The Crown Prince
Asap rokok dan suara bising musik retro yang menghentak terdengar begitu berisik di tengah-tengah suasana ramai bar. Para wanita dengan pakaian minim dan para pria hidung belang terlihat saling bercumbu di sudut-sudut bar yang sepi. Di lantai dua, tepatnya di ruang vvip, dua orang pria beserta bodyguard mereka masing-masing terlihat sedang serius melakukan rapat. Mereka berdua adalah pria-pria eksekutif muda yang menjadi incara setiap wanita yang berada di bar tersebut. Tapi sayangnya hari ini mereka sedang tidak ingin bermain-main dengan wanita jalang itu, mereka hari ini datang khusus untuk membicarakan proyek yang akan mereka tangani minggu ini.
"Jonghyun ssi, lebih baik kau menyerah dan aku akan mencari partner lain yang benar-benar bisa menanganinya. Kulihat kau tidak memiliki kompetensi."
"Maaf Lee Donghae ssi, tapi aku tidak akan memberikan proyek ini pada siapapun. Aku yakin aku bisa menanganinya. Kau hanya perlu menunggu sebentar." Ucap Jonghyun gigih. Pria itu terlihat begitu serius dan ingin sekali bekerjasama dengan Donghae. Pasalnya Donghae adalah salah satu pebisnis yang paling disegani, sehingga akan sangat menguntungkan jika ia mampu bekerjasama dengan Lee Donghae. Sayangnya Donghae sendiri bukan orang yang mudah untuk melakukan kerjasama. Ia selalu menempatkan kriteria khusus pada patner-partner bisnisnya agar kualitas dari kerjasama mereka benar-benar bagus. Dan Jonghyun sepertinya tidak mencapai standar kriteria yang ditetapkan oleh Lee Donghae.
"Huh, apa kau selalu sepercaya diri ini? Lihatlah, berapa banyak waktuku yang terbuang untuk menunggu hasil kerjamu? Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi Jonghyun ssi. Kau harus mundur dari proyek ini." Ucap Donghae santai sambil mengepulkan asap rokok ke udara. Jonghyun menatap Donghae penuh kebencian dari balik bulu matanya. Selama menjadi seorang eksekutif muda, belum pernah ada yang menghinanya seperti ini. Dan Donghae sudah sangat menjatuhkan harga dirinya.
"Selama ini rekan bisnisku tidak pernah merasa kecewa dengan kinerjaku, jadi kau harus mempertimbangkan keputusanmu."
"Aku sudah mempertimbangkannya sejak jauh-jauh hari Jonghyun ssi, jadi kau tetap harus mundur dari proyek ini."
Jonghyun mengepalkan tangannya marah dan hendak mengeluarkan emosinya. Namun suara ricuh dari lantai dansa mengalihkan perhatiannya dan membuat Jonghyun refleks langsung menoleh ke lantai dasar.
"Terjadi keributan di bawah. Kalian periksalah apa yang terjadi." Perintah Donghae tegas pada bodyguard-bodyguardnya. Namun tiba-tiba mereka mendengar suara tembakan yang saling bersahut-sahutan dan suara bentakan yang terdengar dari lantai bawah. Melalui isyarat mata, Donghae menyuruh anak buahnya untuk membereskan kawanan perampok yang sedang membuat keributan di dalam bar miliknya.
"Bereskan mereka semua. Dan kau, kau lebih baik ikut denganku jika kau masih tetap ingin hidup."
Donghae menyuruh Jonghyun untuk keluar mengikutinya melalui pintu khusus yang memang disiapkan untuknya. Namun tiba-tiba sebuah peluru berwarna keemasan melesat cepat ke udara dan berhenti tepat di dada kirinya. Seketika semua bodyguard yang mengelilingi Donghae langsung bergerak cepat untuk menolong tuan mereka yang sedang sekarat. Sementara itu, Jonghyun langsung mengambil kesempetan untuk segera keluar dari bar milik Donghae tanpa mau bersusah payah untuk menolong Donghae ataupun sekedar mengkhawatirkan Donghae. Lagipula ia juga tidak menyukai Donghae. Jika Donghae mati, ia justru akan diuntungkan dengan banyaknya proyek yang akan jatuh ke tangannya. Karena selain rekan bisnis, Donghae juga merupakan saingan terberatnya.
"Hhabisi mereka, jjangan sisakan sssatupun dari mereka."
Samar-samar Jonghyun masih sempat mendengar suara Donghae yang terbata-bata sebelum Donghae benar-benar tak sadarkan diri di tengah kerumunan anak buahnya.
-00-
Prangg
Yoona memekik terkejut ketika salah satu gelas yang berada di atas wastafel jatuh berserakan di dekat kakinya. Cepat-cepat Yoona berjongkok untuk memunguti pecahan beling itu. Namun sebelum ia selesai membereskan semua kekacauan yang dibuatnya, seorang wanita paruh baya datang dengan suara menggelegar dan wajah yang sangat menyeramkan.
"Apa lagi yang kau lakukan! Dasar gadis bodoh tak berguna. Kau ingin menghancurkan seluruh perabotan rumahku, hah! Kau dan ayahmu yang cacat itu sama saja, kalian sama-sama tidak berguna!"
Nyonya Im berteriak-teriak dengan kasar sambil berkacak pinggang di depan Yoona. Sedangkan Yoona hanya mampu menangis sambil membersihkan pecahan beling itu satu persatu. Ayahnya yang berada di ambang pintu tampak tak mampu berbuat apa-apa karena ia lumpuh. Sudah sejak lima bulan yang lalu ayahnya terserang penyaikit stroke, sehingga sang ayah tidak mampu berjalan lagi ataupun berkeja, dan karena hal itu nyonya Im setiap hari harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya dengan menjadi penyanyi di sebuah bar.
"Mmaafkan aku eomma, aku tidak sengaja."
"Tidak sengaja kau bilang? Hampir setiap hari kau selalu memecahkan barang-barang milik eomma. Jika kau merusak barang milik eomma sekali lagi, eomma akan mengusirmu dari rumah ini. Eomma tidak mau menampung anak tak berguna sepertimu di rumah ini. Belum lagi ayahmu yang cacat itu membutuhkan banyak uang untuk berobat, kau membuat hidupku semakin terbebani!"
Setelah mengucapkan hal menyakitkan itu, nyonya Im segera keluar dari rumahnya sambil membanting pintu ruang tamu keras-keras. Sedangkan Yoona masih setia berjongkok di atas lantai sambil membersihkan sisa-sisa beling yang cukup tajam dengan seluruh hatinya yang terasa sakit karena penghinaan eommanya sendiri.
"Yoona, maafkan appa nak. Appa membuatmu menderita seperti ini."
"Tidak apa-apa, mungkin eomma hanya lelah karena semalam eomma pulang pukul dua belas malam. Dan semua ini memang karena kecerobohanku, jadi appa tidak perlu meminta maaf padaku." Ucap Yoona halus sambil menyeka bulir-bulir air mata yang turun membasahi pipinya. Setelah itu Yoona segera bangkit untuk membuang sisa-sisa beling yang sudah ia kumpulkan. Ia harus segera membersihkan kekacauan yang ia buat sebelum eommanya kembali dan membentak-bentaknya dengan kata-kata lebih kasar yang menyakitkan.
-00-
Donghae bersandar pada sandaran blangkar sambil menatap nyalang pada pemandangan membosankan di depannya. Sudah tiga hari ini ia dirawat di rumah sakit, dan ia merasa bosan. Selama ini ia tidak pernah mengalami sakit parah yang mengharuskannya berbaring seperti orang lumpuh di rumah sakit, sehingga pengalamannya kali ini benar-benar membuatnya bosan dan ingin segera kembali beraktivitas dengan segala kesibukannya yang melelahkan.
"Kapan aku bisa keluar dari tempat terkutuk ini?" Tanya Donghae dingin pada Henry ketika dokter pribadinya datang untuk mengecek keadaanya pagi ini.
"Kau bisa pulang jika keadaanmu sudah benar-benar baik. Lagipula kenapa kau tidak nikmati saja waktu santaimu di sini. Bukankah selama ini kau jarang mengambil libur?" Ucap Henry santai. Donghae sudah terlihat bersungut-sungut dan ingin melempar Henry dengan vas bunga agar kepala pria itu dapat berpikir dengan jernih.
"Sialan kau! Kau pikir aku suka mengambil liburan dengan terjebak di tempat seperti ini, lebih baik aku menghabiskan waktuku untuk menangani puluhan proyek daripada harus bertingkah seperti pria cacat seperti ini."
"Santai Hae, kau benar-benar seperti wanita PMS. Ngomong-ngomong bagaimana dengan penjahat-penjahat yang menembakmu kemarin, apa mereka sudah tertangkap?" Tanya Henry mengganti topik. Setelah pria itu menuliskan hasil pemeriksaannya, ia memutuskan untuk mengambil tempat di sebelah Donghae untuk sedikit bercakap-cakap dengan Donghae terkait pelaku penembakan yang berbuat ulah di dalam bar milik sahabatnya itu.
"Para bajingan itu, tentu saja mereka sudah membusuk di penjara. Anak buahku sudah membereskan mereka saat itu juga. Ternyata mereka hanyalah kumpulan orang-orang miskin yang ingin mengeruk sedikit hartaku. Sayangnya salah satu dari mereka melakukan hal bodoh dengan melepaskan tembakan asal-asalan yang berakhir dengan bersarangnya peluru mereka di dadaku, sehingga mereka tidak jadi mendapatkan apapun selain kesengsaraan di dalam penjara karena aku telah mengerahkan seorang pengacara terbaik agar mereka, para bajingan itu benar-benar membusuk di penjara. Dan sejujurnya dengan adanya insiden itu aku juga dapat mengetahui topeng kebusukan Lee Jonghyun, karena ternyata dia benar-benar rekan bisnis yang sangat mengecewakan. Aku sudah menyebarkan berita kebusukannya pada seluruh pebisnis di Korea, kujamin setelah ini dia tidak akan mendapatkan proyek apapun dari mereka." Ucap Donghae berapi-api dengan seringaian licik di wajahnya. Henry memandang sahabatnya dengan perasaan ngeri yang tiba-tiba menguar dari tubuhnya. Tak bisa ia pungkiri jika Donghae adalah seorang pebisnis yang sangat berpengaruh di Korea dan di beberapa negara lain di luar negeri. Berani berbuat macam-macam dengannya, maka sama saja menggali kuburanmu sendiri. Tapi yang tak habis pikir, kenapa ia bisa menjalin persahabatan dengan Donghae? Kenapa ia bisa bertahan bersama dengan seorang teman yang sangat kejam dan berkuasa seperti Lee Donghae?
"Hey, apa kau mendengarkanku?"
"Apa?"
Henry berseru bingung sambil menatap Donghae tak mengerti. Pria itu tampak meringis kecil sambil meminta Donghae untuk mengulangi ucapannya.
"Ck, dasar! Jadi begini, selama aku dirawat di rumah sakit, tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku merasa, aku tidak bisa hidup dengan pola seperti ini seumur hidupku. Meskipun aku sebenarnya sangat menikmati kehidupanku ini, tapi ada saatnya aku membutuhkan seseorang untuk berdiri di sampingku dan menjadi pewaris dari semua asetku. Aku ingin memiliki seorang anak."
"Apa! Kau ingin memiliki seorang anak? Lelucon macam apa ini. Bukankah selama ini kau selalu bangga dengan gelar bujangan paling diinginkan di Korea, kupikir kau tidak akan pernah berpikir untuk menikah dan memiliki anak-anak yang lucu untuk menemani masa tuamu. Apa kau baru saja mengalami cedera kepala?" Tanya Henry dengan gelak tawanya yang menyebalkan. Rasanya kedua tangan Donghae sudah gatal untuk menghajar wajah Henry yang kurangajar itu. Tapi sayangnya saat ini ia sangat membutuhkan bantuan Henry. Hanya Henry yang bisa mewujudkan keinginannya untuk mendapatkan seorang anak yang dapat meneruskan perusahaanya.
"Memangnya apa salahnya jika memiliki seorang anak. Sekarang usiaku sudah tiga puluh delapan tahun, sudah sepantasnya aku memikirkan untuk memiliki seorang penerus. Dan ngomong-ngomong soal menikah, aku sama sekali tidak berniat untuk menikah, karena aku hanya menginginkan seorang anak."
"Lalu bagaimana caranya kau akan memiliki anak jika kau tidak menikah? Apa kau ingin melahirkan anakmu sendiri." Ucap Henry tak habis pikir. Donghae mendengus kesal di sebelah Henry dan mulai meragukan kemampuan sahabatnya yang seharusnya berotak jenius itu.
"Kupikir kau benar-benar dokter yang sangat bodoh! Kau, carikan aku seorang wanita yang bisa menampung benihku dan melahirkan anakku, kau bisa menggunakan teknik inseminasi buatan pada wanita itu, sehingga aku tidak perlu menghamilinya apalagi menikahinya untuk memiliki anak."
"Kau gila! Kau pikir di dunia ini ada wanita yang seperti itu. Jika kau menginginkan wanita yang tidak mau kau nikahi tapi bersedia mengandung anakmu, kau hanya akan mendapatkan seorang pelacur yang tak berkualitas. Mereka tidak akan bisa melahirkan seorang keturunan Lee yang benar-benar sesuai dengan keriteriamu."
"Oleh karena itu aku memintamu untuk mencarikanku wanita baik-baik. Aku tidak mau anakku lahir dari seorang pelacur, aku hanya ingin anakku lahir dari seorang wanita baik-baik dan masih suci." Ucap Donghae dengan nada ponggah. Mendengar hal itu rasanya Henry sudah ingin mengangkat tangannya untuk menyerah. Lagipula kemana ia harus mencari wanita baik-baik yang hanya bersedia untuk menjadi wadah bagi penerus seorang Lee Donghae. Di dunia ini tidak ada wanita yang mau diperlakukan dengan tidak terhormat seperti itu. Bahkan meskipun Donghae berani membayar dengan harga tinggi sekalipun, ia tidak yakin jika ada seorang wanita yang bersedia melakukan hal itu untuk Donghae.
"Aku tidak yakin apakah aku bisa menemukan wanita seperti itu atau tidak. Lagipula kenapa kau tidak mencoba untuk membangun sebuah rumah tangga? Kupikir itu akan bagus untuk dirimu dan bisa mengatasi rasa kesepianmu selama ini. Jika kau memiliki isteri, kau akan disambut dengan penuh cinta setelah pulang kerja, kau juga akan dilayani setiap saat. Aku yakin kehidupanmu akan jauh lebih indah jika kau memiliki seseorang yang akan selalu berada di sisimu. Kau pasti akan bahagia Hae." Ucap Henry sungguh-sungguh. Namun ucapan Henry itu justru membuat wajah Donghae kian murung dan mendung. Pria itu jelas tidak suka dengan nasihat yang diberikan oleh Henry.
"Kehidupan seperti itu hanya akan kau temukan di dalam buku dongeng anak-anak. Bahkan ayahku yang sangat hebat itu, tidak mampu mewujudkannya dengan segala kekuasaan yang ia miliki. Saat aku berusia empat tahun, ibuku pergi meninggalkan ayahku dengan pria lain yang merupakan cinta sejatinya. Wanita brengsek itu meninggalkanku sendirian dengan luka menganga dan hati penuh kebencian pada sosok yang dinamakan ibu. Bahkan sampai sekarang aku berharap untuk tidak pernah mengetahui ibuku jika wanita itu hanya datang untuk membawa kebencian di hatiku."
Donghae menceritakan masa kecilnya yang menyakitkan dengan aura menyeramkan yang menguar dari dalam dirinya. Setiap masa lalu menyakitkan yang ditorehkan ibunya benar-benar telah mengubah sosok polos anak kecil yang suci menjadi sosok anak kecil yang penuh dendam. Bahkan Donghae saat berusia tujuh tahun sudah berambisi untuk membunuh ibu kandungnya. Tapi keinginan itu berhasil ia cegah karena pengasuhnya yang sangat baik hati senantiasa memberinya nasihat untuk menjadi pria yang baik. Meskipun pada akhirnya ia tetap tumbuh menjadi pria brengsek, tapi setidaknya ia belum membunuh ibu kandungnya, meskipun ia sangat ingin melakukannya.
"Pengalaman masa kecilmu mungkin memang tidak menyenangkan. Tapi kenapa kau tidak mencobanya sekali untuk membuktikan sugestimu itu jika wanita adalah makhluk yang jahat, bukan makhluk yang membawa cinta. Kupikir kehidupanmu tidak akan sama dengan ayahmu. Kau membawa garis takdir sendiri dari Tuhan." Nasihat Henry bijak. Tapi sepertinya Donghae sudah benar-benar menutup hatinya dan memilih untuk tidak mendapatkan nasib sial seperti ayahnya, meskipun hal itu belum tentu akan terjadi pada dirinya.
"Terserah apa katamu, tapi aku benar-benar tidak ingin memiliki ikatan dengan wanita manapun. Dan yang kuinginkan saat ini hanyalah seorang putra yang dapat mewarisi semua aset-aset milikku. Jadi apa kau bisa melakukannya?"
Henry menghembuskan nafasnya pelan dan akhirnya ia mengangguk. Persahabatannya dengan Lee Donghae sudah lama terjalin, dan ia tidak mungkin bisa mengabaikan keinginan Donghae begitu saja. Bagaimanapun pria itu sudah banyak membantunya selama ini, dan ia merasa harus membalas kebaikan Donghae salama ini.
"Aku akan mencobanya. Beristirahatlah, aku akan datang lagi pukul tujuh untuk mengecek kondisimu." Ucap Henry pelan sebelum pergi meninggalkan Donghae sendiri di dalam kamarnya dengan segala kebosanan yang mencekik sang penghuni kamar.
-00-
Yoona meringkuk sendiri di depan sebuah toko yang tutup sambil memeluk tubuhnya yang menggigil. Masih teringat jelas di kepalanya bagaimana sang eomma memarahinya habis-habisan dan mengusirnya dari rumah karena ia belum memasak makanan untuk makan malam. Padahal semua itu ia lakukan bukan karena tanpa alasan. Sore ini ia merasa tidak enak badan dan kepalanya terasa berputar. Ia kemudian memutuskan untuk beristirahat sedikit lebiyh lama agar kondisi tubuhnya menjadi lebih baik. Tapi siapa sangka jika eommanya hari ini sedang mengalami masalah di tempat kerjanya, sehingga hal itu berimbas padanya yang sedang sakit. Dengan kasar eommanya membentak-bentaknya dan melemparkan dirinya keluar rumah. Meskipun ia sudah memohon-mohon pada eommanya untuk tidak mengusirnya, tapi sang eomma seperti tuli dan tidak mendengarkan jeritan memilukannya. Dan pada akhirnya ia berakhir di depan sebuah toko yang sudah tutup dengan cuaca Seoul yang benar-benar tak bersahabat. Berkali-kali Yoona menggigil kedinginan karena terpaan angin musim gugur yang tidak bersahabat. Apalagi ia hanya menggunakan kaos tipis dan juga celana pendek selutut yang sama sekali tidak akan melindunginya di cuaca ekstrim musim gugur yang akan memasuki musim dingin.
Perlahan-lahan Yoona mencoba memejamkan matanya sambil membayangkan kehidupannya yang dulu penuh kebahagiaan. Sebelum ayahnya terkena PHK karena stroke, kehidupannya benar-benar bahagia. Ia hidup bahagia seperti gadis-gadis seusianya dan juga mengenyam pendidikan yang layak. Namun ketika ayahnya mulai sakit-sakita saat ia menginjak bangku senior high school, sikap ibunya mulai berubah. Ibunya sering uring-uringan dan memarahinya tanpa sebab yang pasti. Ibunya juga beberapa kali menyalahkan ayahnya atas kehidupan sialnya yang harus merawat seorang suami yang lumpuh. Lalu ketika ia berada di tahun terakhir senior high school ibunya menyuruhnya untuk berhenti sekolah. Padahal ia ingin melanjutkan sekolahnya agar ia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi ibunya memaksanya untuk berhenti dan tidak mau membiayai sekolahnya lebih lanjut. Akhirnya sejak lima bulan yang lalu ia menjadi pengangguran dan hanya bisa merawat ayahnya di rumah. Ia tidak bisa mencari pekerjaan di luar sana, karena ia hanya memiliki ijzah junior high school, padahal kebanyakan para pencari karyawan menginginkan seorang pegawai yang minimal menempuh pendidikan seniro high school, sehingga ia benar-benar tidak bisa menghasilkan apapun dan hanya meratapai nasibnya yang menyedihkan sambil merawat ayahnya yang sakit.
Yoonapun kembali merapatkan tubuhnya sambil menyandarkan kepalanya pada sudut dinding toko yang kotor. Jika ia bisa melewati malam yang beku itu dengan selamat, maka ia bersumpah akan mencari pekerjaan esok pagi untuk bertahan hidup. Tapi jika ia tidak bisa melewatinya dan mati kedinginan di sana, maka ia hanya berharap semoga keluarganya mendapatkan kehidupan yang lebih baik, terutama ibunya agar sang ibu tidak terus menerus mengalami siksaan batin karena kehidupan miskin mereka.
"Tuhan, aku mohon berikan yang terbaik untuk mereka."
-00-
Donghae berjalan terburu-buru ke dalam rumah sakit setelah ia mendapatkan panggilan dari Henry terkait wanita yang akan mengandung anaknya. Ini sudah seminggu sejak ia keluar dari rumah sakit dan akhirnya Henry mengabarkan jika ia telah menemukan wanita yang tepat untuk menjadi ibu dari anaknya. Ia pun segera datang ke rumah sakit meskipun ia tengah berada di dalam meeting penting. Lagipula yang terpenting saat ini adalah calon keturunannya, meeting dan uang miliaran won tidak akan ada gunanya jika ia tidak memiliki penerus untuk mewarisinya.
"Dimana wanita itu?"
Donghae langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan Henry dan memberondong pria itu dengan pertanyaannya yang bernada kaku dan dingin. Henrypun menatap Donghae dengan sedikit gusar dan menyuruh Donghae untuk duduk terlebihdahulu sebelum mengatakan berita gembira yang dibawanya.
"Duduklah, ada banyak hal yang ingin kuberitahu padamu."
Donghae pun segera mengambil tempat di depan Henry dengan wajah tak sabar yang tercetak jelas di wajahnya.
"Jadi dimana wanita itu? Aku ingin melihatnya."
"Tenanglah Hae, aku pasti akan membawamu untuk melihat calon ibu dari anakmu. Tapi sebelum kau melihatnya, kau harus mendengarkan semua penjelasan yang akan kupaparkan padamu setelah ini. Penjelasan ini akan berguna untukmu selama kau menjaga ibu dari anakmu, jadi kau harus mendengarkannya baik-baik."
"Cepat jelaskan, aku tidak punya banyak waktu."
Henry mulai membuka map biru yang berisi data-data milik wanita yang akan mengandung anak Donghae. Semua data yang berada di dalam map itu merupakan data yang telah ia kumpulkan selama seminggu ini. Mulai dari riwayat kesehatan, riwayat kesuburan, dan riwayat trauma yang mungkin dialami oleh wanita itu. Dan setelah memeriksanya, Henry merasa yakin jika wanita itu adalah wanita yang tepat untuk mengandung penerus Lee Donghae.
"Jadi aku telah melakukan pemeriksaan padanya selama seminggu ini, dan dari hasil pemeriksaan yang kudapatkan, wanita ini sangat sehat secara fisik dan psikis, ia hanya memiliki penyakit darah rendah ringan yang tidak akan berpengaruh banyak terhdapa dirinya jika ia mengandung. Dan yang terpenting ia juga masih perawan, ia belum tersentuh oleh pria manapun, jadi kupikir dia sangat cocok untuk menjadi ibu dari anakmu Hae."
Donghae mengangguk-anggukan kepalanya mengerti dan mulai terlihat serius untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Henry.
"Dimana kau menemukan wanita itu? Siapa namanya dan bagaimana keluarganya. Apa ia akan bersedia begitu saja untuk mengandung anakku?" Tanya Donghae bertubi-tubi. Henry terlihat bingung untuk menjawab pertanyaan Donghae karena pria itu langsung membombardirnya dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Sebenarnya aku baru mengetahui namanya dua hari yang lalu setelah ia benar-benar sadar dari masa kritisnya. Wanita itu kutemukan tergeletak di pinggir jalan dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Wajahnya pucat dan ia hampir mati membeku di tengah cuaca Korea Selatan yang sangat ekstrim. Ia bernama Im Yoona dan wanita itu berumur delapan belas tahun."
"Sialan kau! Kau ingin membuatku terlihat seperti pedofil bajingan yang menghamili seorang gadis ingusan. Aku tidak mau jika wanita itu yang akan menjadi ibu dari anakku, cari saja wanita lain." Tolak Donghae mentah-mentah. Henry mengerutkan alisnya kesal sambil memandang Donghae tidak setuju. Mencari wanita dengan kriteria tinggi seperti permintaan Donghae sangat sulit, dan mendapatkan Yoona sebagai satu-satunya kandidat yang akan mengandung anak Donghae merupakan sebuah keajaiban yang mungkin tidak akan pernah ia temukan di lain waktu, jadi mau tidak mau Donghae memang harus menerimanya.
"Dia adalah satu-satunya wanita yang memenuhi kriteria yang kau buat, jadi terima saja. Toh gadis muda atau tua sama saja, yang penting mereka bisa mengandung anakmu dengan selamat hingga waktu persalinan tiba. Jadi terima saja wanita itu. Lagipula ia juga memiliki wajah manis dan mata bulat yang cantik, anakmu pasti akan terlahir dengan wajah sempurna yang diwarisi dari kedua orangtuanya." Ucap Henry setengah memaksa. Donghae mendengus kesal dengan penawaran dari Henry yang cukup menggiurkan itu. Meskipun ia memang tidak setuju dengan gadis itu, tapi apa yang dikatakan oleh Henry benar, usia bukanlah alasan untuk menolak wanita itu, selama ia bisa hamil dan melahirkan anaknya, maka semuanya tidak jadi masalah. Sekarang yang harus ia pastikan adalah, apakah gadis itu bersedia untuk mengandung anaknya?
"Baiklah, kurasa usia bukan masalah. Lalu apakah ia bersedia untuk mengandung anakku? Jika kau sudah memanggilku untuk datang, seharusnya wanita itu benar-benar bersedia. Aku tidak menerima penolakan atau harapan palsu." Ucap Donghae ketus.
"Aku.... belum menanyakan hal itu secara langsung, tapi sepertinya ia akan setuju. Ia wanita sebatang kara yang tidak memiliki tempat tinggal. Kemarin saat aku datang untuk menanyakan beberapa hal pribadi, ia tampak begitu gelisah dengan kehidupannya karena ia tidak memiliki uang sepeserpun untuk hidup. Bahkan ia sempat memohon padaku untuk membiayai biaya rumah sakitnya terlebihdahulu dan ia berjanji akan menggantinya setelah ia mendapatkan pekerjaan. Tapi aku belum mengiyakan permintaanya karena kurasa hal itu akan sangat berguna untuk rencanamu mendapatkan keturunan, jadi bagaimana? Apa kau bersedia menggunakan wanita itu dan menampungnya?"
Donghae bangkit dari tempat duduknya sambil menatap Henry dengan sikap congkak.
"Aku ingin melihat wanita itu terlebihdahulu. Aku tidak mau membeli kucing dalam karung." Ucap Donghae penuh kuasa dan langsung dibalas Henry dengan anggukan meyakinkan.
"Aku akan mengantarmu untuk melihatnya sekarang."
-00-
Donghae manatap tubuh Yoona dalam diam dari balik kaca tebal yang memisahkan ruang perawatan Yoona dengan ruang tunggu di luar ruangan Yoona. Disebelahnya Henry tampak menunggu reaksi Donghae sambil berharap sahabatnya itu tidak banyak protes setelah melihat kondisi Yoona yang sebenarnya, karena ia sendiri sudah putus asa untuk mencari wanita yang tepat untuk mengandung calon anak sahabatnya itu. Lagipula sebelum ia memutuskan untuk menggunakan Yoona, ia sudah berusaha untuk mencari calon kandidat wanita yang benar-benar cocok untuk Donghae. Tapi sayangnya ia tidak bisa menemukan wanita yang benar-benar tepat untuk Donghae, dan hanya memiliki Yoona sebagai satu-satunya wanita yang bisa ia jadikan ibu bagi anak Donghae nantinya.
"Bagaimana, bukankah ia cantik dan cocok untuk menjadi ibu dari anakmu?"
"Kenapa ia sangat kurus? Kau yakin ia bisa mengandung anakku hingga waktu melahirkan nanti?" Tanya Donghae sangsi. Henry mendengus kesal dan langsung menjawab pertanyaan Donghae dengan nada ketus.
"Setelah mempermasalahkan usianya, sekarang kau ingin mempermasalahkan ukuran tubuhnya? Oh yang benar saja, demi Tuhan hal itu tidak penting Hae! Yang penting ia sehat dan bisa mengandung anakmu tanpa ada suatu masalah apapun karena aku sudah memeriksanya. Ia juga sedang dalam masa suburnya sekarang, sehingga jika kau mau, kau bisa melakukan inseminasi itu hari ini."
Kedua mata Donghae masih tak lepas dari tubuh kurus Yoona yang sedang terbaring lemah di atas ranjang. Padahal seharusnya gadis itu sudah membuka matanya sejak dua hari yang lalu, kenapa sekarang ia justru tidur?
"Ia tidak membuka matanya?"
"Aku sengaja memberi dosis obat tidur lebih tinggi agar ia bisa beristirahat lebih lama. Apa kau tahu berapa tekanan darahnya saat aku menemukannya seminggu yang lalu, lima puluh Hae. Bahkan aku sedikit kesulitan ketika ingin mengambil sampel darahnya karena jumlah keping darahnya yang sangat sedikit. Tapi hari ini tekanan darahnya sudah normal karena pola penyembuhan yang kulakukan. Jadi bagaimana?"
Henry menatap wajah Donghae penuh harap untuk menunggu sahabatnya untuk menganggukan kepala dan mengatakan jika ia setuju untuk menggunakan gadis itu, pasalnya ia sudah putus asa dan menyerah untuk mencarikan Donghae seorang wanita yang bersedia untuk mengandung anaknya tanpa menuntut apapun dari Donghae.
"Apa kau yakin jika ia benar-benar siap untuk digunakan? Aku tidak mau jika harus melakukan prosedur inseminasi berkali-kali. Aku sangat sibuk, dan mungkin lain kali aku tidak akan memiliki waktu luang seperti ini."
Henry memutar bola matanya jengah dengan sikap sok sibuk dan sok berkuasa Donghae, meskipun sebenarnya pria itu memang sibuk.
"Ia lebih dari siap untuk melakukan inseminasi hari ini. Apa kau ingin melakukannya sekarang?"
"Bukankah lebih cepat lebih baik?" Ucap Dongae dengan seringaian penuh arti di wajahnya dan segera mengikuti Henry untuk melakukan serangkaian tes di dalam lab.
-00-
Yoona membuka matanya perlahan dan ia langsung dibuat terkejut dengan kemunculan seorang pria asing yang sedang duduk santai di sudut ruang perawatannya dengan kedua mata yang menatap tajam kearahnya. Sekilas Yoona menjadi gugup dan ia langsung menyembunyikan wajahnya di dalam selimutnya. Namun ketika suara bass itu mengalun keras dan menyuruhnya untuk menurunkan selimutnya, Yoona tak memiliki pilihan selain menuruti perintah dari pria asing itu.
"Turunkan selimutmu, aku ingin berbicara denganmu Im Yoona."
Yoona mengernyitkan dahinya bingung ketika pria itu ternyata mengetahui namanya. Padahal ia sangat yakin jika ia belum pernah bertemu dengan pria itu. Bahkan setelah ia dirawat selama dua minggu di rumah sakit ini, ia sama sekali belum pernah melihat pria itu. Satu-satunya pria yang ia lihat selama ini adalah dokter Henry, dokter tampan dan baik hati yang selama ini selalu memperlakukannya seperti adiknya sendiri.
"Aaanda siapa? Kenapa anda mengetahui namaku?" Tanya Yoona kikuk dengan nada formal. Donghae berjalan mendekati Yoona dan ia merasa ingin tertawa ketika mendengar cara Yoona berbicara yang terdengar seperti alien.
"Namaku Lee Donghae, aku adalah ayah dari bayi yang kau kandung."
Sumpah demi apapun, saat mengatakan hal itu Donghae rasanya ingin mencabut lidahnya sendiri karena ia merasa sangat aneh. Bahkan ia masih tidak menyangka jika ia sekarang sudah terikat dengan seorang anak kecil seperti Yoona karena kehadiran calon buah hati mereka yang sedang berkembang di dalam rahim Yoona. Kemarin Henry menghubunginya jika inseminasi itu berhasil dan saat ini calon bayinya sedang berkembang di dalam rahim Yoona.
"Ayah? Aaaku hamil?" Tanya Yoona tak percaya dengan wajah pucat. Di kepalanya sudah bersarang berbagai macam pikiran buruk terkait dengan kehamilannya yang sangat mendadak. Padahal ia yakin jika selama ini tidak pernah melakukan apapun dengan seorang pria manapun. Bahkan ia sendiri tidak memiliki kekasih. Ditambah lagi selama ini ia selalu menghabiskan waktunya di dalam rumah sakit tanpa pernah berinteraksi dengan seorang pria manapun. Lalu bagaimana mungkin jika ia sedang hamil sekarang?
"Ceritanya panjang, tapi yang jelas aku serius dengan ucapanku. Dan kau tidak perlu heran jika ayah dari bayi yang kau kandung adalah aku."
"Anda terlihat lebih tua dariku."
Rasanya Donghae ingin merobek mulut lancang Yoona yang secara tidak langsung mengatakan jika ia tua. Memang ia jauh lebih tua, usia mereka bahkan terpaut dua puluh tahun. Tapi apakah usia memang penting di tengah keadaan genting yang memaksanya untuk segera memiliki seorang calon penerus.
"Ya aku tahu, bahkan kau tidak perlu memperjelasnya jika usia kita memang terpaut sangat jauh, dua puluh tahun! Tapi aku tak peduli. Bagiku usia bukan halangan untuk memiliki seorang anak." Jawab Donghae ketus. Yoona tampak ketakutan dengan reaksi Donghae yang kasar dan juga galak itu, padahal ia tidak berniat untuk mengolok pria itu, meskipun ia cukup terkejut dengan fakta baru yang diketahuinya jika ia dan pria itu terpaut dua puluh tahun.
"Dimana dokter Henry? Aku belum melihatnya hari ini." Ucap Yoona tiba-tiba. Donghae menatap Yoona sekilas dan kembali tenggelam dalam puluhan email yang masuk ke dalam ponselnya. Lagipula untuk apa wanita itu mencari dokter bodoh itu jika pria yang akan menjadi pelindungnya selama sembilan bulan kedepan sudah berada di sini. Dan lagi, wanita itu seharusnya merasa beruntung karena sedang mengandung bayi dari seorang Lee Donghae, bujang paling diinginkan seantero Korea.
"Dia sedang memeriksa pasien lain di lantai lima, tapi ia akan datang sebentar lagi untuk mengijinkanmu pulang."
"Pulang? Kemana aku harus pulang, bahkan aku tidak punya rumah untuk pulang." Gumam Yoona pelan. Namun Donghae masih bisa mendengar gumaman Yoona yang sangat lirih itu.
"Kau akan pulang ke rumahku. Mulai sekarang kau akan tinggal di rumahku sampai anakku lahir."
"Pulang ke rumah paman? Tapi apakah boleh?"
Donghae manatap Yoona tajam ketika wanita itu memanggilnya dengan panggilan paman. Rasanya sekarang ia seperti seorang pedofil yang baru saja menghamili keponakannya. Ia benar-benar tidak suka dengan pikirannya sendiri.
"Jangan panggil aku paman. Kau membuatku terlihat sangat tua. Panggil saja aku Lee Donghae."
"Tapi rasanya itu sangat tidak sopan, paman Donghae." Sela Yoona cepat dengan suara kecil di akhir kalimatnya. Donghae mendengus kesal dan lebih memilih untuk membiarkan Yoona dengan segala panggilannya yang aneh. Lagipula hari ini ia sedang tidak ingin berdebat dengan seorang anak kecil seperti Yoona, apalagi hal itu hanya dikarenakan sebuah nama. Rasanya terlalu menggelikan untuk dilakukan oleh seorang pria dewasa sepertinya.
Setelahnya suasana di dalam ruangan itu menjadi hening. Donghae yang tengah berkutat dengan pekerjaanya memilih untuk mendiamkan Yoona dan membuat wanita itu berspekulasi sendiri terhadap dirinya. Toh ia tidak peduli jika Yoona menganggapnya sebagai pria brengsek pedofil yang menyukai wanita dibawah umur. Dan jika Henry datang nanti, ia akan membuat pria itu mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah memilih gadis dibawah umur untuk mengandung anaknya.
"Selamat siang."
Tiba-tiba pintu putih di ujung kanan ruangan terbuka dan memunculkan sosok Henry yang sedang membawa sebuah stetoskop di tangannya. Pria itu tersenyum lembut pada Yoona dan tampak mengabaikan kehadiran Donghae di dalam ruangan itu.
"Dokter Henry." Ucap Yoona sumringah sambil melambai ke arah Henry. Yoona langsung menegakan duduknya ketika Henry berdiri di sebelahnya dan mulai mengecek kondisi Yoona hari ini.
"Kau sepertinya sudah benar-benar sembuh. Apa kau sudah siap untuk pulang?"
Yoona mengangguk pelan sambil melirik Donghae yang masih berkutat dengan ponselnya. Henrypun mengikuti arah pandang Yoona dan langsung sadar jika ia harus menjelaskan kondisi Yoona yang sebenarnya saat ini.
"Kau pasti sudah mengetahui siapa pria itu bukan?"
"Hmm, paman Lee Donghae, ayah dari bayi yang sedang kukandung."
Seketika Donghae melirik Yoona dan Henry bergantian karena saat ini Henry sedang menahan tawanya yang hampir pecah karena mendengar ucapan Yoona.
"Kau memanggilnya dengan sebutan paman? Itu memang pantas untuknya." Tambah Henry sambil menatap Donghae dengan pandangan mengejek. Pria berwajah tampan itu kemudian kembali pada Yoona, dan kini tatapan matanya lebih serius, ia akan menjelaskan pada Yoona sekarang apa yang sedang terjadi pada gadis itu.
"Yoona, setelah ini kau akan tinggal bersama Donghae. Pria itu, ia akan melindungimu dan bayi yang sedang kau kandung dengan sepenuh hati karena Lee Donghae membutuhkan bayi itu untuk meneruskan garis keturunannya. Dan setelah kau melahirkan nanti, kau bisa hidup bebas tanpa harus memikirkan bayi itu, karena dia akan menjadi tanggungjawab Donghae sepenuhnya."
"Jadi aku hanya wadah?" Tanya Yoona pelan dengan wajah sendu. Henry tampak tak tega dan ingin meralat kata-kata wanita itu, jika ia bukan hanya sekedar wadah, tapi ia adalah ibu dari anak itu. Tapi sayangnya Donghae langsung menatapnya tajam dan memberi isyarat padanya untuk tidak mengatakan apapun. Sepertinya Donghae ingin Yoona tidak terlalu berharap lebih pada kehamilan yang sedang dialaminya karena Donghae nantinya sama sekali tidak akan memasukan Yoona ke dalam hidupnya dan juga anaknya.
"Ya, kau adalah wadah untuk calon anakku. Jadi selama kau sedang mengandung anakku, kau adalah tanggungjawabku."
Tiba-tiba Donghae bersuara dingin dan berjalan cepat mendekati Henry dan Yoona. Pria itu berdiri tepat di sebelah Henry dan menatap wajah Yoona tajam yang sedang menunduk. Dan setelah Donghae mengucapkan hal itu, suasana disekitar mereka menjadi hening dan kikuk. Yoona yang sedang ditatap oleh dua orang pria sekaligus menjadi gugup dan hanya terdiam sambil memilin ujung selimut yang digunakannya. Sedangkan Henry tampak kesulitan untuk memilih kata-kata yang tepat untuk Yoona karena apa yang dikatakan oleh Donghae meskipun menyakitkan, tapi tidak sampai mengganggu Yoona.
"Aku akan melindungi bayi ini dengan seluruh nyawaku, karena bagaimanapun bayi ini adalah anakku. Ia memiliki sebagian dari diriku, meskipun hanya sedikit. Dan aku tidak keberatan dengan penawaran yang diberikan paman Donghae, aku akan menjadi wadah untuk bayi ini."
Donghae tersenyum puas dengan jawaban yang diberikan Yoona padanya. Ternyata apa yang dikatakan oleh Henry benar jika Yoona adalah satu-satunya wanita yang tepat untuknya, selain Yoona memiliki paras yang tidak terlalu buruk, Yoona adalah gadis penurut yang tidak banyak membantah, sehingga akan lebih mudah baginya untuk mengatur Yoona selama wanita itu tinggal bersamanya nanti.
"Kalau begitu cepat buatkan surat untuk kepulangannya, aku sudah bosan berada di rumah sakit ini." Ucap Donghae dingin dan terkesan berkuasa. Henry menganggukan kepalanya mengerti dan segera pergi untuk membuatkan surat perijinan pulang untuk Yoona. Namun sebelum Henry benar-benar keluar dari kamar rawat Yoona, ia berharap semoga Donghae benar-benar akan menyayangi Yoona sepenuh hati, karena wanita itu benar-benar wanita malang yang membutuhkan banyak limpahan kasih sayang.
-00-
Yoona turun dari mobil mewah yang dikemudikan Donghae sambil berdecak kagum pada rumah mewah yang menjulang tinggi di depannya. Wanita itu sejak menjejakan kakinya di halaman rumah Donghae yang luas tak henti-hentinya bergumam pelan dan juga terkagum-kagum pada rumah Donghae yang mewah. Sementara itu, Donghae tampak tidak suka dengan sikap norak Yoona yang dinilainya terlalu berlebihan.
"Ayo masuk."
"Paman, ini rumah paman? Bagus sekali."
Donghae menolehkan kepalanya ke belakang sambil mendengus kesal ketika Yoona tak kunjung mengikutinya dan justru sibuk mengagumi rumahnya yang besar. Pria itu dengan gusar menarik tangan Yoona kasar dan segera menyeret tubuh Yoona untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Kau tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu, ini hanya sekedar rumah, bukan surga!"
"Tapi rumah paman sangat indah seperti surga, apa paman hidup sendiri di dalam rumah itu?" Tanya Yoona penuh ingin tahu. Donghae memilih diam dan tidak mau menjawab pertanyaan Yoona lebih jauh karena ia yakin wanita itu pasti akan semakin mengorek hal pribadinya jika ia memberikan jawaban pada wanita itu.
Ketika mereka tiba di ambang pintu, seorang pria tua dengan seragam hitam putih datang menghampiri Donghae sambil membungkukan tubuhnya dalam. Pria itu menatap Yoona bingung dan seketika menatap wajah Donghae untuk meminta jawaban atas kemunculan Yoona yang tiba-tiba.
"Dia adalah Yoona, ibu dari anakku. Ia akan tinggal di sini selama masa kehamilannya, jadi perlakukan dia dengan baik. Penuhi semua kebutuhannya dan jangan sampai terjadi sesuatu padanya, karena hal itu akan berpengaruh pada calon anakku. Apa kau mengerti?"
"Saya mengerti tuan." Ucap pria tua itu penuh hormat. Ia kemudian beralih pada Yoona yang sejak tadi hanya diam sambil menatap seisi rumah milik Donghae dengan mata yang berkilat-kilat kagum.
"Selamat pagi nona, perkenalkan saya adalah Kang Junpyo, kepala pelayan di rumah tuan Donghae. Selama di sini nona akan dilayani oleh nyonya Jang Sunmi dan Kim Hara, mereka adalah pelayan yang bertugas untuk menemani anda."
"Selamat pagi, aku Im Yoona, salam kenal." Ucap Yoona ramah sambil membungkukan tubuhnya sopan pada pelayan-pelayan itu. Donghae memberi isyarat pada tuan Kang untuk mengikutinya ke dalam ruang pribadinya, sedangkan Yoona langsung ia serahkan pada nyonya Jang dan Hara untuk diantarkan ke kamarnya.
"Mari nona saya antarakan ke kamar anda."
"Tapi, paman mau pergi kemana?"
"Bukan urusanmu, beristirahatlah di kamarmu." Ucap Donghae dingin dan langsung berlalu begitu saja tanpa memperhatikan raut wajah Yoona yang berubah mendung.
-00-
Yoona memandangi bintang-bintang dari balkon kamarnya sambil bertopang dagu. Wanita itu saat ini memikirkan banyak hal di dalam kepalanya. Dan sekarang ia merasa merindukan ayahnya. Sudah dua minggu ia tidak bertemu ayahnya. Pasti sekarang ayahnya sedang mengkhawatirkannya karena ia tiba-tiba diusir dan tidak pernah memunculkan batang hidungnya lagi. Tapi jika ia datang untuk menemui ayahnya, ia takut eommanya akan kembali membentaknya dan mengucapkan berbagai kata-kata kasar yang menyakitkan hati, ia merasa trauma atas hal itu. Apalagi sekarang ia tengah mengandung, eommanya jelas-jelas akan semakin mencercanya dengan berbagai kata-kata kasar karena ia langsung hamil dalam kurun waktu dua minggu. Mengingat hal itu rasanya Yoona ingin menangis dan juga berteriak bahagia. Tak pernah ia duga jika kehidupannya akan langsung berubah begitu saja hanya dalam waktu dua minggu. Bahkan ia tidak pernah berpikir jika ia akan mengandung anak dari seorang pria tua yang memiliki kekayaan sangat berlimpah seperti ini.
"Apa yang kau lakukan di sana?"
Suara bass itu mengagetkan Yoona dan membuat Yoona langsung menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu Yoona dapat melihat Donghae sedang melihatnya dengan wajah datar, dan setelah itu Donghae berjalan menghampirinya yang sedang berdiri di depan pagar pembatas balkon.
"Aku sedang melihat bintang. Apa yang paman lakukan di sini?"
"Melihat kondisimu dan juga calon anakku." Jawab Dongghae datar dan terkesan ketus. Yoona memilih untuk mengabaikan Donghae dan kembali terlarut dalam kegiatannya mengamati bintang. Lagipula Donghae juga selalu memasang wajah garang yang membuatnya takut, sehingga ia tidak terlalu suka berlama-lama berinteraksi dengan Donghae.
"Apa kau membutuhkan sesuatu?"
Yoona menoleh ke arah Donghae dengan wajah yang tidak mengerti. Ia merasa semua keperluannya telah dipenuhi oleh nyonya Jang dan juga Hara, karena sejak tadi dua pelayannya itu begitu gigih untuk memberikannya ini dan itu meskipun ia tidak memintanya.
"Maksud paman? Kurasa nyonya Jang dan Hara telah memberikan semuanya." Jawab Yoona apa adanya. Donghae tampak tidak puas dengan jawaban Yoona, namun ia enggan bertanya lebih lanjut dan memilih diam. Rasanya berada di sebelah gadis kecil yang sedang mengandung anaknya sangat aneh dan tidak wajar. Seharusnya saat ini posisi mereka memang sebagai keponakan dan paman, atau yang lebih manusiawi adalah adik dan kakak, bukan sebagai calon ayah dan ibu. Tapi bagaimanapun juga ini adalah yang terbaik untuk dirinya agar ia bisa segera memiliki calon penerus untuk seluruh harta kekayaanya. Dan lagi-lagi ia harus mengesampingkan usia!
"Paman, rumah paman besar dan luas, apa paman suka tinggal di sini?"
Perlu beberapa saat bagi Donghae untuk menjawab pertanyaan itu, pasalnya selama ini ia jarang tinggal di rumah. Baginya rumah hanyalah tempat singgah untuk sekedar melepas penat dan juga mengerjakan tugas-tugas kantor yang tertunda, jadi ia merasa tidak memiliki rasa apapun terhadap rumah ini.
"Aku tidak tahu, lalu bagaimana denganmu?"
"Aku, aku senang tinggal di sini. Rumah ini luas dan besar. Dulu aku selalu bermimpi untuk tinggal di rumah sebesar ini, tapi saat itu aku jelas tidak akan mungkin memilikinya karena ayahku hanya seorang pegawai kantor biasa yang kemudian mendapat PHK karena penyakit stroke yang menyerangnya dan membuatnya lumpuh. Tapi sayangnya rumah ini sedikit sepi, paman harus memiliki banyak anak untuk meramaikan rumah ini." Ucap Yoona dengan nada santai. Donghae menatap Yoona dengan tatapan aneh yang sulit ia artikan, ia pikir Yoona adalah gelandangan yang sebatang kara.
"Kau memiliki keluarga?"
"Tentu saja, apa paman pikir aku terlahir begitu saja tanpa seorang ayah dan ibu?" Tanya Yoona tergelak. Donghae merasa bodoh sekarang karena baru saja bertanya pada seorang gadis kecil yang begitu polos seperti Yoona.
"Kukira kau adalah gelandangan yang sebatang kara, karena Henry tidak pernah mengatakan padaku jika kau memiliki keluarga." Jawab Donghae santai tanpa memikirkan perasaan Yoona.
"Aku memiliki ayah dan ibu, tapi ibuku mengusirku karena aku tidak mengerjakan perintahnya. Saat itu aku sedang tidak enak badan, kemudian aku memutuskan untuk tidur sebentar sebelum mengerjakan pekerjaan rumahku. Tapi entah kenapa sore itu eomma pulang dalam keadaan yang begitu kacau. Ia marah padaku dan mengusirku dari rumahnya dengan kata-kata yang menyakitkan. Lalu terakhir yang kuingat sebelum berakhir di rumah sakit adalah aku kedinginan di depan sebuah toko dan semuanya menjadi gelap. Mungkin saat itu aku pingsan."
Donghae benar-benar dibuat terkejut dengan cerita masa lalu Yoona yang kelam. Ia merasa memiliki kesamaan nasib dengan Yoona, mereka sama-sama dikecewakan oleh ibu mereka yang seharusnya menjadi sosok lemah lembut dan juga peyanyang. Tapi melihat Yoona yang bercerita dengan begitu tenang, ia merasa jika gadis itu sama sekali tidak memiliki emosi terhadap ibunya. Padahal ia sendiri sejak dulu, selalu merasa marah dan ingin sekali membunuhnya karena sikap kejam ibunya yang rela meninggalkan keluarganya demi pria lain yang merupakan cinta sejatinya.
"Apa kau membenci ibumu?"
"Tidak. Saat aku ingin membencinya, aku selalu ingat akan perjuangannya untuk melahirkanku dan membesarkanku, jadi aku tidak akan membencinya. Lagipula eomma seperti itu karena himpitan ekonomi yang mencekik kehidupan kami. Appa mengalami stroke di usia kerja, lalu tiba-tiba ia diPHK dan kami tidak memiliki pemasukan lain selain dari pekerjaan appa, padahal appa membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya, sehingga eomma harus menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi penyanyi di sebuah bar. Sebenarnya aku ingin membantu eomma dan bekerja, tapi aku tidak lulus high school. Aku keluar sebelum sempat melaksanakan ujian, sehingga aku tidak memiliki ijazah high school."
"Kau memiliki kehidupan yang rumit, tapi kau bisa menjalaninya dengan penuh semangat. Kau pasti adalah gadis yang kuat. Bahkan aku mungkin tidak bisa melakukannya sama sepertimu. Pantas jika Henry begitu kagum denganmu dan memintaku untuk selalu melindungimu dengan adanya bayi itu."
"Hoaaamm.."
Tiba-tiba Yoona menguap lebar dengan mata berair yang hampir mentes dari sudut matanya. Donghae kemudian mendorong Yoona untuk masuk ke dalam kamarnya dan tidur. Lagipula ini sudah sedikit larut, dan ia tidak ingin Yoona kelelahan yang akan berakibat pada terganggunya tumbuh kembang bayinya.
"Cepat tidur, aku tidak mau perkembangan anakku terganggu karena ibunya suka tidur larut malam."
Yoona terkikik geli ketika Donghae mendorongnya ke atas ranjang dan menyelimutinya hingga sebatas dagu. Sekarang ia benar-benar mirip seperti anak kandung Donghae.
"Selamat malam paman, jangan lupa istirahat agar paman juga tidak kelelahan."
Setelah itu Yoona segera memejamkan matanya dan mulai hanyut ke dalam alam mimpi. Sedangkan Donghae yang masih setia berdiri di depannya hanya mampu memandang Yoona datar dengan segala pikirannya tentang sosok Yoona yang banyak belum ia ketahui.
-00-
Memasuki minggu ke delapan kehamilannya, Yoona mulai merasakan apa itu yang dinamakan morning sickness. Setiap pagi, pukul empat, Yoona selalu terbangun dengan sensasi mengerikan yang terasa mengocok-ocok perutnya. Pagi ini pun ia langsung berlari ke dalam kamar mandi untuk menumpahkan seluruh isi perutnya yang tidak seberapa. Sejak semalam ia tidak bisa makan terlalu banyak karena perutnya tidak terlau nyaman untuk digunakan makan, dan sekarang ia harus memuntahkan seluruh hasil makanannya yang benar-benar sedikit, lalu apa yang akan didapatkan calon anaknya nanti?
"Apa kau sudah selesai?"
Donghae mengintip dari ambang pintu dengan perasaan jijik. Sejak Yoona mengalami morning sickness, ia menjadi lebih sering menemani Yoona. Terkadang ia sengaja tidur di kamar Yoona agar ia bisa membantu wanita itu saat mengalami morning sicknessnya, meskipun pada akhirnya ia hanya akan berdiri sejauh tiga meter dari Yoona karena merasa jijik.
"Bel.. hueekk.."
Lagi-lagi Yoona memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya sudah kosong. Hanya kumpulan lendir putih yang begitu pahit juga menyakitkan, membuatnya benar-benar lemas hingga ia tidak bisa menopang tubuhnya sendiri dan hanya berjongkok di depan kloset dengan kepala yang terkulai lemah di samping. Donghae pun akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar mandi, meskipun ia sangat jijik dengan semua muntahan Yoona. Tapi melihat Yoona yang benar-benar lemas karena anaknya membuat Donghae tidak tega dan memutuskan untuk menggendong Yoona dari kamar mandi.
"Apa kau masih ingin muntah?"
"Tidak, tapi aku sangat lemas paman." Ucap Yoona pelan sambil bersandar di dada bidang Donghae. Sekilas ketika melihat Yoona yang sedang menyandarkan kepalanya pada dada bidangnya, membuat Donghae teringat akan malam-malam menyiksa yang selama ini ia alami. Ketika ia memutuskan untuk tidur di kamar Yoona, terkadang ia merasakan dorongan untuk menyerang Yoona. Dan hal itu sering membuatnya tidak bisa tidur, dan hanya menatap nyalang pada langit-langit kamar dengan gairah yang membuncah di dalam dirinya. Dan yang paling parah, akhir-akhir ini Yoona sering tidur sambil memeluk lengannya, membuatnya semakin tersiksa dan ingin menerkam Yoona saat itu juga. Tapi ia terus menjaga akal sehatnya dengan menanamkan pada dirinya jika Yoona hanyalah gadis ingusan yang sedang hamil. Dan ia telah bersumpah bahwa ia tidak akan pernah menyentuh seorang gadis ingusan seperti Yoona, karena itu sama saja menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang pria dewasa. Tapi tetap saja Yoona mampu membuatnya sakit dan harus berendam di bak air dingin keesokan harinya.
"Apa kau ingin minum?"
Yoona mengangguk lemah dan berusaha menggapai gelas air putihnya yang berada di meja kecil di samping tempat tidurnya. Namun tangan Donghae langsung menghentikannya dan ia yang mengambilkan air putih itu untuk Yoona.
"Nanti kita ke rumah sakit, akhir-akhir ini morning sicknessmu sudah semakin parah."
Yoona mengangguk lemah dan tampak begitu penurut. Semua tenaganya saat ini sudah terkuras habis untuk memuntahkan seluruh isi perutnya yang tak seberapa, dan sekarang yang ia inginkan hanyalah tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya yang benar-benar lelah.
"Tidurlah. Aku akan menemanimu di sini."
Yoona perlahan-lahan memejamkan matanya dan mulai tertidur dengan dengkuran halus di bibirnya. Ketika Yoona sudah benar-benar tidur, Donghae memberanikan diri untuk mengelus puncak kepala Yoona dan mencium bibir wanita itu dengan lembut. Meskipun ia memang terlihat seperti pria brengsek yang memanfaatkan ketidaksadaran wanita, tapi hanya inilah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk menyentuh Yoona. Ia tidak mungkin melakukan hal ini saat Yoona dalam keadaan sadar karena hal itu akan menampar dirinya sendiri yang selama ini selalu mengolok-olok Yoona dengan sebutan gadis kecil atau gadis ingusan yang tidak bisa membangkitkan gairah pria.
"Gadis kecil, tak kusangka kau bisa membuatku seperti ini." Bisik Donghae pelan di depan bibir Yoona sebelum ia melumatnya lagi dan membuat Yoona tanpa sadar juga menggerakan bibirnya di dalam alam bawah sadarnya untuk mengimbangi ciuman Donghae yang menggebu-gebu.
-00-
"Bagaimana kondisinya, apa ia baik-baik saja?" Tanya Donghae tidak sabar ketika Henry memeriksa kondisi Yoona. Pagi ini Yoona tampak sedikit lebih cerah meskipun ia masih menampakan sisa-sisa morning sicknessnya pagi tadi.
"Tekanan darahnya turun karena selama mengalami morning sickness ia mengalami gangguan tidur dan juga gangguan pola makan. Aku akan memberikan vitamin dan obat anti mual agar morning sicknessnya tidak terlalu parah dan membuatnya menjadi lemah seperti ini."
Donghae mengangguk mengerti dan segera membantu Yoona untuk turun dari ranjang. Sekilas Henry melirik Donghae yang sedang memapah Yoona untuk duduk di atas kursi. Ia pikir Donghae sekarang sudah jauh terlihat lebih manusiawi setelah kehadiran Yoona. Tapi sedikit banyak memang hal itu karena ada bayi yang sedang tumbuh di dalam rahim Yoona, tapi itu jauh lebih baik karena Donghae ternyata sangat memperhatikan Yoona. Dulu saat ia akan melakukan tindakan inseminasi, ia sempat dibuat khawatir dengan sikap Donghae nantinya pada Yoona, karena ia tahu jika Donghae bukan tipe pria penyayang yang akan peduli pada orang lain. Tapi untunglah kehamilan Yoona dapat melunakan sedikit ego Donghae, sehingga sedikit demi sedikit Donghae dapat mengesampingkan egonya yang sangat besar itu.
"Dokter Henry, aku khawatir dengan kondisi bayiku karena aku tidak bisa makan terlalu banyak untuk asupan gizinya. Bahkan makanan yang aku makan terkadang langsung aku muntahkan. Apa hal itu akan mengganggu tumbuh kembang bayiku?" Tanya Yoona khawatir. Henry tersenyum lembut untuk menenangkan Yoona jika semuanya akan baik-baik saja.
"Kau tenang saja, aku sudah memberikan vitamin dan juga suplemen makanan agar tubuhmu dapat menyerap banyak gizi-gizi makanan meskipun kau hanya makan sedikit. Dan jika kau merasa ingin sesuatu, katakan saja pada Donghae, jangan pernah menahan-nahannya karena itu tidak akan bagus." Ucap Henry sambil mengerling penuh arti pada Yoona. Yoona tiba-tiba merasa malu dan hanya menganggukan kepalanya mengerti. Sedangkan Donghae tampak tak mengerti dengan maksud Henry karena selama ini Yoona tidak pernah menunjukan sikap aneh atau menginginkan hal-hal aneh darinya. Atau jangan-jangan Yoona selama ini menahan itu semua karena ia merasa sungkan? Oh Ya Tuhan, jika hal itu benar-benar terjadi, ia harus sedikit lebih peka pada Yoona.
"Apa kau sedang menginginkan sesuatu? Kenapa tiba-tiba kau tersipu?"
"Hah, apa? Tidak, aku tidak menginginkan apa-apa paman, sungguh."
Lagi-lagi Henry ingin tertawa terbahak-bahak mendengar panggilan Yoona untuk Donghae yang terdengar menggelikan. Meskipun ia sudah sering mendengarnya selama ini, tapi tetap saja ia merasa geli setiap kali Yoona mengatakannya.
"Apa yang kau tertawakan Henry, cepat berikan resep obatnya padaku, kau benar-benar lambat!" Maki Donghae gusar. Henry cepat-cepat memberikan resep obat yang telah ia tulis pada Donghae dan menyuruh Donghae untuk menebusnya di bawah.
"Ini, jangan lupa untuk meminum obatnya tiga kali sehari. Itu akan sangat membantu untuk mengatasi morning sicknessmu."
"Terimakasih dokter Henry, kau sangat baik." Ucap Yoona sambil memeluk tubuh Henry hangat. Melihat hal itu Donghae terlihat jelas jika ia tidak suka, namun ia berpura-pura menutupinya dengan memalingkan wajah ke arah lain.
"Jangan sungkan untuk meminta pada Donghae, dia adalah ayah dari bayi itu jadi ia harus menuruti setiap keinginannya. Jaga kesehatanmu Yoona."
Yoona mengangguk mengerti dan melambaikan tangannya pada Henry sebelum ia keluar dari ruangan Henry dan menyusul Donghae yang sudah terlebihdulu meninggalkannya dengan langkah lebarnya.
-00-
Donghae pov
Aku berjalan memasuki rumahku dengan keadaan berantakan dan juga perasaan lelah. Hari ini pekerjaanku benar-benar banyak dan hal itu berhasil membuatku merasa lelah. Bahkan karena terlalu sibuk aku tidak sempat menghubungi Yoona untuk mengecek kondisinya siang ini, karena sejak dua bulan yang lalu aku menjadi memiliki kebiasaan untuk mengecek keadaanya di siang hari. Bahkan entah kenapa sekarang tidur di kamar Yoona menjadi bagian dari rutinitasku setiap malam, padahal jelas aku memiliki kamar sendiri di lantai bawah. Dan tak bisa dipungkiri jika kebiasaanku itu membuatku takut. Aku takut akan mencintainya dan sulit untuk lepas darinya, padahal sejak awal yang kuinginkan hanyalah bayi yang dikandung Yoona, bukan Yoona!
Satu demi satu langkahku membawaku ke dalam kamar luas bernuansa putih yang sudah lima bulan terakhir ini ditempati oleh Yoona. Dengan perlahan aku mendakati wanita buncit itu dan mulai melepas sepatuku untuk berbaring di sebelahnya. Aku menghela nafas pelan dan mulai membalikan tubuhnya ke arahnya. Setiap malam tanpa sepengetahuannya aku selalu mencuri-curi kesempatan untuk mencium bibirnya atau sekedar mengelus wajahnya. Tapi pernah suatu hari aku hampir kelewat batas hendak menggerayangi tubuhnya karena aku benar-benar tidak bisa mengontrol lonjakan gairahku setiap kali berada di dekatnya. Untung saja saat itu tiba-tiba Yoona membuka matanya dan menyadarkanku dari perilaku bejatku yang hendak memperkosanya. Tapi sudahlah, sekarang aku sudah lebih ahli dalam mengendalikan diriku, jadi kupastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.
"Arghh..."
Yoona mengerang pelan ketika aku melumat bibirnya dan mengelus rambutnya dengan lembut. Aku tidak mau ditengah-tengah kegiatanku mencium Yoona, wanita itu terbangun dengan segala tatapan menuduh yang dilayangkan kepadaku karena selama ini aku selalu menjaga egoku dengan berpura-pura tidak tertarik padanya. Padahal seluruh tubuhku selalu meremang setiap kali melihatnya berada di sampingku seperti ini.
"Paman..."
Aku membeku di tempat ketika Yoona tiba-tiba membuka mata disaat wajahku berada tepat di depan wajahnya. Cepat-cepat aku menarik wajahku menjauh darinya dan berpura-pura tenang seperti tidak ada yang terjadi.
"Paman menciumku."
Mati kau Lee! Dia mengetahuinya.
"Kau hanya bermimpi." Ucapku datar dan acuh tak acuh. Aku berusaha menghindari kontak dengannya dengan membalikan tubuhku membelakanginya dan berpura-pura tidur. Aku tidak mau dia tahu jika aku sering menciumnya dan sesekali menggerayangi tubuhnya.
"Tapi aku yakin jika aku tidak bermimpi, aku merasakannya. Dan sebenarnya aku belum tidur karena menunggu paman."
Mendengar sederet kalimat darinya membuatku yakin jika kali ini aku memang tidak bisa mengelak. Perbuatan bejatku telah diketahuinya secara langsung. Dan kini saatnya aku mengakui semua perbuatanku di depannya, atau berbohong!
"Kenapa kau belum tidur?"
"Aku menunggu paman pulang. Hari ini paman tidak menghubungiku dan menanyakan keadaanku selama di rumah, aku takut terjadi sesuatu pada paman, sehingga aku berusaha untuk tetap terjaga hingga paman pulang, meskipun aku sempat tertidur dan aku terbangun setelah mendengar suara pintu yang ditutup."
Jadi dia sebenarnya sudah bangun sejak aku masuk ke kamarnya? Bagus! Harga diriku akan benar-benar jatuh sekarang.
"Paman, kenapa paman menciumku? Bukankah paman bilang jika aku hanya anak...."
Aku langsung membungkam bibirnya dengan bibirku agar gadis ingusan itu tidak terus mengoceh dan membuat kepalaku semakin pening karena kebohongan-kebohongan yang selama ini kulakukan padanya. Persetan dia adalah gadis di bawah umur yang sepantasnya menjadi keponakanku atau adikku, yang jelas bibir merah itu telah berhasil menggodaku dan menjadikannya seperti candu untukku.
Setelah aku melepaskan tautan bibirku darinya, Yoona tampak terengah-engah sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi pasokan udara di paru-parunya yang menipis. Dengan mata bulatnya yang... kuakui memang cantik, Yoona menatapku dalam sambil terperangah tak percaya.
"Paman menciumku lagi?"
"Iya, dan aku mungkin akan melakukannya lagi lain kali."
Kali ini aku mengatakan sungguh-sungguh jika aku akan menciumnya lagi lain waktu. Toh dia sudah tahu jika aku memang sering menciumnya, lalu untuk apa aku berbohong lagi.
"Menakjubkan, dan itu merupakan ciuman pertamaku." Racau Yoona polos dengan wajah yang terlihat bodoh. Aku tertawa sinis di dedepannya dengan raut mencemooh. Tentu saja itu pengalaman pertama untuknya karena ia memang sangat tidak berpengalaman sekali dalam hal mencium bibir.
"Kau pasti belum pernah melakukannya selama ini. Kau tidak memiliki kekasih." Ejekku kejam. Yoona dengan polosnya hanya mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Sialan! Wanita ini benar-benar membuatku gemas.
"Aku memang tidak pernah memiliki kekasih, eomma melarangku untuk berdekatan dengan pria."
"Kenapa eommamu melarangmu, bukankah wajar jika gadis-gadis seusiamu memiliki kekasih? Lagipula apa kau tidak ingin memiliki seorang kekasih di usiamu yang masih muda seperti ini?"
Yoona tiba-tiba tertawa pelan di depanku, membuatku tiba-tiba sedikit sangsi dengannya. Memangnya apa yang lucu dari kata-kataku!
"Bagaimana mungkin aku memiliki kekasih jika aku sedang hamil besar seperti ini. Paman, kau benar-benar lucu."
Sekarang aku merasa bodoh karena baru saja ditertawakan oleh gadis muda yang sedang hamil. Memang ia tidak mungkin bisa memiliki kekasih saat perutnya membuncit seperti itu. Tapi maksudku bukan sekarang, tapi dulu saat ia masih duduk di bangku high school.
"Lupakan saja!" Ucapku ketus. Yoona seketika menghentikan tawanya ketika ia melihat aku yang mulai kesal. Ia pun mencoba meluluhkanku dengan membelai wajahku dengan jari-jarinya yang lentik. Tapi tunggu, sejak kapan ia menjadi berani seperti ini?
"Maaf, aku tidak bermaksud menertawakan paman. Tapi sejujurnya aku sudah tidak memikirkan untuk memiliki kekasih, karena yang kuinginkan sekarang adalah menjadi seorang ibu. Apa paman akan mengijinkanku untuk tinggal dan merawat bayi ini?"
Aku melepaskan tangannya dari wajahku dan memilih untuk mengakhiri kontak mata dengannya. Kukira sikapku yang sedikit lunak padanya membuatnya salah paham dan menganggap aku adalah pria yang akan dengan mudah mengubah niatku sejak awal. Tapi sampai kapanpun aku tidak akan pernah melakukannya. Setelah Yoona melahirkan, ia harus pergi dari sini, atau mati!
"Lebih baik kau tidur, ini sudah malam. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di ruanganku."
Aku beranjak pergi dari ranjangnya tanpa berniat untuk menengok ke belakang dan melihat bagaimana keadaanya saat ini. Meskipun sebenarnya aku sangat yakin jika Yoona pasti sedang menatapku dengan sorot mata terluka penuh kesedihan karena aku baru saja menolak permintaanya dengan secara terang-terangan menjauhinya. Tapi menurutku inilah yang terbaik. Mulai sekarang aku harus menjaga jarak dengannya dan tidak memberikan terlalu banyak harapan palsu pada perasaanya yang rapuh.
Donghae pov end
-00-
Yoona mematut dirinya di depan cermin sambil mengelus perutnya pelan. Tak terasa sudah lima bulan berlalu, dan empat bulan lagi ia akan melahirkan. Tapi rasanya mengingat hari itu membuat dirinya merasa berat. Ia takut kehilangan bayi itu karena Donghae pasti tidak akan mengijinkannya untuk tinggal bersama bayinya. Apalagi semalam dengan terang-terangan Donghae menolak prmintaanya dengan bersikap dingin padanya. Padahal sebelum itu mereka masih bersenda gurau dan tertawa satu sama lain. Tiba-tiba setetes air mata turun membasahi kedua pipinya. Selama lima bulan ini ia merasa hidupnya berarti dan ia merasa tidak sendirian karena ia memiliki bayinya, Donghae, nyonya Jang, Hara, dan juga kepala pelayan Kang. Tapi jika ia tidak mengandung bayi itu lagi, ia pasti akan ditinggalkan dan kembali merasakan sepi seperti dulu. Ia takut hidupnya akan kembali tidak diinginkan. Ia takut kehilangan semua kehangatan ini. Tapi sejak awal Donghae memang hanya menginginkan bayi ini. Bahkan dulu ia tidak masalah dengan hal itu, tapi setelah ia menjalani kehidupan ini ia merasa tidak ingin pergi. Ia ingin bersama-sama mereka, orang-orang yang selama lima bulan ini selalu menemaninya hingga ia tidak merasa kesepian.
"Nona Yoona, mobil sudah siap, apa anda akan pergi ke taman sekarang?"
Dengan cepat Yoona menghapus air matanya dan mengangguk pada Hara.
"Ya, kita pergi sekarang." Ucap Yoona pelan sambil berjalan cepat menghampiri Hara yang kini tengah menatapnya dengan tatapan khawatir.
-00-
Yoona menghirup dalam-dalam udara taman yang sangat menyegarkan. Suara riuh anak-anak yang sedang berkejar-kejaran kesana kemari membuat hati Yoona sedikit terhibur. Sembari menatap mereka, Yoona membayangkan jika anaknya nanti saat lahir akan bersuara ribut seperti mereka. Sayangnya ia tidak bisa melihat tumbuh kembang anaknya hingga dewasa, sehingga ia harus puas hanya dengan mengandung anaknya dan melihatnya nanti saat melahirkan.
Yoona memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman yang kosong ditemani Hara disampingnya. Sejak berada di mobil wanita muda itu terus mengamati raut wajah Yoona yang memancarkan kesedihan, namun ia tidak berani bertanya langsung karena ia takut hal itu akan menyakiti Yoona. Tapi sekarang ia merasa ingin bertanya karena ia berharap ia dapat sedikit memberi jalan keluar untuk masalah yang sedang dihadapi Yoona.
"Nona, apa nona sedang memikirkan sesuatu?"
Yoona menoleh pada Hara dan tersenyum kecil.
"Tidak, aku hanya sedih karena akan kehilangan bayi ini emapat bulan lagi. Selama lima bulan ini aku sudah merasa nyaman dengan kehadirannya, meskipun aku sempat benar-benar kesal karena mengalami morning sickness, tapi sekarang aku bahagia karena sebentar lagi aku akan menjadi ibu. Dengan kehadirannya sekarang aku merasa hidupku tidak sendiri lagi." Ucap Yoona panjang lebar mengutarakan isi hatinya. Hara menatap Yoona prihatin dan hanya mampu memberikan usapan pelan di punggung. Ia tahu jika Yoona memang tidak diijinkan oleh Donghae untuk merawat anaknya karena Donghae memiliki trauma di masa kecil terhadap ibunya. Tapi apa yang terjadi pada Yoona sekarang tidak seharusnya disamakan dengan masa kecilnya yang kelam karena Yoona tidak seperti nyonya Lee. Yoona adalah gadis polos yang memiliki kebaikan murni, jika Donghae memberikan Yoona kesempatan untuk menjaga anaknya, pasti Yoona akan melakukan itu dengan sepenuh hati.
"Hara, ayo kita pulang. Jika paman pulang untuk makan siang dan tak menemukanku di rumah, nyonya Jang bisa terkena amukannya." Ucap Yoona dengan sedikit terkekeh. Harapun menganggukan kepalanya mengerti dan segera beranjak mengekori Yoona yang sudah terlebihdahulu berjalan menuju mobil. Namun tiba-tiba ia melihat Yoona berhenti sambil menatap terkejut pada seorang wanita paruh baya yang berdiri di depannya.
"Eomma..."
Plak
"Jadi seperti ini kelakuanmu, lima bulan kau menghilang dan ternyata kau menjadi simpanan pria-pria kaya! Ckckck, eomma tak menyangka kau akan melakukan hal serendah itu Yoong, eomma kecewa padamu. Mulai detik ini kau bukan lagi bagian dari keluarga Im. Aku akan mengatakan pada ayahmu untuk berhenti memikirkanmu dan melupakanmu, karena ternyata anaknya sudah berubah menjadi seorang wanita yang menjijikan."
Yoona menunduk dalam sambil menahan sakit yang menjalar di hati dan juga pipinya. Tak menyangka jika eommanya akan tega mengatakan hal itu di depan umum, padahal nyatanya ia tidak seperti itu. Ia hanya meminjamkan rahimnya untuk Lee Donghae, ia bukan wanita murahan!
"Nona.. nona, katakan sesuatu. Apa nona baik-baik saja?"
Hara langsung memegang bahu Yoona sambil menatap Yoona khawatir karena Yoona terus menunduk dan tak mengatakan sepatah katapun. Sedangkan nyonya Im terus menatap Yoona dengan pandangan jijik yang terlihat begitu mencemooh.
"Aku baik-baik saja, ayo kita pulang sebelum paman mencari kita." Ucap Yoona pelan dengan bulir-bulir air mata yang masih menganak sungai di pipinya. Tapi wanita itu berusaha bersikap tegar dengan tersenyum pada Hara dan juga ibunya.
"Aku pulang dulu eomma, besok aku akan datang ke rumah untuk memperkenalkan ayah dari bayi ini."
"Tidak perlu! Rumahku bukan untuk seorang pelacur sepertimu."
Yoona memejamkan matanya penuh luka dan segera pergi meninggalkan eommanya. Ia sudah tidak kuat lagi mendengar segala cacian dan makian yang keluar dari mulut ibu kandungnya sendiri, padahal selama ini ia selalu memikirkan ibunya dan ingin sekali bertemu ibunya, tapi ketika akhirnya ia dapat bertemu dengan ibunya, justru kata-kata kasar penuh penghinaan yang terlontar dari mulut ibunya.
"Nona, kuatkan diri nona, saya tahu nona bukan gadis seperti itu. Nona adalah gadis baik-baik yang hanya ingin menolong tuan Donghae untuk mendapatkan keturunan. Nona harus tabah karena Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk nona."
"Terimakasih Hara, aku baik-baik saja." Ucap Yoona parau dengan senyum manis di wajahnya.
Setelah itu tak ada pembicaraan lagi diantara mereka. Yoona memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah jendela sambil menenangkan hatinya yang terasa perih. Terkadang ia merasa heran dengan ibunya, kenapa tiba-tiba wanita itu membencinya, padahal selama ini ia tidak pernah melakukan apapun pada ibunya. Ia selalu menjadi gadis penurut dan tidak pernah membantah perkataan ibunya. Tapi dalam sekejap sikap lembut ibunya menghilang dan digantikan dengan sikap kasar yang begitu menyakitkan hati. Andai saja ayahnya tidak sakit dan terkena PHK, mungkin kehidupannya akan tetap normal, dan ia juga bisa menyelesaikan pendidikannya seperti teman-temannya yang lain, bukan menjadi pendonor rahim yang juga tidak memiliki arti di mata Donghae.
-00-
"Aku sudah mendengar semuanya dari Hara."
Setelah pulang dari kantor Donghae langsung mencari Yoona untuk menenangkan wanita itu. Satu jam yang lalu Hara menghubunginya dan menceritakan semuanya pada Donghae karena wanita itu khawatir dengan keadaan Yoona. Pasalnya ketika turun dari mobil Yoona terlihat sama sekali tak berekspresi dan langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Untung saja kamarnya tidak dikunci, sehingga sepuluh menit sekali Hara dapat mengecek kondisi Yoona dan memastikan Yoona tetap dalam keadaan baik-baik saja.
"Itu bukan masalah serius, jadi tidak usah dipikirkan." Jawab Yoona malas sambil bergelung di dalam selimut. Donghae berjalan menghampiri Yoona dan langsung menyibak selimut itu lebar-lebar agar ia dapat melihat kondisi Yoona yang sesungguhnya.
"Jadi ini yang kau sebut bukan masalah serius? Mata merah, hidung berair, dan nafas yang masih memburu karena menangis, kau pikir aku sebodoh itu? Aku tahu kau pasti sangat sedih dengan kelakuan kasar ibumu, dan menurutku itu sudah kelewatan. Kita pergi ke rumah orangtuamu sekarang dan menjelaskan semuanya pada mereka." Ucap Donghae berapi-api dan hendak menarik tangan Yoona. Namun wanita itu segera menghentikannya dan justru balik menatap Donghae dengan mata sendunya.
"Apa yang perlu kita jelaskan? Bukankah apa yang dikatakan eommaku benar? Aku wanita murahan. Aku telah mengandung anak dari seorang pria tanpa memiliki ikatan apapun pada pria itu. Jika kita datang ke sana, eomma tetap akan mencemoohku dan mengolok-olokku sebagai pelacur karena pada kenyataanya demikian. Kita tidak memiliki hubungan apapun paman. Hubungan kita hanya sekedar karena bayi ini." Tegas Yoona dengan wajah serius. Donghae terdiam di tempat dengan kata-kata Yoona, dan seketika ia merasa takut dengan dirinya sendiri. Baru saja ia merasa marah karena Yoona telah diperlakukan semena-mena oleh ibunya dan dicap sebagai seorang pelacur. Padahal seharusnya ia tidak perlu mencampuri urusan Yoona karena itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal itu. Selama bayinya sehat di dalam kandungan Yoona, maka tak perlu ada yang dikhawatirkan. Tapi entah mengapa tiba-tiba ia merasa tidak terima dengan sikap ibu Yoona. Ada perasaan marah yang begitu kuat di dalam dirinya dan juga perasaan ingin melindungi agar Yoona tidak tersakiti. Tapi sekarang ia sadar jika hal itu tidak perlu dan tidak boleh terjadi, karena ia tidak boleh membiarkan perasaan yang menguasainya.
"Kalau begitu biarkan saja, aku memang tidak seharusnya berurusan dengan orangtuamu. Lupakan mereka, dan fokuslah pada kehamilanmu karena kau saat ini sedang membawa calon penerus kekayaan keluarga Lee."
Yoona memeluk lututnya erat dan merasa ingin menangis lagi. Ia pikir dunia ini memang tidak adil. Tidak ada yang benar-benar peduli padanya dan menginginkannya dengan tulus. Mereka semua yang berada di dekatnya hanya ingin mengambil keuntungan darinya.
"Paman, bisakah kau membahagiakan aku? Sebelum kau mengambil semuanya dariku."
Yoona menatap wajah Donghae dengan wajah datar yang terlihat bersungguh-sungguh. Kali ini Yoona terlihat seperti seorang wanita dewasa yang telah kehilangan sisi polosnya. Ia menatap Donghae dengan penuh keberanian, seakan-akan ia sedang menagih apa yang menjadi haknya.
"Lakukan apapun yang kau mau."
-00-
Pagi ini Yoona benar-benar menagih janji Donghae untuk membahagiakannya. Wanita itu pagi-pagi sekali sudah bergelayut manja di lengan Donghae sambil meminta sesuatu untuk memenuhi keinginan ngidamnya yang selama ini ia tahan.
"Paman, aku ingin makan es krim coklat."
"Hmm... aku masih ngantuk, suruh saja nyonya Jang atau Hara." Ucap Donghae sambil bergelung malas di dalam selimut. Yoona menatap Donghae kesal dan langsung menyingkap selimut itu lebar-lebar.
"Kau sudah berjanji akan membahagiakanku! Sekarang untuk permulaan aku ingin meminta paman membelikanku es krim, jadi paman harus bangun sekarang dan pergi ke mini market untuk membeli es krim."
Dengan malas dan beberapa umpatan kasar Donghae segera bangun dari tidurnya untuk pergi membelikan es krim. Hampir saja ia ingin marah dan mengumpati Yoona, namun ia memilih untuk segera keluar dari kamar Yoona sebelum ia mendengar suara rengekan Yoona lagi yang menggelikan.
"Sialan! Gadis itu benar-benar mengerikan." Dengus Donghae sambil mencari kunci mobilnya yang ia simpan di dalam kamarnya. Kemarin ia sama sekali tidak berpikir jika memberikan Yoona kebahagiaan akan menjadi sangat menyebalkan seperti ini.
"Buka pintunya, aku akan pergi ke mini market."
"Baik tuan."
Penjaga rumah itu segera berlari menuju pagar dan membukakan pintu untuk tuannya. Dan dari balkon penjaga rumah itu dapat melihat Yoona yang sedang terkikik geli dan melambaikan tangannya ke arah Donghae.
"Paman!!! Aku ingin dua es krim coklat dan satu es krim stroberi." Teriak Yoona keras dari balkon kamarnya. Mendengar Yoona berteriak kencang, Donghae justru menutup kaca jendelanya rapat-rapat dan terkesan tidak peduli. Dia tidak suka disuruh-suruh!
-00-
Delapan minggu kemudian sikap Yoona pada Donghae semakin menjadi-jadi. Wanita itu dengan terang-terangan mengatakan apapun yang ia inginkan dan ia sengaja menggunakan bayinya untuk memaksa Donghae agar mau menuruti semua keinginannya. Seperti pagi ini, saat Donghae baru saja membuka matanya, Yoona sudah berteriak-teriak di dalam kamarnya untuk memintanya memasakan makanan.
"Pamana, aku lapar... buatkan aku makanan!"
"Pergi dari kamarku, jangan ganggu aku!!" Bentak Donghae kesal sambil menutup wajahnya dengan bantal. Yoona berdecak kesal dan langsung merebut bantal putih yang digunakan Donghae untuk menutup wajahnya.
"Ini keinginan anakmu, jangan egois paman."
"Persetan dengan anakku, aku tidak peduli!"
Yoona mendengus kesal dan mulai mencari ide untuk memaksa Donghae agar mau memasakan makanan untuknya. Pagi ini ia bangun dalam keadaan lapar, dan entah mengapa ia ingin sekali Donghae membuatkan sesuatu untuknya. Lagipula Donghae dulu pernah memasakannya omelet dan rasanya tidak buruk. Dan sekarang ia ingin makan omelet itu lagi. Oleh karena itu ia harus sedikit berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Paman... aku ingin makan omelet, anakmu menginginkannya."
"Ahhh berisik! Dasar wanita hamil pengganggu! Minggir, aku akan membuatkanmu omelet sekarang."
Yoona bersorak girang ketika usahanya berhasil untuk membujuk Donghae. Wanita itu segera berjalan mengekori Donghae yang sudah terlebihdahulu melangkah menuju pintu. Tapi tiba-tiba pria itu berhenti dan berbalik kearahnya.
"Ada apa paman, kenapa tiba-tiba berhenti?"
Donghae menyeringai licik pada Yoona, dan tiba-tiba pria itu mencium Yoona dengan sedikit terburu-buru dan membuat Yoona hampir terjengkang ke belakang karena ia tidak siap. Tapi Donghae langsung menahan tubuh Yoona dan memeluknya erat hingga Yoona tak bisa bergerak sedikitpun meskipun Yoona terus meronta-ronta dan menggingit bibir Donghae.
"Aku suka rasa darah." Seringai Donghae sambil menjilat ujung bibirnya yang mengeluarkan darah. Yoona menatap Donghae jijik sambil mengelap bibirnya yang terasa aneh.
"Paman, kau menjijikan."
"Itu adalah bayaran untuk seporsi omelet, jadi nikmati saja."
"Menyebalkan. Jika paman menciumku lagi, aku akan pergi secara diam-diam agar paman tidak bisa melihat anak ini." Ancam Yoona galak. Tapi Donghae justru terkekeh sambil mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Yoona.
"Coba saja jika kau bisa, aku akan mengejarmu dan tidak akan membiarkanmu hidup." Bisik Donghae penuh ancaman yang berhasil membuat bulu kuduk Yoona merinding. Ia kemudian mendorong tubuh Donghae kasar dan segera berjalan pergi meninggalkan Donghae. Entah mengapa ancaman itu terasa begitu nyata untuknya, dan ia takut Donghae akan benar-benar membunuhnya karena ia tahu bagaimana reputasi jahat Donghae selama ini.
-00-
"Kau sudah lama?"
Donghae berseru pelan pada Henry yang sedang menyesap kopi americanonya nikmat. Dokter muda itu langsung meletakan cangkir kopinya di atas meja ketika sahabatnya itu datang dan memberikan senyum lembut pada Donghae.
"Bagaimana, ia sudah tidur?" Tanya Henry penuh makna. Donghae mengendikan bahunya malas dan segera menghempaskan tubuhnya di atas sofa di sebelah Henry. Hari ini ia benar-benar dibuat kewalahan dengan tingkah menyebalkan Yoona. Wanita itu benar-benar membuatnya repot dengan berbagai macam permintaan anehnya. Bahkan sebelum ia bisa pergi menemui Henry, ia harus meninabobokan ibu hamil itu hingga benar-bena terlelap ke alam mimpi karena sejak tadi Yoona terus melarangnya untuk pergi menemui Henry. Benar-benar sangat menyusahkan!
"Kau tahu, gadis ingusan itu hari ini benar-benar menguji kesabaranku. Sikapnya benar-benar membuatku jengah dan juga gemas padanya. Semakin hari ia menunjukan sikap manjanya yang kelewat batas dan aku tidak tahu apa tujuannya melakukan hal itu. Kurasa ia ingin mengerjaiku." Cerita Donghae bearapi-api. Ketika pelayan datang membawakan segelas bir, Donghae langsung meminum birnya dengan penuh emosi hingga tersisa setengah.
"Sabar Hae, kau harus ingat jika Yoona sedang mengandung calon penerusmu. Jika kau memang menginginkan anakmu lahir dengan selamat, kau harus menyenangkan hati ibunya."
"Tapi sampai kapan ia akan bertingkah menjengkelkan seperti itu? Bahkan ia memintaku untuk bernyanyi sebelum tidur, bukankah itu sangat menyebalkan!" Ucap Donghae penuh emosi. Henry tergelak geli ketika membayangkan Donghae bernyanyi untuk Yoona. Pasalnya sahabatnya itu tidak terlalu suka menyanyi dan selalu mencemooh para penyanyi muda yang sedang digilai para remaja. Ia mengatakan jika penyanyi adalah pekerjaan yang paling menggelikan karena mereka hanya menjual pita suara.
"Sialan kau, jangan menertawakanku. Kau harus membantuku untuk keluar dari neraka dunia yang mengerikan itu, aku tidak tahan melihatnya di rumahku sepanjang hari dengan suaranya yang... arghhh! Sangat mengerikan karena meminta ini itu tanpa henti. Apa kau punya obat untuk mempercepat kelahiran?"
"Obat? Tentu saja ada, tapi kau tidak boleh menggunakannya karena itu akan membahayakan ibunya. Kau tidak boleh membahayakan Yoona, dan kau harus melepaskan Yoona setelah ia melahirkan, jangan menggunakan cara-cara seperti biasa untuk membuang orang-orang yang sudah tidak kau butuhkan." Peringat Henry sungguh-sungguh." Donghae memandang Henry santai dan hanya mengendikan bahunya sebagai jawaban.
"Semua itu tergantung suasana hatiku Henry, tapi aku tidak yakin akan melepaskannya begitu saja, karena dia akan berbahaya untuk kehidupanku dan anakku. Aku tidak ingin anakku mengenal sosok yang bernama ibu, jadi Yoona harus benar-benar lenyap dari bumi."
"Kau gila! Jangan pernah kau sakiti Yoona karena wanita itu sudah berkorban banyak untuk membantumu. Kau seharusnya berterimakasih padanya dan memberikannya kehidupan yang layak. Bukankah kau sudah tahu bagaimana kehidupan Yoona selama ini yang selalu mendapat tekanan dari ibunya, kau jangan menambah kesengsaraanya lagi dengan membunuhnya. Jika kau ingin menjauhkan anakmu dari Yoona, kau cukup menempatkan banyak pengawal disekitar anakmu agar Yoona tidak dapat mendekatinya. Tolong jangan sakiti Yoona, dia wanita yang baik dan berhati tulus."
Donghae menatap Henry penuh selidik sambil menyipitkan matanya tidak suka.
"Apa kau menyukainya?"
"Menyukainya? Tentu saja tidak." Ucap Henry gelagapan. Namun Donghae tahu jika sahabatnya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya karena Henry terlihat begitu gelisah dan tidak berani menatap wajahnya.
"Katakan padaku apa yang kau sembunyikan! Kau tidak bisa berbohong padaku Henry."
Donghae semakin menyudutkan Henry dengan tatapan matanya yang mengintimidasi dan juga kalimat yang penuh tekanan. Sekarang Henry pasti merasakan ketegangan yang menguar dari dalam dirinya karena ditatap terlalu intens oleh Donghae.
"Baiklah, aku menyerah. Aku memang tidak bisa menutupi semuanya darimu jika aku memang sedikit tertarik pada Yoona. Tapi bukan berarti aku menyukainya, aku hanya kagum pada kepribadiannya yang kuat dan juga tidak mudah menyerah. Kau harus mempertahankan gadis tangguh seperti Yoona, Hae."
"Aku rasa aku tidak bisa, gadis itu terlalu berbahaya untukku. Selama tujuh bulan ini hidupku terasa kacau karena kehadirannya. Aku tiba-tiba merasa selalu ingin berada di dekatnya dan memeluknya, padahal selama ini aku tidak pernah merasakan hal itu pada wanita-wanita one nigh standku. Bahkan aku bisa merasa bergairah pada gadis ingusan seperti Yoona, ia adalah ancaman untukku."
Henry menatap Donghae tajam dengan wajah yang tidak biasa, antara marah dan juga tidak terima.
"Itu bukan alasan untuk menyingkirkan Yoona. Kau yang salah dalam hal ini, kau yang menginginkan semua ini terjadi, dan kau tidak boleh melenyapkannya hanya karena kau jatuh cinta padanya!"
"Aku tidak jatuh cinta padanya. Hati-hati dengan ucapanmu."
Tiba-tiba Donghae menarik kerah kemeja Henry dan sedikit mendorong Henry ke belakang hingga Henry merasa kesulitan untuk bernafas.
"Aku tidak mungkin jatuh cinta pada gadis ingusan seperti Yoona yang lebih pantas menjadi keponakanku. Dan perlu kau ingat baik-baik, semua ini terjadi karena rencana gilamu. Kau memaksaku untuk menerima Yoona karena kau bilang Yoona adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk mengandung anakku. Jika kau sejak awal tertarik padanya, seharusnya kau tidak mengumpankan Yoona padaku karena kau pasti tahu apa yang akan kulakukan pada Yoona, aku akan membunuhnya setelah ia melahirkan anakku. Jadi jangan pernah menyalahkanku dan bersikap seolah-olah kau tidak bertanggungjawab atas nasib sial yang akan menimpanya nanti."
"Tapi aku tahu jika kau sudah jatuh cinta pada Yoona, gadis itu sedikit banyak telah merubah hidupmu yang semula kaku menjadi lebih berwarna. Kau seharusnya menyadari hal itu Hae."
Bughh!
Donghae memukul wajah Henry keras dan membuat pria itu terhempas ke sofa.
"Jangan pernah mengatakan kata-kata laknat itu atau aku akan menghajarmu hingga kau mati. Aku tidak pernah mencintai Yoona, tidak akan pernah!"
Setelah mengucapkan hal itu Donghae langsung berjalan pergi meninggalkan Henry yang masih merintih kesakitan sambil memegangi sudut bibirnya yang memar. Namun tiba-tiba ia melompat berdiri dan segera pergi menuju mobilnya untuk menjemput Yoona, karena ia harus segera menjauhkan Yoona dari iblis kejam tak punya hati seperti Donghae.
-00-
Donghae mengusap wajahnya gusar sambil berjalan tergesa-gesa memasuki rumahnya. Perkataan Henry barusan berhasil mengusiknya dan membuatnya takut. Secepatnya ia harus melakukan tindakan sebelum apa yang dikatakan oleh Henry menjadi kenyataan, ia tidak boleh mencintai Yoona.
"Apa Yoona masih tidur?" Tanya Donghae pada Hara yang kebetulan lewat di depannya. Wanita muda itu menganggukan menunduk dalam dan menganggukan kepalanya pada Donghae.
"Baru saja saya mengecek ke dalama kamar nona Yoona, nona Yoona masih tertidur dan terlihat sangat pulas."
"Kalau begitu bangunkan dia. Aku membutuhkannya sekarang."
Dengan wajah bingung Hara hanya dapat menganggukan kepalanya tanpa banyak bertanya. Lagipula ia juga tidak memiliki hak untuk bertanya macam-macam pada Donghae karena itu bukan haknya, dan ia hanya sebatas pelayan di dalam rumah itu.
"Kau akan membawa Yoona pergi?"
Tiba-tiba Hara mendengar suara seorang pria yang menggelegar di dalam ruang tamu. Harapun menyempatkan diri untuk mengintip dari balik pembatas pagar di lantai dua. Dari kejauhan Hara dapat melihat seorang pria muda sedang terlihat marah dan pria itu menghampiri Donghae dengan tangan terkepal. Namun sebentar saja Donghae langsung memerintahkan bodyguardnya untuk menangkap pria itu dan suara ribut-ribut itu dalam sekejap saja sudah membuat seisi rumah yang senyap menjadi ricuh.
"Jangan sakiti Yoona, kau tidak berhak melakukan itu pada Yoona!"
"Singkirkan dia dari sini, aku tidak mau dia mengganggu rencanaku."
Hara menyipitkan matanya heran, namun ia memilih untuk segera masuk ke dalam kamar Yoona karena ia takut dengan suara Donghae yang terdengar begitu murka.
"Hara, ada apa?"
Ternyata Yoona terbangun karena suara ribut-ribut yang berasal dari lantai bawah. Wanita itu menatap Hara khawatir dengan wajah penuh ingin tahu.
"Saya tidak tahu nona, tapi tuan Donghae ingin bertemu dengan anda sekarang."
"Ada apa dengan paman? Kenapa malam-malam seperti ini paman menyuruhku untuk menemuinya? Kenapa ia tidak menemuiku sendiri di sini?" Tanya Yoona bingung. Namun Hara hanya dapat menggelengkan kepalanya karena ia sama sekali tidak memiliki jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Yoona.
"Lebih baik nona turun sekarang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi."
Yoona mengangguk mengerti dan segera keluar dari kamarnya. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak dan ia merasa gugup. Namun ia berusaha menenangkan hatinya agar ia tidak panik. Berkali-kali ia mengelus perutnya karena tiba-tiba ia merasakan kram, karena kepanikan yang sedang melanda hatinya.
"Hara, cepat bawa Yoona turun sekarang."
Hara dan Yoona saling berpandang-pandangan ketika mereka mendengar suara menggelegar Donghae yang berasal dari ruang keluarga.
"Nona ayo kita turun, tuan Donghae sepertinya benar-benar marah."
Satu demi satu Yoona menuruni tangga sambil dibantu Hara karena langkahnya yang gemetar namun dipaksa untuk cepat. Di ujung tangga Donghae sudah menunggunya dengan wajah datar yang terlihat mengerikan. Dan ketika Yoona telah berada di ujung terbawah tangga, Donghae langsung menyambar tangan Yoona dan menyeret Yoona untuk keluar. Di ruang tamu Yoona dapat melihat Henry yang sudah babak belur dan sedang dicekal oleh beberapa bodyguard Donghae.
"Yoona, lari! Jangan ikuti Donghae."
Bugh bugh bugh
Henry memperingati Yoona untuk lari dan Henry langsung mendapatkan pukulan dari bodyguard Donghae saat itu juga.
"Dokter Henry! Paman, apa yang paman lakukan pada dokter Henry?" Teriak Yoona panik dan langsung menghentikan langkahnya. Namun Donghae kembali menyeret tangan Yoona kasar dan membawa Yoona keluar dari rumahnya.
"Itu adalah hukuman untuk orang pembangkang seperti Henry, cepat masuk!" Ucap Donghae kasar sambil mendorong-dorong Yoona untuk masuk ke dalam mobilnya. Dengan pasrah Yoona langsung masuk ke dalam mobil Donghae dengan berbagai macam pikiran buruk yang bersarang di otaknya.
"Kita mau kemana?"
"Kau akan tahu nanti." Seringai Donghae mengerikan sambil menginjak pedal gasnya kuat-kuat meninggalkan halaman rumahnya yang luas.
-00-
"Jangan, lepaskan aku!! Paman apa yang kau lakukan padaku, ini belum saatnya." Teriak Yoona kencang sambil meronta-ronta di dalam cekalan dua orang perawat yang sedang memaksanya untuk berbaring di atas blangkar. Donghae pun juga ikut membantu perawat itu dengan menekan kedua lengan Yoona agar Yoona tidak terus berontak.
"Tidak ada cara lain Yoona, aku harus segera mengeluarkannya dari kandunganmu karena akan ada banyak pengganggu yang akan menghalangi jalanku." Ucap Donghae santai namun terkesan mengerikan. Yoona terus meronta-ronta di dalam cekalan orang-orang dan gerakannya semakin menjadi-jadi ketika ia melihat seorang dokter hendak menyuntikan sesuatu pada lengannya.
"Jangan kumohon jangan, jangan lakukan apapun padanya. Jangan pisahkan aku dengannya." Mohon Yoona histeris dengan suara tangisannya yang memilukan, tapi Donghae terus memberikan kode pada dokter wanita itu untuk menyuntikan sebuah obat ke tubuh Yoona untuk mempercepat kontraksi Yoona agar dokter tersebut dapat melakukan operasi cesar pada Yoona.
"Paman apa yang kau lakukan padaku, bayi ini belum saatnya lahir. Jangan paksa ia untuk keluar sekarang!" Teriak Yoona kencang, namun sama sekali tidak digubris Donghae.
Lima menit setelah dokter menyuntikan obat ke tubuhnya, Yoona mulai merasakan perutnya berkontraksi. Ia merasakan sakit yang teramat sangat hingga membuatnya hanya dapat bergelung kesakitan sambil memegangi perutnya.
"Paman ini sakittttt........"
"Tenang saja, semua ini tidak akan berlangsung lama. Sebentar lagi kau akan terbebas dari rasa sakit yang menyiksamu dan kau bisa segera beristirahat dengan tenang. Apa kau ingin mengatakan kata-kata terakhir?" Tanya Donghae dengan suara jahat. Yoona tampak tak mempedulikan kata-kata Donghae karena saat ini perutnya terasa begitu menyakitkan hingga rasanya ia ingin mati.
"Lakukan sekarang, keluarkan anakku dan bunuh dia."
"Akhhhh, sakiittt..."
Dokter itu mengangguk mengerti dan mulai melakukan prosedur operasi untuk mengeluarkan bayi Yoona. Namun sebelum Donghae keluar dari ruang operasi itu, Donghae sempat berbisik pelan di telinga Yoona.
"Aku bukan pria yang mudah untuk jatuh cinta, jadi jangan pernah berpikir jika aku mecintaimu karena yang kubutuhkan hanyalah seorang penerus untuk melanjutkan perjuanganku. Terimakasih Im Yoona..."
Setelah itu Donghae berjalan keluar dengan suara rintihan Yoona yang menjadi pengiring setiap langkah kakinya. Saat ini yang ada di pikirannya hanyalah anaknya, ia sama sekali tidak memikirkan Yoona, dan ia tidak peduli pada Yoona!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro