Melihat itu Donghae juga ikut tersenyum dan sedikit menarik tubuh Yoona agar mendekat kearahnya.

"Jika kau sudah mendapatkannya, kau harus menjaganya dengan baik."

"Tentu saja, aku pasti akan menjaganya dengan sangat baik."

"Jangan menggunakannya untuk melihat hal-hal yang tidak tidak." Kekeh Donghae. Yoona langsung mempoutkan bibirnya dan menunjukan wajah cemberut di depan Donghae. Hal itu membuat Donghae tidak bisa menahan diri untuk mencium bibir merah muda Yoona yang siang ini terlihat benar-benar menggoda di matanya.

Cup

"Kupegang janjimu."

Yoona ternganga tak percaya sambil menatap kosong kearah Donghae. Baru saja ia merasakan sesutu yang lembut menempel di bibirnya. Dan ia yakin jika itu adalah bibir Donghae karena beberapa detik yang lalu saat benda kenyal itu menempel di bibirnya, ia bisa merasakan napas Donghae yang hangat berhembus di wajahnya.

"Oop oppa..."

"Aku mencintaimu Yoona. Kuharap kau juga memiliki perasaan yang sama untukku karena aku tidak suka penolakan."

"Oppa.. tapi aku..."

Yoona tampak tak bisa berkata-kata dan hanya mematung di tempat dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang pada Donghae karena ia sendiri sebenarnya masih cukup syok dengan semua hal tiba-tiba yang terjadi padanya hari ini. Namun tak bisa dipungkiri jika ia memang menyukai Donghae, mencintai malaikat penyelamatnya yang selama ini hanya ia dengar suaranya tanpa pernah melihat wajahnya. Jika boleh, ia ingin memberikan jawaban pada Donghae setelah ia mendapatkan penglihatannya kembali. Ia ingin momen itu menjadi momen yang paling berkesan untuknya karena di hari itu selain ia akan memberikan jawaban dari pernyataan cinta malaikat penolongnya, ia juga akan melihat wajah malaikat penolongnya untuk pertama kali.

"Berikan aku waktu. Aku janji akan segera memberikan jawabannya untukmu oppa."

"Tidak masalah. Karena aku akan menunggu."

-00-

Akhirnya hari yang ditunggu Yoona tiba. Setelah ia melakukan operasi cangkok kornea dan beristirahat selama dua hari untuk menunggu kondisinya stabil, kini dokter akan membuka perban di matanya. Sejak terbangun dari tidurnya pagi ini, Yoona sudah tidak sabar untuk menyambut kehidupan barunya setelah ini. Kehidupan dengan dunia yang akan terasa lebih berwarna untuknya. Ia tidak akan lagi hanya melihat kegelapan dalam hidupnya.

"Kau sudah siap?"

Yoona mengangguk antusias sambil menahan debaran yang semakin menggila di jantungnya. Suara gunting yang perlahan-lahan merobek perban yang menutupi matanya terdengar seperti suara terompet pesta yang terasa begitu menggembirakan untuknya. Sebentar lagi ia akan melihat dunia. Sebentar lagi ia akan melihat malaikatnya.

"Nah, bukan matamu perlahan."

Yoona mulai mengerjapkan matanya perlahan dan mulai menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang terasa menyilaukan untuk mata barunya.

"Yoona..."

Yoona merasa familiar dengan suara itu dan langsung menoleh ke samping. Dengan dahi berkerut ia menatap Donghae sambil menitikan air matanya sedih kearah pria itu.

"Oppa... kau..."

Donghae tersenyum. Menatap Yoona dari atas kursi rodanya sambil merentangkan kedua tangannya ke samping.

"Peluk aku."

Sambil menyeka air matanya, Yoona langsung melompat turun dari ranjangnya dan menyambut tubuh kekar Donghae yang terasa begitu hangat untuknya.

"Oppa, kenapa kau melakukan ini untukku?"

Yoona terisak-isak di dalam pelukan Donghae dengan air mata yang semakin deras membanjiri wajahnya. Sekarang ia bisa melihat bagaimana wajah tampan malaikatnya yang rupawan. Bahkan selain memiliki ketampanan fisik, malaikatnya juga memiliki ketampanan hati karena ia mau mendonorkan kornea matanya untuk kebahagiaanya.

"Sekarang kita sama dan dapat saling melengkapi. Tolong gunakan satu kornea mataku dengan baik. Maaf aku tidak bisa memberikan keduanya untukmu."

"Tidak oppa, ini sudah lebih dari cukup. Terimakasih karena kau telah membuatku dapat melihat indahnya dunia. Aku janji, aku akan selalu menjaganya dengan baik."

"Dan bagaimana dengan jawabanmu? Setelah kau melihatku yang penuh kekurangan seperti ini, apa kau masih mau menerimaku?"

Yoona menutup mulutnya yang mengeluarkan isakan semakin keras lalu memeluk Donghae lebih erat lagi. Di dalam pelukan Donghae ia menganggukan kepalanya berkali-kali dan bersusah payah mencoba mengatakan ya dengan suara sesenggukan yang lebih mendominasi.

"Aak aaku menerimamu oppa. Aku mencintaimu. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini oppa. Aku pun juga tidak sempurna. Tapi meskipun begitu kau memiliki hati yang sempurna. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu malaikatku."

Bersama-sama mereka akan saling melengkapi satu sama lain untuk menghadapi setiap rintangan kehidupan yang akan mereka hadapi di masa depan. Meski hidup dengan hanya satu kornea dan dengan kursi roda, tidak masalah. Asalkan mereka bersama, semuanya akan terasa lengkap dan saling melengkapi satu sama lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro