The Lady Part Two
Malam ini Calistha memutuskan untuk menginap di rumah sakit bersama Aiden. Meskipun sebelumnya mereka sempat memperdebatkan banyak hal dan Calistha juga sedikit merasa konyol karena sikap Aiden yang selalu saja acuh tak acuh padanya, tapi tetap saja ia tidak tega meninggalkan pria itu sendiri. Meskipun konsekuensinya ia harus tidur di atas sofa coklat sambil menekuk kakinya yang terlalu panjang, itu semua ia lakukan demi Aiden. Sempat terbersit di benak Calistha jika Aiden akan bersikap romantis seperti aktor-aktor dalam drama yang ditonton oleh pegawainya, namun ia sama sekali tidak mendapatkan hal itu dari Aiden. Justru pria itu dengan acuhnya tidur membelakangi dirinya dengan selimut yang menutup tinggi hingga sebatas dagunya. Sungguh Calistha ingin berteriak pada pria itu untuk mengalah pada seorang wanita, setidaknya Aiden berbasa-basi menawarkan ranjangnya yang nyaman untuk digunakan Calistha berbaring di sebelahnya. Toh tubuh Calistha juga sangat mungil, ia tidak akan menghabiskan banyak tempat di atas ranjang perawatan milik Aiden yang luas. Tapi pada kenyataannya Aiden sama sekali tidak menawarkan ranjangnya untuk Calistha. Justru pria itu memilih untuk memejamkan matanya segera saat Calistha sudah terasa cukup menyebalkan untuknya.
"Ssshhh... katakan pada bos besar jika pria itu masih hidup."
Aiden membuka matanya nyalang saat mendengar suara bisikan yang terdengar begitu jelas di telinganya. Posisi selimut yang menutup sedikit wajahnya membuat ia mampu mengintip kearah pintu ruangannya yang tampak sedikit terbuka. Dari celah pintu ia dapat melihat seorang pria sedang mengintip sambil berbicara dengan orang lain. Ia lalu semakin menajamkan pendengarannya untuk memastikan jika pria yang memata-matainya benar salah satu anak buah targetnya yang saat ini telah mengincarnya. Dalam hati Aiden menghitung dalam hati, mencoba memfokuskan pikirannya untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Dan di hitungan ke lima, ia kemudian membuka matanya, melepas jarum infus yang menancap di punggung tangannya dalam sekali tarikan hingga darah segar itu perlahan-lahan menetes-netes di atas permukaan lantai rumah sakit yang putih. Ia kemudian segera menyergap pria misterius yang hampir saja melarikan diri darinya sebelum ia berhasil menyeret pria itu menuju tangga darurat yang sepi agar Calistha tidak terbangun karena suara gaduh yang ia timbulkan.
"Siapa yang menyuruhmu memata-mataiku?" desis Aiden tajam. Pria itu terus meronta-ronta dalam cekalan Aiden sambil memukul dada Aiden yang dibalut oleh seragam rumah sakit. Melihat pria misterius itu terus meronta-ronta membuat Aiden geram hingga ia terpaksa menampar wajah pria itu dengan keras. Suaranya menggema di sekitar lorong yang sepi, dan semuanya menjadi lebih terlihat mencekam dengan tetesan darah Aiden yeng bercecer bagaikan pola jejak darah yang mengerikan. Suara ribut dari balik pintu besi itu terus berlanjut hingga beberapa saat. Tidak ada satupun penghuni rumah sakit yang menyadari kejadian itu, bahkan suara debuman keras yang ditimbulkan oleh Aiden karena menghajar mangsanya sama sekali tak mempengaruhi lelapnya penghuni rumah sakit yang sedang beristirahat dengan nyenyak di kamar mereka masing-masing. Namun kegiatan Aiden untuk menghabisi mangsanya tiba-tiba terhenti saat telinga sensitifnya mendengar suara langkah kaki yang mendekat, disusul dengan suara teriakan panik yang semakin lama semakin terdengar jelas. "Aiden... kau dimana? Aiden... jangan membuatku panik seperti ini."
"Sial!" umpat Aiden kesal sambil menatap pintu besi di sebelahnya yang masih tertutup rapat. Namun suara langkah kaki milik Calistha terdengar semakin dekat dan semakin jelas membuat konsentrasi Aiden benar-benar buyar saat ini. Melihat hal itu, sang mangsa memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menendang betis Aiden dan mendorong tubuh Aiden keras kearah pintu besi, hingga suara debumnya membuat Aiden yakin jika Calistha pasti akan segera menemukannya di dalam sana. "Aiden!" tak sampai lima detik Calistha langsung menemukan Aiden yang sedang berlutut di pinggir tangga sambil memegangi kepalanya yang terbentur pintu besi cukup keras. Di pergelangan tangannya darah masih mengalir cukup banyak dan semakin mengotori lantai putih yang sedang dipijaki oleh Calistha. Melihat Aiden yang terlihat tidak baik-baik saja, ia segera berjongkok mendekati pria itu dan mencoba menyeret tubuh berat pria itu untuk keluar dari ruangan yang remang-remang itu.
"Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau diserang lagi?" tanya Calistha panik. Wanita itu terus memegangi kedua pipi Aiden dengan mimik wajah tidak sabar karena Aiden yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Calistha kemudian hendak berdiri untuk memanggil salah satu perawat agar dapat mengecek kondisi Aiden, namun hal itu langsung dihentikan oleh Aiden yang secepat kilat menarik bahunya agar wanita itu kembali berjongkok di depannya. "Aku baik-baik saja, hanya terpeleset di dekat tangga."
"Kau bohong! Selang infusmu terlepas paksa, dan darah berceceran dimana-mana. Kumohon jangan membohongiku Aiden, aku bukan gadis ingusan yang mudah kau tipu." ucap Calistha setengah memohon dan setengah jengkel. Ayahnya dulu pernah mengajarinya beberapa pelajaran yang berkaitan dengan medis, dan apa yang terjadi pada Aiden malam ini jelas-jelas karena dilakukan secara sengaja, bukan karena kebetulan semata.
"Jarum infus ini memang terlepas paksa saat aku tak sengaja menjulurkan tangan kananku terlalu keras untuk mengambil selimutku yang terjatuh. Lalu aku pergi keluar untuk mencari perawat agar mereka dapat memasang jarum infus itu lagi di pergelangan tanganku."
"Kau yakin? Kau tidak sedang berbohong padaku kan?" tanya Calistha dengan mimik menyelidik. Pria itu hampir saja membuatnya melakukan kerusuhan di rumah sakit karena jika ia tidak bisa menemukan Aiden dimanapun saat ini, ia akan memutari seluruh rumah sakit ini sambil berteriak sekencang yang ia bisa. Ia akan membangunkan seluruh penghuni rumah sakit itu dan membuat semua orang tahu jika ia baru saja kehilangan Aiden untuk yang kesekian kalinya. Ia takut, sungguh ia takut Aiden akan meninggalkannya lagi seperti dulu. Apalagi dengan darah yang berceceran dimana-mana, itu membuat hati Calistha semakin panik dan dilingkupi berbagai prasangka yang buruk tentang Aiden.
"Untuk apa aku membohongimu?"
"Mungkin saja kau akan melakukannya, seperti biasa." tambah Calistha dingin. Ia lalu mendudukan Aiden paksa di atas tempat tidurnya dan segera berjalan keluar untuk mencari perwat yang berjaga di malam hari.
"Suster!" teriak Calistha keras dan sedikit bergema di sekitar lorong rumah sakit yang sepi. Refleks ia membungkam mulutnya sambil tersenyum malu kearah perawat muda yang tampak terkejut dengan teriakan tiba-tiba yang dilakukan Calistha. Apalagi suasana diantara mereka sedang sangat sunyi, suara sekecil apapun akan terdengar menjadi lebih nyaring dari biasanya.
"Ada apa nona? Oh, kenapa banyak noda darah di lantai?"
"Itu, temanku tidak sengaja mencabut selang infusnya, lalu pergelangan tangannya terluka. Ia berniat untuk mencari perawat sejak tadi, oleh sebab itu lantai ini menjadi kotor karena tetesan darahnya yang banyak."
"Baiklah, saya akan memasang infusnya lagi. Dimana letak kamarnya?"
"Di sana." jawab Calistha sambil membimbing perawat itu untuk masuk kedalam kamar rawat Aiden. Saat Calistha datang, Aiden tampak sedang mengerutkan dahinya dalam dan tampak begitu serius hingga ia tidak menyadari kedatangan Calistha. Baru setelah sang perawat menyapanya, Aiden kemudian menoleh sambil memberikan senyum tipis kearah perawat yang tampak terheran-heran dengan kondisi pergelangan tangannya. "Kenapa bisa sampai seperti ini?"
"Tidak sengaja tercabut saat aku akan mengambil selimutku."
"Aku akan segera meminta petugas kebersihan memberishkan noda darah ini. Anda sebaiknya kembali berbaring tuan selagi aku membersihkan sisa darah di tanganmu."
Dari kejauhan Calistha hanya mengamati Aiden dalam diam sambil memikirkan banyak hal yang bersarang di kepalanya. Ia yakin jika pria itu telah menyembunyikan sesuatu darinya. Pertemuannya dengan Aiden bukanlah pertemuan singkat yang baru saja terjadi kemarin. Ia telah mengenal Aiden dengan baik selama ini. Semua sikapnya, dan bagaimana cara Aiden menyembunyikan banyak hal darinya, ia tahu semua itu. Jadi ia hanya harus menunggu saat yang tepat untuk membuat Aiden mengatakan yang sebenarnya kepadanya.
-00-
"Aku berjuang sendiri setelah kau pergi meninggalkanku." cerita Calistha sambil menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran sofa. Malam ini ia kembali datang ke rumah sakit untuk menemani Aiden seperti hari-hari sebelumnya. Selama Aiden dirawat di rumah sakit, ia menjadi semakin berisik dan terlalu berlebihan pada Aiden. Setiap hari Calistha tidak pernah absen untuk menghubungi Aiden disela-sela kesibukannya menjadi CEO. Bahkan hari ini Aiden mulai enggan untuk menjawab panggilan telepon dari Calistha karena ia risih dengan sikap berlebihan wanita itu. Ia merasa sudah lebih baik sekarang dan ia ingin segera keluar meninggalkan rumah sakit itu untuk kembali pada pekerjaannya yang berbahaya. Setidaknya sekarang ia perlu mencari Jongki untuk membalaskan dendamnya yang meletup-letup di kepalanya. Pria sialan itu hampir saja membunuhnya dengan sangat memalukan karen ia keracunan oleh senjata miliknya sendiri.
"Hey, dokter memberitahuku jika besok kau bisa pulang."
"Itu bagus."
"Kau benar akan tinggal di apartemenku?"
"Apa aku pernah bercanda padamu?"
"Tidak." jawab Calistha pendek. Ia hampir saja melempar pria itu dengan ponselnya jika ia tidak ingat pada pesan yang baru saja dikirim oleh Malfoy. Cepat-cepat ia membuka aplikasi pesan singkatnya dan membaca dengan serius isi pesan Malfoy yang ternyata cukup panjang itu. Melihat mimik wajah Calistha yang tampak serius, membuat Aiden akhirnya merasa tergelitik untuk mendatangi Calistha sambil menyeret tiang infus merepotkan yang menjulang di sampingnya.
"Ada apa?"
"Malfoy memberitahu kabar terbaru Luca, perkembangan pengobatan Luca saat ini." jawab Calistha sambil menunjukan layar ponselnya yang sedang menunjukan foto wajah Luca yang terlihat jauh lebih segar. Pria itu hampir-hampir terlihat seperti Luca yang dulu dengan sorot mata yang sedikit lebih redup dan wajah tirus yang tampak menyedihkan. Aiden kemudian berpikir, kegilaan apa yang telah dilakukan Emily hingga dapat mengubah Luca menjadi seperti ini? Tapi sudahlah, masa lalu tidak akan pernah habis untuk dikenang dan disesali, sekarang ia hanya perlu bersiap-siap dengan masa depannya sendiri, yang tentunya dari hari ke hari akan terus membahayakan dirinya, bahkan orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali Calistha.
"Apa kata Malfoy tentang perkembangan Luca?"
"Berkembang cukup baik, hari ini ia menanyakan aku. Ia mengingatku!" teriak Calistha heboh dengan suara melengkingnya yang nyaring. Aiden nyaris saja mendorong wanita itu menjauh karena suaranya yang berhasil mengganggu telinga sensitifnya. Pria itu lantas meminta Calistha untuk sedikit bergeser karena ia ingin bergabung bersama wanita itu di atas sofa. "Itu bagus, tapi secepatnya ia akan menyesali kesembuhannya karena itu berarti ia harus kembali ke kehidupannya yang mengerikan. Lebih baik ia kehilangan seluruh ingatannya untuk memulai hidup normal." komentar Aiden sambil menerawang kearah jendela ruang rawatnya. Dari kejauhan ia dapat melihat beberapa perawat sedang bercakap-cakap sambil memeluk buku pasien di tangan mereka masing-masing. Mereka semua tampak begitu bahagia menikmati kehidupan mereka tanpa harus memikirkan banyak masalah seperti dirinya. Lalu wanita di sampingnya, Aiden tidak tahu kenapa Calistha justru memilih untuk terus mengusahakan kesembuhan Luca, padahal seharusnya wanita itu dapat menjalani kehidupannya kembali tanpa perlu menengok masa lalunya yang rumit. Apalagi masalah keberadaan ayahnya turut memperumit kehidupan Calistha karena wanita itu masih bersikeras untuk menemukan ayahnya, meskipun sang ayah tidak mau ditemukan olehnya.
"Hey, kau kenapa diam?"
"Kapan kau akan menjenguk Luca?" tanya Aiden tiba-tiba. Calistha mengernyitkan dahinya heran dengan pertanyaan Aiden, dan ia langsung menggeser duduknya ke kanan agar dapat berhadapan langsung dengan Aiden. "Kurasa itu tidak dalam waktu dekat karena aku masih memiliki seseorang untuk diurus."
"Siapa?"
"Tentu saja itu kau." balas Calistha gemas. Ia merasa Aiden menjadi semakin lambat setelah keracunan beberapa hari yang lalu.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri, aku hanya membutuhkan tempat untuk fokus mengurus diriku sendiri. Kau bisa pergi menjenguk Luca."
"Tidak, aku belum memiliki rencana untuk itu. Aku masih harus mengurus pekerjaanku di sini. Kau tahu, aku sedang berusaha untuk membawa sebanyak-banyaknya investor ke perusahaan milik ayah. Luca membutuhkan banyak biaya untuk kesembuhannya, dan aku harus mengumpulkan banyak uang untuk itu." Seketika Aiden meletakan tangannya yang terbebas dari selang infus ke atas kepala milik Calistha, lalu mengusap puncak kepala itu pelan hingga membuat Calistha terheran-heran, bahkan berdebar untuk beberapa saat sebelum ia berhasil mengendalikan dirinya lagi untuk bersikap tenang. Bahkan ia terus mensugesti dirinya sendiri jika apa yang dilakukan oleh Aiden bukanlah sesuatu yang spesial, hanya sentuhan kecil untuk membuatnya nyaman.
"Luca pasti akan sangat berterimakasih padamu untuk semua hal yang telah kau berikan padanya."
"Aku merasa perlu untuk melakukannya karena ia juga sangat baik padaku."
"Hheh..." Aiden terkekeh kecil melihat mimik wajah Calistha yang tiba-tiba berubah sendu saat membicarakan jasa-jasa Luca. Ia seperti baru saja diingatkan jika Calistha adalah seorang manipulator. Wanita itu dapat memainkan perasaan siapapun lawan bicaranya dengan mimik wajahnya yang menipu itu. Bahkan sebelumnya ia juga pernah tertipu dengan tipu muslihat Calistha ketika mereka masih menjalankan misi bodoh di London. Ahh, itu akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan untuk Aiden, karena untuk pertama kalinya ia telah dibodohi oleh dua orang sekaligus, presiden Moon dan tentu saja Calistha.
"Kenapa tertawa? Apa ada yang aneh?"
"Kau sangat pintar bersandiwara. Jangan tunjukan mimik wajah itu di depanku karena aku tidak akan tertipu lagi seperti dulu."
"Aku? Apa yang kulakukan? Kau jangan menuduhkan hal-hal yang tidak benar padaku Aiden." protes Calistha kesal. Dengan kekanakannya Calistha menyentak telapak tangan Aiden yang masih bertengger di atas kepalanya, lalu beringsut menjauh dari pria itu dengan wajah cemberut yang terlihat seperti gadis tujuh belas tahun. Ingin rasanya Aiden terbahak melihat tingkah kekanakan wanita itu, tapi sebisa mungkin ia menahannya karena ia tidak ingin image dinginnya rusak karena itu.
"Tidak perlu bersikap kekanakan seperti itu, kau sudah terlalu tua untuk merajuk."
"Tidak pernah ada aturan untuk merajuk, jadi terserah padaku." balas Calistha sengit. Ia lalu menenggelamkan dirinya pada tumpukan email yang dikirim kliennya hari ini sambil menghembuskan nafas sebanyak-banyaknya karena sebagian besar dari email itu berisi pesan komplain yang dilayangkan untuk ketidakpuasan mereka pada program baru yang berhasil menyedot harta mereka cukup banyak, namun penonton sepertinya tidak terlalu menyukai program baru yang digagas oleh salah satu divisi kreatif di perusahaannya.
"Meskipun kau menyukai komunikasi massa, tapi kau tidak dibesarkan untuk itu. Kau seharusnya meminta bantuan orang lain yang lebih berkompeten untuk menganalisis program-program baru yang kalian luncurkan."
"Darimana kau tahu jika aku memang sedang pusing dengan hal itu?"
"Kau tidak perlu tahu darimana aku mengetahuinya, tapi lebih baik kau mempertimbangkan saranku." balas Aiden santai. Ia kemudian beranjak berdiri dan menyeret tiang infusnya untuk kembali ke tempat tidur perawatannya yang nyaman. Yah, setidaknya ia sudah cukup terbiasa dengan segala hal yang berkaitan dengan rumah sakit. Dan ini adalah proses hospitalisasi terlama sepanjang sejarah hidupnya, karena ia tidak pernah benar-benar dirawat di rumah sakit seperti ini. Bahkan biasanya ia hanya akan mendapatkan perawatan seadanya tanpa alat-alat yang benar-benar steril. Tapi demi melihat wanita itu tenang, ia rela bertahan di sini sampai Park Jongki yang benar-benar sialan itu berhasil ia temukan. Lalu masalah targetnya, ia pastikan dalam dua hari dari sekarang pria itu akan ditemukan tak bernyawa.
"Aiden terimakasih."
Aiden menatap Calistha datar menggunakan mata gelapnya, lalu berucap datar seperti biasanya. "Untuk apa?"
"Untuk saranmu. Kau benar, aku memang tidak diciptakan untuk bekerja dibalik meja sambil menganalisa program-program memusingkan itu. Dulu mungkin aku terlalu cepat memutuskan mengambil alih perusahaan ini, sedangkan aku sendiri juga belum lulus dari jurusan perkuliahanku. Jadi, aku memang belum sepenuhnya siap untuk mengambil alih perusahaan ayah."
"Kau tidak harus merasa bersalah untuk itu, kau telah melakukan yang terbaik. Bahkan kau masih memikirkan Luca ditengah-tengah kerumitan hidupmu sendiri. Kau hebat."
"Terimakasih, lagi." tambah Calistha dengan tawa kecil yang berhasil mengundang mimik heran di wajah Aiden. Wanita itu berhasil membuat Aiden merasa bodoh karena sedikitpun ia tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Calistha padanya.
"Jangan berterimakasih padaku, aku tidak pantas menerimanya."
"Hey, kau pantas mendapatkannya. Kau lebih dari pantas untuk mendapatkan hal itu, bahkan kau juga pantas mendapatkan kebahagiaan." tutup Calistha telak tanpa ingin dibantah. Aiden lalu memutuskan untuk berbaring di atas ranjangnya sambil memikirkan berbgai rencana yang akan ia eksekusi setelah ia keluar dari tempat terkutuk ini. Tak ada lagi ketololan, dan tak ada lagi rumah sakit.
-00-
"Tidak ada kopi untukmu Aiden, minum ini."
Aiden mengetatkan rahangnya kesal sambil menatap Calistha datar yang dengan seenaknya merebut cangkir kopi miliknya lalu menggantinya dengan segelas jus buah berwarna menjijikan yang sama sekali tidak menarik minatnya untuk meminumnya setetespun. Wanita itu berubah menjadi berkali-kali lipat lebih menyebalkan setelah ia diijinkan pulang oleh dokter kemarin siang. Bahkan Calistha memperlakukannya seperti anak kecil ingusan saat ia harus meninggalkannya sendiri di apartemen untuk bekerja. Hell, jika ini bukan salah satu bagian dari rencananya, Aiden tidak akan pernah mau untuk tinggal satu atap bersama Calistha. Sebenarnya dulu ia juga sudah bertekad untuk tidak lagi berurusan dengan Calistha karena sejatinya wanita itu terlalu mengerikan dengan suara melengkingnya yang mengganggu. Tapi mau bagaimana lagi, ia seperti telah dikutuk untuk selalu berada di dekat Calistha hingga ia benar-benar merasa muak dengan dirinya sendiri.
"Cepatlah pergi sebelum klienmu mengoceh di kantor."
"Aku akan pergi setelah ini. Ingat, jangan memakan apapun yang dilarang oleh dokter, aku sudah menyiapkan menu makanan yang sehat untukmu di dalam kulkas. Kau tinggal memanaskannya di microwave sebelum memakannya. Lalu jangan minum kopi!" peringat Calistha galak. Ia bahkan telah berkacak pinggang di depan Aiden untuk memberikan peringatan keras pada pria itu. Lalu ocehannya kembali berlanjut dengan intonasi dan nada yang sama-sama menyebalkannya hingga Aiden akhirnya menutup semua ocehan itu dengan sebuah kecupan singkat di pipi wanita itu.
"Selamat bekerja, aku akan menjadi pria yang baik di rumah." ucap Aiden lembut sebelum berjalan pergi meninggalkan Calistha yang masih membeku di tempat. Kecupan itu benar-benar membuat Calistha merasa kehilangan orientasinya untuk beberapa saat hingga suara dering ponsel kembali menyadarkannya pada realita jika ia harus segera pergi ke kantor sekarang juga.
"Aiden aku pergi dulu, tolong jangan membuat kekacauan di apartemenku." pesan Calistha sebelum benar-benar pergi dan menutup pintu apartemennya dengan hentakan keras yang membuat Aiden hanya mampu berdecak kesal saat melihatnya. Sepuluh menit berselang setelah Calistha pergi, Aiden segera memakai jaket kulitnya dan berjalan keluar sambil menghubungi seseorang melalui ponselnya. Ia perlu koordinat lokasi targetnya yang harus ia eksekusi hari ini sebelum kliennya mengoceh sama berisiknya seperti Calistha. Saat tiba di depan bangunan apartemen, Aiden segera menghentikan sebuah taksi dan pergi menuju rumah rahasianya yang selama ini tidak diketahui Calistha. Ia perlu mengambil senjatanya dan juga mobilnya, lalu memastikan salah satu orangnya untuk membuat Calistha tetap sibuk hari ini hingga tengah malam.
"Lakukan apapun untuk membuatnya sibuk. Aku telah membayarmu mahal untuk mendengar ocehannya yang berisik." jawab Aiden gusar pada lawan bicaranya di telepon. Tak sengaja kedua mata gelapnya bertatapan dengan sepasang netra milik supir taksi yang ternyata sejak tadi sedang mencuri-curi pandang kearahnya. Dan setelah memberikan satu tatapan mengintimidasi, akhirnya supir taksi itu merasa takut dan tidak lagi berusaha untuk mencuri dengar percakapan yang sedang dilakukan oleh penumpangnya.
"Berhenti di depan."
Aiden langsung memberikan selembar uang ratusan ribu pada supir taksi itu tanpa mau menerima kembalian meskipun supir taksi itu telah berteriak-teriak untuk memintanya mengambil kembalian. Aiden tidak ingin mempedulikan pria itu, ia langsung saja berjalan kedalam tempat parkir di sebuah pusat perbelanjaan untuk mengambil mobilnya yang telah disiapkan oleh salah satu orang suruhannya. Secepatnya ia mengubah rencana awal yang telah ia susun dengan rapi karen sikap mencurigakan sang supir taksi yang terus mencuri-curi pandang kearahnya. Ia tidak boleh terlihat mencolok dan gegabah seperti sebelumnya. Semua rencana ini harus dijalankan dengan halus agar Jongki tidak bisa mengendus jejaknya.
"Hotel Grand Marilyn, president suit room."
Aiden mengangguk pelan pada salah satu rekannya yang hari ini menyamar sebagai petugas kebersihan di salah satu pusat perbelanjaan di Seoul. Sekarang ia hanya perlu mengambil senjatanya di rumah dan segera mengambil lokasi yang tepat untuk membidik sasarannya yang sedang menunggu ajal di hotel termewah di Korea Selatan itu.
-00-
Calistha memijat pelipisnya yang terasa pening saat lagi-lagi asistennya memberikan laporan terkait tuntutan kliennya yang tidak kunjung puas meskipun ia telah memberikan berbagai macam solusi yang dapat memecahkan masalahnya. Bahkan Seluruh waktunya hari ini sebagian besar hanya ia habiskan untuk mengurus klien menyebalkan yang terus saja menuntutnya untuk melakukan ralat karena tim multimedia tidak mencantumkan logo perusahaan milik kliennya di pojok kanan. Padahal sebelumnya perusahaan itu tidak pernah mempermasalahkan pemasangan letak logo pada iklan yang ditayangkan di perusahaannya dan hanya meminta untuk memasangnya secara presisi agar lebih mudah untuk dilihat oleh penonton. Tapi entah mengapa hari ini hal tersebut bisa menjadi suatu masalah dan membuat Calistha harus ekstra bersabar pada kliennya karena pria itu membuat semua pekerjaannya tidak bisa terselesaikan dengan benar hari ini.
"Suruh tuan Shim kembali lagi besok, dan katakan padanya jika tim multimedia akan segera meralat iklan milik perusahaan miliknya. Berikan ia jaminan jika dalam waktu dua puluh empat jam kita akan membuat iklan itu sesuai dengan keinginannya."
"Maaf nona, tuan Shim bersikeras akan menunggu di kantor hingga perubahan pada iklannya benar-benar selesai."
Calistha langsung menghembuskan nafasnya gusar sambil melirik jam tangan yang telah menunjukan pukul sembilan malam. Ia seharusnya bisa pulang dua jam yang lalu jika pria menyebalkan itu tidak membuat keributan yang tidak perlu di kantornya. Tidak ada pilihan lain selain segera mendatangi ruangan tim multimedianya dan meminta mereka agar segera menyelesaikan pekerjaan mereka agar tuan Shim yang mengganggu itu dapat segera ia tendang keluar dari gedung pencakar langit milik ayahnya.
"Kalau begitu antarkan tuan Shim menuju ruangan multimedia, aku akan segera menyusul setelah menghubungi seseorang."
Setelah asistennya benar-benar pergi, Calistha segera mengambil ponselnya untuk menghubungi Aiden. Ia harus menanyakan keadaan pria itu dan memastikan jika pria itu telah memakan semua makanan yang ia siapkan hari ini. Untung saja ia juga menyiapkan menu makan malam untuk Aiden untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga seperti ini.
Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan, mohon untuk menunggu beberapa saat lagi.
Calistha mengernyitkan dahinya aneh saat panggilannya untuk Aiden justru dijawab oleh suara operator. Ia kemudian mencoba menghubungi Aiden sekali lagi untuk memastikan jika nomor ponsel Aiden memang tidak bisa dihubungi. Dan ketika ia yakin jika ponsel milik Aiden sedang tidak aktif, ia tiba-tiba menjadi panik sambil membereskan semua barang-barangnya dengan tergesa-gesar. Ia harus segera pulang untuk memastikan keadaan Aiden dan kembali lagi ke kantor nanti untuk menyelesaikan masalah tuan Shim yang merepotkan. Tapi sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan ruangannya, pria tua dengan kemeja putih yang telah digulung sebatas siku itu tiba-tiba menghalangi jalannya. Ia tampak menelisik kearah tas tangannya dan juga keadaan mejanya yang telah rapi. "Apa kau berniat untuk kabur setelah membuat iklan milik perusahaanku bermasalah?" tuduh pria tua itu menyebalkan. Calistha dengan terang-teranganya mendengus kesal pada pria itu sambil melemparkan tas tangannya menuju sofa terdekat yang berada tak jauh darinya. Tak ia pedulikan lagi sopan santun atau etika apapun yang seharusnya ia tunjukan di hadapan kliennya. Ia sudah kehilangan seluruh kesabarannya dan ia bisa saja mematahkan tulang-tulang milik pria tua itu jika ia tidak benar-benar menahan dirinya saat ini.
"Tentu saja aku akan mempertanggungjawabkannya dengan sebaik mungkin hingga masalah anda terselesaikan tuan. Jadi mari kita pergi ke ruangan tim multimedia, dan menyelesaikan semuanya di sana." ucap Calistha dengan intonasi penuh penekanan dan mimik wajah yang berubah muram. Mereka berdua lantas berjalan beriringan menuju ruangan multimedia dengan suasana mencekam yang terlihat begitu aneh. Tuan Shim tampak tak terlalu peduli dengan kejengkelan Calistha yang terlihat begitu jelas di sampingnya. Apapun yang terjadi ia harus tetap menahan wanita itu di sini hingga Aiden berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
-00-
Carlos sedang tersenyum hangat pada isteinya yang sedang bercermin sambil bergaya dengan kalung barunya, pemberian dari sang suami tercinta di ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima puluh. Waktu begitu cepat berlalu bagi pasangan duta besar Jerman yang saat ini sedang melakukan kunjungan ke Korea Selatan. Kebetulan isteri Carlos masih memiliki darah Korea dari mendiang neneknya, sehingga aura oriental itu masih terlihat jelas dari seorang Lim Shannon.
"Kau menyukainya sayang?"
"Aku sangat menyukainya, terimakasih sayang. Kau masih tetap romantis meskipun kita tidak lagi muda seperti dulu." ucap Shannon terkikik sambil memberikan kecupan ringan di pipi suaminya. Namun di tengah suasana hangat nan romantis itu, Shannon tiba-tiba mendengar suara desingan yang begitu cepat, disusul dengan suara debuman keras yang berasal dari suaminya. Darah segar perlahan-lahan merembes dari dahi Carlos yang telah berlubang dengan sangat mengerikan dan juga dramatis di atas lantai marmer. Lalu semua itu ditutup dengan suara teriakan Shannon yang begitu kencang hingga terdengar hingga ke seberang gedung yang gelap dan sunyi.
Aiden tersenyum miring sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya dan juga pemantik berlapis emas yang ia dapatkan dari salah satu kliennya. Hari ini ia berhasil mengeksekusi targetnya dengan mulus, meskipun semuanya harus tertunda selama lebih dari empat hari, ia pikir itu tidak masalah. Anggap saja ia masih memberikan kesempatan untuk pria tua itu hidup hingga hari ulang tahun pernikahannya tiba. Dan kematian Carlos akan menjadi kenangan yang begitu indah bagi isterinya yang cantik itu.
"Aku telah menyelesaikan misinya, aku ingin bayaranku segera."
Aiden berbicara dengan tenang pada kliennya yang saat ini sedang berada di Jenewa. Entah masalah apa yang terjadi pada keduanya sehingga pria itu rela membunuh sahabatnya sendiri yang telah bersama-sama selama tiga puluh tahun. Terkadang teman bisa menjadi musuh yang sangat berbahaya. Hal itulah yang selama ini selalu ditanamkan oleh Aiden di dalam otaknya, sehingga ia tidak pernah benar-benar memiliki teman selama belasan tahun ia menjalani kehidupannya sebagai seorang sniper. Teman seperti Carmine, ia hanya menjadikannya sebagai rekan yang akan membantunya ketika ia memang sedang membutuhkan bantuan untuk menjalankan misinya. Selain itu, ia tidak pernah benar-benar mengijinkan orang lain untuk masuk kedalam hidupnya. Namun tentu saja selain Calistha. Wanita itu tentu saja cukup spesial untuk Aiden.
Setelah kliennya memberikan kepastian mengenai bayaran yang Aiden terima, ia kembali menyimpan ponselnya di dalam saku celana sambil menghisap rokoknya dengan nikmat. Ia seperti sudah lama tidak menikmati hidupnya yang penuh dengan darah dan beraroma tembakau pekat. Sembari menikmati kekacauan yang terjadi di seberang gedung, Aiden mulai memasukan kembali peralatan menembaknya ke dalam box besi yang memiliki berat belasan kilo. Mungkin tidak lama lagi polisi akan menyelidiki gedung tempatnya menembak karena polisi-polisi itu akan segera menyadari adanya sniper yang sedang bersembunyi dibalik kegelapan malam. Jadi sebelum itu terjadi, Aiden segera pergi sambil menjinjing semua peralatannya di satu tangan, sedangkan tangan yang lain ia kuganakan untuk menjepit sisa rokoknya yang masih separuh. Namun baru beberapa langkah ia menuruni tangga, ponsel hitamnya kembali bergetar dengan ribut di dalam saku celana jeansnya, mengirimkan getaran aneh yang membuat Aiden geli sekaligus gusar karena si penelpon mengganggu kegiatannya.
"Aiden! Kau dimana, kenapa kau tidak ada di apartemen?" suara teriakan Calistha adalah hal pertama yang Aiden dengar setelah pria itu menggeser layar ponselnya ke atas untuk menerima panggilan itu. Dengan suara tenang, Aiden segera menjawab teriakan Calistha sambil berjalan turun untuk kembali ke mobilnya. "Aku pergi untuk membeli makanan di supermarket." ucap Aiden meyakinkan. Ia lalu melirik sekantong plastik makanan yang telah ia siapkan di kursi penumpang mobilnya sambil tersenyum miring karena pikirannya yang konyol. Beberapa jam yang lalu saat sedang mengintai targetnya, ia tiba-tiba berpikir jika Calistha pasti tidak akan mempercayai kebohongannya. Tentu saja, ia dan wanita itu memiliki kehidupan yang hampir sama. Dan mereka hampir-hampir memiliki hobi berbohong yang sama. Jadi untuk meminimalisir kecurigaan apapun, akhirnya Aiden menyempatkan diri untuk pergi ke supermarket dan membeli apapun yang dapat ia gunakan sebagai bukti di hadapan Calistha. Dan sekarang hal itu benar-benar sangat berguna karena Calistha memang tidak pernah mempercayai mulut busuknya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku atau meninggalkan note di apartemen? Ini sudah malam, pukul sebelas jika kau lupa. Jadi cepat pulang. Kau masih sakit dan memerlukan banyak istirahat."
Aiden menggeram kesal mendengar serangakaian omelan Calistha yang sangat berisik dan mengganggu. Hanya karena ia keracunan beberapa hari yang lalu, Calistha menjadi sangat cerewet dan terlalu berlebihan dalam menjaganya. Padahal ia lebih dari mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Jika bukan karena Jongki sialan itu, ia tidak akan mau berususah payah bersandiwara menjadi pria lemah di hadapan Calistha. Apalagi Calistha yang sekarang terlihat sedikit berbeda dari Calistha yang bersamanya lima bulan yang lalu. Calistha yang sekarang lebih pekerja keras, lebih dewasa, dan terlalu berlebihan dalam menjaganya, seperti wanita itu tidak ingin ditinggalkan untuk yang ke dua kalinya.
"Aku akan pulang sebentar lagi, tunggu aku di apartemen."
"Baik, sepuluh menit. Jika kau datang lebih dari sepuluh menit, aku akan menghukummu." satu lagi tingkah kekanakan yang sangat ia benci dari Calistha. Wanita itu sangat gemar mengancamnya dengan ancaman kekanakan yang terdengar memuakan."
"Aku bukan pria ingusan yang bisa kau ancam seperti itu. Lebih baik kau tidur dan jangan menungguku. Mungkin aku akan membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk kembali ke apartemenmu."
"Kau menyebalkan! Kenapa harus lebih dari sepuluh menit? Kau pergi ke supermarket mana? Aiden...."
Dengan gusar Aiden segera mematikan sambungan teleponnya dan melepas baterai ponselnya agar Calistha tidak bisa menelponnya dengan berisik. Lagipula ia tidak mungkin akan tiba dalam waktu sepuluh menit karena jarak apartemen Calistha dari tempatnya saat ini cukup jauh. Sembari menutup bagasi mobilnya, Aiden kembali mengeluarkan rokok kedua dari dalam sakunya dan mulai menyulutnya dengan pemantik hingga asap tipis segera membumbung ke udara dan membentuk sebuah pola tipis yang tak beraturan. Entah kenapa ia merasa sedikit senang saat Calistha mengkhawatirkannya, meskipun itu cukup berisik untuk didengar. Tapi rasanya menyenangkan saat ia memiliki seseorang yang mengharapkannya pulang. Seperti hidupnya cukup berharga untuk dinantikan. Lagi-lagi Aiden terkekeh geli dengan pikirannya yang konyol mengenai Calistha. Ia tidak mungkin menyukai wanita itu, meskipun ia tahu jika Calistha sedikit menaruh perasaan padanya. Tapi bisa saja itu hanya perasaan peduli yang diberikan Calistha padanya karena mereka memiliki jalan hidup yang hampir mirip. Mereka sama-sama dibesarkan di lingkungan yang keras dan pernah mengalami kehilangan yang cukup tragis. Jadi tidak menutup kemungkinan jika akhirnya Calistha menjadi lebih mengkhawatirkannya daripada semua orang yang pernah mengenalnya selama ini.
Brakk
Suara pintu mobil yang ditutup keras menjadi penanda bagi berakhirnya pikiran konyol yang sejak tadi bersarang di dalam kepala Aiden. Ia akan segera pulang dan tidak membuat Calistha lebih khawatir karena menunggunya terlalu lama. Padahal sebelumnya ia berencana untuk sekedar singgah di sebuah klub dan menikmati sedikit margarita atau gin di sana. Tapi sudahlah, Calistha menunggunya, dan ia tidak ingin membuat wanita itu terlalu lama menunggunya di rumah dengan kecemasan yang menyelimuti hatinya.
-00-
Calistha menekuk lutunya dan memeluk dirinya sendiri sambil menonton berita di televisi yang sedang menyiarkan berita pembunuhan yang baru saja terjadi di hotel Grand Marilyn. Seorang duta besar dari Jerman baru saja terbunuh di sana dengan luka tembak yang bersarang di kepalanya. Sedikit mengernyit, Calistha mulai berpikir jika semua itu terlalu kebetulan untuk dikaitkan dengan Aiden. Meskipun ia tidak ingin menuduh Aiden yang telah membunuh duta besar itu, tapi mungkin saja Aiden yang melakukannya karena ia sempat melihat dari cuplikan berita itu jika pembunuhan kali ini terlihat sangat rapi, dan seperti dilakukan oleh seorang sniper yang handal.
"Hey, kenapa kau belum tidur?"
Calistha dengan cepat menoleh kearah Aiden dan berganti menoleh kearah televisi yang untungnya sudah tidak lagi menayangkan berita pembunuhan yang sebelumnya ia tonton.
"Ada apa?" Aiden tampak menelisik kearah Calistha yang terlihat seperti panik di depannya. Ia merasa Calistha sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Bukan apa-apa, kenapa lama sekali? Kau kemana saja?" tanya Calistha sambil melirik plastik belanja yang dijinjing oleh Aiden. Jika dilihat-lihat Aiden seperti tidak berbohong dengan pengakuannya. Tapi siapa yang tahu jika Aiden sebenarnya berbohong. Ingat jika Aiden adalah seorang sniper yang licik dan berbahaya, ia bisa saja melakukan apapun termasuk membohongi Calistha.
"Membeli makanan." jawab Aiden santai sambil mengangkat tas belanjanya. Calistha lalu berdiri dari posisi duduknya dan segera menghampiri Aiden untuk melihat isi tas belanja yang dibawa oleh Aiden. Namun seketika ia melemparkan tatapan tajamnya kearah Aiden saat dengan jelas ia mencium aroma rokok dari tubuh Aiden. "Kau merokok?"
"Kenapa? Dokter tidak pernah melarangku untuk merokok."
"Tapi seharusnya kau tidak melakukannya."
"Kenapa kau menjadi sangat berisik Cals, aku lebih dari baik-baik saja saat ini. Kau tidak perlu berlebihan."
"Kalau begitu aku tidak akan mengkhawatirkanmu lagi, terserah apa yang ingin kau lakukan. Aku tidak peduli!" desis Calistha marah sebelum ia berjalan pergi meninggalkan Aiden untuk masuk kedalam kamarnya. Ia benar-benar merasa kecewa dengan sikap Aiden yang tidak menghargainya sedikitpun hingga sejauh ini. Padahal semuanya ia lakukan untuk kebaikan pria itu, ia tidak ingin kehilangan Aiden untuk yang kesekian kalinya. Dan ia sangat berharap pria itu dapat terus menemaninya di sini dan tidak meninggalkannya seperti dulu.
"Maaf, aku terlalu keras padamu hari ini."
Calistha langsung berpura-pura tidur saat ia merasakan ranjang di sebelah kanannya melesak turun karena beban tubuh Aiden. Pria itu dengan gerakan perlahan membaringkan tubuhnya di samping Calistha dan memeluk tubuh wanita itu dari belakang sambil menempelkan dagunya di pundak kecil Calistha. Sementara itu Calistha masih tak bergeming di tempatnya, antara gugup dan juga marah, semua itu mengacaukan otak Calistha hingga mempengaruhi kinerja ototnya yang seolah-olah menjadi kaku. Aiden tidak pernah terlihat seromantis ini sebelumnya. Pria itu bahkan jarang melakukan kontak fisik padanya selain ciuman yang pernah pria itu lakukan saat di London. Lalu kali ini Aiden tiba-tiba bersikap sedikit manis padanya dengan meminta maaf dan memeluk tubuhnya, itu sungguh seperti bukan Aiden yang ia kenal selama ini. "Aku tidak ingin kau terlalu berlebihan padaku, aku baik-baik saja. Jangan terlalu membebani pikiranmu. Setelah aku benar-benar sembuh, aku tidak akan merepotkanmu lagi di sini."
Seketika jantung Calistha merasa ngilu dan sakit. Ini seperti pertanda jika Aiden tidak akan lama berada di sisi dan akan meninggalkannya lagi seperti dulu. Rasanya ia ingin berteriak dengan keras di depan Aiden jika ia menginginkan pria itu terus di sampingnya, hingga batas yang tak pernah ditentukan. Bahkan jika perlu, ia ingin menikah dengan pria itu. Ya, ia ingin menikah. Ia ingin memiliki keluarga kecilnya sendiri, lalu hidup lebih baik tanpa bayang-bayang dari masa lalu yang mengganggu. Tapi pertanyaannya, apakah ia bisa? Apakah mereka bisa memiliki keluarga seperti itu, mengingat pekerjaan Aiden yang berbahaya, juga latar belakangnya yang tak pernah jauh dari dunia mafia. Tuhan sungguh tidak adil padanya. Disaat ia telah merasa nyaman dengan seseorang dan yakin jika orang itu adalah takdirnya, Tuhan justru mempermainkannya dengan ketidakjelasan ini.
"Aku tahu kau tidak tidur, belum." Aiden membalik tubuh Calistha dan dalam sekejap mereka telah berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain di tengah-tengah keremangan kamar Calistha. Wanita itu masih saja diam tanpa ingin mengucapkan sepatah katapun, sedangkan Aiden terlihat gemas dengan sikap diam Calistha yang terlihat tidak wajar. "Bicaralah sesuatu."
"Apa yang perlu kukatakan padamu? tanya Calistha dingin.
"Tidak ada, tidurlah." akhirnya Aiden mengakhiri konfrontasi mereka malam itu dan menenggelamkan Calistha dalam kehangatan dekapannya dan berharap jika besok hubungan mereka akan berubah menjadi lebih baik. Malam ini merek hanya lelah, mereka hanya membutuhkan ketenangan dalam tidur yang damai, lalu semuanya akan kembali baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro