The Bad Liar Part 26
"Hasilnya sangat bagus, dan pihak pengguna jasa juga puas. Kau pasti akan mendapatkan perpanjangan kontrak dari Cartier."
Aiden tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya saat beberapa menit yang lalu ia mendapatkan laporan dari perwakilan Cartier jika mereka sangat menyukai tema yang diusulkan pada mereka, sekaligus menyukai model yang digunakan dalam pemotretan perhiasan mereka. Dalam sekejap Yoona berhasil mendongkrak penjualan perhiasan Cartier. Bahkan bukan hanya Cartier saja yang mendapatkan keuntungan. Pihak Desert Botanical Garden juga mengucapkan terimakasih pada agensi The Star karena telah memilih tempat mereka sebagai tempat pengambilan gambar. Dengan begitu kini Desert Botanical Garden menjadi semakin ramai dan banyak calon pengantin yang mendapatkan inspirasi melakukan foto prewedding diantara kaktus-kaktus yang tumbuh di taman wisata itu.
"Yeah, cukup sebanding dengan semua pengorbanan yang aku lakukan." Tentu saja Yoona tidak akan pernah lupa bagaimana semua kekacauan di sana terjadi.
"Tidak buruk juga malam itu kita saling berteriak karena keesokan harinya hubungan kita justru berubah menjadi lebih baik."
"Jika hubungan kita sudah berubah menjadi lebih baik, kenapa kau tidak mau mengatakannya?"
"Mengatakan apa?" tanya Aiden tak mengerti. Bola mata hijau yang dikagumi Yoona itu langsung menyorot tajam ke arah matanya yang kecoklatan.
"Hill."
"Kau bukanya sudah tahu?" tanya Aiden malas. Apa lagi yang perlu ia jelaskan pada Yoona jika jawaban dari pertanyaannya sudah jelas. Hill adalah anaknya bersama Letha.
"Kenapa kau tidak ingin menikahi Letha?"
"Bukan urusan yang mudah."
"Kau tidak mencintainya?" kejar Yoona ingin tahu. Rasanya aneh jika Aiden tidak mencintai Letha. Wanita itu menarik, pakaiannya juga sopan, dan yang terpenting wanita itu telah memberikan keturunan untuk Aiden. Rasanya tidak ada yang kurang dari Letha, menurut Yoona.
"Cinta? Apa itu penting? Tidak ada cinta dalam kamusku."
"Lalu?"
"Kenyamanan." jawab Aiden mantap. Pertanyaan yang dilontarkan Yoona itu sungguh sensitif, dan sebelum ini ia belum pernah membaginya pada siapapun. Ia kemudian memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya yang tertutup oleh kerai. Dari balik kerai itu, Aiden bisa melihat pemandangann indah Kota LA dengan berbagai macam kesibukan yang ditunjukan oleh orang-orang di bawah sana. Ada banyak mobil yang terparkir di halaman kantornya. Orang-orang yang tampak sekecil semut sedang berjalan kesana kemari untuk menyelesaikan urusan mereka. Pemandangan seperti itu yang selama ini dilihat oleh Aiden hampir seumur hidupnya. Bekerja, orang-orang yang sibuk di kantor, kemacetan lalu lintas. Kadang ia berpikir untuk membuat hidupnya menjadi lebih menarik. Memiliki keluarga, bermain bersama anak-anaknya. Dalam bayangannya itu menyenangkan, tapi ia merasa tidak sanggup bila harus menyakiti Letha untuk harapan terlalu besar yang diberikan wanita itu padanya.
"Kau tidak nyaman bersama Letha, tapi kau memiliki anak darinya."
Kata-kata itu terdengar seperti cibiran untuk Aiden. Memang benar jika ia dulu hanya mengambil keuntungan dari Letha tanpa pernah memikirkan akibatnya di masa depan.
"Aku tidak nyaman karena merasa bersalah padanya. Aku menghancurkan hidupnya."
"Tak usah kau ceritakan bagaimana detailnya, aku sudah bisa membayangkan bagaimana dirimu di masa lalu. Entahlah Aiden, kadang kau terlihat menyebalkan, kadang kau terlihat menyedihkan. Apa aku harus bersimpati atas masalahmu sekarang?"
Aiden meninggalkan pemandangan Kota LA dan beranjak menghampiri Yoona yang sedang duduk dengan manis di atas sofa. "Aku menyukaimu."
Kata-kata spontan yang dilontarkan Aiden itu berhasil membaut Yoona terkejut dan merasa gugup seketika. "Jangan bercanda." Hanya itu yang bisa dikatakan Yoona untuk mencairkan suasana kaku diantara dirinya dan juga Aiden. Lagipula mereka berdua belum terlalu lama mengenal. Yoona jadi curiga jika Aiden sengaja mengatakan hal itu untuk mempermainkannya.
"Aku tidak pernah bercanda dan tidak pernah mencium sembarang wanita." tandas Aiden tanpa keraguan. "Dan aku juga merasa cemburu pada hubunganmu dengan Laiv."
Sekarang Yoona tidak bisa menganggap Aiden sedang bercanda. Tatapan matanya yang setajam pisau dengan kilat mengerikan berwarna hijau berhasil membuat Yoona meneguk ludahnya seketika. Jika ditanya apa ia gugup ditatap seperti itu, jawabannya ya, ia gugup. Namun yang membuatnya bingung adalah alasan dibalik kegugupannya. Sungguh ini konyol menurut Yoona karena seharusnya hatinya tidak merespon Aiden seperti itu. Ini salah! erang Yoona dalam hati.
"Aku sudah menikah." Yoona memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan ruangan Aiden karena tidak ada apapun lagi yang perlu ia bicarakan dengan pria itu. Anggap saja peristiwa hari ini adalah salah satu lelucon april mop dari Aiden yang terlalu kelewatan padanya. Bagaimana mungkin pria itu bisa mengatakan suka jika nyatanya ia telah menikah, dan pria itu juga memiliki anak dari kisah satu malam bersama Letha.
"Jika kau kira aku main-main, maka kau salah." Aiden secepat kilat menahan pergelangan tangan Yoona yang baru saja terjulur untuk mengambil tas tangannya di atas sofa.
"Aku juga tidak main-main mengenai ini!" Yoona dengan gusar menunjukan tangan kanannya yang tersemat cincin berlian pemberian Laiv di hari pernikahan mereka. "Seharusnya kuundang saja dirimu waktu itu agar kau tahu jika pernikahanku bukan lelucon. Sekarang lepaskan!" Dengan tegas Yoona menyentak tangan Aiden dari pergelangan tangannya dan segera melangkah keluar dari ruangan Aiden yang sesak. Ia tidak boleh terjebak ke dalam pesona Aiden yang memang mematikan. Pria itu seorang player. Dan ia sedang menargetkan Yoona sebagai mangsa berikutnya.
-00-
Saat masuk ke dalam rumah, Yoona merasa tubuhnya sangat lemas dan tak bertenaga. Kata-kata Aiden siang ini berhasil memporak-porandakan pertahanan Yoona yang kokoh. Dengan mudahnya pria itu mengatakan menyukainya. Cih, ingin rasanya Yoona menampar wajah pria itu untuk menyadarkannya dari dunia mimpinya yang konyol. Ia wanita bersuami. Dan Aiden jelas-jelas tahu jika ia sangat mencintai Laiv. Yah... meskipun belum sekuat itu cintanya, tapi ia memiliki prinsip yang kuat pada pernikahan ke duanya ini. Ia juga sangat mengharapkan kehadiran seorang anak di tengah-tengah hubungan pernikahannya dengan Laiv agar ia tidak perlu merasa kesepian seperti ini. Melangkah satu persatu menyusuri anak tangga menuju kamarnya terasa begitu sunyi dan menakutkan. Siang seperti ini pelayan di rumahnya akan memilih untuk beristirahat di kamar mereka masing-masing. Yoona hampir-hampir tak melihat siapapun di lantai dua kecuali suara gaduh aneh yang berasal dari salah satu kamar di lantai dua. Merasa aneh, ia lalu menyusuri lorong-lorong itu perlahan sambil memikirkan hal-hal baik untuk membuat dirinya tenang. Sungguh ia takut akan menemukan sesuatu yang tak masuk akal, misalnya hantu mungkin, di salah satu kamar di rumah ini karena memang beberapa kamar jarang digunakan dan sering tak tersentuh.
Suara gaduh itu awalnya terdengar keras, lalu sekarang terdengar lemah dan hampir menghilang. Yoona cepat-cepat menajamkan telinganya untuk mencari asal bunyi itu agar ia tidak kehilangan jejaknya. Jika itu ulah pencuri, Yoona sudah mempersiapkan ponsel di tangannya untuk menghubungi Laiv dan petugas keamanan di depan. Tapi kemudian Yoona mengerutkan wajahnya saat melihat pintu kamar tamu sedikit terbuka dengan suara gaduh samar-samar yang persis di dengar Yoona ketika berada di tangga. Cepat-cepat ia melangkah ke arah pintu sambil sedikit mengintip dibalik pintu kayu yang sedikit terbuka.
Magda? batin Yoona bingung. Di dalam sana Yoona dapat melihat Magda sedang menumpuk banyak kardus dan beberapa map ke dalam lemari kamar tamu yang beberapa waktu lalu dikatakan Magda pintunya terkunci karena pintunya rusak. Well, wanita itu berbohong. Yoona merasa gerak gerik Magda akhir-akhir ini memang aneh. Semenjak ia menikah dengan Laiv, Magda justru tidak terlihat seramah dulu ketika ia berusaha untuk mengajaknya mengobrol. Beberapa kali Magda berusaha menghindari dengan berbagai alasan akan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di dapur ketika ia mencoba menanyakan mengenai kehidupan Laiv dan Sarah dulu.
Sekarang Yoona mulai sadar jika mansion ini menyimpan banyak rahasia yang tidak diketahui Yoona, yang memang sengaja disembunyikan darinya. Firasatnya mengatakan jika semua itu berhubungan dengan menghilangnya semua barang-barang milik mendiang Sarah yang seharusnya masih tersimpan di dalam lemarinya. Selain itu, Laiv juga mulai menunjukan gelagat aneh yang semakin sulit dipahami Yoona. Pernah suatu malam Yoona memaksa menyalakan lampu setelah mereka melakukan percintaan panas, namun saat itu Laiv justru marah dan pergi begitu saja meninggalkan kamar dengan pintu dibanting. Namun keesokan harinya pria itu meminta maaf padanya dengan nada lembut sambil mengatakan berbagai alasan tak masuk akal seperti ada bekas luka besar di punggungnya yang harus ia sembunyikan. Bukankah itu konyol? Rasanya sekarang Yoona ingin bertemu Laiv untuk mengklarifikasi semuanya. Sebenarnya apa yang disembunyikan seluruh penghuni mansion ini darinya?
-00-
"Apa yang kau sembunyikan?"
Malam itu Yoona langsung bertanya pada Laiv, usia makan malam, dan saat pria itu sedang duduk termenung di ruang kerjanya. Pertanyaan Yoona yang tiba-tiba dan diucapkan secara mendadak membuat Laiv seketika tegang hingga ia hanya mampu terdiam kaku di tempatnya. Barulah sekitar empat detik kemudian Laiv bergerak, memiringkan tubuhnya ke samping untuk menghadapi istrinya yang sedang menatapnya menuntut penjelasan.
"Ada apa sayang?" tanya Laiv lembut. Tangannya perlahan terulur ke depan untuk mengelus wajah Yoona yang terlihat sedang menyembunyikan banyak pertanyaan di benaknya. Ia harap kali ini ia bisa mengatasi Yoona dengan lembut tanpa harus berteriak-teriak seperti dulu. Ia akui itu salahnya. Emosinya terlalu menggelegak saat itu, dan ia langsung saja melampiaskannya pada Yoona yang kebetulan malam itu terlihat sedikit menyebalkan. Tapi sedikitpun Laiv tidak ingin menyakiti Yoona. Justru sekarang ia sedang memikirkan berbagai cara untuk membuat Yoona tetap berada di sisinya, meskipun ketakutannya pada kemarahan Yoona yang meledak-ledak sedikit mengkhawatirkannya. Bagaimana responnya nanti jika wanita itu tahu yang sebenarnya?
"Apa yang tidak kuketahui?"
"Apa? Aku tidak mengerti maksudmu, sayang."
Yoona menghembuskan napasnya berat. Dengan kesal ia menjauhkan tangann Laiv dari wajahnya dan memilih memutari meja untuk mendudukan dirinya di kursi kosong di depan menja kerja Laiv. "Dimana kau sembunyikan barang-barang peninggalan mendiang istrimu? Maaf jika aku terlihat kasar, tapi aku tidak suka jika sesuatu sengaja ditutup-tutupi dariku."
"Sayang, untuk apa kau menanyakan hal itu? Tentu saja aku sudah membuang barang-barang milik Sarah setelah aku menikahimu."
"Bohong!" tuduh Yoona keras. Reaksi keras Yoona yang tak disangka-sangka itu langsung membuat Laiv merasa takut seketika. Rahasianya mungkin telah diketahui Yoona.
"Hari ini aku melihat Magda merapikan barang-barang milik mendiang Sarah di dalam lemari di kamar tamu. Apakah itu alasannya mengapa aku tidak bisa membuka lemarinya saat aku ingin melihat isi lemari itu? Kenapa kalian tidak mengatakan yang sebenarnya padaku? Aku tidak akan semarah ini jika kalian jujur mengenai barang-barang milik Sarah."
Laiv masih berusaha memahami arah pembicaraan Yoona. Ia pikir wanita itu telah mengetahui rahasianya, mengetahui dokumen-dokumen yang dikirimkan Jim. Tapi nyatanya Yoona hanya membahas masalah pintu lemari yang selalu terkunci. Jadi ia memang tidak seharusnya mengkhawatirkan apapun. Yoona masih belum mengetahui rahasianya.
"Baiklah. Barang-barang milik Sarah memang belum sepenuhnya dibuang. Aku menyimpannya sebagai kenangan. Tapi itu semua kulakukan karena aku tidak ingin menyakitimu. Aku mencintaimu, Yoona. Tulus dan bukan karena kau mirip dengan mendiang Sarah." tegas Laiv meyakinkan. Perlahan-lahan pria itu mengulurkan tangannya ke arah tangan Yoona yang tergletak begitu saja di atas meja. Ia ingin wanita itu mempercayainya dan tidak meragukan cintanya sedikitpun. Tapi bagaimana dengan fakta-fakta yang ia temui kemarin? Rasanya Laiv lebih baik tidak pernah mengetahui semua kebenaran itu daripada ia harus berhutang penjelasan pada Yoona. Wanita itu terlalu berharga untuk disakiti. Dan selama ini ia telah membuat Yoona menderita karena kebodohannya dulu.
"Aku baik-baik saja jika kau masih menyimpan barang-barang milik Sarah. Bagaimanapun dulu ia pernah mengisi hatimu dan menjadi wanita yang sangat kau cintai. Hanya jujurlah padaku, Laiv. Aku tidak suka kebohongan."
"Itu tidak akan terjadi lagi. Aku janji." ucap Laiv sungguh-sungguh sambil meremas telapak tangan Yoona lembut.
"Selain itu, ada lagi yang ingin kutanyakan." Tiba-tiba Yoona terlihat lebih gugup. Ia sengaja menarik tangannya perlahan dari tangan Laiv, lalu menyembunyikannya di bawah meja untuk diremas-remas di atas pangkuannya. Ia tahu jika pertanyaannya ini sedikit aneh untuk dibicarakan. Dan mungkin juga sedikit tidak pantas karena itu bisa saja melukai harga diri Laiv.
"Kenapa kita tidak pernah bercinta dalam suasana yang normal?" Yoona melihat Laiv mengerutkan keningnya. Cepat-cepat ia membenarkan kalimatnya menjadi sebuah pertanyaan yang lebih baik untuk dibicarakan bersama Laiv. "Maksudku dalam keadaan lampu menyala dan aku bisa melihat wajahmu sepenuhnya." ucap Yoona gugup. Sekarang ia merasa takut menatap wajah Laiv yang berubah menjadi pias. Ia tahu jika kata-katanya itu cukup mengganggu Laiv hingga pria itu sekarang bersikap tidak lagi ramah di depannya.
"Kita sudah pernah membahas ini sebelumnya, dan aku sudah mengatakan alasannya padamu, Yoona."
"Tapi kita telah menikah. Aku istrimu." ucap Yoona lebih berani. Ia langsung mendongakan kepalanya ke arah Laiv dan secara sengaja justru menatap wajah itu lekat-lekat. Ia hanya ingin tahu alasan dibalik keengganana Laiv menatap wajahnya saat mereka sedang bercinta. Apa pria itu masih membayangkan Sarah saat mereka melakukannya?
"Kau menganggap aku Sarah? Kau bercinta denganku, tapi di dalam benakmu kau membayangkan Sarah, bukankah seperti itu, Laiv?" tanya Yoona dengan wajah datar. Sebagian hatinya merasa sakit saat memikirkan hal itu. Padahal dulu ia selalu meyakinkan dirinya sendiri jika ia akan baik-baik saja meskipun Laiv masih memikirkan mendiang istrinya karena dirinyapun sebenarnya juga melakukan hal itu pada Laiv. Sayangnya ia tidak bisa menerima kenyataan jika suaminya masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Sarah. Sampai kapanpun Laiv hanya akan mencintai Sarah.
"Sudah kukatakan padamu sejak awal, aku hanya menikah dan mencintai Im Yoona. Apa itu masih belum cukup untukmu?"
"Belum sampai kau mau bercinta denganku dalam keadaan lampu menyala."
"Aku tidak bisa, Yoong." ucap Laiv lemah. Ia tidak akan pernah bisa melakukannya karena ia akan merasa bersalah jika langsung berhadapan dengan wajah Yoona setelah semua kebenaran yang dikatakan Jim. Ia merasa berdosa karena ia seharusnya tidak melakukan hal ini. Ia melakukan kebohongan. Kebohongan yang sangat besar.
"Lebih baik kau tidur, Yoong. Ini sudah malam."
Secara tidak langsung Laiv telah mengusirnya dan membiarkan masalah mereka menggantung begitu saja tanpa penyelesaian. Kebisuan Laiv yang kemudian ditunjukan pria itu sambil berkutat dengan pekerjaannya membuat Yoona merasa marah. Ia datang ke sini bukan untuk diabaikan, namun untuk meminta kejelasan pada Laiv mengenai statusnya.
"Kau tidak pernah memberikan alasan yang benar-benar bisa kuterima." desis Yoona marah. Sebisa mungkin ia mengontrol suaranya agar tidak meledak karena ia bisa saja mengamuk dan berteriak-teriak di depan Laiv yang rapuh. Ia tentu saja tidak akan lupa jika Laiv memiliki sakit jantung.
"Kau akan jijik saat melihat tubuhku. Sekarang pembicaraan ini telah selesai. Silahkan kau pergi tidur ke kamarmu." balas Laiv dingin tanpa menghiraukan Yoona yang sedang menatapnya tajam. Setelah itu Yoona benar-benar pergi dari ruang kerja Laiv. Dan ia hampir saja membanting pintu kayu itu jika ia tidak ingat dengan penyakit jantung Laiv yang berbahaya. Sehingga ia hanya menendang kasar pintunya, dan setelah itu pergi ke kamarnya di lantai dua dalam keadaan mood yang sangat buruk. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini. Sejak awal Laiv yang memintanya untuk menjadi istrinya, dan ia setuju karena ingin menolong pria itu keluar dari bayang-bayang mendiang istrinya sekaligus membantunya untuk melupakan bayangan Donghae. Namun jika sekarang jalan ceritanya menjadi seperti ini, ia justru merasa muak dan marah pada sikap impulsif Laiv. Sampai kapanpun mereka berdua hanya akan menjadi dua pesakitan dengan luka masa lalu yang tidak akan pernah sembuh dari hati mereka.
Tanpa sadar langkah Yoona justru membawanya hingga ke kamar tamu. Kamar itu terlihat gelap dan sunyi dari luar. Dengan rasa marah yang masih membayangi benak Yoona, ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar itu dan menguncinya. Persetan dengan Laiv yang nanti akan mencarinya. Malam ini sudah ia putuskan jika ia akan tidur di kamar tamu sambil memikirkan cara untuk membuka lemari barang itu. Ia yakin semua jawaban dari pertanyaannya selama ini ada di lemari itu. Mengenai sikap aneh Laiv akhir-akhir ini, mengenai masa lalu Laiv dengan Sarah, dan mengenai rahasia-rahasia yang tidak pernah ia tahu dari mansion ini.
Yoona menatap lemari itu tajam. Gagangnya yang dicat serupa warna kayu tampak begitu biasa di mata Yoona. Hanya saja lemari itu menyimpan banyak rahasia di dalamnya, yang kemudian membuat Yoona sangat berambisi untuk membukanya hingga kini tangan Yoona telah bekerja cukup keras untuk membuka pintu lemari itu. Sekuat tenaga Yoona menarik pintu geser lemari itu hingga kedua tangannya terasa perih dan mungkin akan lecet nantinya. Tapi seperti dipasangi gembok seberat satu ton, lemari itu sama sekali tidak mau dibuka jika dilakukan tanpa kunci. Harus ada seseorang yang ahli di bidangnya untuk membuarkan duplikat kunci.
Ia tiba-tiba saja menjentikan jarinya senang di depan wajah dan segera berlari ke atas ranjang untuk merebahkan tubuhnya yang lelah. Besok ia akan langsung memanggil tukang kunci tanpa sepengetahuan Laiv dan Magda. Ia yakin kedua orang itu tidak akan suka dengan idenya untuk melibatkan pihak ke tiga dalam membuka lemari geser itu. Tapi tidak apa-apa. Apapun konsekuensinya, ia akan tetap membuka lemari itu tanpa sepengetahuan Laiv.
-00-
Pria itu menurunkan kacamatanya sambil menghirup udara pagi yang segar, namun sudah terasa hangat karena sekarang musim panas sedang berlangsung di LA. Sambil menjinjing tas hitamnya, pria itu berjalan bersama rombongan penumpang pesawat menuju gerbang kedatangan yang terlihat seperti sedang melambai-lambai di depan sana. Rasanya LA tidak terlalu berbeda dengan Chicago. Kesesakan dan kepadatannya di sela-sela liburan musim panas membuat bandara LAX terlihat lebih ricuh. Saat ia melewati loby, banyak calon penumpang yang sedang duduk-duduk untuk menunggu penerbangan mereka. Sekelompok orang yang berkumpul di sudut ruangan terlihat paling mencolok diantara yang lainnya. Dugaanya, mereka semua adalah keluarga besar yang akan menghabiskan liburan ke Hawai. Pria-pria dewasa di kelompok itu menggunakan kaos bertuliskan Hawai. Sedangkan para wanitanya menggunakan topi jerami berbentuk lebar di atas kepala mereka yang terkadang ikut bergoyang ke kanan dan kiri saat mereka sibuk bercanda. Menyenangkan juga, pikirnya. Jika ia memiliki keluarga besar, ia pasti juga ingin melakukan hal itu. Berlibur bersama tentu saja jauh lebih menyenangkan daripada berlibur sendiri, apalagi berlibur sambil bekerja, seperti yang ia lakukan saat ini.
"Kejutan!"
Ketika tiba di loby luar bandara, pria itu segera menghubungi seseorang yang dikenalnya dan sedikit mengejutkan lawan bicaranya di sana dengan suara teriakannya. Merasa bosan, ia lalu mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyulut api menggunakan pemantik emas yang ia dapatkan dari Kuba.
"Cobak tebak dimana aku sekarang."
"Aku tidak tahu." balas pria di seberang sana malas. Tentu aja pria itu tahu jika lawan bicaranya sedang dalam kondisi yang tidak bagus utnuk menanggapi candaannya. Tapi sesekali ia ingin berbicara santai pada pria itu. Kekakuan yang bersifat resmi hanya akan membuat hubungan berjalan begitu saja, tak membekas.
"LA. Aku berada di LA."
"Untuk apa kau ke LA?"
"Mendatangimu. Sudah kuputuskan untuk datang ke sini dan menemuimu secara langsung agar kau tidak terus menerus berkeit dariku. Dimana aku bisa menemuimu sekarang? Kantor agensi The Star?"
Terdengar suara desahan napas di sana. Tobbie secara refleks menarik pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam tanganya. Setelah berhasil melihat waktu dengan tepat, ia merasa maklum dengan sikap Aiden yang tampak malas-malasan di seberang sana. Pria itu pasti kesal karena paginya yang tenang diganggu olehnya.
"Sialan kau. Harusnya kau memberitahuku kemarin sebelum datang ke sini."
Suara erangan terdengar di seberang sana. Tobbie kemudian bersiul menggoda sambil mengulum senyum. "Bersama wanita, huh?" Tapi tidak ada jawaban apapun dari Aiden. Pria itu pasti tidak suka jika kehidupannya dicampuri oleh Tobbie yang pagi ini terkesan sok akrab.
"Pukul delapan."
"Baiklah. Kau sudah akan melihatku di depan pintu agensimu saat kau datang nanti. Sampai jumpa." ucap Tobbie begitu gembira dan segera memasukan ponselnya ke dalam saku jeans. Akhirnya ia dapat memenuhi wasiat Donghae untuk mengurus pemindahtanganan aset-aset milik Donghae di Chicago. Menunggu Aiden yang mendatanginya di Chicago adalah sesuatu yang menurutnya mustahil. Ia bahkan telah menunggu cukup lama dengan kesabaran yang semakin lama semakin menipis. Dan untungnya hari ini ia memiliki kesempatan untuk kabur dari rutinitas padatnya di Chicago. Tanpa pikir panjang kemarin ia langsung memesan penerbangan ke LA pukul tiga pagi agar ia dapat tiba di LA pagi-pagi sekali. Ia tahu Aiden adalah pria yang sibuk, dan ia tidak ingin pria itu menolaknya dengan alasan sibuk. Jadi ia memutuskan untuk mendatangi pria itu sepagi mungkin agar ia tidak perlu membuat pria itu terganggu karena kehadirannya.
"Kantor agensi The Star." Tobbie berseru pada supir taksi dan langsung masuk ke dalam taksi kuning yang menurutnya paling bagus diantara taksi-taksi lain yang berjejer di luar bandara. Setelah ia berhasil mendudukan tubuhnya dengan nyaman, perlahan-lahan taksi itu mulai membawa Tobbie keluar dari area bandara menuju kantor agensi The Star yang cukup terkenal di LA. Hebat juga, pikirnya. Tidak perlu menjelaskan lebih detail dimana kantor itu berada, si supir taksi yang setengah mengantuk itu langsung menjalankan taksinya ke tempat tujuannya. Ahh... Aiden pasti memiliki reputasi yang baik di sini, pikir Tobbie sambil mengamati jajaran gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan utama LA. Tak mengherankan jika Donghae mempercayai pria itu sepenuhnya untuk mengambil alih beberapa aset yang perlu penanganan khusus dari seorang ahli. Sungguh ia berharap semua ini akan segera berakhir. Ia tidak mau terbebani terlalu lama oleh tanggungjawabnya pada Donghae.
"Aku pasti akan menyelesaikan masalah ini untukmu, Hae." gumam Tobbie sambil memandangi gedung-gedung pencakar langit yang berjejer di sisi kiri jalan yang dilewatinya.
-00-
"Ruangan yang bagus."
Itu komentar ke sekian yang dilontarkan Tobbie setelah menginjakan kaki di The Star. Setelah mengomentari desain eksterior gedung agensi The Star, mengomentari desain loby yang elegant, sekarang Tobbie mulai berkomentar mengenai ruangan Aiden yang memang didesain sangat maskulin dengan dominasi warna abu-abu.
"Kukira kau akan datang lebih formal."
Aiden terang-terangan menyindir penampilan Tobbie yang cukup santai. Jaket kulit, kaos hitam yang menyembul dari celah jaket yang resletingnya tidak ditutup sepenuhnya, celana jeans gelap, sneakers, dan sebuah tas jinjing hitam yang diduga Aiden berisi berbagai macam berkas yang diperlukan pria itu untuk memaksanya membubuhkan tanda tangan.
"Pesona yang ditawarkan dalam suasana liburan musim panas terlalu sulit untuk ditolak."
"Kau ke sini untuk berlibur atau bekerja? Kopi."
Aiden meletakan secangkir kopi di depan Tobbie. Itu kopinya yang tadi dibuatkan Winnie. Sayangnya ia sedang tidak ingin menikmati kopi. Tidak dengan kehadiran Tobbie di kantornya. Secara tidak langsung pria itu membuat moodnya semakin buruk. Bisa dikatakan pagi ini ia kacau. Dan sialnya ia belum bisa mengurai kekacauan itu satu persatu. Lalu kedatangan Tobbie di sini hanya akan menambah satu lagi daftar kekacauan yang perlu ia urai.
"Terimakasih. Aku ke sini untuk bekerja sambil berlibur." jawab Tobbie santai. Ia langsung meminum kopi hangat yang diberikan Aiden, kemudian mengernyit dalam. "Siapa yang membuatnya?"
"Sekretarisku."
"Ini enak. Dia pintar membuat kopi."
"Karena itulah aku mempekerjakannya di sini. Well, mari kita bahas hal-hal yang perlu dibahas. Waktu berbasa basi sudah selesai, bung."
Tobbie yang menangkap adanya banyak ketidaksukaan Aiden pada kehadirannya segera meletakan cangkir kopi itu di atas meja. Dengan gerakan yang tidak terlalu terburu-buru, ia segera mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tasnya untuk ditunjukan pada Aiden.
"Sebelum aku membahas masalah aset-aset itu, boleh aku tahu seberapa dekat kau dan Donghae?"
"Cukup dekat hingga membuat dia mempercayaiku untuk mengelola bisnisnya. Sekarang bisa kita selesaikan urusan kita? Aku masih ada pekerjaan lain."
Aiden sedikit kesal menanggapi pertanyaan Tobbie yang terkesan meragukannya. Memang ini adalah pertemuan pertama mereka sejak Donghae mengenal pria itu dan menjadikannya sebagai kuasa hukumnya. Tapi bukan berarti Tobbie dapat meragukan hubungan persahabatannya dengan Donghae. Selama ini ia memang merasa tidak perlu untuk menemui Tobbie karena ia memang tidak pernah memiliki urusan dengan pria itu sebelum Donghae memiliki ide gila untuk memberikan aset-asetnya padanya.
"Kau membedakan map-map itu berdasarkan warna?" tanya Aiden sambil menunjuk deretan map yang ditata Tobbie dengan rapi di atas meja. Sekilas perhatian pria itu teralihkan pada pergelangan tangan Aiden yang saat ini dihiasi oleh sebuah barcelet putih berbentuk rantai. Barcelet saat ini memang sedang menjadi trend mode di kalangan masyarakat Amerika. Bukan hanya wanita yang saat ini menggunakan gelang berbentuk seperti itu, banyak pria yang juga menggunakan barcelet untuk membuat penampilan mereka lebih maskulin. Tapi bukan masalah trend yang saat ini sedang dipikirkan Tobbie, tapi bentuk dan warna barcelet yang mengingatkannya pada sesuatu.
Seperti biasa, Tobbie sedang sibuk membuat surat-surat legalitas untuk salah satu kliennya. Hari yang begitu melelahkan menurutnya karena ia mendapatkan seorang klien yang menyebalkannya. Tingkat menyebalkannya jauh di atas Donghae yang sudah bertahun-tahun menjadi kliennya. Secara tak sengaja saat itu mereka dipertemukan dalam sebuah acara resmi perusahaan yang kemudian membuat mereka saling bertukar kartu nama. Suatu kehormatan untuk Tobbie karena bisa menjadi kuasa hukum untuk pria seperti Donghae yang namanya cukup terkenal di Amerika. Keluarga Lee sejak dulu memang dikenal sebagai keluarga konglomerat dengan banyak usaha yang mereka dirikan. Namun pengecualian untuk Donghae, pria itu secara bertahap mampu menciptakan sendiri perusahaan pertama dengan seluruh usahanya yang bergerak di bidang fashion. Dari hari ke hari perusahaan itu berkembang baik di bawah kepemimpinan Donghae. Seiring dengan bertambah majunya perusahaan Donghae, pria itu memerlukan seorang kuasa hukum untuk mengurus masalah legalitas perusahaannya. Dan begitulah cerita singkat awal pertemuannya dengan Lee Donghae.
"Sudah kau selesaikan semuanya?"
"Apa?" tanya Tobbie tanpa menoleh ke arah Donghae. Ia masih sibuk membaca ulang kata-kata yang ia ketikan di laptopnya untuk menghindari kesalahan ejaan. Sedikit saja surat itu mengalami kesalahan, semua proses hukum yang telah ia usahakan untuk kliennya akan langsung hangus.
"Surat kontrak untuk pembelian tanah di barat Chicago." ucap Donghae sambil membaringkan tubuhnya di atas sofa bercorak hitam putih di dalam ruangan Tobbie. Hari ini ia memiliki banyak pekerjaan yang membuat tenaganya tersedot habis hingga ia sama sekali tak berdaya untuk menghadapi sisa harinya hari ini. Dan secara kebetulan sofa hitam putih itu menawarkan kenyamanan yang membuat Donghae sulit untuk menolak berbaring di atasnya.
"Kurang sedikit lagi. Hanya perlu menambahkan aspek-aspek spesifikasi tanah itu, maka kertas itu otomatis akan berubah menjadi kertas bernilai hukum."
"Bagus. Kau selesaikan itu sekarang karena aku ingin segera membawanya ke pemilik tanah yang kolot itu. Ia begitu takut aku melakukan kecurangan hingga ia tidak mau memberikan kepastian pada tanah yang telah kutawar. Justru si tua itu menggertak jika ada penawar lain yang saat ini tengah mempertimbangkan tanahnya."
"Tipe sombong yang menyebalkan." komentar Tobbie tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar laptop yang menyorot wajahnya dengan terang. Hanya tinggal sedikit lagi pekerjaannya meneliti surat-surat itu selesa, dan setelahnya ia bisa beralih pada Donghae yang sepertinya menginginkan surat itu disiapkan sekarang.
"Dude, kau ulangtahun kemarin?"
Donghae yang baru saja menumpukan tangan kanannya di atas matanya untuk tidur, terpaksa harus menyingkirkan tangan itu agar ia dapat melihat wajah Tobbie yang nyartis tak terlihat karena tertutup oleh buku-buku bertema hukum yang sangat tebal. "Kau berusaha memerasku jika aku berulangtahun?" tanya Donghae sangsi. Tatapan wajahnya yang tampak menyebalkan itu menjengkelkan Tobbie yang sesekali masih meliriknya.
"Tangkap ini!"
Tobbie tiba-tiba melemparkan sebuah kotak kecil ke arah Donghae yang langsung ditangkap pria itu dengan gerakan sigap.
"Susan memberikannya padaku, tapi kemudian kami putus. Jadi aku tidak mau memakainya."
"Apa ini?" Donghae membuka kotak kecil itu dengan tak sabar dan langsung mengeluarkan sebuah barcelet dari dalam kotak merah yang masih tampak baru itu. "Kalian putus dan sekarang kau memberiku ini? Apa kau sudah tidak normal? Aku tidak mau." tolak Donghae mentah-mentah dan langsung melemparkan kotak itu ke atas meja. Jika hadiah itu dulunya dari Susan, Tobby seharusnya menyimpan benda itu sebagai bukti jika dulu mereka pernah sedekat itu sebagai sepasang kekasih.
"Pakailah. Aku tahu kau menyukai aksesoris tangan. Lagipula aku sudah mencobanya, dan tidak cocok. Anggap saja itu hadiah ulangtahun dariku."
Tatapan permohonan yang ditunjukan Tobbie terlihat tulus. Dan Donghae merasa tak berdaya untuk mengabaikan kebaikannya begitu saja. "Baiklah. Tapi jika gelang ini adalah gelang pasangan, aku akan langsung membuangnya. Menjijikan jika aku harus berpasangan denganmu." dengus Donghae jijik. Tapi pada akhirnya ia tetap memakai gelang itu dan tersenyum puas saat melihat desainnya.
"Selera yang bagus."
"Apa?" tanya Aiden datar. Sejak tadi ia mengamati Tobbie manata map-map itu, namun sesekali Tobbie melamun untuk menatapnya sambil mengerutkan dahi aneh.
"Selera yang bagus. Aku suka gelangmu."
"Oh. Hadiah dari salah satu fans." jawab Aiden asal. Saat Tobbie mulai sibuk dengan berkas-berkasnya lagi, Aiden perlahan-lahan menyentuh barcelet itu dan menyelipkannya ke dalam lengan jasnya yang panjang. Tatapan matanya yang semula malas, kini terlihat lebih awas dengan kilat-kilat kewaspadaan yang ia arahkan pada Tobbie.
"Bisakah kau lebih cepat? Aku ada pertemuan satu jam lagi."
"Akan kuusahakan." jawab Tobbie dengan senyuman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro